Irvan mendengarkan dengan serius kabar yang dia dengar tentang ibunya di telpon. Wajah Irvan semakin tegang. Stefi menatapnya dengan rasa penasaran, apa yang terjadi. Irvan menutup telpon dan seketika berdiri. "Kita pulang." "Irvan, ada apa?" Stefi bertanya dengan rasa mulai cemas. Dia yakin ada yang buruk terjadi. "Ibu jatuh. Dia demam tinggi." Irvan menjawab sambil berjalan cepat keluar resto. "Ya Tuhan. Ir, aku telpon mama, biar lihat ibu di rumah." Sigap, Stefi menghubungi Deasy. Sementara dia menyusul Irvan yang berjalan semakin cepat ke tempat parkir. Perjalanan menuju rumah seakan lambat. Apalagi jalanan cukup ramai. Irvan tidak sabar. Dia sangat kuatir ibunya akan mengalami hal yang berat. Kehilangan ayah karena kecelakaan, lalu ibunya lumpuh adalah hal yang menyakitkan buat Irvan. Dia tidak mau ibunya akan pergi sebelum dia bisa memenuhi keinginannya yang terakhir, punya pendamping dan anak-anak, hidup bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Irvan terlihat gusar dan cem
Bukan hal baru, kalau Fea dianggap rendah oleh orang lain. Bukan hal yang aneh, kalau temannya melihat Fea hanya sebelah mata. Namun, perkataan Isti kali ini entah kenapa membuat Fea sangat kesal. "Rania, kurasa aku akan berhenti bekerja." Fea menoleh pada Rania. "Apa?" Dengan cepat Rania memutar kursi kerjanya menghadap Fea. "Sebenarnya Arnon meminta aku berhenti bekerja. Dia ingin aku mengurus rumah saja. Aku masih bernegoisasi sama dia. Minta waktu sampai aku hamil." Fea menjawab dengan wajah kesal campur sendu. "Kamu marah karena Isti?" tanya Rania. Dia yakin itu alasannya. "Hm, kamu benar. Apa salah aku marah? Aku lelah dengan orang-orang yang hanya merasa paling benar. Mengatakan orang lain semaunya padahal tidak kenal dengan baik. Akhir bulan ini aku akan resign." Fea memutuskan. "Itu sepuluh hari lagi, Fea. Kamu tega ninggalin aku?" Rania memegang kedua tangan Fea. Fea memandang Rania yang seketika memadang wajah memelas. "Aku sayang pekerjaan di sini, Ran. Aku senang b
Arnon menghubungi Fea sementara dia menuju ke tempat Fea kerja. Arnon minta Fea bersiap pulang. Fea memang sudah membereskan mejanya saat Arnon menelpon. Dia tinggal menunggu saja dijemput. Lima menit berikut Arnon dan Fea sudah berada dalam satu mobil. Arnon memperhatikan raut wajah Fea yang sedikit tegang. "Hai, are you okay?" tanya Arnon. Dia tetap pegang kemudi, melihat jalanan yang ramai. "Not really. But, I am ready." Fea berkata dengan tegas. Dia sedang menguatkan dirinya. Ini resiko yang harus dia hadapi. Arnella sudah bereaksi. Entah bagaimana Ardiansyah, lalu Hendrawan yang lain. Pasti akan lebih berat ke depan. Tapi Fea sudah siap. Dia sudah menjadi satu dengan Arnon. Tidak ada alasan untuk Fea mundur. Sampai di rumah, Arnon mengajak Fea duduk di ruang tengah dan bicara. "Sampai beberapa waktu ke depan, cerita kita akan kembali ramai. Orang mau bilang apa aku ga peduli. Aku sayang kamu, Fea. Yang aku kuatir, tindakan keluarga Hendrawan. Ini bukan lagi soal cinta kita a
Fea mengusap lembut pipi Arnon. Fea sangat, sangat sayang Arnon. Namun, memanggil Arnon dengan sebutan romantis masih tidak mudah buat Fea. Dia sadari itu karena Arnon kekasih pertamanya. Dia kenal Arnon sejak kecil dan mengenalnya sebagai Tuan Mudanya, majikannya. "Kamu sudah lelah, lihat mata kamu. Makin kecil," kata Fea. Dia masih memandang Arnon, dengan tangan juga masih di pipi Arnon. Sedang hatinya sudah makin bergemuruh. "Iya, sangat lelah. Tapi ga mau tidur." Arnon membalas tatapan Fea. Hasrat Arnon mulai bangkit. Fea tersenyum. Dia makin memahami bahasa cinta Arnon. Dia tahu apa yang Arnon minta. Arnon menuntun Fea meninggalkan ruang kerja, masuk ke dalam kamar mereka. Malam mulai larut. Meski lelah mendera, Arnon belum ingin cepat tidur. Dia butuh merengkuh wanita yang dia cintai. Dia butuh melepas semua penat dengan memberikan sentuhan cinta buat istrinya. Fea berusaha mengerti ini. Sekalipun dia juga letih, dia harus bisa memenuhi kebutuhan terdalam suaminya. Apalagi
Irvan memahami yang Stefi katakan. Irvan tidak terlalu pusing dengan masalah seorang wanita masih murni atau tidak, masih gadis atau tidak. Itu masalah pribadi masing-masing orang. Dia hanya ingin yakin Stefi memang mau menjalin hubungan lebih serius dengan dirinya. "Aku mungkin terlalu berani menurut kamu ... Hanya saja ... aku ..." Stefi masih harus memilih kalimat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dia pikirkan. "Tapi aku tidak menganggap hubungan di antara pria dan wanita itu hanya untuk kesenangan semata. Aku ..." Irvan menarik Stefi kembali dalam dekapannya. Dia sekarang yang memulai. Irvan mengecup lembut Stefi. Irvan mau stefi pun tahu, dia ingin serius dengan hubungan yang dia akan jalani dengan Stefi. "Ir ..." Stefi akhirnya melepaskan Irvan. Dia butuh kepastian jika Irvan tidak akan main-main dengannya. "Aku mau kita menikah." Irvan kembali memandang Stefi. Kedua tangannya masih menggenggam erat tangan gadis itu. "Apa?" cepat Stefi menyahut. Rasanya tak percaya I
Mata Stefi membelalak lebar. Butik dapat komplain dari pelanggan. Alasannya, pesanan tidak sesuai permintaan. Dan pelanggan itu bukan saja marah pada para pegawai. Dia membuat video kekesalannya saat protes di butik dan mem-posting keluhannya di sosmed. Dalam waktu singkat banyak komen negatif bertebaran. Ini sangat tidak baik buat perkembangan butik. Apalagi orang mulai tahu Stefi. Calon menantu keluarga Hendrawan yang kabur di hari pernikahan. Bisa gawat memang jika dibiarkan. "Dora, kamu tolong redakan marah ibu itu. Kita akan ganti rugi untuk pesanan yang tidak sesuai. Lalu dia bisa minta dibuatkan yang baru dua potong gratis." Dengan cepat Stefi mengambil keputusan. "Mbak, dia ga mau. Dia masih marah-marah ga jelas. Katanya minta bertemu dengan pemilik butik. Gimana, Mbak?" Dora, asisten Stefi terdengar cemas. "Oke. Bisa kamu berikan ponsel ini pada ibu itu?" Stefi minta dia bicara dengan pelanggan yang rempong itu. Dora segera beranjak, dia menemui ibu pelanggan yang sedang
Di hari yang sama di sisi lain kota itu, di kantor besar dan megah, kantor utama perusahaan Hendrawan, tampak suasana tegang memenui pagi yang cerah. Arnon duduk di sana, bersebelahan dengan Arnella. Di depan mereka ada lima anak Hendrawan yang lain, bersama tiga pria kepercayaan Hendrawan, salah satunya pengacara perusahaan. Sedang Tuan besar, duduk di kursi utama. Sesuai aturan yang ada di keluarga besar itu, hari ini Ardiansyah akan mengalihkan satu perusahaannya kepada Arnon. Jika di antara anak Hendrawan dari istri pertama, peristiwa ini akan menjadi peristiwa menyenangkan, beda dengan yang terjadi pada Arnon. Sejak Arnon belum ada, kebencian sudah tertanam di hati anak-anak Ardiansyah pada Arnella. Mereka tidak pernah mau menerima papa mereka kembali berbagi hati dan kehidupan dengan wanita lain. Cukup sakit hati mereka melihat ibu yang mereka sayangi harus dimadu. Lalu muncul madu yang berikutnya? Sangat menggelikan! "AKu ga bisa terima, Pa. Ada alasan yang sangat kuat aku me
Ardiansyah memandang pada Arnon, lalu Arnella, dan kepada anak-anaknya. Dia ingin urusan ini segera selesai. "Baiklah, tanpa perlu memperpanjang lagi, isi perjanjian ini sama dengan yang kalian pegang ketika menerima perusahaan yang kalian kerjakan sekarang. Jadi, tidak ada alasan Ardina dan Ardan tidak mau menerima keputusan ini." Ardiansyah bicara lagi untuk mereka semua. "Kita akan menandatangani kesepakatan dan perjanjian. Setelah itu, sejak awal bulan depan, Arnon resmi menjadi pemimpin PT Arhen Sinar Tekstil. Kamu akan dibantu dua asisten kamu, Pak Juno dan Pak Alim." Ardiansyah melihat ke dua pria yang dari tadi hanya berdiam melihat perdebatan keluarga Hendrawan itu. Saat nama mereka disebut, mereka berdiri dan menganggukkan kepala kepada Arnon. Mereka sudah mendengar sepak terjang Arnon selama ini, mereka tahu, Arnon juga punya jiwa juang seperti papanya. Mereka berharap Arnon tidak seburuk yang mereka dengar selama ini dalam hal karakternya. Dengan rasa dongkol, Ardan dan
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b