Angga masih di cafe, melakukan pertemuan dengan pihak Pradana grup. Sudah dari jam setengah 6. Sekarang waktu sudah mendekati pukul 7 malam. Angga melakukan pertemuan ini dengan seefisien mungkin tanpa banyak basi-basi. Karena dia sudah rindu pada Ana. Hampir seharian tanpa melihat wajah Ana. Rasanya ada yang kurang dari rutinitas Angga.
Mereka sudah mencapai kata sepakat. Dengan mempertimbangakan keuntungan yang diperoleh masing-masing. Beserta pembangiannya, akhirnya pertemuan tersebut usai juga. Berkas sudah dibereskan oleh Dinar, sang sekertaris.
Setelah bersalaman dan saling melempar senyum. Pihak Pradana pamit lebih dulu, sedangkan Angga masih mengamati Dinar. Yang kembali meneliti kelengkapan berkasnya.
 
teman pembaca yang budiman. jangan lupa kasih bintang cerita saya. berikan review dan kritikan untuk cerita itu. kiranya dapat membantu perbaikan cerita ini.
Di dapur, Ana kembali melanjutkan aktivitasnya. Membereskan meja makan, menyimpan lauk yang masih tersisa. Melihat makanan yang masih tersisa banyak. Mungkin dia akan membagikannya pada pegawai apartemen besok, batin Ana. Memanaskan semua makanan tersebut. Atmosfer setelah Nabila dan Angga meninggalkan ruangan, sudah lebih baik. Ana tidak pernah menghadapi situasi konflik yang tidak kondusif baginya. Ana sebagai putri bungsu, selalu mendapatkan perhatian penuh dari orang di sekelilingnya. Walau Fiona dan Doni membiarkan Ana untuk mandiri dan tidak memanjakannya. Tetapi Ana baru kali ini, berada di tengah suasana tidak nyaman seperti tadi. Angga tampak berbeda dan Ana tidak ingin memikirkan lebih jauh tentang itu. Meskipun Ana termasuk jutek dan galak bila ada s
Angga menghela napas. Menumpukan sikunya ke lutut. Menutup wajahnya dengan telapak tangan. Apakah dia sudah salah melangkah?. Apa perbuatannya membuat Ana merasa tidak nyaman?. Tapi Ana membalas ciumannya. Mereka berdua sama-sama menikmati ciuman itu. Kata hati Angga bingung, dengan sikap Ana setelah mereka usai dengan ciuman itu. Ana tidak tahu saja bagaimana sulitnya Angga menahan hasrat yang berkobar dalam dirinya. Bahkan sampai sekarang bagian bawahnya masih mengeras terasa begitu sesak. “Arrghh,” erang Angga. Menahan kejantanannya yang sudah ingin diepaskan. Ck mandi air dingin deh gue habis ini, kata Angga dalam hati. Merutuki adik kecilnya, yang tidak bisa dikondisikan. &nb
Lelah berolahraga, mereka kemudian segera membersihkan diri diruang ganti. Selesai dengan itu, mereka sudah sepakat untuk sarapan di rumah makan padang. Anjar sebagai supir hanya bisa menuruti mau adiknya. Mereka tetap terpisah di 2 mobil. Sedangkan para sahabatnya itu enggan untuk satu mobil dengan Ana. Karena takut dengan aura yang di pancarkan Anjar. Terlalu kaku, dan dingin walau sudah dibujuk. Sahabat- sahabatnya tetap tidak mau. “Kak, bisa nggak si lo senyum dikit aja depan sahabat gue. Mereka tuh, pada takut tahu nggak deket lo,” ucap Ana kesal menghadapi sikap Anjar yang terlalu dingin. “Nakutin gimana si dek. Kakak tuh nggak ngapa-ngapain juga. Kenapa mereka pada takut,” balas Anjar.  
Ana masih terus terlelap dan terbaring diranjang. Dia hanya bangun ketika harus mengganti pembalut dana makan. Yang itupun dengan disuapi Anjar. Tanpa Anjar disisinya mungkin Ana sudah dehidrasi kehabisan cairan akibat nyeri haid yang menderanya. Setelah punggung Ana di usap dan perutnya terus dihangatkan oleh bantuan Anjar. Ana sudah merasa lebih baik. Namun bukan berarti Ana sudah bisa bangun dari tempat tidur. Nyeri yang di alami Ana biasanya akan berlangsung sampai 3-4 hari kedepan. Separah ini lah kondisi Ana jika tengah mengalami menstruasi. Dan setelah haidnya sudah membaik, biasanya Ana diperiksa dokter keluarga untuk memeriksa keadaan Ana. Ana tidak mau ke rumah sakit jika benar-benar tidak dalam situasi kritis. Karena Ana tida suka aroma rumah sakit dan serta bau obat-obatan. Itu membuatnya merasa ikut sakit.
Setelah 3 hari penuh beristirahat di apartemen. Akhirnya Ana bisa masuk kuliah hari ini. Di antar oleh Anjar, Ana belum tidak diperbolehkannya untuk menyetir sendiri. Walau kesehatan Ana sudah membaik, namun tubuhnya masih cukup lemah. Maka dari itu, Anjar selalu menasehati agar tidak melakukan aktivitas berlebih. Dan tidak memaksakan diri, karena Ana termasuk anak yang keras kepala. Begitupun dengan Anjar. Meskipun dia bilang meliburkan diri selama seminggu penuh dari kantor. Tapi dia juga harus tetap mengontrol, beberapa pekerjaan yang tidak dapat dihandle oleh asistennya. “Ingat apa pesan Kakak ya,” ujar Anjar mengingatkan Ana. “Iya Kak,” jawab Ana seraya terseny
Sepulang sekolah Ana sudah ada janji bersam Rama untuk belajar bersama. Ana sudah ijin Anjar terlebih dahulu. Agar sang kakak tidak kawatir. Apalagi Ana baru saja sembuh. Saat ini mereka tengah mengerjakan tugas masing-masing di cafe. Tidak memperhatika sekitar, mereka berdua tetap fokus mengerjakan tugas. Jangan dipikir Ana libur terus libur nggak ngerjain tugas. Ana tetap mengerjakan tugasnya, dengan dibantu Rama. Lama mereka hanyut dalam tugas. Hingga tidak memperhatikan jam yang sudah beranjak petang. Ponsel Ana sudah berdering ketika dia sadar sudah melewatkan banyak waktu. Meraih ponselnya, Ana mengkode Rama untuk mengangkat telponnya. “Iya Kak,” jawab Ana singkat.
Keesokan harinya Angga sudah terbangun di kamarnya. Dengan telapak kangan sudah terbungkus perban. Mengerjabkan mata, dia mulai mengingat apa yang dia lakukan semalam. Dengan amarah menguasai, Angga hampir menghancurkan ruang tamu. Memegang kepalanya yang mendadak pusing. Pintu terbuka, memunculkan Gio yang sudah rapi dengan setelan kantornya. “Bapak sudah bangun?” Tanya Gio. “Jam berapa ini?” tanya Angga. tak mempedulikan pertanyaan Gio. “Jam 6. Bapak sebaiknya istirahat untuk hari ini. Saya sudah menyewa seorang house keeper untuk bapak,” tutur Gio. Yang masih tidak dipedulikan oleh Angga. Melihat raut bingung Angga lalu Gio menjelaskan. “Yang menggantikan pakaian bapak semalam
Angga membuka kedua matanya perlahan. Memperlihatkan dua mata dengan bulu lentik yang masih tertutup. Angga mengamati wajah cantik didepannya. Sedang terlelap damai, tak mempedulikan suara malam yang terdengar dari jendela yang terbuka. Angga bangun, menutup jendela yang menghantarkan udara malam. Di luar sana terlihat taman rindang yang begitu gelap. Menunjukkan kerimbunannya, Angga kembali menoleh pada sosok yang masih terlelap di ranjangnya. Ini seperti dirumah barunya. Angga ingat, dia sendiri yang menginginkan desain vintage modern dengan sentuhan hangat di kamar utamanya bersama Ana. Angga kembali berbaring samping Ana. Memiringkan tubuhnya untuk menikmati tiap pahatan indah wajah Ana. Tangan Angga mulai berani mendekat. Membelai rahang Ana naik turun. Angga seper
Sambil mengobrol, ibu dan menantu tersebut menyiapkan makan malam. Seperti sebuah reuni, Indira benar-benra bersuka cita menyambut kedatangan putra dan menantunya. Karena ini kunjungan pertama mereka setelah resmi menikah. Walau sempat tertunda, namun tak melunturkan kebahagiaan Indira. “Angga masih mandi An?” “Iya Ma,” Mulai menata hidangan dimeja makan. Henri, Papa Angga mulai bergabung dimeja makan. Melihat dihadapannya sudah tersaji berbagai makanan menggugah selera. Melengkungkan senyum tipis, melihat perempuan beda generasi tengah berbincang ria. Sudah seperti teman lama. Padahal seingatnya, Indira baru mengenal Ana. Tapi mereka bisa langsung akrab seperti ini. &nb
“Aku sudah sampai, kamu dimana An?” Sebuah pesan masuk, membuat Ana tidak lagi fokus pada obrolan Vita dan Tasya. Yang sibuk menceritakan bimbingan beberapa waktu lalu. “Gue balik dulu ya guys, kak Angga udah sampai katanya,” ujar Ana lalu membawa tasnya. Jangan lupa draft yang sudah penuh coretan Pak Hari. Tadi Ana sempat sedikit bercerita sikap dosen pembimbing pada para sahabatnya. Yang kemudian mendapat reaksi beragam dari mereka. Sekilas lebih banyak keterkejutan, beda dengan Rama yang datar saja mendengar cerita itu. Tidak memberi komentar lebih, tetapi menatap sedikit lama ke arah Ana. Yang jelas disadari oleh gadis itu. &
Vita sudah berpesan untuk menunggu di lobi apartemen saja. Padahal niatnya Ana ingin mengendarai mobilnya sendiri. Sebelumnya mereka kurang setuju jika hari ini mencari bahan. Karena pastinya mereka hanya akan sempat membeli bahan penelitian. Tidak sekaligus bisa hang out menjernihkan pikiran yang sudah kusut oleh proses penelitian dan bimbingan. Ana masih bersiap, setelah berendam air hangat dengan aroma terapi. Sedikit meringankan pikiran yang sebelumnya penat disebabkan Angga. Memakai dress selutut berlengan panjang. Dengan bahan yang dingin sungguh terasa nyaman memeluk kulitnya. Memakai make up natural seperti biasa, dia melirik lipstik baru yang belum pernah dipakai. Memakai lipstik warna marun yang cocok dengan hitam rambutnya. Memindahi penampilannya di depan cermin. &
Mendengar dering panggilan, Angga hanya melirik ponselnya yang tergeletak dinakas. Tanpa ada niat untuk melihat dari mana panggilan itu berasal. Ponsel itu kembali berdering, mendengus malas. Akhirnya Angga meraih ponselnya dengan penampilan yang masih berantakan. Kancing kemeja belum terpasang sempurna, apalagi dasi. Dasinya masih terlipat rapi diatas ranjang. Menggeser tanda hijau, sambil berlalu keluar dengan jas dan tas kerja di tangannya. Dia lebih terlihat seksi dengan tampilan berantakan seperti itu. ”Iya Dinar,” sapanya selagi berjalan mendekati meja makan. Meletakkan tas kerja dan jasnya di kursi. Ana melirik Angga yang masih berantakan, sambil menerima telpon. Melanjutkan pekerjaannya, menata hidangan di meja makan. Ana tinggal menunggu air
Menyelesaikan pekerjaan yang tersisa, Angga sesekali melirik Ana yang sudah terlelap. Tidak pernah terbayang jika Ana akan bermalam dikamarnya. Yang bahkan sebelumnya gadis itu tidak pernah tinggal setelah menyelesaikan urusannya. Bibirnya sedikit melengkung, ditengah kesunyian hanya ditemani suara ketikan keyboard. Hampir tengah malam ketika Angga selesai, membereskan berkas-berkasnya. Menatanya dimeja untuk besok dibawa ke kantor. Melangkah mendekati ranjang, Angga seakan belum percaya dengan pemandangan ini. Dengan lelap Ana tidur, menghadap ke arahnya. Angga bergerak naik, ikut bergabung disamping Ana. Berhadapan tepat, mereka berada dalam balutan selimut yang sama. Angga tidak bisa menjelaskan euforia dalam hatinya. Meski dalam diam, dia terus menatap istrinya lekat. Memastikan bahwa sosok didepan matanya ini nyata, bukan hayalan.
Mengartikan apa yang dia rasakan. Ana menikmati ritme detakan ini. Ikut menghangatkan suasana antara keduanya. Sampai kilasan para wanita yang dibawa Angga ke apartemen. Mengganggu pikiran sekaligus menyentil hatinya. Mendorong dada itu sampai tercipta jarak antara keduanya. Pandangan mereka saling menumbuk. Sungguh ada banyak tanya dalam hati Ana. Yang selama ini hanya berlalu, tanpa ingin diungkapkan. Berpikir semua itu bukan menjadi urusannya. Tapi setelah Angga menjelaskan demikian. Seakan menganggap kehadirannya adalah penting bagi kehidupan laki-laki itu. Membuatnya memikirkan kembali semua sikap acuhnya selama ini. “Apakah Nabila hanyalah sebatas mantan kekasih?” Tanya Ana seraya menaikkan salah satu alisnya. Mencoba tidak menunjukan keingintahuan yang mencolok.
Angga masih memperhatikan Ana, yang kini memalingkan mukanya. Menghindari tatapan mata Angga. Seakan ada kebingungan pada kilasan pandangan Ana. Baiklah Ana masih butuh waktu, katanya dalam hati. Melepaskan genggaman tangannya. Menoleh pelan. Ana memandang bertanya Angga. Tapi dia tak kunjung mengeluarkan suara. Perlahan sebelah tangan Angga meraih bandul kalungnya. Mengamati benda tersebut, lalu kembali menatapnya. “Lanjutkan masaknya. Aku akan membersihkan diri dulu,” ucapnya kemudian melepaskan bandul itu. Angga beranjak setelah mengelus puncak kepala Ana. Menimbulkan tanya di hati Ana, walau terlalu sulit untuk menerka. Sikap seperti apa itu? tanyannya dalam
Bertepatan tanggal merah, di hari Jum’at. Para sahabat Ana sudah dalam perjalanan menuju ke apartemen. Angga sudah berangkat untuk menghadiri meeting. Memang hari libur, tapi tampaknya tidak berpengaruh pada laki-laki itu. Dia tetap ada jadwal kerja. Ana sudah membuat beberapa camilan untuk sahabat-sahabatnya. Belajar tanpa ditemani camilan berasa ada yang kurang. Menata camilan dan es di meja ruang santai. Ruangan ini jarang terpakai. Karena para penghuni apartemen, yang lebih sering beraktivitas dalam kamar. Atau memang jarang berada di apartemen. Bell disertai ketukan pintu terdengar. Ana segera melangkah untuk membuka pintu. Menyambut para sahabatnya dengan senyum senang. Mempersilahkan mereka untuk masuk.  
Lama berkutat dengan tugas. Tepat pukul sebelas Ana berhasil menyelesaikannya. Tetap dibantu oleh Angga. Meskipun setelah menerima pesan dari Gio. Ana menjadi pendiam. Ana tidak bereaksi apapun. Setelah mereka bertatapan lama. Dia yang memutus kontak mata itu. Angga yakin, Ana pasti mendengar gumamannya. Angga masih duduk di tepi ranjang. Mengamati Ana yang sedang membereskan meja belajarnya. “Makasih Kakak udah mau bantuin aku,” ujar Ana. Dengan posisi membelakangi Angga. Angga tidak membalas. Angga sedang berpikir, apakah ini saat yang tepat untuk menjelaskan tentang Yuri dan Nabila. Tapi ini sudah terlalu larut, batin Angga. Ana harus segera istirahat. Angga sempat me