"Aku kenal dia, Hen!" Desis Karina perlahan.
Kini Heni yang terkejut, ia menoleh dan menatap Karina dengan saksama. Kenal? Bagaimana bisa?"Hah? Kenal di mana?" Kejar Heni yang terkejut mengetahui Karina ternyata kenal dengan lelaki somplak yang dia maksud."Dia sohib Bang Kelvin. Dari SMA." Jelas Karina lirih.Heni sontak menepuk jidatnya, menggelengkan kepala perlahan sambil menghela napas panjang. Jadi begitu? Apakah abangnya Karina ini sama somplaknya dengan Brian sampai mau berteman bahkan bersahabat dengan lelaki macam Brian begini?"Dah, kalo begini, Rin, aku pilih hamil dan melahirkan lima kali daripada harus berjodoh sama dia!" Tentu Heni ingat betul taruhan mereka.Tidak masalah Heni harus 5 kali hamil dan melahirkan, asal bukan dengan lelaki macam dia Heni menikah dan menyerahkan diri untuk ditiduri! Setengah hari bersama Brian saja Heni sudah sakit kepala dan frustasi, apalagi harus menikah dengan lelaki seperti"Jadi dia temen kamu, Rin?"Tentu Brian terkejut ketika mendapati Heni tengah duduk dan nampak mengobrol dengan Karina. Gadis yang juga adik dari Kevin, sahabatnya sejak SMA. Gadis yang sudah mematahkan hatinya karena mendadak menikahi lelaki lain. "Iya, Bang. Temen dari semester 1." Jawab Karina sambil tersenyum. Brian mengangguk, ia duduk di bangku yang ada di depan dua gadis itu. Ah ... Satu dari dua gadis itu sudah tidak lagi berstatus gadis! Sudah menjadi istri orang! "Jadi Abang yang kemarin nyerempet Heni?" Mata Karina membulat, sementara bisa Brian lihat Heni melengos, memalingkan muda wajah cemberut. Brian tersenyum, "Salah dia sendiri, tau-tau nongol." Jawab Brian sambil melirik Heni yang sontak membelalak menatapnya. "Eh, apaan? Kau yang nyetir nggak pakai mata, Mas!" Salak Heni galak membuat Brian melotot gemas. Berani sekali gadis ini! Dia lupa kalau strata mereka berbeda di rumah sakit ini? Koas menem
"Sayang!" Yudha menoleh, mendapati sangat istri sudah berdiri di belakangnya dengan senyum manis. Yudha membalikkan badan, mengelus lembut kepala istri mungilnya dengan penuh kasih. "Loh sendiri? Bodyguard kamu mana?" Tanya Yudha sambil mencubit gemas pipi Karina. Alis Karina berkerut. Sementara Yudha masih menatapnya dengan saksama. Bodyguard? Siapa yang Yudha maksud? Sedetikpun kemudian Karina tersenyum ketika tahu siapa yang suaminya itu maksud dengan bodyguard. "Oalah, Heni?" Tanya Karina sambil menahan tawa. "Nongkrong di kantin dianya.""Iya dong, siapa lagi?" Yudha meraih tangan sangat istri, membawa Karina melangkah menuju parkiran. Karina kembali terkekeh, akan ada banyak hal yang hendak Karina ceritakan pada suaminya ini. Entah penting atau tidak, tapi ingin rasanya Karina menceritakan semua itu pada suaminya. "Dia protes tadi pagi, Sayang. Katanya kalau PP ke rumah sakit sama aku terus, kapan dia mau jal
“Kau balik duluan aja deh, Rin. Ini sohib abang kau benar-benar sengaja pengen nyiksa aku!”Heni memijit pelipisnya perlahan-lahan, ini sudah waktunya pulang, tetapi Brian dengan begitu rese menahannya dengan dalih dia harus menemani sosok itu visiting bangsal! Jangan lupa dokter Yona pun memberinya tugas yang sama, ah ... kenapa masa kepaniteraan klinik yang sudah dia bayangkan akan begitu indah malah jadi seperti ini sih?Bukannya prihatin, terdengar suara gelak tawa dari seberang. Heni sontak membelalak, rasanya kalau Karina ada di hadapan dia atau berada tidak jauh darinya, Heni ingin mencekik Karina sampai dia memohon ampun. Sebodoh amat suaminya dosen, Heni tidak peduli!“Rin ... please jangan rese, oke?” desis Heni yang sudah tidak mau lagi ribut-ribut. Dia sudah lelah seharian ribut dengan lelaki tengil yang bernama Brian itu.“Tanda-tanda nih, jodoh!”Mendengar kata itu kembali terucap dari mulut Karina,
Heni mencebik, ia mengambil tasnya dan melangkah lunglai menyusuri koridor rumah sakit. Harusnya dia dapat tebengan gratis sampai kost. Tetapi karena si dokter edan itu, Heni terpaksa harus merogoh kocek untuk membayar ongkos pulang. Benar-benar lelaki menyebalkan!Sampai kapan dia harus seperti ini? Konsulennya semua enak untuk stase anak, semoga untuk stase yang lain pun sama. Residennya pun bisa diajak kerja sama dan tidak terlalu menonjolkan senioritas mereka. Tetapi kenapa malah dokter definitif-nya yang sangat menyebalkan dan menguras kesabaran Heni sampai titik terakhir?Heni mendesah, menatap ke sekeliling. Hari sudah mulai gelap, dan Heni sadar, ia bahkan belum order ojek online untuk mengantarkan dia pulang dari ‘romusha’ di bawah kendali Brian hari ini. Ponsel dengan softcase berwarna pink pastel itu sudah berada dalam genggaman Heni, Heni baru saja hendak membuka kunci layar ketika suara klakson mobil itu mengejutkan dirinya.“Woy!
“Temenin makan ya? Mau, kan?”Heni melonjak, kontan ia menoleh dan menatap wajah itu dengan saksama. Wajah itu tersenyum, sebuah senyuman yang entah mengapa mampu meluruhkan semua rasa kesal yang Heni miliki untuk lelaki itu. Kenapa senyum itu indah sekali? Heni mengumpat dalam hati, kenapa dengan dirinya ini?“Ma-makan di mana, Mas?” Heni menundukkan wajah, ia bisa merasakan wajahnya memerah. Sebuah respon aneh yang entah mengapa sangat membingungkan dirinya.“Kamu mau makan apa? Sebagai ucapan terima kasih deh seharian udah kamu bantu tadi.” Hilang sudah semua kekesalan Heni secara tiba-tiba.Heni heran, apa Brian ini punya kepribadian ganda? Dan bisa secepat itu kah kepribadiannya berubah? Beberapa menit yang lalu dia bisa jadi begitu menyebalkan dan di menit ini ... Brian nampak begitu lain dan berbeda dari sebelumnya.Suaranya lembut, terdengar begitu manis dan senyum itu membuang semua pandangan dan penilai
Karina tersentak ketika lengan kekar itu memeluk perutnya, bisa Karina rasakan hembusan napas itu begitu lembut dan teratur menyapa leher dan belakang telinga. Hal yang lantas membuat Karina membuka matanya dan terjaga dari tidur. "Kebiasaan!" Gumam Karina lirih sambil tersenyum. Wajah itu begitu tenang dan nyaman terlelap. Wajah yang nampak begitu polos seperti bayi. Kemana wajah garang dengan mata tajam yang selama ini melekat sempurna di diri Yudha? Semua lenyap tidak bersisa ketika ia tidur memeluk Karina dengan begitu posesif dan manja seperti ini. Karina merasakan perutnya perih. Matanya lantas menyusuri tembok guna mencari jam, ia ingin tahu sudah pukul berapa sekarang. "Astaga! Jam sepuluh malam?" Karina memekik, itu artinya dia tidur sudah cukup lama setelah pulang dari rumah sakit tadi! Karina berusaha melepaskan tangan yang memeluk perutnya itu, namun Yudha benar-benar begitu posesif. Dia tidak mau melepaskan Karina, malah
Karina menggeliat, mencoba menyingkirkan tubuh besar sang suami dari atas tubuhnya. Peluh membanjiri tubuh mereka berdua, dengan napas yang masih tersengal-sengal Karina menyeka peluh, melirik suaminya yang nampak memejamkan mata dengan wajah memerah dan napas terengah. "Mas ...." Karina mencolek lengan Yudha, ada hal penting yang perlu Karina katakan pada suaminya ini. "Mau nambah? Ayolah!" Yudha hendak kembali naik ke atas tubuh suaminya ketika tangan Karina menyodorkan tangan ke depan wajah Yudha, sebuah penolakan yang lantas membuat Yudha tersenyum masam. "Bukan itu!" Karina membelalak, menatap suaminya dengan tatapan gemas. "Lah terus? Mau ngajak mandi bareng?" Entah mengapa pikiran Yudha selalu tertuju pada hal tersebut. Tidak ada hal yang lebih mengasyikan untuk dilakukan bersama Karina kecuali aktivitas intim yang menggairahkan itu. "Mas!" Karina mencebik, menggebuk lengan Yudha dengan begitu gemas. Bagaimana cara mengenyahka
Heni menatap cokelat itu sambil rebahan. Sudah cukup lama cokelat itu jadi penghuni rak stock persediaan makanan. Namun ia sama sekali belum berniat untuk membuka dan memakan cokelat itu. Sayang sekali kalau dimakan. Ingat cokelat itu membuat Heni kembali teringat sosok lelaki pemberi cokelat. Siapa lagi kalau bukan si kampret tengil dokter Brian? Heni tersenyum, membayangkan wajah dokter itu, hatinya terasa begitu hangat dan sedikit berbunga-bunga. Tetapi kalau ingat bagaimana suara dan sikap menyebalkan lelaki itu ... Ah! Kepala Heni rasanya mau pecah. Heni membanting cokelat itu di sisi kepalanya. Kesal dan gemas dengan orang yang memberi cokelat. Andai saja orangnya kecil, mungkin akan Heni banting juga macam cokelat di sisinya ini. Sayangnya badan Brian segede gajah, mana kuat Heni mengangkat tubuh itu untuk dia banting? "Kenapa ada sih orang kayak kamu begini?" Gerutu Heni kesal. Bayangan sikap dan wajah Brian dalam mode on tengil berkel
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b
Karina dengan melangkah dengan sedikit susah payah ketika sosok itu tiba-tiba muncul dan berdiri di hadapan Karina. Sejenak Karina tertegun, namun langkah Tasya yang mantab yang jelas mendekatinya membuat Karina segera sadar dari rasa terkejutnya. Menantikan apa yang hendak Tasya katakan atau sampaikan kepadanya. "Selamat pagi, Dok!" Sapa Karina begitu Tasya sudah berdiri tepat di hadapannya. "Jangan sekaku itu sama saya, Rin. Santai saja." Gumam Tasya sambil tersenyum. Kini Karina terkejut, pasti Tasya punya sesuatu hal yang penting sampai-sampai dia menemui Karina seperti ini. Tapi apa? Apakah ada hubungannya dengan suaminya? Atau malah dengan Dinda? "Rin ...." Panggil suara itu ketika Karina hanya membisu. "Iya, Dok?" Alis Karina berkerut, fix! Tasya ada perlu dengan dirinya kalau begini! "Saya tadi ketemu suami kamu, mau minta tolong tapi dia bilang saya harus ketemu dan ngomong langsung ke kamu, Rin." Ujarnya lirih. Mata Karina membelalak, Tasya menemui suaminya? Untuk apa
"Yud!"Itu suara Andreas, Yudha menghela napas panjang. Kenapa lagi dokter anestesi itu? Suka banget sih menganggu Yudha? Heran! Yudha memperlambat langkahnya, nampak Andreas terengah-engah melangkah di sisinya. Yudha hanya melirik sekilas, apa lagi yang hendak dia bicarakan? Mengajak ghibah lagi? Atau apa? "Kenapa?" Tanya Yudha yang terus melangkahkan kaki. "Itu mantanmu si blackpink itu, dia mengundurkan diri, Yud!" Gumam Andreas dengan sangat serius. Alis Yudha terangkat. Benarkah? Tasya mengundurkan diri? Jadi dia sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit ini? Alhamdulillah, kenapa rasanya hati Yudha begitu lega? Itu artinya dia tidak perlu was-was dan Karina bisa tenang di masa kehamilannya! "Oh ya? Serius? Aku seneng dengernya, And!" Desis Yudha dengan senyum lebar. "Ah kamu!" Andreas mencebik. "Nggak ada yang bening-bening lagi, Yud!" Desis Andreas lemas. Yudha terbahak, bening? Andreas tidak tahu saja bagaimana wujud Tasya dulu. Ketika dia dan Tasya masih sama-sama berjua
Sebulan kemudian ... "Rin! Ayolah!" Yudha menarik tangan Karina, berharap sang istri yang masih terbaring di atas ranjang mau bangkit dan turun dari kasur. Karina melepaskan tangan Yudha, menggeleng dengan mantab tanpa berniat bangun dari posisi rebahan asyiknya hari itu. Yudha menghela napas panjang, ia menggeleng perlahan, sangat gemas setengah mati dengan istrinya ini. Perut Karina sudah mulai menyembul. Terlihat menggemaskan sekali di mata Yudha. Membuat Yudha rasanya ingin terus mengelus lembut perut itu kapanpun. Masalahnya cuma satu! Semenjak hamil, Karina jadi malas banget buat mandi! Dia selalu muntah parah tiap mencium aroma sabun. Semua merek dan jenis sabun sudah Yudha beli, hasilnya nihil! Bahkan sabun yang satu itu, sabun yang biasanya digunakan anak-anak untuk membersihkan cadaver juga Yudha belikan saking gemas bagaimana caranya supaya Karina mau mandi. Dan hasilnya, sama sekali tidak membuat Karina lantas mau membersihkan diri. "Sayang, mandi gih! Apa mau ke spa?