"Butuh yang bagaimana, Dok?"
Tentu Karina terperanjat mendengar alasan Yudha ketika Karina tanya kenapa dia begitu bernafsu hendak menikahi dirinya.
"Saya butuh kamu untuk saya nikahi, untuk menyelamatkan masa depan saya, Rin."
Kembali Karina terperanjat, dia syok dan terkejut luar biasa dengan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut laki-laki itu. Ini maksudnya gimana?
"Pardon?" alis Karina berkerut, laki-laki ini benar-benar lain!
Yudha nampak menghela napas panjang, sementara Karina masih menatap sosok itu dengan saksama. Sebenarnya ada apa sih? Kenapa jadi Karina dihubungkan dengan misi penyelamatan masa depan sosok dokter bedah umum itu? Memang ada apa dengan masa depan laki-laki jutek dan menyebalkan macam Yudha?
"Jadi begini," Yudha menatap lurus ke dalam manik mata Karina, "Kamu tahu, kan, umur saya ini berapa?" tanya Yudha serius.
"Lah mana saya tahu, Dok? Memang umur Dokter berapa?" jawab Karina balik bertanya yang sontak mendapat pelototan mata dari Yudha.
"Umur saya 35 tahun, Karin." Yudha menjawab sendiri pertanyaannya tadi. "Dan oleh karena itu, saya terus didesak orang tua agar segera menikah."
Karina membulatkan bibirnya, pantas sih kalau sudah diuber-uber disuruh kawin, hampir kepala empat. Masuk usia krusial bagi warga +62 jika diusia matang begini belum menikah.
"Ibu saya sudah mengultimatum, jika sampai bulan depan saya tidak bawa calon ke rumah, maka saya akan djodohkan, Rin, dan saya nggak mau."
Kini Karina melotot, dia yang hendak dijodohkan dan hendak dikawinkan sama orang tuanya, kenapa jadi Karina yang korban masa depan?
"Lah, tapi kenapa Dokter malah mau nikahin saya?" Karina masih belum terima jika dia harus menikah dengan sosok dokter menyebalkan di hadapannya ini.
"Kamu lupa apa yang kamu ucapkan pagi tadi?"
Karina sontak lemas, pasti itu yang digunakan Yudha untuk senjata, bukan? Benar-benar sial! Karina menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Tapi Dok, tadi itu han--."
"Saya tidak terima alasan apapun!" potong Yudha yang makin membuat Karina terjepit. "Kamu membawa nama Tuhan dan disaksikan belasan teman-temanmu sebagai saksi, dan kamu mau mengelak sekarang? Nggak takut kualat kamu?"
EH!
Karina tersentak, matanya membulat menatap Yudha yang tampak begitu serius malam ini. Kualat? Kenapa sekarang bawa-bawa kualat?
"Kamu mau sial terus seumur hidup? Jadi koas bau dan dikerjain terus-terusan sama senior dan residen? Atau mau ujian UKMPPD berkali-kali nggak lolos karena kamu mengingkari janji buat nikahin saya?" cecar Yudha yang makin membuat Karina melongo di tempatnya duduk.
Rasanya Karina ingin melemparkan piring di hadapannya ke wajah laki-laki itu, menyiramkan air soda dalam gelasnya lalu pergi begitu saja meninggalkan laki-laki ini.
Namun kata kualat dan kemungkinan-kemungkinan yang Karina bisa saja alami karena mengingkari janji membuat Karina mengurungkan niatnya untuk melemparkan benda yang ada di hadapannya.
"Kita sama-sama membutuhkan satu sama lain, Rin." gumam Yudha lagi ketika Karina hanya diam membisu. "Saya butuh kamu agar supaya saya tidak dijodohkan dengan gadis pilihan ibu saya, dan kamu butuh saya agar tidak kualat karena sudah terlanjur janji mau menikahi saya."
Apa-apaan ini?
Jadi besok dia akan menikah bukan karena mencintai laki-laki yang dia nikahi, tetapi karena saling membutuhkan satu sama lain? Ini pernikahan model apa?
"Ta-tapi--."
"Intinya saya tidak mau dengar apapun, Karina!" potong Yudha segera. "Saya mau nikahin kamu dan kamu harus mau sesuai dengan apa yang sudah kamu ucapkan tadi pagi."
SKAKMAT!
"Masalah restu dari orang tuamu, saya tidak mau tahu dan tidak menerima penolakan. Intinya saya datang lamar, saya harus dapat ACC dari beliau. Bagaimana caranya, itu terserah kamu."
Kembali Karina membelalakkan matanya, kurang ajar! Kenapa enak sekali laki-laki ini? Dia pikir gampang meluluhkan sang papa? Kenapa jadi Karina yang harus berjuang mendapatkan restu orang tuanya untuk pernikahan yang sebenarnya tidak dia inginkan ini?
"Loh, kenapa harus saya sih, Dok?" protes Karina keras.
"Iya lah, biasanya kalau anaknya yang merayu, orang tua akan luluh. Lagipula siapa yang tadi bilang mau jadiin saya suami? Kamu, kan?" Yudha tersenyum sinis, terlihat sekali sorot mata itu berapi-api.
"Ya tapikan ...." Karina tidak melanjutkan kalimatnya, ia sendiri sampai bingung hendak berkata apa.
"Ah, saya punya ide." ujarnya kemudian. "Ada satu cara yang bisa membuat beliau mau tidak mau merestui kita menikah, Rin."
Kening Karina berkerut, ini pasti ide yang cukup gila!
"Apa memangnya?" Karina sebenarnya malas bertanya, tetapi dia penasaran. Jangan bilang kalau ....
"Saya bisa hamili kamu dulu, kan mau tidak mau kita harus menikah, bukan?" jawab Yudha dengan seringai lebar.
"APA?" Karina sontak memekik, laki-laki ini selain sedingin es dan sekaku kanji juga sedikit gila dan kurang waras!
"Makanya kamu tinggal pilih, mau cara satu atau dua!" Yudha kembali tersenyum penuh kemenangan. "Saya nggak keberatan kok kalau kamu mau kita pakai cara kedua, saya rela babak-belur dihajar papamu, yang penting kita menikah dan saya tidak harus menikahi gadis pilihan ibu saya."
***
"Dokter memangnya nggak punya pacar apa?" tanya Karina sambil bersandar lesu di jok mobil. Mereka sudah dalam perjalanan pulang, acara makan malam absurb mereka sudah selesai."Nggak, terakhir punya pas internship. Ilang ditikung residen, habis itu males pacaran lagi." jawab Yudha santai dari balik kemudinya.
Karina rasanya ingin tertawa mengejek nasib laki-laki itu, namun dia sudah tidak bernafsu. Ia sedang menikmati nasibnya yang begitu sial hari ini.
"Besok ingin mahar apa? Resepsi di mana?"
Karina seperti dilempar mendengar pertanyaan itu. Ia benar-benar heran, orang satu itu kenapa seperti menyepelekan sekali pernikahan? Main asal hendak menikahi Karina hanya karena tidak mau dijodohkan dan karena ucapan terkutuk yang tadi Karina ucapkan.
"Dok, pernikahan itu suci loh, seumur hidup sekali dan Dokter dengan begitu santai hendak ...." Karina benar-benar tidak mengerti lagi, bagaimana caranya menjelaskan pada laki-laki itu?
"Rin, saya tegaskan sekali lagi, saya serius mau nikahin kamu. Memangnya saya terlihat main-main?" kembali Yudha menegaskan niatnya, memang ada laki-laki matang yang bermain-main dengan hal seperti ini?
"Tapi orang nikah itu nggak cuma cukup sama ada duit sama calonnya, Dok."
Karina sudah putus asa. Antara putus asa menjelaskan sesuatu yang dia sendiri bingung bagaimana caranya menjelaskan hal itu pada Yudha, dan putus asa mencari cara agar Yudha membatalkan rencana pernikahan dadakan yang begitu gila ini.
"Apa lagi memangnya? Cinta?" tanya Yudha sambil menoleh sekilas.
Karina memejamkan matanya, ya ... itu! Cinta! Kalau orang menikah karena cinta saja banyak yang kemudian cerai, lantas bagaimana dengan dirinya nanti?
"Kalau masalah itu, saya punya jalan keluarnya."
Karina menoleh, ia makin tidak mengerti. Jalan keluar? Jalan keluar yang seperti apa?
"Jalan keluar? Jalan keluar bagaimana?"
Yudha menepikan mobilnya, menghentikan mobil itu di trotoar yang cukup sepi dan agak gelap. Membuat Karina sontak merinding dan sedikit ketakutan."Dok, mau ngapain?" kontan Karina panik, mau apa lagi sih dosen absurb-nya ini? Kenapa juga dia tidak ada panggilan cito mendadak? Jadi Karina tidak bisa kabur melarikan diri."Membicarakan jalan keluar untuk masalah kita." Yudha menoleh, menatap Karina yang memucat itu dengan tatapan serius.Karina menelan ludahnya dengan susah payah, jalan keluar yang seperti apa sih? Memang dokter menyebalkan satu itu punya rencana gila apa lagi selain tiba-tiba mengajaknya menikah?"Ja-jadi jalan keluar yang seperti apa, Dok? Dokter hendak membatalkan rencana kita menikah?" tentu itu harapan Karina, bukan? Namun sepertinya tidak semudah itu.Yudha mengayunkan tangannya, mencubit pipi Karina sampai gadis itu terkejut dan berteriak kesakitan."A-aduh ... aduh! Sakit, Dok!" teriak Ka
Yudha memasukkan mobilnya ke dalam garasi, setelah mematikan mesin mobil dan melepas seat belt, ia bergegas turun dan melangkah masuk ke dalam. Ia baru hendak membuka pintu ketika pintu itu sudah terhempas terbuka."Gimana, Yud?"Yudha menghela nafas panjang, sebegitu inginnya sang ibu melihatnya menikah? Bahkan sampai rela menunggu Yudha pulang selarut ini?"Apanya yang bagaimana, Bu?" tanya Yudha mencoba membelokkan arah pembicaraan.Sontak tangan Ningsih terayun, mengebuk gemas pantat Yudha sampai laki-laki tinggi tegap itu melonjak kaget."Aduh ... sakit, Bu!"Yudha menatap gemas ke arah sang ibu, sungguh memalukan sekali! Untung sejawat dosen dan dokter serta mahasiswanya tidak ada yang melihat, kalau ada yang melihat? Bisa hancur reputasi Yudha dalam sekejap."Makanya, jangan suka bercandain orang tua!"Yudha menghela nafas panjang, "Yudha bercanda yang bagaimana sih, Bu? Baru aja pulang loh
Yudha tergelak ketika foto-foto selfie gadis menyebalkan yang notabene adalah calon istrinya itu masuk ke dalam ponselnya. Dari mulai foto resmi sampai foto selfie alay semua dikirim ke nomornya. Entah berapa jumlahnya, Yudha tidak hitung pasti, yang jelas foto-foto itu memenuhi galeri ponsel miliknya yang biasanya kosong."Lebay!" Yudha mencibir, sedetik kemudian senyumnya merekah. "Cantik juga tapi!"Tentu Yudha tidak berbohong, Karina memang cantik kok. Tubuhnya mungil, wajahnya cantik dengan kulit putih, intinya dia begitu menggemaskan! Hanya saja satu, sikapnya rese dan menyebalkan sekali yang kadang membuat Yudha naik darah menghadapi gadis satu itu.Yudha masih membuka-buka foto itu, sampai di salah satu foto, tampak Karina berpose full body dengan memakai blouse bercorak bunga dan celana yang sangat pendek. Celana yang mengekspos kaki putih mulus miliknya dengan begitu sempurna.Yudha mendengus pelan, ada gairah yang muncul dari
Mata Yudha melotot tajam melihat foto-foto apa yang di-posting gadis itu di laman akun In*tag*am-nya. Foto-foto itu ... Yudha mendengus kesal, segera men-screenshoot beberapa foto yang menurut Yudha tidak pantas ada di akun sosial media itu. Agaknya dia harus memperhatikan dan mengawasi Karina dengan seksama!Yudha segera mengirimkan hasil screenshot foto itu ke nomor Karina. Ada lebih dari 20 puluh file yang dia kirim. Setelah memastikan puluhan file itu centang dua alias sudah terkirim dan diterima, Yudha segera menekan nomor Karina, kembali menghubungi calon istri dadakan Yudha yang menyebalkan sekali itu."Apaan lagi sih, Dok? Apa lagi?" suara itu langsung nge-gas begitu panggilan Yudha dia angkat.Yudha menghela napas panjang, mencoba sabar menghadapi Karina yang sejak dulu Yudha tahu betul tidak pernah akur ketika berhadapan dengan dirinya."Sudah buka chat saya?" Yudha mencoba tetap sabar. Melatih diri untuk sabar sebelum na
Karina sontak merinding dengan kalimat yang Yudha bisikkan kepadanya itu. Secara refleks Karina mendorong wajah itu menjauhi wajahnya. Sebuah tindakan yang membuat wajah Yudha berubah masam seketika.“Dokter jangan macam-macam sama saya, ya! Ingat perjanjian apa yang sudah kita buat kemarin?” Karina tentu ingat betul janji apa yang sudah Yudha berikan kepadanya, sebuah janji yang membuat Karina lantas setuju dengan semua rencana gila yang Yudha jabarkan itu.Nampak Yudha mendengus perlahan, ia lantas menutup pintu mobil Karina dan merebut kunci mobil dari tangan gadis itu. Karina melotot, terlebih ketika kemudian Yudha menarik tangan Karina dan membawanya keluar dari halaman parkir kost.“Eh ... eh ... apa-apaan ini, Dok?” tentu Karina protes, hendak dibawa kemana lagi sih?“Ikut saya ke kampus! Setengah jam lagi saya ada kelas.”Mendengar hal itu, Karina sontak melotot. Dia harus ikut dosen rese ini ke kampus? N
“Hus! Jangan teriak-teriak begitu, Rin!”Yudha terkejut luar biasa. Bagaimana tidak? Karina tiba-tiba berteriak macam itu dengan suara kencang, untung saja jantung Yudha tidak meloncat dari tempatnya. Yudha terus membawa mobil menuju kampus, tidak peduli Karina berteriak macam tadi, dia hampir telat.“Biarin! Saya benci pokoknya sama Dokter! Benci banget!” Karina kembali memukul-mukul lengan Yudha dengan membabi buta, membuat Yudha lantas menepikan mobilnya dan bersandar di jok.Karina sontak berhenti memukul lengan Yudha, ia melepas seat belt, hendak melomcncat turun kalau saja tangan Yudha tidak buru-buru mencekal tangan Karina.“Et!” Yudha mencengkeram kuat tangan itu. “Saya berhenti bukan buat kasih kesempatan kamu melarikan diri, ya?”Karina mendengus, menatap kesal ke arah Yudha yang tampak bersorot mata tajam. Mimpi apa Karina harus berhadapan dengan takdir yang menyebalkan macam ini? Agaknya Y
[ Di mana? ] Isi sebuah pesan yang masuk ke dalam ponsel Kirana. Pesan yang dikirim oleh kontak dengan nama 'My Lovely Husband', nama alay yang di ketik sendiri oleh si pemilik nomor. Rasanya ingin Karina abaikan saja pesan masuk itu, tetapi mengingat berapa horor hukuman yang akan Karina terima jika Karina kabur dari Yudha, membuat Karina sontak mengetikkan balasan dan segera mengirimkannya. [ Perpus fakultas, kenapa? ] Tanpa menunggu lama, pesan itu langsung dibaca oleh Yudha dan balasan pun langsung Karina Terima. [ Jangan kemana-mana. Saya kesana! ] Karina menghela napas panjang, ia meletakkan ponsel di atas meja. Menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hal gila apa lagi yang akan terjadi setelah ini? Keributan apa yang akan pecah di antara mereka? Karina masih menutup wajahnya, ketika tepukan lembut itu tiba-tiba mendarat di bahu Karina. "Apaan lagi sih, Do--." Karina tertegun, bukan Yudha yang menepuk bahu
Karina tercekat mendengar kalimat itu. Dikecewakan? Ditinggalkan? Ia melirik Yudha yang wajahnya kini berubah sedu. Apa yang sebenarnya terjadi? Hal yang membuat lelaki itu begitu menyebalkan macam ini?Karina menghirup udara sebanyak-banyaknya, menoleh dan mulai memberanikan diri kembali bersuara."Tapikan nggak semua perempuan kayak begitu, Dok." tentu! Karina tidak mau kena imbas dari orang masa lalu Yudha dan berujung dia diawasi secara ketat macam tadi. Dia bukan tahanan kota!"Nggak semua, tapi kebanyakan iya, Rin!" tukas Yudha datar. Matanya masih tetap fokus pada jalanan yang ada di depannya."Tapi saya nggak kayak gitu, Dok! Saya bukan perempuan macam itu!" Karina kembali terpancing, Dia tipe orang yang bisa dipercaya dan dia tidak pernah mengecewakan orang yang sudah memberinya kepercayaan!"Bisa saya pegang omongan kamu?" kini Yudha menoleh, hanya sebentar karena ia kemudian kembali fokus pada setirnya.
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b
Karina dengan melangkah dengan sedikit susah payah ketika sosok itu tiba-tiba muncul dan berdiri di hadapan Karina. Sejenak Karina tertegun, namun langkah Tasya yang mantab yang jelas mendekatinya membuat Karina segera sadar dari rasa terkejutnya. Menantikan apa yang hendak Tasya katakan atau sampaikan kepadanya. "Selamat pagi, Dok!" Sapa Karina begitu Tasya sudah berdiri tepat di hadapannya. "Jangan sekaku itu sama saya, Rin. Santai saja." Gumam Tasya sambil tersenyum. Kini Karina terkejut, pasti Tasya punya sesuatu hal yang penting sampai-sampai dia menemui Karina seperti ini. Tapi apa? Apakah ada hubungannya dengan suaminya? Atau malah dengan Dinda? "Rin ...." Panggil suara itu ketika Karina hanya membisu. "Iya, Dok?" Alis Karina berkerut, fix! Tasya ada perlu dengan dirinya kalau begini! "Saya tadi ketemu suami kamu, mau minta tolong tapi dia bilang saya harus ketemu dan ngomong langsung ke kamu, Rin." Ujarnya lirih. Mata Karina membelalak, Tasya menemui suaminya? Untuk apa
"Yud!"Itu suara Andreas, Yudha menghela napas panjang. Kenapa lagi dokter anestesi itu? Suka banget sih menganggu Yudha? Heran! Yudha memperlambat langkahnya, nampak Andreas terengah-engah melangkah di sisinya. Yudha hanya melirik sekilas, apa lagi yang hendak dia bicarakan? Mengajak ghibah lagi? Atau apa? "Kenapa?" Tanya Yudha yang terus melangkahkan kaki. "Itu mantanmu si blackpink itu, dia mengundurkan diri, Yud!" Gumam Andreas dengan sangat serius. Alis Yudha terangkat. Benarkah? Tasya mengundurkan diri? Jadi dia sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit ini? Alhamdulillah, kenapa rasanya hati Yudha begitu lega? Itu artinya dia tidak perlu was-was dan Karina bisa tenang di masa kehamilannya! "Oh ya? Serius? Aku seneng dengernya, And!" Desis Yudha dengan senyum lebar. "Ah kamu!" Andreas mencebik. "Nggak ada yang bening-bening lagi, Yud!" Desis Andreas lemas. Yudha terbahak, bening? Andreas tidak tahu saja bagaimana wujud Tasya dulu. Ketika dia dan Tasya masih sama-sama berjua
Sebulan kemudian ... "Rin! Ayolah!" Yudha menarik tangan Karina, berharap sang istri yang masih terbaring di atas ranjang mau bangkit dan turun dari kasur. Karina melepaskan tangan Yudha, menggeleng dengan mantab tanpa berniat bangun dari posisi rebahan asyiknya hari itu. Yudha menghela napas panjang, ia menggeleng perlahan, sangat gemas setengah mati dengan istrinya ini. Perut Karina sudah mulai menyembul. Terlihat menggemaskan sekali di mata Yudha. Membuat Yudha rasanya ingin terus mengelus lembut perut itu kapanpun. Masalahnya cuma satu! Semenjak hamil, Karina jadi malas banget buat mandi! Dia selalu muntah parah tiap mencium aroma sabun. Semua merek dan jenis sabun sudah Yudha beli, hasilnya nihil! Bahkan sabun yang satu itu, sabun yang biasanya digunakan anak-anak untuk membersihkan cadaver juga Yudha belikan saking gemas bagaimana caranya supaya Karina mau mandi. Dan hasilnya, sama sekali tidak membuat Karina lantas mau membersihkan diri. "Sayang, mandi gih! Apa mau ke spa?