Matahari kembali bersinar seiring dengan perputaran bumi pada porosnya. Heru yang terkena sinar matahari dari celah ventilasi kamar kosnya pun akhirnya terbangun dari tidur lelapnya, kemudian kehebohan terjadi di sana, setelah ia selesai melihat ke arah jam dinding, “Astaga! Udah jam berapa in— Eh buset! Jam setengah tujuh! Ya ampun! Heh, Dan! Cepetan bangun. Kita bisa telat ngantor ini. Hadeh, semua gara-gara begadang nggak jelas sama lo ini kan. Saidan, bangunnn...!”
Heru membangunkan Saidan dengan maksud agar teman gilanya itu segera pulang ke rumahnya lalu tidak terlambat ke tempat kerja mereka, “Mama mama! Gue bukan Emak lo, Saidan Pratama Putra! Gue Heru Sudi Hutomo temen gila lo yang punya kosan iniii...! Lo buka mata dulu sekarang biar bisa liat tuh di dinding udah jam berapa? Udah setengah tujuh pagi, Dan! Kita kan dapat shift pagi. Lo masuk kerja nggak nih?!”
“Hah?! Aduh duh! Seriusan ini udah jam setengah tujuh, Bro?!”
“Hooh. Tuh liat di sono.”
“Ya, gimana dong ini? Gue pinjem seragam lo aja ya satu? Sama celana lo juga kalau muat. Biar kita berangkat bareng aja dari sini, oke?” Namun Saidan sendiri lebih memilih untuk meminjam pakaian kerja Heru, karena ia sendiri belum siap bertemu dengan ibunya.
Tentu saja Heru menolak keras permintaan Saidan itu, “Ck! Seragam gue yang satunya kan udah dipakai kemarin. Ya bau keringat lha, Dan! Gue cuma punya dua biji aja yang buat dipakai hari ini. Gimana, sih. Lo pulang dul—”
“Aduh, ini udah nggak sempat lagi, Her. Lagian kan kosan lo ini dekat dari kantor. Jadi kita nggak bakalan telatlah!” Tetapi Saidan tetap pada pendiriannya, karena menurutnya hal tersebut sangat tidak efisien.
Jarak antara rumah Saidan dan kantor provider tempat mereka bekerja cukup jauh, walau ditempuh dengan menggunakan sepeda motor sekalipun. Jalanan kota Jakarta yang sudah pasti macet di pagi hari adalah maksud dari penolakan Saidan.
Pria itu juga mencoba membandingkan jarak antara kos-kosan Heru yang menurutnya masih lebih dekat daripada rumahnya, namun Heru tampaknya masih belum mengerti maksud dari ocehan Saidan, “Apaan dekat. Kemarin sore gue naik Trans jauh kali, Dan! Muter dia lewat blok M segala sebelum nyampe sini.”
Pria asal Jember itu sibuk membalas komentar temannya dengan sejumlah kata-kata, sehingga obrolan panjang pun terjadi di antara keduanya, “Ya kan karena motor butut lo rusak kemarin belom sempat diganti businya tadi malam, Dodol! Makanya semalam beli nasi padangnya pakai motor gue! Udah deh gue pinjem sini seragam lo satu, tapi yang belom dipakai ya? Lo semprot aja parfum banyak-banyak di seragam lo yang kemarin, terus beres deh bisa dipakai lagi.”
“Ogah! Lo aja yang pakai seragam gue kemar—”
“Gue kasih duit merah nih buat beli busi motor. Mau nggak lo?”
“Kurang! Tambahin lagi satu lembar yang biru sebagai ongkos lo nginep di sini sampai gue bangun telat terus lupa sholat subuh tadi!”
“Waduhhh... Sholat subuh yes, Bro?”
“Iyalah! Emang gue kayak lo! Udah mana sini duitnya kasih deh. Tuh lo cari deh sono seragamnya di dalam lemari ya? Gue mau mandi duluan, karena air dalam bak mandi gue udah tinggal setengah kayaknya. Kalo lo yang masuk duluan, bakalan apes gue nggak kebagian air. Lo kan borosnya kebangetan! Cepetan siniin duitnya?!”
“Ya ampun, Heruuu...! Lo udah kayak lintah darat aja tahu nggak? Sabar kenapa, sih!”
“Nggak bisa, Idannn... Lo itu udah berapa kali ngibulin gue! Jadi cepetan kasih duitnya. Janji adalah utang lho ya? Dan hutang harus di—”
“Dibayar! Nih, duitnya! Awas lo ya? Nggak bakalan gue kasih restu lu pacaran sama adek gue!”
“Bodo amat deh sama adek lo itu. Gue sadar diri kali, Bro. Mana mungkinlah anak orang kaya mau sama gue yang kagak punya apa-apa gini. Emang dia mau tinggal di kosan petak kayak gini, terus kemana-mana cuma pakai motor bebek. Hahaha... Udah gue mandi dulu! Ntar telat kita berdua.” Kemudian obrolan tersebut terhenti, setelah Saidan menyodorkan dua lembar uang kertas berwarna merah dan biru ke tangan Heru.
“Cepetan mandinya! Gue juga mau mandi, Bro!”
“Ashiappp...!” Heru melangkah masuk ke dalam kamar mandi sembari terkekeh keras, sementara Saidan, bergerak menuju ke kasur dan melemparkan tubuhnya di sana.
Hal itu tentu saja karena Saidan rasa kantuk masih menyelimuti dirinya, sebab semalam ia belum bisa tidur hingga dini hari lamanya. Belum lagi lantai beralas kain seprai yang ia jadikan sebagai tempat tidur, nyatanya benar-benar membuat tubuhnya sedikit kesakitan.
Jadi amat sangat wajar jika saat ini ia memilih untuk masih bergelayut manja di dunia kapuk, namun di tempat lain ada seorang wanita melakukan hal yang berbeda darinya, sejak beberapa jam lalu.
Ia membereskan beberapa potong pakaiannya ke dalam tas berukuran sedang miliknya, lalu bersiap untuk pergi dari rumah orang tuanya.
Orang itu tak lain adalah sang guru honorer bernama Julia Malika Kuncoro, “Lho, Mba? Mau ke mana?”
Gadis cantik itu sudah membuka pintu rumah dan ingin menutupnya, tetapi adiknya tiba-tiba saja bersuara, hingga membuat ia sedikit terlonjak sembari menggosok-gosok dada dengan telapak tangannya.
Lima detik Julia masih diam tanpa suara, memerhatikan pria yang sudah berpakaian rapi di depannya, sehingga Hadi yang tak sabar pun kembali bertanya, “Mba Lika mau ke mana, sih? Udah pamit sama Mama belum?”
Julia lantas menjawabnya dengan tujuan agar sang adik berhenti bertanya dan membiarkan ia pergi, “Belum. Mama masih tidur kayaknya. Mba mau balik ke kosan. Kapan-kapan aja pergi kerja dari rumah lagi. Soalnya Mba lagi kere. Jadi ya berat di ongkos kalo harus pergi pulang dari sini!” Namun ternyata apa yang gadis itu inginkan belum terwujud juga.
Hadi masih saja bertanya di sana, hingga membuat obrolan pun semakin panjang terjadi, “Kan mengajarnya bisa pinjam mobilnya Papa, Mba. Nanti aku bilang sama—”
“Nyindir nyindirrr... Emangnya kapan aku bisa nyetir mobil, hem? Gaya lo mentang-mentang bisa bawa mobil. Dasar!”
“Eh, lupa. Hehe... Kirain pas Papa masih hidup, Mba sempat diajari nyetir mobil.”
“Kalo itu emang pernah, Di. Cuma baru coba belajar dua kali aja. Habisnya kan Mba sibuk bikin tesis. Terus nggak lama pas udah lulus kuliah, pindah ke kosan deh. Jadi ya gitu. Belum mahir plus belum punya SIM.”
“Kalo motor matic gimana? Bisa nggak, Mba?”
“Bisalah.”
“SIM-nya? Udah ada?”
“Udah dong. Cuma untuk sekarang ini, Mba emang lagi nggak mood ke Sekolahan dari sini, Hadiii... Please, ngertiin Mba kali ini aja ya?”
“Tapi, Mba—”
Sejujurnya, Julia berusaha untuk tetap pergi meninggalkan rumah orang tuanya, tanpa harus bertengkar seperti tadi malam, “Hadi, tolong! Jangan halangi Mba atau apapun itu. Tempatkan diri lo di posisi gue duluan, oke? Udah gitu, baru deh lo pikir deh tuh gimana rasanya terus-terusan dipaksa sama Mama, untuk ketemuan sama cowok yang udah menolak lo. Sampai di sini udah jelas belum? Telat nih gue nanti. Minggir!”
Hadi pun mau tidak mau memilih untuk mengalah pada keinginan sang kakak, hingga ia pun mencoba mengusulkan hal lain, yang menurutnya dapat membuatnya masih bisa mencari sedikit informasi, “Oke-oke. Kalo itu yang menurut Mba Lika baik, aku bakalan bantuin supaya Mama nggak sinis lagi. Jadi sekarang aku udah dapat kesempatan buat nganterin Mba ke kosan kan? Nanti bakalan ku tungguin juga deh biar sekalian bisa anterin Mba ke Sekolahan. Mumpung aku nggak ada jadwal kuliah pagi nih, Mba. Mau kan?”
Alhasil karena memang posisi Julia saat ini sudah pasti akan terlambat menuju ke tempatnya mengajar, dengan berat hati ia meloloskan permintaan adiknya, “Ya udah deh boleh. Tapi pake motor aja. Soalnya kalo pakai mobil jam segini, pasti ntar macet parah. Lagian juga nggak bisa kita lewat jalan tikus gitu sembarangan ya kan, Di? Jadi sekarang lo ambil helm yang lainnya, karena gue maunya pake yang itu.”
“Lha itukan punyaku, Mba.”
“Ya udah kalo gue nggak boleh pake yang itu. Mendingan gue pesan Grab aj—”
“Iya deh. Tunggu sini dulu aku ambil helm sama kunci motornya. Awas aja kalo sampe Mba berani pergi duluan! Aku bakalan mogok bicara sama Mba Lika titik!”
“Widihhh... Serem juga tuh ancamannya. Hahaha...”
“Banget! Lebih seram dari omelannya Mama, Mba. Hahaha... Tungguin pokoknya. Aku sekalian mau ambil jaket di kamar.”
“Hooh. Cepetan gue udah telat!”
“Beres!” Setelah bersenda gurau beberapa menit, keduanya lantas pergi dari rumah tersebut menggunakan sepeda motor, dan kejadian tersebut sungguh membuat kerinduan Hadi terobati, sebab beberapa bulan mereka memang sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
“Udah belom, Dan? Lama banget, sih, lo mandinya? Kita bisa terlambat nih!” teriak Heru sembari memasang kancing seragam kerjanya.Saat ini jarum jam dinding sudah hampir mengarah ke angka tujuh. Padahal tepat pukul delapan adalah batas maksimum untuk masuk kerja, tanpa kata terlambat di kantor mereka.Hal tersebutlah yang membuat Heru sedikit terburu-buru dengan aktivitasnya, namun bagi Saidan, kehebohan itu terlalu berlebihan.Ia keluar dari dalam kamar mandi sembari merepeti Heru pula, "Sabar dikit napa, Her. Gue kan kudu nyiduk air dulu di kamar mandi lo pake gayung. Memang ada shower? Bikin kesel aja. Capek tahu!”Tentu saja setelahnya ocehan demi ocehan terjadi di sana dengan gaya bicaranya masing-masing.Sejak keduanya mendeklarasikan status sebagai teman, kejadian itu tak pernah berhenti mereka lakukan, “Gue ini orang miskin yang udah nggak punya orang tua la
Julia sedang mengajar Matematika di hadapan para murid Sekolah Dasar kelas 4A. Saat ini sang ibu guru cantik sementara menulis soal tentang KPK dan FPB, “Eh, maaf. Siapa ya?” Akan tetapi ingatannya penuh dengan nama Saidan dan juga bagaimana tutur kata pria itu, ketika mereka bertemu secara tidak sengaja tadi pagi.Secepat kilat Julia mempercepat laju tangannya di depan white board, namun dari kedua bibirnya, sejumlah gerutuan mengalir begitu saja di sana, “Sialan emang tuh laki! Bisa-bisanya dia pura-pura nggak kenal gue? Padahal kan kemarin sempat video call. Dasar! Awas aja dia ntar. Gue harus cepat-cepat blokir nomor hape, WA sama akun FB-nya sebelum terlambat nih. Soalnya feeling gue, kayaknya dia bakalan coba buat kepo deh tuh. Secara kan hari ini gue pake rok pensil sama kemeja. Rambut gue tadi sempat diurai juga sebelum dicepol kayak gini. Jadi pagi tadi kayaknya dia pasti terkesima dong sama penampilan gue. Ya nggak, sih
Saidan menggerutu sembari menatap ke layar ponselnya. Saat ini ia tengah berada di tempat makan yang tak jauh dari tempat kerjanya sendirian saja, namun tak lama kemudian bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang.Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Heru Sudi Hutomo, sahabat gila Saidan Pratama Putra.Pria asal Jember itu datang bersama dengan sejumlah ledakannya di sana, “Gimana, Dan? Kok muka lo jelek gitu? Dilihatin si Noni terus tuh. Kayaknya dia naksir deh sama lo?”“Ck! Bisa diem nggak lo, Her? Cewek aja terus yang ada dalam pikiran lo. Dasar otak mesum! Gimana nasib adek gue kalo sampe punya suami kayak lo gini? Musibah!” Sehingga Saidan yang kesal akibat teleponnya tak digubris oleh Julia, pun dengan sinis membalas ejekan itu.Heru tak lantas menanggapi kata-kata itu dengan serius, karena sebagai seorang teman yang sudah hampir enam bulan bekerja bersama, ia sudah mulai paham bagaimana sifat dan
Saidan dan Heru mendekat ke arah halaman kantor provider tempat mereka bekerja. Di sana sudah ada ibu kandung Saidan, yang ingin meminta penjelasan pada sang putra.Degupan jantung Saidan, jujur saja saat ini tak ubahnya seperti suara beduk lebaran. Tak ada seulas senyum pun di wajah tampannya, sehingga Heru pun memutuskan untuk mencairkan suasana.Ia mencoba untuk berpamitan pada Saidan, "Eh, Bro. Gue duluan atau bantuin lo ngomong ke nyo--""Lo masuk aja, Her. Ntar aja gue ceritain hasilnya ke elo." Namun belum selesai Heru berbicara Saidan sudah lebih dulu memotong ucapannya, dengan berkata jika tidak memerlukan bantuannya.Heru yang mengangguk lantas berbicara lagi di sana, "Oh, oke-oke. Gue masuk deh. Tapi pake acara negor nyokap lo nggak nih?"Alhasil langkah kaki Saidan secara otomatis terhenti kali ini, sebab jawaban dari teman gilanya itu belum ia dengar.Tentu
Saidan duduk bersila tepat di depan pintu kamar Heru, dengan perasaan yang tidak menentu. Sejak tadi tatapan matanya hanya tertuju ke arah pintu kamar kos Julia, dan hal tersebut tentu saja tak luput dari perhatian Heru.Pria asal Jember itu tahu pasti jika saat ini teman gilanya sedang dalam keadaan galau gundah gulana, memikirkan si tetangga kos yang belum menampakkan batang hidungnya sama sekali.Oleh sebab itu Heru pun berinisiatif untuk menegur Saidan terlebih dahulu, "Ayo jalan, Dan. Kok masih di sini? Katanya kita mau ke rumah lo buat ngambil kasur sama baju-baju. Nanti semakin larut nih. Jadi jalan nggak, sih?""Besok aja deh, Her. Gue masih mau nungguin Julia datang dan bicara empat mata sama dia." Namun jawaban yang Saidan berikan, sungguh di luar dugaan Heru.Meski begitu Heru belum mau membiarkan keinginannya tak tercapai, sebab jujur saja ia memiliki tujuan penting di rumah Saidan nantinya.
"Lo kenapa dari tadi senyam senyum muluk, Dan? Ada orderan baru ya? Fuso apa truck nih? Atau jangan-jangan rental lagi ya kayak kemarin?" tanya Heru yang baru saja datang ke kantor jasa penyewaan angkutan umum milik ayah Saidan, Angga Pratama Putra.Ya, itu memang benar adanya. Heru dan Saidan, nyatanya sudah kurang lebih enam hari bekerja di sana. Heru mendapat respon baik dengan jabatannya sebagai seorang karyawan di bagian administrasi, sementara Saidan sendiri mendapat tempat terbaik persis satu tangga di bawah kaki sang ayah.Saidan berhenti menjadi seorang operator seluler dengan mengajak serta Heru bersamanya, "Bukan soal kerjaan kok, Her. Tapi gue baru habis nyetor foto ke Julia, terus dia balas pake stiker kiss-kiss unyu nih. Lo mau lihat? Tuh, coba deh lo kasih tanggapan ini maksudnya apaan coba?" Karena laki-laki dua puluh tujuh tahun itu kini memiliki tujuan yang ingin ia capai.Hal tersebut tentu saja ma
Saidan Pratama Putra POVPagi itu setelah Heru masuk ke dalam toilet, aku mendapat panggilan telepon dari Mama di rumah.Dari intonasi suaranya, aku tahu ia sedang marah padaku, "Kamu di mana, Saidan?! Cepat pulang ke rumah sekarang juga!"Tentu saja aku merasa aneh dan menjawab pertanyaan Mama dengan satu pertanyaan pula, "Kenapa, Ma?"Akan tetapi Mama tidak memberikan jawaban yang kuinginkan saat itu juga, "Jangan banyak tanya, Saidan! CEPAT PULANG SEKARANG JUGA!" Lalu sambungan telepon pun terputus.KlikSeharusnya aku tahu gerutuanku tak berguna, karena Mama sudah pasti tak dapat mendengarnya.Sayangnya aku yang terlihat tolol menyerukannya juga, "Egh? Halo, Ma? Halo? Hemmm... Dimatikan. Kenapa, sih? Apa ada yang salah sama--""Saidan, kita pulang ke rumah sekarang!" Tapi itu
Julia Malika KuncoroAku tak tahu apa yang harus ku perbuat. Tiba-tiba saja hidupku terasa hancur, hingga membuatku terus mengeluarkan air mata. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Seperti patah, bahkan memercikkan banyak darah dan semua ini hanya karena seorang Saidan Pratama Putra. Ya, laki-laki itulah yang membuatku tiba-tiba saja menangis dan mengurung diriku di dalam kamar ini. Sejak enam hari yang lalu, kami kembali berkomunikasi seperti sebelumnya. Aku bukan hanya membaca kalimat demi kalimat darinya, tapi mendengarkan suaranya juga.Dia berkata akan mengajakku bertemu untuk menagih janjiku satu minggu yang lalu, namun mungkin semua itu tak bisa terjadi, saat kata-kata Mama kembali mengisi di setiap sudut kepalaku, "Cewek itu dihamili Saidan, Lika. Tapi Saidannya nggak mau tanggung jawab katanya!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Nayla Rosita Dewi binti Mustafa Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!" "Sah?""Sahhh...!"Hancur. Remuk bagaikan sebuah kaleng bekas yang terkena ban mobil, mungkin adalah gambaran hati Saidan saat ini. Statusnya yang sudah menikah dengan Nayla tanpa ia kehendaki, tentu saja menyakitkan untuk seorang Julia Malika Kuncoro. Perjodohan yang telah digadang-gadang oleh kedua orang tua keduanya, kini berpindah posisi menjadi milik Hadi dan Nasha, adik-adik mereka.Seharusnya, semua bisa di kendalikan saat ini. Saidan yakin menggunakan pengaman saat berhubungan dengan Nayla meski dalam keadaan mabuk sekalipun, namun Angga Pratama Putra dan Stella Syaqila tidak mendukungnya.Stella beralasan suka tidak suka, Saidan sudah menodai Nayla, padahal ia bukanlah pria pertamanya. Angga pun m
Julia Malika KuncoroAku tak tahu apa yang harus ku perbuat. Tiba-tiba saja hidupku terasa hancur, hingga membuatku terus mengeluarkan air mata. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Seperti patah, bahkan memercikkan banyak darah dan semua ini hanya karena seorang Saidan Pratama Putra. Ya, laki-laki itulah yang membuatku tiba-tiba saja menangis dan mengurung diriku di dalam kamar ini. Sejak enam hari yang lalu, kami kembali berkomunikasi seperti sebelumnya. Aku bukan hanya membaca kalimat demi kalimat darinya, tapi mendengarkan suaranya juga.Dia berkata akan mengajakku bertemu untuk menagih janjiku satu minggu yang lalu, namun mungkin semua itu tak bisa terjadi, saat kata-kata Mama kembali mengisi di setiap sudut kepalaku, "Cewek itu dihamili Saidan, Lika. Tapi Saidannya nggak mau tanggung jawab katanya!"
Saidan Pratama Putra POVPagi itu setelah Heru masuk ke dalam toilet, aku mendapat panggilan telepon dari Mama di rumah.Dari intonasi suaranya, aku tahu ia sedang marah padaku, "Kamu di mana, Saidan?! Cepat pulang ke rumah sekarang juga!"Tentu saja aku merasa aneh dan menjawab pertanyaan Mama dengan satu pertanyaan pula, "Kenapa, Ma?"Akan tetapi Mama tidak memberikan jawaban yang kuinginkan saat itu juga, "Jangan banyak tanya, Saidan! CEPAT PULANG SEKARANG JUGA!" Lalu sambungan telepon pun terputus.KlikSeharusnya aku tahu gerutuanku tak berguna, karena Mama sudah pasti tak dapat mendengarnya.Sayangnya aku yang terlihat tolol menyerukannya juga, "Egh? Halo, Ma? Halo? Hemmm... Dimatikan. Kenapa, sih? Apa ada yang salah sama--""Saidan, kita pulang ke rumah sekarang!" Tapi itu
"Lo kenapa dari tadi senyam senyum muluk, Dan? Ada orderan baru ya? Fuso apa truck nih? Atau jangan-jangan rental lagi ya kayak kemarin?" tanya Heru yang baru saja datang ke kantor jasa penyewaan angkutan umum milik ayah Saidan, Angga Pratama Putra.Ya, itu memang benar adanya. Heru dan Saidan, nyatanya sudah kurang lebih enam hari bekerja di sana. Heru mendapat respon baik dengan jabatannya sebagai seorang karyawan di bagian administrasi, sementara Saidan sendiri mendapat tempat terbaik persis satu tangga di bawah kaki sang ayah.Saidan berhenti menjadi seorang operator seluler dengan mengajak serta Heru bersamanya, "Bukan soal kerjaan kok, Her. Tapi gue baru habis nyetor foto ke Julia, terus dia balas pake stiker kiss-kiss unyu nih. Lo mau lihat? Tuh, coba deh lo kasih tanggapan ini maksudnya apaan coba?" Karena laki-laki dua puluh tujuh tahun itu kini memiliki tujuan yang ingin ia capai.Hal tersebut tentu saja ma
Saidan duduk bersila tepat di depan pintu kamar Heru, dengan perasaan yang tidak menentu. Sejak tadi tatapan matanya hanya tertuju ke arah pintu kamar kos Julia, dan hal tersebut tentu saja tak luput dari perhatian Heru.Pria asal Jember itu tahu pasti jika saat ini teman gilanya sedang dalam keadaan galau gundah gulana, memikirkan si tetangga kos yang belum menampakkan batang hidungnya sama sekali.Oleh sebab itu Heru pun berinisiatif untuk menegur Saidan terlebih dahulu, "Ayo jalan, Dan. Kok masih di sini? Katanya kita mau ke rumah lo buat ngambil kasur sama baju-baju. Nanti semakin larut nih. Jadi jalan nggak, sih?""Besok aja deh, Her. Gue masih mau nungguin Julia datang dan bicara empat mata sama dia." Namun jawaban yang Saidan berikan, sungguh di luar dugaan Heru.Meski begitu Heru belum mau membiarkan keinginannya tak tercapai, sebab jujur saja ia memiliki tujuan penting di rumah Saidan nantinya.
Saidan dan Heru mendekat ke arah halaman kantor provider tempat mereka bekerja. Di sana sudah ada ibu kandung Saidan, yang ingin meminta penjelasan pada sang putra.Degupan jantung Saidan, jujur saja saat ini tak ubahnya seperti suara beduk lebaran. Tak ada seulas senyum pun di wajah tampannya, sehingga Heru pun memutuskan untuk mencairkan suasana.Ia mencoba untuk berpamitan pada Saidan, "Eh, Bro. Gue duluan atau bantuin lo ngomong ke nyo--""Lo masuk aja, Her. Ntar aja gue ceritain hasilnya ke elo." Namun belum selesai Heru berbicara Saidan sudah lebih dulu memotong ucapannya, dengan berkata jika tidak memerlukan bantuannya.Heru yang mengangguk lantas berbicara lagi di sana, "Oh, oke-oke. Gue masuk deh. Tapi pake acara negor nyokap lo nggak nih?"Alhasil langkah kaki Saidan secara otomatis terhenti kali ini, sebab jawaban dari teman gilanya itu belum ia dengar.Tentu
Saidan menggerutu sembari menatap ke layar ponselnya. Saat ini ia tengah berada di tempat makan yang tak jauh dari tempat kerjanya sendirian saja, namun tak lama kemudian bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang.Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Heru Sudi Hutomo, sahabat gila Saidan Pratama Putra.Pria asal Jember itu datang bersama dengan sejumlah ledakannya di sana, “Gimana, Dan? Kok muka lo jelek gitu? Dilihatin si Noni terus tuh. Kayaknya dia naksir deh sama lo?”“Ck! Bisa diem nggak lo, Her? Cewek aja terus yang ada dalam pikiran lo. Dasar otak mesum! Gimana nasib adek gue kalo sampe punya suami kayak lo gini? Musibah!” Sehingga Saidan yang kesal akibat teleponnya tak digubris oleh Julia, pun dengan sinis membalas ejekan itu.Heru tak lantas menanggapi kata-kata itu dengan serius, karena sebagai seorang teman yang sudah hampir enam bulan bekerja bersama, ia sudah mulai paham bagaimana sifat dan
Julia sedang mengajar Matematika di hadapan para murid Sekolah Dasar kelas 4A. Saat ini sang ibu guru cantik sementara menulis soal tentang KPK dan FPB, “Eh, maaf. Siapa ya?” Akan tetapi ingatannya penuh dengan nama Saidan dan juga bagaimana tutur kata pria itu, ketika mereka bertemu secara tidak sengaja tadi pagi.Secepat kilat Julia mempercepat laju tangannya di depan white board, namun dari kedua bibirnya, sejumlah gerutuan mengalir begitu saja di sana, “Sialan emang tuh laki! Bisa-bisanya dia pura-pura nggak kenal gue? Padahal kan kemarin sempat video call. Dasar! Awas aja dia ntar. Gue harus cepat-cepat blokir nomor hape, WA sama akun FB-nya sebelum terlambat nih. Soalnya feeling gue, kayaknya dia bakalan coba buat kepo deh tuh. Secara kan hari ini gue pake rok pensil sama kemeja. Rambut gue tadi sempat diurai juga sebelum dicepol kayak gini. Jadi pagi tadi kayaknya dia pasti terkesima dong sama penampilan gue. Ya nggak, sih
“Udah belom, Dan? Lama banget, sih, lo mandinya? Kita bisa terlambat nih!” teriak Heru sembari memasang kancing seragam kerjanya.Saat ini jarum jam dinding sudah hampir mengarah ke angka tujuh. Padahal tepat pukul delapan adalah batas maksimum untuk masuk kerja, tanpa kata terlambat di kantor mereka.Hal tersebutlah yang membuat Heru sedikit terburu-buru dengan aktivitasnya, namun bagi Saidan, kehebohan itu terlalu berlebihan.Ia keluar dari dalam kamar mandi sembari merepeti Heru pula, "Sabar dikit napa, Her. Gue kan kudu nyiduk air dulu di kamar mandi lo pake gayung. Memang ada shower? Bikin kesel aja. Capek tahu!”Tentu saja setelahnya ocehan demi ocehan terjadi di sana dengan gaya bicaranya masing-masing.Sejak keduanya mendeklarasikan status sebagai teman, kejadian itu tak pernah berhenti mereka lakukan, “Gue ini orang miskin yang udah nggak punya orang tua la