Seperti dugaan mereka jika tuan muda Dimorras diikuti oleh demon, Zein kembali menugaskan Derl untuk mendekati Ferlind. Tapi kali ini bukan hanya untuk mengawasi, melainkan memperingati target mereka secara perlahan terlebih dahulu. Derl juga akan mencari tahu apakah Ferlind telah membuat perjanjian dengan demon tersebut ataukah belum.
Tepat saat kaki Ferlind menapak di pintu gerbang sekolah, Derl yang telah menunggu segera menyusul dan dengan cepat menyandingkan langkah di sampingnya. Menumpukan pandangan pada sosok yang bahkan tidak menoleh sedikitpun padanya.
"Hey." Tidak ada sahutan, seakan Ferlind - atau lebih tepatnya iblis di dalam tubuhnya memang sengaja mengabaikannya. 'Kau mendengarku, kan?' Bahkan saat Derl mencoba untuk berkomunikasi melalui batin.
'Jawab, kau mendengarku, kan?' Derl terus bertanya seiring dengan kaki mereka yang menuju kelas yang sama. 'Kau berada di dalam sana, aku tahu itu.'
"Hmm.."Bola mata Edrich bergeser perlahan ke arah sosok yang tengah duduk di depan jendela. Sedari tadi -makhluk yang menyebut dirinya sendiri iblis- itu akhirnya bersuara setelah diam bermenit-menit. "Ada apa, Sin?""Aku merasakan sesuatu yang akan terjadi, hmm.."Edrich menutup korannya. Beralih duduk di ranjang menghadap Sin. "Merasakan apa?" Dia masih penasaran dengan makhluk itu.Sin menggaruk janggut kasarnya, "Ada hal besar yang akan terjadi." Edrich mengerutkan alisnya. "Hal apa?""Hal burukkah? Atau.. Sesuatu tentang iblis dan semacamnya?" Manusia memang banyak tanya, Sin menghela nafas sebelum menyandarkan punggungnya ke kursi. "Sepertinya memang berkaitan dengan demon, soalnya aku mendengar desas-desus kalau ada demon kabur yang sedang dicari oleh para tetua hantu.""Para tetua hantu?" Edrich menyipitkan mata, tidak mengerti. Apakah makhluk tak kasat mata juga
"AAARGHH!!" Bocah lelaki itu menjerit begitu keras. Berkas sinar yang memenuhi mereka menunjukkan betapa kuatnya power yang tersembunyi di balik tubuh kecil itu. Sayangnya demon jahat telah lebih dulu meraup tubuhnya dan menyatukan diri dengan sangat cepat.Hingga akhirnya semua cahaya lenyap, Zein tetap berdiri tanpa bisa mencegah setitikpun penyatuan di hadapan wajahnya."Ferlind.." Ratap pilu terdengar dari demon muda yang memiliki hati selembut kapas. Zein yang menyatukan mereka, dan kini ia juga yang harus membuat mereka berpisah. Tak ada cara lain lagi. "Hssh..." Bocah lelaki yang sekarang menyerupai seorang iblis itu mendengus keras dan siap menerjang mereka. Zein harus segera bertindak. "Apa yang akan anda lakukan sekarang, tuan?" Pertanyaan itu turut bertalu di dalam pikirannya. Zein tak menjawab dan berusaha memusatkan pikiran.
Alexan sampai di mana Martin berdiri. Pria berambut panjang itu terhenti di tengah hutan dengan raut kebingungan. "Apa kau menemukannya, Martin?""Tidak, aku kehilangan jejaknya. Jejaknya berhenti hingga titik ini, aku tidak bisa menciumnya lagi." Tapi Derl yang tadi tertinggal di belakang mereka terus melesat ke depan hingga membuat kedua demon itu keheranan. Tak lama sang tuan pun tiba, seperti mengerti kebingungan anak buahnya Zein tanpa basa-basi segera memberi perintah. "Ikuti Derl. Dia tau dimana demon itu berada."Langkah Derl berhenti tepat di bibir tebing. Disusul oleh rekan-rekannya yang lain. Iris biru terang itu nampak menatap lekat permukaan air di bawah sana, membuat Martin dan Alexan semakin bertanya-tanya. "Apakah demon itu berada di bawah sana?"Sedangkan Zein berdiri dari kejauhan seakan memperhatikan apa yang akan demon muda itu lakukan selanjutnya. Beberapa waktu terlewat, mereka dikejutkan oleh gelembung-gelembung yang tiba-tiba saja muncul
Semua sudah usai. Ferlind sudah kembali begitupun dengan demon yang berhasil dikalahkan meskipun berakhir dilenyapkan. Tapi terjadi satu keanehan. Tetua hantu masih saja mendatangi Zein malam ini."Apa ini?" Martin mengeluh. Namun nampaknya bukan cuma dia yang bingung. Semuanya juga tidak mengerti mengapa bisa jadi begini. "Jadi demon itu bukan yang kau cari??"Tetua seperti tidak enak hati. Namun begitulah adanya, dia mengangguki pertanyaan Martin. Kemudian beralih pada tuan muda yang terdiam di tempatnya. "Maaf Zein, tapi demon yang kemarin adalah demon danau itu sendiri. Dia tidak ada dalam desaku, aku tidak mengenalinya.."Zein sebenarnya juga menyadari adanya keganjilan saat melihat demon itu menyatu dengan danau. Tapi meskipun begitu mereka tidak bisa berhenti di tengah pertarungan, apalagi dengan adanya Ferlind sebagai jaminan. "Maaf mengecewakan, tetua."Berdeham pelan, tetua mengelus janggutnya se
"Tidak bisa." "Apa??" Edrich berjengit, Sin seakan menghiraukan perintahnya seperti angin lalu. Terus mengodek telinganya bagaikan suara Edrich hanya benalu. "Apa maksudmu tidak bisa?!" Sin kemudian berdiri bersedekap di hadapan pria itu. Meski badannya lebih besar, sepertinya Edrich merasa lebih berkuasa disini. "Bukankah aku tuanmu?!" Benarkan? "Kau belum sepenuhnya jadi tuanku, lagipula urusan manusia bukan urusanku." Pria berkuncir yang semula terbakar api amarah itu berubah menyipitkan mata. Menatap Sin lekat. "Apa maksudmu aku belum sepenuhnya jadi tuanmu?" Terlihat seperti dia ingin segera memanfaatkan kesempatan memerintahnya itu. "Dengar, tuan Edrich." Sin mulai memasang wajah serius. "Bagaimanapun juga aku ini seperti hewan buas yang baru saja masuk rumahmu. Apakah kau bisa langsung memegang dan mengelusku seperti anak kucing? Meskipun aku tidak akan menelanmu hidup-hidup, a
"Aku tidak mengerti denganmu." Sepanjang jalan Harss menggelengkan kepala. Keheranan dengan pria kurus yang berjalan di sampingnya. Sedangkan Edrich terus berjalan lurus tanpa menghiraukan polisi berbadan kekar itu. "Untuk apa kau membawa pulang abu itu?"Berisik sekali, Edrich tidak bisa tenang berpikir. "Tentu saja ini akan membantu kita mengungkap teka-teki selanjutnya, tuan Harss. Kau juga bingung kan kenapa Kurt menghilangkan surat-surat yang ia terima seakan takut bersalah?"Ya, benar. Harss memang turut penasaran dengan itu. Tapi kenapa harus abu? Namun biarlah, Edrich terlalu rumit untuk dimengerti. Biasanya dia akan bergerak sendiri lalu dengan mengejutkannya memberikan sebuah pemikiran aneh yang ntah mengapa bisa menjadi fakta mencengangkan.-0-Rumah kembali berada dalam keadaan sunyi. Gerald seperti pernah mengalami situasi seperti ini. Hal ya
Malam ini juga Edrich menyelinap ke pos tahanan. Bersama Harss yang sedang dalam jam jaga, dia mengintip diam-diam bagaimana Chloe tidur di dalam selnya."Kau yakin hari ini dia akan mengigau lagi?""Tiap malam dia begitu," Harss duduk di bangkunya, mempersilahkan Edrich memperhatikan pemuda itu langsung saja. "Lihat saja sendiri."Edrich kemudian berjongkok di depan sel. Melihat Chloe yang tertidur di dalam sana. Remaja itu terlihat kurus dan sangat kecil, wajahnya tenang dengan mata terpejam. Namun tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di kepalanya. Mengigau sebetulnya hanya peristiwa biasa, tapi tidak akan terjadi jika tidak didasari oleh sesuatu. Sedangkan Rose bilang, putranya itu tidak memiliki kebiasaan tersebut."Ngg.." Beberapa menit berlalu hingga kemudian tubuh pemuda itu mulai bergerak di sela tidur. Edrich menyimak perubahan ekspresi wajah Chloe dengan saksama. Memegangi sel agar ia bisa dengan jelas mendengar gumamannya. Tapi yan
"Keith, Chloe, makan malam sudah siap!"Sosok perempuan yang sudah memiliki banyak uban di rambutnya itu berjalan ke luar dapur sembari mengelap tangan di celemek yang ia kenakan. Namun sampai beberapa kali panggilan, kedua putranya itu tidak juga muncul seperti biasanya. "Chloe? Kurt?" Tangannya yang penuh dengan piring saji terpaksa menaruh makanan itu kembali. Dahinya mulai mengkerut curiga saat tak mendengar suara apapun dari kedua kamar anak-anaknya.Akhirnya wanita itu berjalan ke kamar mereka satu persatu. Kakinya bergegas berjalan ke kamar Kurt, namun yang ia temukan malah anak itu tengah tertidur di atas nakasnya sendiri. Tangannya menggelantung bersama pena yang sudah terjatuh di lantai. Mungkin dia kelelahan karena belajar."Kurt.. Apa kau tertid-" Kelopak mata Rose tiba-tiba melebar. Seluruh tubuhnya bagai membeku di tempat kala menemukan remaja lelaki itu telah sekarat dengan busa yang mengalir di sela