"Ahhhh, bosan sekali!"
Sebuah kerikil terlempar begitu saja dari pemuda yang menendangnya kasar. Jenuh, pria itu hanya bisa mendesah lelah sembari mengitari jalanan. Mencari sesuatu yang bisa ia kerjakan. Ia kemudian menghampiri batu dan menaikinya, berdiri menghadap sungai yang lebar.
"Hoooooi! Siapapun tolong pekerjakan aku!!" Lalu berteriak pada angin yang hanya menjawabnya dengan hembusan sepi.
"Apa yang kau lakukan disana, Edrich?"
Sebuah suara membuat pemuda itu seketika berjingkat. Dan ketika ia melirik, berdiri seorang wanita yang sama sekali tak asing di matanya tengah tersenyum begitu manis. Sangat manis hingga membuatnya bergidik.
"A-ah, nona Airin." Ia menggosok tengkuknya yang tidak gatal. Menyapa wanita itu dengan kikuk.
"Mau kemana, hm?" in
"Hoooaaaaahm!"Uap kecil terlihat mengepul-ngepul dari mulut Edrich yang terbuka lebar, ia menggeliat lalu berjalan keluar dari pintu sembari menggaruk perut. Matanya yang sedikit buram masih kesulitan menangkap pemandangan di depan rumah. Dan setelah mengusak dua iris coklat itu, barulah penglihatannya mulai terfokus perlahan-lahan. Mendapati Gerald yang tengah berkutat bersama para domba."Apa yang sedang kau lakukan?" Gerald tak bergeming saat ia mendekat, tak menjawab apapun dan membiarkannya terkejut dengan tebakannya sendiri."J-jangan bilang," Edrich terpekik, "kau juga menyewa kambing-kambing ini?!"Gerald lagi-lagi tak bersuara, ia terlihat tengah sibuk mengencangkan tali di leher domba betina di depannya. Sesaat kemudian ia bangkit dan mengambil sebuah ember, melemparkannya pada Edrich hingga pria itu berjingk
Perlahan, roda kereta Gerald memasuki daerah padat. Riuh suara manusia terdengar semakin ramai seiring dengan kereta mereka yang mulai menginjak jalanan kota. Barisan bangunan tinggi berarsitektur sederhana kentara akan warna coklat muda yang berasal dari tembok tanah. Khas dengan eurofia klasik yang semakin terasa hangat karena hamburan sinar mentari.Edrich menyapa para warga di sepanjang jalan, menemani Gerald menjajaki toko untuk membeli keperluan sekaligus memperkenalkan ia ke lingkungan masyarakat. Sesaat kemudian mereka berhenti pada sebuah kedai sederhana.Sembari menunggu Gerald selesai dengan penjualan roti dan susu, Edrich duduk di bangku kedai. Tatkala keributan kecil yang berasal dari rumah di sebrang jalan menyita perhatian."Kejadian itu lagi?" Ujar salah satu warga yang lewat di depan kedai kepada temannya.
Kehebohan seketika terjadi pada hari itu juga. Tiga orang anak yang ditemukan keracunan dan lemas setelah berenang di sungai dangkal membuat para warga segera berkumpul di sekitar. Beberapa aparatpun mengerubungi area, termasuk mengelilingi Edrich dan Gerald yang berperan sebagai saksi pertama."Baiklah," seorang petugas menutup buku kecil ditangannya setelah selesai mencatat penjelasan dari Gerald, "kurasa hanya itu yang kami tanyakan. Untuk selanjutnya, kalian harus bersiap datang ke kantor kami untuk pengintrogasian informasi yang lebih rinci.""Tunggu."Panggilan Edrich menghentikan langkah si petugas, "ada apa tuan? Apa ada yang ingin anda tanyakan?""Jadi, kalian benar-benar sudah menetapkan pelaku pada kasus ini?" Edrich kembali memastikan."Ya, benar. Pencem
"Bagaimana tuan Paul? Tuan Harss?" Tanya pemuda berkuncir itu pada dua orang petugas polisi. Salah satunya terlihat begitu jengah sembari menggaruk-garuk alis. Edrich datang lagi bersama rekannya, tuan Harss yang jelas-jelas tidak ingin tugasnya dicampuri itu kini malah dimintai tolong untuk ikut bersama mereka berdua ke Routell. Menemani mereka dalam penyelidikan tidak berdasar dengan segudang alasan yang menurutnya tidak masuk akal."Lihatlah," Ucap Edrich sembari mengangkat plastik kecil berwarna merah di sela telunjuk dan ibu jarinya pada mereka, "botol kecil ini adalah hasil percobaanku dari air yang kuambil di sungai kemarin. Kalian tau apa isinya?"Seorang petugas bernama Paul yang menemani tuan Harss menyipitkan mata karena penasaran, "Ya. Ini berisi darah." Ucap Edrich tepat di depan wajahnya.Tuan Harss menggeleng sembari memijat keningnya, m
Hari itu, area hutan ramai dengan satuan kepolisian. Garis pembatas menyelimuti titik dimana mayat ditemukan. Beberapa warga yang memang tinggal tidak jauh dari sana ikut melihat tanpa berani mendekat. Memperhatikan sosok yang tergeletak itu dengan mata miris, namun tak menunjukkan bela sungkawa barang seiris."Astaga, aku tidak menyangka tuan Wod akan berakhir seperti ini," Bisik salah satu warga. Gerald yang berdiri diantara mereka secara tidak sengaja ikut mendengar."Hartanya yang melimpah itu sepertinya tidak bisa membuat dia bahagia, ya?" tambah yang lain, "atau malah dia mati karena tersedak berliannya sendiri?""Ehemm.." Dua wanita yang sedang asyik bergunjing itu terkejut saat Gerald berdeham, "maaf menganggu, tapi apakah kalian mau memberitahu saya informasi mengenai tuan Wod selama masa hidupnya?"Ibu-ibu itu
"Kemudian dia terus menatapku tanpa berkedip sekalipun. Bayangkan jika kau ada di posisiku, Gerald! Mengerikan sekali, bukan?" Edrich terus berceloteh pada manusia berambut acak yang melamun sedari tadi. Pandangan pria itu menerawang ke depan tanpa memperhatikan manusia yang tengah berbicara dengannya. Pikirannya masih terhanyut pada potongan-potongan misteri yang perlahan membentuk sebuah kenyataan."Apakah tuan Mark yang telah melakukannya?""Gerald? Hey, apa kau mendengarkanku?" Dua buah tangan Edrich melambai di depan wajah, Gerald seketika tersadar dari lamunannya."Hm?" Deham Gerald pada Edrich, menunjukkan raut muka seperti tidak terjadi apa-apa."Ah, kau tidak mendengarkanku sedari tadi rupanya," ujar Edrich. Ia semakin yakin kalau Gerald menyembunyikan sesuatu darinya, dia harus memastikannya sendiri."Gerald, apa kau mengetahui hal lain yang tidak aku ketahui?" Tanya Edrich. Me
"Kau yakin dengan ini kita bisa menangkap pelakunya?"Edrich tidak menjawab pertanyaan tuan Harss, dia malah tersenyum lebar sembari menatap hasil yang telah mereka buat. Berlembar kertas di atas meja itu mencantumkan adanya obat gratis bagi suatu penyakit kulit langka, dan alamat yang ia beri adalah rumahnya sendiri."Tentu saja. Dari informasi yang kita dapatkan, anak dari pelaku memiliki penyakit langka yang begitu mahal harga obatnya. Kalian tidak perlu khawatir akan kedatangan orang lain, karena penyakit anak itu hanya ada satu-satunya di wilayah ini. Dan dengan menciptakan penawaran menarik, kita sama saja membuat pelaku untuk mendatangi perangkapnya sendiri." Ucap Edrich, dalam hal ini dia juga tak berbohong soal obat yang ia terangkan. Gerald dan Harss sudah menyetujui untuk membantu biaya pengobatan anak sang pelaku bila ia berhasil tertangkap."Jadi sekarang," Edrich meraih tumpukan selebaran itu dan membaginya
Desing angin menghantarkan dingin yang menyelimuti langit temaram. Daun yang berguguran terbang terseret hembusan. Bagai mengerti kepedihan yang terjadi, awan menggelap menahan jutaan pilu. Menyertai tangis pedih seorang pria renta yang memeluk erat tubuh lemah putri tercinta yang tengah menjemput ajalnya. "Ayah.." Bisik lembut itu terdengar mengiris lubuk hati, sang ayah menggenggam erat tangan kurus yang membelai pipi. Dingin, jemari kecilnya terasa begitu dingin. "Jangan menangis.." Namun hiburan sang putri malah membuat air di kelopak mata cekung itu mengalir semakin deras, "aku tidak apa-apa. Ayah jangan bersedih.." "Sirly.." Dengan bergetar, pria tua itu memanggil. Berharap perlahan gadis kecilnya itu kembali mengerjapkan mata cantiknya pada dirinya. Tapi iris yang selalu memandangnya penuh cinta itu semakin l
Dua orang itu masih setia berdiri berhadapan. Berdikusi mengenai satu hal, sedangkan Harss tidak bergabung karena harus menangani Gyor yang mendadak tidak terkendali. "Sekarang apa?" Tanya Gerald. Edrich sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga masih belum menemukan solusi. "Jika berhubungan dengan medis, kita mungkin bisa membawanya pada dokter spesialis jiwa, bukan?" Benar, memang benar. Saran Gerald tidak ada salahnya sama sekali. Tapi penyembuhannya akan memakan waktu lama. "Kalau ada solusi kedua yang lebih praktis, aku akan sangat menerimanya karena waktu kita tidaklah banyak, Gerald." Ucapan Edrich membuat pria itu merenung sekian menit. Berjalan kesana kemari sembari menggaruk rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Pandangannya lalu jatuh pada Sin yang tengah berjongkok, memainkan bangkai kupu-kupu di atas tanah. "Oh," Pekikan Gerald itu menarik perhatian. "Bagaimana jika kau mencari jejak dimana hantu Kurt berada? K
"Jadi kau sudah menangkapnya?!" Harss berteriak di tengah kerumunan. Membuat orang-orang menyingkir keheranan, sedangkan Edrich mau tak mau harus berbohong agar keanehan yang ada pada Sin tidak membuat orang itu mencurigai mereka. "Ya, aku menemukannya di suatu tempat. Jadi sekarang ikutlah denganku, malam ini juga kita akan mengintrogasinya."Harss terlihat puas sekali. Berjalan mendahului Edrich dan meninggalkannya di belakang. Mengekor sembari melihat punggung itu sayu, Edrich sedikit ragu ingin menanyakan sesuatu di benaknya. Apalagi kalau bukan soal anak itu. "Tuan Harss.""Hm?" Pria itu menoleh sekejap, memperhatikan Edrich yang diam saja. "Ada apa Edrich?"Tapi nampaknya dia masih belum ingin bertanya. Urusan ini akan ia bahas nanti saja. "Tidak apa, mari bergegas." Mereka masih menghadapi kasus nyata sekarang. Jika membicarakannya saat ini, pikiran Harss akan terbagi dan mungkin mereka tidak akan fokus menyelesaikan masalah setelahnya."Sete
Gyor berhenti di sebuah bangku kecil. Menarik nafas dalam-dalam dan beristirahat di bawah pohon rindang setelah berlari dari orang-orang yang sebenarnya tidak mengejar. Dia takut mereka akan menanyainya mengenai Kurt ataupun mengenai kekasihnya. Dia memiliki janji dengan Kurt, dan sampai kapanpun dia tidak akan mengingkari janjinya."Hah.. Huufft.."Sin duduk diantara batang pohon. Memperhatikan Gyor dari atas kemudian turun dan duduk di sampingnya tanpa pria itu sadari. "Hei.""Huaaaargh!!" Gyor terlonjak, menjerit kaget dan seketika berdiri menjauh dari sana. "K-kau! Kau anak yang tadi!"Gyor menunjuk anak yang berjongkok di atas bangku itu dengan tangan gemetaran, sedangkan mata bulat Sin menatap tanpa ekspresi ke lawan bicaranya. "Sejak kapan kau mengikutiku, hah?!"Bocah itu perlahan berdiri. "Kenapa kau kabur, Gyorgie?" Matanya yang tidak berkedip itu membuat Gyor bergidik."N-namaku Gyor bukan Gyorgie! Kemana ayahmu
Sin menghela nafas lelah. Seharian dia memutari banyak desa untuk mencari pos-pos surat bersama pria besar bernama Gerald ini. Meskipun juga sedikit bersyukur setidaknya dia tidak disandingkan dengan pak tua Harss yang mengerikan. Omong-omong soal kantor pos, Edrich berencana untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai orang bernama Kurt dan kekasihnya itu. Katanya jika dia bisa menemukan alamat Elena, dia bisa menginvestigasi lebih lanjut atau apalah itu - ke tempat dimana pelaku utama berada. Sebenarnya dia tidak mau ikut melakukan hal rumit seperti ini. Dengan sekali jentik jaripun, sebenarnya dia bisa mengetahui apapun jika sang tuan mau. Tapi seperti yang pernah ia katakan dulu, Edrich belum memberinya sesuatu paling penting untuk membayar dirinya. Apa itu? Tentu saja sebuah kontrak. Selain kontrak apalagi? Tubuhnya. Ya, Sin butuh tubuh pria itu. Namun bukan fisiknya yang payah itu, tapi inti dari tubuhnya. Dia punya kekuata
Harss melangkah ke arah rumah Edrich. Rekannya Gerald itu memberitahu kalau Edrich ingin membicarakan sesuatu ketika mereka bertemu di pasar. Sekarang dia bergegas kesana sembari berdoa semoga pemuda itu mendapat informasi yang membantu kasus mereka.Tok tok tokk!! "Edrich!"Tak lama setelah diketuk, pintu terbuka perlahan tanpa seorangpun yang terlihat. Harss melirik keheranan sebelum suara mencicit di bawah membuat pria tua itu menunduk. "Kau siapa ya?"Bocah tidak sopan. Tapi bukan itu yang membuat Harss terdiam. Namun wajah anak itu yang sekejap membuat bulu kuduknya meremang. Apakah itu dia? Tapi tidak mungkin karena anak itu sudah lama mati. Jadi Harss putuskan menatapnya cermat, memastikan apakah benar dia sosok yang pernah hidup itu atau hanya mirip saja."E-eh..." Sin beringsut menempel tembok, keringat dingin bercucuran saat pria berjenggot tebal memelototinya lekat-lekat sampai membuat jantungny
"Keith, Chloe, makan malam sudah siap!"Sosok perempuan yang sudah memiliki banyak uban di rambutnya itu berjalan ke luar dapur sembari mengelap tangan di celemek yang ia kenakan. Namun sampai beberapa kali panggilan, kedua putranya itu tidak juga muncul seperti biasanya. "Chloe? Kurt?" Tangannya yang penuh dengan piring saji terpaksa menaruh makanan itu kembali. Dahinya mulai mengkerut curiga saat tak mendengar suara apapun dari kedua kamar anak-anaknya.Akhirnya wanita itu berjalan ke kamar mereka satu persatu. Kakinya bergegas berjalan ke kamar Kurt, namun yang ia temukan malah anak itu tengah tertidur di atas nakasnya sendiri. Tangannya menggelantung bersama pena yang sudah terjatuh di lantai. Mungkin dia kelelahan karena belajar."Kurt.. Apa kau tertid-" Kelopak mata Rose tiba-tiba melebar. Seluruh tubuhnya bagai membeku di tempat kala menemukan remaja lelaki itu telah sekarat dengan busa yang mengalir di sela
Malam ini juga Edrich menyelinap ke pos tahanan. Bersama Harss yang sedang dalam jam jaga, dia mengintip diam-diam bagaimana Chloe tidur di dalam selnya."Kau yakin hari ini dia akan mengigau lagi?""Tiap malam dia begitu," Harss duduk di bangkunya, mempersilahkan Edrich memperhatikan pemuda itu langsung saja. "Lihat saja sendiri."Edrich kemudian berjongkok di depan sel. Melihat Chloe yang tertidur di dalam sana. Remaja itu terlihat kurus dan sangat kecil, wajahnya tenang dengan mata terpejam. Namun tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di kepalanya. Mengigau sebetulnya hanya peristiwa biasa, tapi tidak akan terjadi jika tidak didasari oleh sesuatu. Sedangkan Rose bilang, putranya itu tidak memiliki kebiasaan tersebut."Ngg.." Beberapa menit berlalu hingga kemudian tubuh pemuda itu mulai bergerak di sela tidur. Edrich menyimak perubahan ekspresi wajah Chloe dengan saksama. Memegangi sel agar ia bisa dengan jelas mendengar gumamannya. Tapi yan
"Aku tidak mengerti denganmu." Sepanjang jalan Harss menggelengkan kepala. Keheranan dengan pria kurus yang berjalan di sampingnya. Sedangkan Edrich terus berjalan lurus tanpa menghiraukan polisi berbadan kekar itu. "Untuk apa kau membawa pulang abu itu?"Berisik sekali, Edrich tidak bisa tenang berpikir. "Tentu saja ini akan membantu kita mengungkap teka-teki selanjutnya, tuan Harss. Kau juga bingung kan kenapa Kurt menghilangkan surat-surat yang ia terima seakan takut bersalah?"Ya, benar. Harss memang turut penasaran dengan itu. Tapi kenapa harus abu? Namun biarlah, Edrich terlalu rumit untuk dimengerti. Biasanya dia akan bergerak sendiri lalu dengan mengejutkannya memberikan sebuah pemikiran aneh yang ntah mengapa bisa menjadi fakta mencengangkan.-0-Rumah kembali berada dalam keadaan sunyi. Gerald seperti pernah mengalami situasi seperti ini. Hal ya
"Tidak bisa." "Apa??" Edrich berjengit, Sin seakan menghiraukan perintahnya seperti angin lalu. Terus mengodek telinganya bagaikan suara Edrich hanya benalu. "Apa maksudmu tidak bisa?!" Sin kemudian berdiri bersedekap di hadapan pria itu. Meski badannya lebih besar, sepertinya Edrich merasa lebih berkuasa disini. "Bukankah aku tuanmu?!" Benarkan? "Kau belum sepenuhnya jadi tuanku, lagipula urusan manusia bukan urusanku." Pria berkuncir yang semula terbakar api amarah itu berubah menyipitkan mata. Menatap Sin lekat. "Apa maksudmu aku belum sepenuhnya jadi tuanmu?" Terlihat seperti dia ingin segera memanfaatkan kesempatan memerintahnya itu. "Dengar, tuan Edrich." Sin mulai memasang wajah serius. "Bagaimanapun juga aku ini seperti hewan buas yang baru saja masuk rumahmu. Apakah kau bisa langsung memegang dan mengelusku seperti anak kucing? Meskipun aku tidak akan menelanmu hidup-hidup, a