Julia sedang mengajar Matematika di hadapan para murid Sekolah Dasar kelas 4A. Saat ini sang ibu guru cantik sementara menulis soal tentang KPK dan FPB, “Eh, maaf. Siapa ya?” Akan tetapi ingatannya penuh dengan nama Saidan dan juga bagaimana tutur kata pria itu, ketika mereka bertemu secara tidak sengaja tadi pagi.
Secepat kilat Julia mempercepat laju tangannya di depan white board, namun dari kedua bibirnya, sejumlah gerutuan mengalir begitu saja di sana, “Sialan emang tuh laki! Bisa-bisanya dia pura-pura nggak kenal gue? Padahal kan kemarin sempat video call. Dasar! Awas aja dia ntar. Gue harus cepat-cepat blokir nomor hape, WA sama akun FB-nya sebelum terlambat nih. Soalnya feeling gue, kayaknya dia bakalan coba buat kepo deh tuh. Secara kan hari ini gue pake rok pensil sama kemeja. Rambut gue tadi sempat diurai juga sebelum dicepol kayak gini. Jadi pagi tadi kayaknya dia pasti terkesima dong sama penampilan gue. Ya nggak, sih? Heh, mampus!”
Julia bahkan berhenti menulis sejenak di soal nomor tujuh, lalu bergerak menuju ke arah mejanya untuk mengambil ponsel.
Dalam pikirannya, ia ingin segera membatasi komunikasinya dengan Saidan, tetapi sepertinya pria tersebut sudah selangkah lebih dulu darinya, “Tuh, kan benar! Gue bilang juga apa. Pasti nomor hape gue udah nggak diblokir lagi sama dia. Cih, emang dasar nggak tahu malu. Pake segala ngirim chat di WA lagi. Dia pikir bisa semudah itu baikan sama gue Nggak akan! Udah ilfil duluan kali! Lihat aja ntar apa yang bakal gue perbuat. Jangan sebut nama gue Julia Malika Kuncoro, kalo sampai dia nggak datang ke rumah terus mohon-mohon sama Mama!”
Saidan berkali-kali mencoba menghubungi nomor ponsel Julia, lalu mengiriminya banyak chat. Akan tetapi semua itu menjadikan sang ibu guru cantik semakin kesal, karena memang Saidan sendiri yang lebih dulu membuat ulah.
“Rasain! Udah gue blokir nomor hape sama WA lo sekarang,” gumam Julia sembari terkekeh sendiri di mejanya.
Hal tersebut tentu saja tak luput dari penglihatan murid-muridnya, sehingga selain menggelengkan kepala dan tersenyum mengejek, ada empat orang dari mereka yang berdiskusi di barisan paling belakang.
Keempatnya lantas saling merundingkan siapa orang yang akan berdiri dan bertanya pada ibu guru mereka, lalu hasilnya pun telah disepakati.
Sang ketua kelas adalah orang yang kalah ketika mereka mengundi dengan cara bermain hompimpah.
Jadi anak laki-laki itulah yang kini berdiri, sembari mengajukan pertanyaan pada ibu gurunya, “Permisi, Bu. Soalnya memang sampai tujuh nih? Kami sudah mau cari jawabannya, Bu.”
“Eh, iya. Sampai tujuh aj— Nggak jadi deh. Ibu tambahin tiga lagi ya? Sebentar.” Lalu Julia segera berdiri dari kursi yang ia duduki, mengambil kembali buku dan spidol, sebelum akhirnya ia kembali menuliskan sisa soal di white board.
Alhasil, sebagian besar murid kelas 4A kini terlihat kembali mencatat soal tersebut, termasuk sang ibu guru cantik pun berusaha untuk bisa fokus pada pekerjaannya.
Akan tetapi semakin Julia berusaha bersikap profesional pada pekerjaannya, entah mengapa bayangan Saidan terus saja berputar dalam isi kepalanya seperti hantu, “Ck! Sialan bener. Kenapa, sih, susah banget otak gue diperintah buat nggak mikirin si kunyuk Saidan itu? Bete deh ah jadinya!”
Untung saja hal tersebut bertepatan dengan tinta dalam spidol Julia yang sudah tidak terang lagi di white board, “Habis ya, Bu? Sini biar aku isikan tintanya, Bu.”
“Ah, nggak usah, Don. Biar ibu sendiri aja yang isi tintanya di ruang guru, soalnya tinta refill punya ibu ada di sana. Hari ini kan kalian pakai seragam putih merah. Jadi ya ibu takut aja kalo tintanya kena di baju. Tunggu di sini dulu dan jangan pake ribut, oke? Nanti ibu yang dimarahin sama Pak Kepala Sekolah.”
“Siap, Bu. Nanti saya catat namanya di kertas kalau pada ribut dan jalan ke sana sini.”
“Oke-oke. Tunggu sebentar.”
Julia pun kini memiliki sedikit alasan untuk bisa menghindar dari murid-muridnya, dan toilet adalah tempat yang menurutnya paling ampuh untuk menetralkan diri.
Ia pun bergegas menuju ke sayap kiri gedung Sekolah Dasar itu, lalu kemudian masuk ke dalam toilet yang dikhususkan hanya untuk para guru-guru di sana saja.
Sejujurnya kandung kemihnya memang sudah terasa penuh sejak beberapa menit yang lalu, jadi Julia memang tak sepenuhnya membohongi murid-muridnya.
Hanya saja saat sudah menurunkan celana dalamnya, suara ponsel yang ia letakkan di atas ventilasi pintu toilet pun berbunyi nyaring, dan hal itu sangat membuatnya terganggu.
š²šBila nanti saatnya telah tibaaa... Kuingin kau menjadi milikkuuu...š²š
Julia bahkan tak sengaja melatah sebelum ia melontarkan sejumlah repetan berserta umpatannya, “Eh, kodok! Astagaaa... Hampir celana dalam gue jatuh ke bawah gara-gara suara hape. Kan lantainya basah ini. Ck! Siapa yang nelepon jam segini, sih? Sial— Nomor baru? Siapa nih? Apa ini nomornya si Saidan kunyuk itu? Ck! Nyebelin banget deh ah. Kenapa juga dia jadi heboh gangguin gue dari tadi pagi, sih?! Apa belum cukup dia ngeblokir nomor hape sama WA gue? Kenapa, sih, tuh or—”
Tok tok tok
“Halo, siapa di dalam? Ini saya, Pak Faisal. Masih lama ya? Di sebelah closet duduknya rusak. Saya sakit perut jadi lagi butuh toilet, Pak Bu.” Namun omelan Julia harus terhenti, tatkala ia mendengar ketukan pintu diikuti dengan suara guru olahraga bernama Faisal.
Pak guru tersebut mengatakan jika saat ini ia sangat membutuhkan toilet yang sedang Julia gunakan, karena memang hanya tempat itulah yang masih berfungsi dengan baik.
Alhasil dengan sedikit terbata, Julia pun memilih untuk cepat-cepat menuntaskan kebutuhannya di sana, “Eh? Iy..iya-iya. Tunggu sebentar saya siram dulu, Pak Fais. Astagaaa...!”
“Iya, Bu. Maaf mengganggu.”
“Nggak papah, Pak. Nggak papah. Tunggu sebentar.” Lalu keluar setelah ia membenarkan rok pensil dan juga kemejanya.
Ceklek
Sang guru olahraga pun sempat terkejut ketika mengetahui jika yang berada di dalam toilet tersebut adalah guru matematika incarannya, “Eh, Bu Julia ternyata. Maaf banget ya, Bu? Perut saya sakit ini soalnya.”
Pria tiga puluh tahun itu pun dengan cepat memasang senyum manisnya, “Nggak papah kok, Pak Fais. Saya juga cuma kencing doang ini. Mari silahkan, Pak. Saya permisi dulu.”
“Ah, ya. Makasih, Bu.” Tetapi Julia memilih untuk melenggang pergi tanpa memedulikannya, karena memang pikiran si ibu guru saat ini sedang tidak berada pada tempatnya.
Julia memilih untuk berdiri sejenak di dekat tembok rata putih. Ia berniat untuk kembali mematikan bunyi di ponselnya, namun rasa kesal sepertinya masih ingin menghampirinya, mana kala belum apa-apa benda pipih itu sekali lagi berbunyi nyaring.
š²šBila nanti saatnya telah tibaaa... Kuingin kau menjadi milikkuuu...š²š
Sederet nomor tanpa nama seperti beberapa menit lalu muncul lagi dan membuatnya menggerutu, “Aduhaiii... Orang ini kenapa, sih? Baru juga gue hidupkan lagi suara hapenya, eh dia udah heboh telepan telepon nggak tahu aturan. Emangnya gue lagi main petak umpet? Gue lagi kerja kali, Bro! Lama-lama bisa ditegur Pak Kepsek kalo gini terus sepanjang hari. Sontoloyo!”
Gerutuan tersebut bahkan sampai ke telinga Faisal, ketika guru olahraga itu bersiap meninggalkan area toilet, dan membuatnya mencoba untuk berbasa-basi dengan Julia, “Siapa yang Sontoloyo, Bu? Masih di sini? Saya kira sudah kembali ke kelas 4A. Hehe...”
“Pak Fais? Kepo aja!” Tapi Julia memilih untuk bersikap tidak bersahabat dan ketus.
Akan tetapi bukan Faisal namanya jika pria itu segera berlalu dari hadapan Julia. Ia mencoba kembali bercengkerama sembari membahas uneg-unegnya di sana, “Hahaha... Sekali-sekali kepoin cewek cantik boleh dong. Ngomong-ngomong nomor hape Bu Julia masih yang lama nggak? Soalnya saya chat di WA kok nggak pernah dibalas ya? Dibaca doang kayak koran pagi di ruangan guru. Sakit banget rasanya.”
“Idih, Pak Fais! Masa, sih, nggak dibalas? Kan saya sering banget tuh balas chat Bapak.”
“Pake stiker doang tapinya kan, Bu? Bukan pakai kalimat.”
“Ya kan isi chat Bapak kebanyakan broadcast guyonan gitu. Jadi ya saya balas aja pake stiker ngakak. Salahnya di mana?”
“Hehe... Iya juga, sih. Tapi saya kan—”
“Astagaaa...! Udah jam segini!” Namun Julia memilih untuk mengambil langkah seribu, dengan mengakhiri perbincangan yang menurutnya tidak berfaedah itu.
“Lho! Kenapa toh, Bu?”
“Itu, Pak. Saya lupa ngasih sambungan soal matematika untuk anak-anak. Nanti lagi ya ngobrolnya. Saya permisi dulu. Bye, Pak Fais...” Secepat kilat kaki ibu guru cantik itu melangkah menuju ke arah kelas 4A tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.
“Ealahhh... Kabur dia. Apes lagi deh gue. Hufttt...” Dan ujung-ujungnya Faisal hanya bisa menghela napas panjang, akibat penolakan yang Julia berikan padanya.
Pria itu memilih untuk kembali ke lapangan olahraga, lalu kembali mengajar murid-murid seperti apa yang Julia lakukan.
Saidan menggerutu sembari menatap ke layar ponselnya. Saat ini ia tengah berada di tempat makan yang tak jauh dari tempat kerjanya sendirian saja, namun tak lama kemudian bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang.Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Heru Sudi Hutomo, sahabat gila Saidan Pratama Putra.Pria asal Jember itu datang bersama dengan sejumlah ledakannya di sana, āGimana, Dan? Kok muka lo jelek gitu? Dilihatin si Noni terus tuh. Kayaknya dia naksir deh sama lo?āāCk! Bisa diem nggak lo, Her? Cewek aja terus yang ada dalam pikiran lo. Dasar otak mesum! Gimana nasib adek gue kalo sampe punya suami kayak lo gini? Musibah!ā Sehingga Saidan yang kesal akibat teleponnya tak digubris oleh Julia, pun dengan sinis membalas ejekan itu.Heru tak lantas menanggapi kata-kata itu dengan serius, karena sebagai seorang teman yang sudah hampir enam bulan bekerja bersama, ia sudah mulai paham bagaimana sifat dan
Saidan dan Heru mendekat ke arah halaman kantor provider tempat mereka bekerja. Di sana sudah ada ibu kandung Saidan, yang ingin meminta penjelasan pada sang putra.Degupan jantung Saidan, jujur saja saat ini tak ubahnya seperti suara beduk lebaran. Tak ada seulas senyum pun di wajah tampannya, sehingga Heru pun memutuskan untuk mencairkan suasana.Ia mencoba untuk berpamitan pada Saidan, "Eh, Bro. Gue duluan atau bantuin lo ngomong ke nyo--""Lo masuk aja, Her. Ntar aja gue ceritain hasilnya ke elo." Namun belum selesai Heru berbicara Saidan sudah lebih dulu memotong ucapannya, dengan berkata jika tidak memerlukan bantuannya.Heru yang mengangguk lantas berbicara lagi di sana, "Oh, oke-oke. Gue masuk deh. Tapi pake acara negor nyokap lo nggak nih?"Alhasil langkah kaki Saidan secara otomatis terhenti kali ini, sebab jawaban dari teman gilanya itu belum ia dengar.Tentu
Saidan duduk bersila tepat di depan pintu kamar Heru, dengan perasaan yang tidak menentu. Sejak tadi tatapan matanya hanya tertuju ke arah pintu kamar kos Julia, dan hal tersebut tentu saja tak luput dari perhatian Heru.Pria asal Jember itu tahu pasti jika saat ini teman gilanya sedang dalam keadaan galau gundah gulana, memikirkan si tetangga kos yang belum menampakkan batang hidungnya sama sekali.Oleh sebab itu Heru pun berinisiatif untuk menegur Saidan terlebih dahulu, "Ayo jalan, Dan. Kok masih di sini? Katanya kita mau ke rumah lo buat ngambil kasur sama baju-baju. Nanti semakin larut nih. Jadi jalan nggak, sih?""Besok aja deh, Her. Gue masih mau nungguin Julia datang dan bicara empat mata sama dia." Namun jawaban yang Saidan berikan, sungguh di luar dugaan Heru.Meski begitu Heru belum mau membiarkan keinginannya tak tercapai, sebab jujur saja ia memiliki tujuan penting di rumah Saidan nantinya.
"Lo kenapa dari tadi senyam senyum muluk, Dan? Ada orderan baru ya? Fuso apa truck nih? Atau jangan-jangan rental lagi ya kayak kemarin?" tanya Heru yang baru saja datang ke kantor jasa penyewaan angkutan umum milik ayah Saidan, Angga Pratama Putra.Ya, itu memang benar adanya. Heru dan Saidan, nyatanya sudah kurang lebih enam hari bekerja di sana. Heru mendapat respon baik dengan jabatannya sebagai seorang karyawan di bagian administrasi, sementara Saidan sendiri mendapat tempat terbaik persis satu tangga di bawah kaki sang ayah.Saidan berhenti menjadi seorang operator seluler dengan mengajak serta Heru bersamanya, "Bukan soal kerjaan kok, Her. Tapi gue baru habis nyetor foto ke Julia, terus dia balas pake stiker kiss-kiss unyu nih. Lo mau lihat? Tuh, coba deh lo kasih tanggapan ini maksudnya apaan coba?" Karena laki-laki dua puluh tujuh tahun itu kini memiliki tujuan yang ingin ia capai.Hal tersebut tentu saja ma
Saidan Pratama Putra POVPagi itu setelah Heru masuk ke dalam toilet, aku mendapat panggilan telepon dari Mama di rumah.Dari intonasi suaranya, aku tahu ia sedang marah padaku, "Kamu di mana, Saidan?! Cepat pulang ke rumah sekarang juga!"Tentu saja aku merasa aneh dan menjawab pertanyaan Mama dengan satu pertanyaan pula, "Kenapa, Ma?"Akan tetapi Mama tidak memberikan jawaban yang kuinginkan saat itu juga, "Jangan banyak tanya, Saidan! CEPAT PULANG SEKARANG JUGA!" Lalu sambungan telepon pun terputus.KlikSeharusnya aku tahu gerutuanku tak berguna, karena Mama sudah pasti tak dapat mendengarnya.Sayangnya aku yang terlihat tolol menyerukannya juga, "Egh? Halo, Ma? Halo? Hemmm... Dimatikan. Kenapa, sih? Apa ada yang salah sama--""Saidan, kita pulang ke rumah sekarang!" Tapi itu
Julia Malika KuncoroAku tak tahu apa yang harus ku perbuat. Tiba-tiba saja hidupku terasa hancur, hingga membuatku terus mengeluarkan air mata. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Seperti patah, bahkan memercikkan banyak darah dan semua ini hanya karena seorang Saidan Pratama Putra. Ya, laki-laki itulah yang membuatku tiba-tiba saja menangis dan mengurung diriku di dalam kamar ini. Sejak enam hari yang lalu, kami kembali berkomunikasi seperti sebelumnya. Aku bukan hanya membaca kalimat demi kalimat darinya, tapi mendengarkan suaranya juga.Dia berkata akan mengajakku bertemu untuk menagih janjiku satu minggu yang lalu, namun mungkin semua itu tak bisa terjadi, saat kata-kata Mama kembali mengisi di setiap sudut kepalaku, "Cewek itu dihamili Saidan, Lika. Tapi Saidannya nggak mau tanggung jawab katanya!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Nayla Rosita Dewi binti Mustafa Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!" "Sah?""Sahhh...!"Hancur. Remuk bagaikan sebuah kaleng bekas yang terkena ban mobil, mungkin adalah gambaran hati Saidan saat ini. Statusnya yang sudah menikah dengan Nayla tanpa ia kehendaki, tentu saja menyakitkan untuk seorang Julia Malika Kuncoro. Perjodohan yang telah digadang-gadang oleh kedua orang tua keduanya, kini berpindah posisi menjadi milik Hadi dan Nasha, adik-adik mereka.Seharusnya, semua bisa di kendalikan saat ini. Saidan yakin menggunakan pengaman saat berhubungan dengan Nayla meski dalam keadaan mabuk sekalipun, namun Angga Pratama Putra dan Stella Syaqila tidak mendukungnya.Stella beralasan suka tidak suka, Saidan sudah menodai Nayla, padahal ia bukanlah pria pertamanya. Angga pun m
"Hallo, selamat pagi Ibu Julia dengan Saidan ada yang bisa dibantu?""What? Ibu? Saya belum nikah, Mas. Jadi panggilnya jangan Ibu!" kesal Julia, "Panggil Julia aja. Ju.li.a. Julia Malika Kuncoro! Ngerti nggak?" tambah Julia mengeja namanya.Terdengar kekehan kecil dari lubang smartphone milik Julia dan tentu saja itu adalah suara dari petugas call center salah satu provider besar di Indonesia, bernama lengkap Saidan Pratama Putra tadi."Iya, Mbak Julia. Ada yang bisa kami bantu?"Nampak sekali lagi suara laki-laki itu mencoba untuk bersahabat dengan Julia, namun sayangnya si guru honorer kembali lagi melontarkan amukannya lagi."Ih, Mas ini ada-ada aja. Tadi 'kan udah gue kasih tahu jangan panggil Mbak! Memangnya aku ini udah setua itu? Ya udah deh, masa bodoh ah sama kamu, Mas!" umpat Julia, "Intinya aku mau minta tambahan extra quota dong. Soalnya quota di kartu aku habis nih," sebelum
"Saya terima nikah dan kawinnya Nayla Rosita Dewi binti Mustafa Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!" "Sah?""Sahhh...!"Hancur. Remuk bagaikan sebuah kaleng bekas yang terkena ban mobil, mungkin adalah gambaran hati Saidan saat ini. Statusnya yang sudah menikah dengan Nayla tanpa ia kehendaki, tentu saja menyakitkan untuk seorang Julia Malika Kuncoro. Perjodohan yang telah digadang-gadang oleh kedua orang tua keduanya, kini berpindah posisi menjadi milik Hadi dan Nasha, adik-adik mereka.Seharusnya, semua bisa di kendalikan saat ini. Saidan yakin menggunakan pengaman saat berhubungan dengan Nayla meski dalam keadaan mabuk sekalipun, namun Angga Pratama Putra dan Stella Syaqila tidak mendukungnya.Stella beralasan suka tidak suka, Saidan sudah menodai Nayla, padahal ia bukanlah pria pertamanya. Angga pun m
Julia Malika KuncoroAku tak tahu apa yang harus ku perbuat. Tiba-tiba saja hidupku terasa hancur, hingga membuatku terus mengeluarkan air mata. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Seperti patah, bahkan memercikkan banyak darah dan semua ini hanya karena seorang Saidan Pratama Putra. Ya, laki-laki itulah yang membuatku tiba-tiba saja menangis dan mengurung diriku di dalam kamar ini. Sejak enam hari yang lalu, kami kembali berkomunikasi seperti sebelumnya. Aku bukan hanya membaca kalimat demi kalimat darinya, tapi mendengarkan suaranya juga.Dia berkata akan mengajakku bertemu untuk menagih janjiku satu minggu yang lalu, namun mungkin semua itu tak bisa terjadi, saat kata-kata Mama kembali mengisi di setiap sudut kepalaku, "Cewek itu dihamili Saidan, Lika. Tapi Saidannya nggak mau tanggung jawab katanya!"
Saidan Pratama Putra POVPagi itu setelah Heru masuk ke dalam toilet, aku mendapat panggilan telepon dari Mama di rumah.Dari intonasi suaranya, aku tahu ia sedang marah padaku, "Kamu di mana, Saidan?! Cepat pulang ke rumah sekarang juga!"Tentu saja aku merasa aneh dan menjawab pertanyaan Mama dengan satu pertanyaan pula, "Kenapa, Ma?"Akan tetapi Mama tidak memberikan jawaban yang kuinginkan saat itu juga, "Jangan banyak tanya, Saidan! CEPAT PULANG SEKARANG JUGA!" Lalu sambungan telepon pun terputus.KlikSeharusnya aku tahu gerutuanku tak berguna, karena Mama sudah pasti tak dapat mendengarnya.Sayangnya aku yang terlihat tolol menyerukannya juga, "Egh? Halo, Ma? Halo? Hemmm... Dimatikan. Kenapa, sih? Apa ada yang salah sama--""Saidan, kita pulang ke rumah sekarang!" Tapi itu
"Lo kenapa dari tadi senyam senyum muluk, Dan? Ada orderan baru ya? Fuso apa truck nih? Atau jangan-jangan rental lagi ya kayak kemarin?" tanya Heru yang baru saja datang ke kantor jasa penyewaan angkutan umum milik ayah Saidan, Angga Pratama Putra.Ya, itu memang benar adanya. Heru dan Saidan, nyatanya sudah kurang lebih enam hari bekerja di sana. Heru mendapat respon baik dengan jabatannya sebagai seorang karyawan di bagian administrasi, sementara Saidan sendiri mendapat tempat terbaik persis satu tangga di bawah kaki sang ayah.Saidan berhenti menjadi seorang operator seluler dengan mengajak serta Heru bersamanya, "Bukan soal kerjaan kok, Her. Tapi gue baru habis nyetor foto ke Julia, terus dia balas pake stiker kiss-kiss unyu nih. Lo mau lihat? Tuh, coba deh lo kasih tanggapan ini maksudnya apaan coba?" Karena laki-laki dua puluh tujuh tahun itu kini memiliki tujuan yang ingin ia capai.Hal tersebut tentu saja ma
Saidan duduk bersila tepat di depan pintu kamar Heru, dengan perasaan yang tidak menentu. Sejak tadi tatapan matanya hanya tertuju ke arah pintu kamar kos Julia, dan hal tersebut tentu saja tak luput dari perhatian Heru.Pria asal Jember itu tahu pasti jika saat ini teman gilanya sedang dalam keadaan galau gundah gulana, memikirkan si tetangga kos yang belum menampakkan batang hidungnya sama sekali.Oleh sebab itu Heru pun berinisiatif untuk menegur Saidan terlebih dahulu, "Ayo jalan, Dan. Kok masih di sini? Katanya kita mau ke rumah lo buat ngambil kasur sama baju-baju. Nanti semakin larut nih. Jadi jalan nggak, sih?""Besok aja deh, Her. Gue masih mau nungguin Julia datang dan bicara empat mata sama dia." Namun jawaban yang Saidan berikan, sungguh di luar dugaan Heru.Meski begitu Heru belum mau membiarkan keinginannya tak tercapai, sebab jujur saja ia memiliki tujuan penting di rumah Saidan nantinya.
Saidan dan Heru mendekat ke arah halaman kantor provider tempat mereka bekerja. Di sana sudah ada ibu kandung Saidan, yang ingin meminta penjelasan pada sang putra.Degupan jantung Saidan, jujur saja saat ini tak ubahnya seperti suara beduk lebaran. Tak ada seulas senyum pun di wajah tampannya, sehingga Heru pun memutuskan untuk mencairkan suasana.Ia mencoba untuk berpamitan pada Saidan, "Eh, Bro. Gue duluan atau bantuin lo ngomong ke nyo--""Lo masuk aja, Her. Ntar aja gue ceritain hasilnya ke elo." Namun belum selesai Heru berbicara Saidan sudah lebih dulu memotong ucapannya, dengan berkata jika tidak memerlukan bantuannya.Heru yang mengangguk lantas berbicara lagi di sana, "Oh, oke-oke. Gue masuk deh. Tapi pake acara negor nyokap lo nggak nih?"Alhasil langkah kaki Saidan secara otomatis terhenti kali ini, sebab jawaban dari teman gilanya itu belum ia dengar.Tentu
Saidan menggerutu sembari menatap ke layar ponselnya. Saat ini ia tengah berada di tempat makan yang tak jauh dari tempat kerjanya sendirian saja, namun tak lama kemudian bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang.Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Heru Sudi Hutomo, sahabat gila Saidan Pratama Putra.Pria asal Jember itu datang bersama dengan sejumlah ledakannya di sana, āGimana, Dan? Kok muka lo jelek gitu? Dilihatin si Noni terus tuh. Kayaknya dia naksir deh sama lo?āāCk! Bisa diem nggak lo, Her? Cewek aja terus yang ada dalam pikiran lo. Dasar otak mesum! Gimana nasib adek gue kalo sampe punya suami kayak lo gini? Musibah!ā Sehingga Saidan yang kesal akibat teleponnya tak digubris oleh Julia, pun dengan sinis membalas ejekan itu.Heru tak lantas menanggapi kata-kata itu dengan serius, karena sebagai seorang teman yang sudah hampir enam bulan bekerja bersama, ia sudah mulai paham bagaimana sifat dan
Julia sedang mengajar Matematika di hadapan para murid Sekolah Dasar kelas 4A. Saat ini sang ibu guru cantik sementara menulis soal tentang KPK dan FPB, “Eh, maaf. Siapa ya?” Akan tetapi ingatannya penuh dengan nama Saidan dan juga bagaimana tutur kata pria itu, ketika mereka bertemu secara tidak sengaja tadi pagi.Secepat kilat Julia mempercepat laju tangannya di depan white board, namun dari kedua bibirnya, sejumlah gerutuan mengalir begitu saja di sana, “Sialan emang tuh laki! Bisa-bisanya dia pura-pura nggak kenal gue? Padahal kan kemarin sempat video call. Dasar! Awas aja dia ntar. Gue harus cepat-cepat blokir nomor hape, WA sama akun FB-nya sebelum terlambat nih. Soalnya feeling gue, kayaknya dia bakalan coba buat kepo deh tuh. Secara kan hari ini gue pake rok pensil sama kemeja. Rambut gue tadi sempat diurai juga sebelum dicepol kayak gini. Jadi pagi tadi kayaknya dia pasti terkesima dong sama penampilan gue. Ya nggak, sih
“Udah belom, Dan? Lama banget, sih, lo mandinya? Kita bisa terlambat nih!” teriak Heru sembari memasang kancing seragam kerjanya.Saat ini jarum jam dinding sudah hampir mengarah ke angka tujuh. Padahal tepat pukul delapan adalah batas maksimum untuk masuk kerja, tanpa kata terlambat di kantor mereka.Hal tersebutlah yang membuat Heru sedikit terburu-buru dengan aktivitasnya, namun bagi Saidan, kehebohan itu terlalu berlebihan.Ia keluar dari dalam kamar mandi sembari merepeti Heru pula, "Sabar dikit napa, Her. Gue kan kudu nyiduk air dulu di kamar mandi lo pake gayung. Memang ada shower? Bikin kesel aja. Capek tahu!”Tentu saja setelahnya ocehan demi ocehan terjadi di sana dengan gaya bicaranya masing-masing.Sejak keduanya mendeklarasikan status sebagai teman, kejadian itu tak pernah berhenti mereka lakukan, “Gue ini orang miskin yang udah nggak punya orang tua la