"Kali ini Kakak yang bayar! Kalau kamu nolak, Kakak balikin novel yang kamu kasih tadi!" Ancam Karina ketika mereka sedang memesan ayam goreng kenamaan yang terkenal.
Dinda lantas nyengir lebar, ia mengangguk pasrah, membiarkan Karina membayar makanan yang dia pesan. Mereka lantas duduk di salah satu meja yang ada di dekat kaca, makan sambil menikmati lalu-lalang jalan tentu lebih asyik, bukan?"Kak, jam balik sekolah dua jam lagi. Nanti antar ke sekolah aja, ya?" Pinta Dinda sebelum potongan kentang goreng itu hendak masuk ke dalam mulut.Alis Karina berkerut. Mengunyah ayam goreng tepung pilihannya dan menelannya dengan susah payah. Gadis itu nampak sudah asyik mengunyah kentang yang sudah dia cocol ke saus sambal."Kenapa nggak ke rumah?" Tanya Karina dengan alis berkerut. Dia tidak keberatan mengantar gadis itu sampai depan rumah. Karina tidak akan buka suara perihal membolosnya Dinda tadi, ya meskipun dia tidak yakin pihak sekolah akan d"Sekali lagi makasih banyak ya, Kak." Desis Dinda seraya melepaskan seat belt-nya. Karina tersenyum dan mengangguk, ia mengantarkan Dinda sesuai dengan permintaan gadis itu. Kembali ke depan gerbang sekolahnya. Sekolah negeri nomor satu dan terkenal paling bagus satu kota. "Jangan sungkan hubungi Kakak nanti, ya? Rajin-rajin sekolahnya, jangan kebanyakan bolos." Nasehat Karina sambil melambaikan tangan. Dinda mengangguk pelan. Ikut melambaikan tangan sebelum ia kemudian pergi ke belakang halte untuk menghindari security yang nampak tengah duduk di dalam pos yang ada di sebelah gerbang sekolah. Karina hanya menghela napas panjang. Mendadak ia begitu kasihan dengan bocah itu. Dua belas tahun dan sudah dipaksa masuk SMA, tentu kalau tidak datang dari keinginan dia sendiri rasanya akan sangat berat, bukan? Terlebih Kelas akselerasi itu artinya tidak hanya pelajarannya yang lebih sulit karena belajar materi yang lebih tinggi dari kapasitas anak seu
"Mas!" Karina melotot gemas, menatap sang suami yang sudah memancarkan tatapan mesumnya. Nampak Yudha terkekeh, sama sekali tidak melepaskan tubuh dalam dekapannya. Ia malah membenamkan wajah di tengkuk leher Karina. Posisi Karina yang membelakangi Yudha malah membuat Yudha makin tertantang menaklukkan sosok itu tidak peduli sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan itu. Terlebih tempat ini ... "Mas, aku teriak loh ini!" Ancam Karina yang sontak membuat nyali Yudha langsung menciut. Bukan apa-apa, suara Karina sudah macam toa tahu bulat, ditambah dia berteriak, mau jadi apa Yudha nanti? Yudha akhirnya menyerah, melepaskan pelukannya dan menjatuhkan kecupan di pipi Karina. "Awas nanti di rumah!" Ancamnya lalu melangkah ke kursi dan menjatuhkan diri di sana. Karina menjulurkan lidah, mendekati Yudha lalu mengeluarkan box bento yang dia bawakan. Terserah apa yang mau Yudha lakukan padanya nanti, yang penting dia tidak mengajak mesum di sini. Itu saja.
Yudha kembali meraih bibir itu, memagutnya dengan penuh gairah dan sama sekali tidak memberi ampun Karina yang nampak melawan. Entah kenapa gairah Yudha begitu meledak saat ini, terlebih bagaimana tadi Karina nampak menggodanya dengan segala macam pembahasan konyol mereka. "Mas! Jangan di sini!" Karina mendorong wajah itu ketika ia berhasil melepaskan bibir. Yudha bangkit, menarik tubuh itu bangun lalu menyeretnya masuk ke toilet yang ada khusus untuknya di ruangan itu. "MAS, NGAPAIN?!" Karina berteriak panik, ia tahu betul kalau suaminya ini tidak pernah main-main dengan apa yang dia katakan.Benar saja, Yudha menutup pintu kamar mandi, bergegas memepet tubuh itu hingga terhimpit antara tubuhnya dan tembok kamar mandi. Mendadak Karina seperti kehabisan napas, dadanya sesak. Apalagi sedetik kemudian Yudha kembali memagut bibirnya, menyesap bibir itu tanpa ampun. "Mas, please! Jangan di sini!" Karina mendadak begitu takut, matanya meme
"Karina?" Tampak lelaki dengan lesung pipit itu tersenyum, ia lantas meraih dompet milik Karina, berdiri tegak dan menyodorkan balik benda itu. "Milikmu!" Ujarnya santai lalu membalikkan badan dan berdiri tepat di depan kasir. "Mbak sekalian sama punya temen saya ini, ya!" Desisnya yang langsung membuat Karina terbelalak. "Baik, Kak. Mau pakai pin a--.""Eh jangan, Mbak! Saya bayar sendiri saja!" Potong Karina cepat. Ia hendak menerobos ketika tangan lelaki itu menghalangi Karina mendekati meja kasir. Lelaki itu hanya tersenyum sambil menggeleng, lalu kembali serius pada karyawan cafe yang nampak bingung itu. "Pakai tanda tangan, jadikan satu saja struk-nya!" Titahnya tegas yang langsung direspon sang karyawan."Kenapa jadi kamu yang bayar sih, Bang?" Karina mencebik, dia punya duit kok! Banyak malah! Ya walaupun duit itu punya suaminya, tetapi ini hak Karina! "Memang kenapa? Suamimu melarang aku mentraktir istrinya
"Mmm ... Permisi, Bang!" Karina menarik tangannya yang di genggam Brian.Sebuah petaka akan muncul jika ada sejawat suaminya atau bahkan suaminya sendiri yang melihat tangan itu menggenggam tangan Karina di atas meja seperti barusan. Meskipun hanya beberapa detik, tetapi ini tetap tidak etis!Karina bukan wanita lajang lagi! Dia sudah bersuami!Nampak sosok itu menghela napas panjang, nampak menganggukkan kepalanya dan tersenyum melihat bagaimana Karina menolak dirinya."Kau beneran cinta sama dia, Rin?"Apa-apaan ini!Karina rasanya hendak bangkit dan pergi dari kursinya. Namun itu kekanakan dan malah akan membuat Brian makin penasaran kepadanya. Terlebih nanti dia akan koas di rumah sakit ini, yang mana Karina tidak hanya akan intens bertemu Brian, tapi mungkin juga dapat satu shift jaga malam bersama lelaki ini. Jadi rasanya daripada mendadak kabur tanpa menjelaskan apapun, lebih baik Karina menjawab sebuah pertany
Karina melirik arloji yang juga merupakan pemberian Yudha. Kenapa lama sekali? Karina meletakan novel yang sejak tadi dia baca. Lama-lama jenuh juga menanti seperti ini. Karina merogoh ponselnya, berusaha menghubungi sang suami meskipun dia tahu kalau benar Yudha masih berperang di dalam sana, panggilannya ini tidak akan direspon. Karina masih menanti. Menikmati bunyi tutt ... tutt itu seraya bersandar di kursi. Apakah benar Yudha masih sibuk di dalam sana? Akan sangat egois sekali kalau karina menganggu Yudha yang tengah berkerja. "Kemana sih, Mas? Kok lama?" Karin mendesah perlahan. Ia hampir saja memutuskan untuk mengakhiri panggilan ketika ternyata panggilannya terjawab. "Rin, aku lupa bilang. Kamu balik sendiri dulu, ya? Maaf tadi nggak ngabarin kamu." Jelas suara itu yang kontan membuat Karina membelalak terkejut. "Bentar!" Karina mendadak merasa hatinya hampa. "Mas di mana?" Tentu itu yang Karina tanyakan. Dia standby di depan OK saat ini! Menant
Karina tidak mau melepaskan tangan Yudha yang tengah menyetir itu. Menyandarkan kepala dengan begitu manja di bahu Yudha tanpa bersuara. Suasana hening karena baik Yudha atau Karina sama-sama tidak mau bersuara, hanyut dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Mas ...." Panggil Karina kemudian, matanya melirik wajah Yudha yang nampak datar menatap ke depan. "Iya, Rin? Kenapa?"Sebuah jawaban yang membuat Karina mencebik, Karina mempererat pelukan tangannya. Bahu Yudha memang luar biasa nyaman dan Karina suka bersandar di sini. "Mas belum jawab pertanyaan aku, Mas." Gumamnya lirih, tentu Karina harus tahu kenapa Yudha lebih memilih pergi daripada masuk dan meminta penjelasan kepadanya tadi. "Yang mana? Kamu tanya banyak banget tadi." Jawab Yudha santai. Karina mengangkat kepalanya, melepaskan pelukan tangannya lalu menoleh menatap Yudha yang fokus di belakang kemudi. "Ya Karina mau Mas Yudha jawab semuanya, Mas. K
"Mas! Seriusan aku nggak mau kalau lima!"Karina keluar dari mobil, mereka sudah sampai di rumah dan obrolan mereka masih sama, membahas jumlah anak yang hendak mereka miliki. "Kalau Yang Di Atas kasih kita lima, kamu mau apa, Sayang?" Dengan santai Yudha menoleh, membuka pintu rumah dan melenggang masuk ke dalam. Karina mencebik, ikut masuk mengejar langkah suaminya itu. "Kalau bener lima ya aku mau mukulin bapaknya ini!" Jawab Karina tak kalah santai, jawaban yang lantas membuat Yudha menghentikan langkah dan menoleh ke arah sang istri yang mulai mengikutinya menapaki anak tangga. "Apa tadi, Sayang?" Tanya Yudha sekali lagi, berharap dia salah dengar. "Kalau bener lima, aku mau mukulin bapaknya ini!" Kembali jawaban itu yang keluar dari mulut Karina, ditambah pelototan mata gemas dan wajah cemberut. Yudha tertegun, sedetik kemudian ia meraih tubuh Karina, membawanya dalam gendongan dan kembali menapaki anak tangga.
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b
Karina dengan melangkah dengan sedikit susah payah ketika sosok itu tiba-tiba muncul dan berdiri di hadapan Karina. Sejenak Karina tertegun, namun langkah Tasya yang mantab yang jelas mendekatinya membuat Karina segera sadar dari rasa terkejutnya. Menantikan apa yang hendak Tasya katakan atau sampaikan kepadanya. "Selamat pagi, Dok!" Sapa Karina begitu Tasya sudah berdiri tepat di hadapannya. "Jangan sekaku itu sama saya, Rin. Santai saja." Gumam Tasya sambil tersenyum. Kini Karina terkejut, pasti Tasya punya sesuatu hal yang penting sampai-sampai dia menemui Karina seperti ini. Tapi apa? Apakah ada hubungannya dengan suaminya? Atau malah dengan Dinda? "Rin ...." Panggil suara itu ketika Karina hanya membisu. "Iya, Dok?" Alis Karina berkerut, fix! Tasya ada perlu dengan dirinya kalau begini! "Saya tadi ketemu suami kamu, mau minta tolong tapi dia bilang saya harus ketemu dan ngomong langsung ke kamu, Rin." Ujarnya lirih. Mata Karina membelalak, Tasya menemui suaminya? Untuk apa
"Yud!"Itu suara Andreas, Yudha menghela napas panjang. Kenapa lagi dokter anestesi itu? Suka banget sih menganggu Yudha? Heran! Yudha memperlambat langkahnya, nampak Andreas terengah-engah melangkah di sisinya. Yudha hanya melirik sekilas, apa lagi yang hendak dia bicarakan? Mengajak ghibah lagi? Atau apa? "Kenapa?" Tanya Yudha yang terus melangkahkan kaki. "Itu mantanmu si blackpink itu, dia mengundurkan diri, Yud!" Gumam Andreas dengan sangat serius. Alis Yudha terangkat. Benarkah? Tasya mengundurkan diri? Jadi dia sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit ini? Alhamdulillah, kenapa rasanya hati Yudha begitu lega? Itu artinya dia tidak perlu was-was dan Karina bisa tenang di masa kehamilannya! "Oh ya? Serius? Aku seneng dengernya, And!" Desis Yudha dengan senyum lebar. "Ah kamu!" Andreas mencebik. "Nggak ada yang bening-bening lagi, Yud!" Desis Andreas lemas. Yudha terbahak, bening? Andreas tidak tahu saja bagaimana wujud Tasya dulu. Ketika dia dan Tasya masih sama-sama berjua
Sebulan kemudian ... "Rin! Ayolah!" Yudha menarik tangan Karina, berharap sang istri yang masih terbaring di atas ranjang mau bangkit dan turun dari kasur. Karina melepaskan tangan Yudha, menggeleng dengan mantab tanpa berniat bangun dari posisi rebahan asyiknya hari itu. Yudha menghela napas panjang, ia menggeleng perlahan, sangat gemas setengah mati dengan istrinya ini. Perut Karina sudah mulai menyembul. Terlihat menggemaskan sekali di mata Yudha. Membuat Yudha rasanya ingin terus mengelus lembut perut itu kapanpun. Masalahnya cuma satu! Semenjak hamil, Karina jadi malas banget buat mandi! Dia selalu muntah parah tiap mencium aroma sabun. Semua merek dan jenis sabun sudah Yudha beli, hasilnya nihil! Bahkan sabun yang satu itu, sabun yang biasanya digunakan anak-anak untuk membersihkan cadaver juga Yudha belikan saking gemas bagaimana caranya supaya Karina mau mandi. Dan hasilnya, sama sekali tidak membuat Karina lantas mau membersihkan diri. "Sayang, mandi gih! Apa mau ke spa?