Ini yang membuat Arnon tidak bisa tidak sayang pada Fea. Hatinya yang begitu tulus dan baik. TIdak pernah menyimpan benci, bahkan pada orang yang memusuhinya, orang yang ingin mencelakainya.
"Apa rencanamu?" Marah Arnon mulai mereda. Masih ada nada kesal juga di sana.
"Kamu sambil sarapan, ya?" bujuk Fea.
Arnon manut. Fea mengambilkan makanan buat Arnon. Sambil suaminya makan, Fea mulai mengutarakan apa yang ada di pikirannya. Dia ingin mencarikan tempat buat Soraya, tempat yang jauh, aman, dan tidak akan diganggu Ardan lagi.
Arnon hanya bisa geleng kepala. Fea memikirkan keamanan dan kenyamanan wanita jahat yang terang-terangan ingin membuat kacau keluarganya. Apa yang ada di kepala Fea? Terbuat dari apa hati istrinya ini?
Setelah selesai makan, Arnon segera pergi mandi. Dia tidak menjawab apapun yang Fea katakan. Fea yang gelisah jadinya. Semua yang dia pikirkan sudah disampaikannya, tapi Arnon malah diam saja.
Ternyata Arnon b
Fea menunggu di kamar bersama Soraya dan Riko. Entah apa yang Arnon lakukan, dia keluar dan bilang akan pergi sebentar saja. Fea memandang Riko yang tetap di posisinya, bersandar di dinding dekat pintu. "Arnon mau ngapain, Pak?" tanya Fea. Dia kuatir Arnon akan melakukan sesuatu untuk membalas Soraya. Riko menoleh dan tersenyum. "Aku tidak tahu. Tapi aku yakin, bukan sesuatu yang buruk. Kamu jangan kuatir, Soraya." Pandangan Riko berpindah pada Soraya yang gelisah, duduk dengan memainkan jarinya terus. "Kalau dia tidak mau menuruti aku, aku sudah punya cara membuat dia mengubah pikirannya." Fea berkata dengan tegas. Ya, dia tidak boleh sampai mengingkari janji pada Soraya. "Kalau Pak Arnon tidak mau mendengar, biar aku pergi. Aku pasti menemukan tempat buatku." Soraya menyahut. Arnon muncul di pintu. Dia langsung melihat kepada dua wanita yang duduk bersebelahan di kamar itu. Dia tidak begitu suka Fea dekat-dekat dengan Soraya.
"Bunga hati sampai kapanpun akan tetap tersimpan di dalam hati." Fea mengulang kalimat yang dikatakan Lukman. Arnon dan Lukman memandang Fea yang begitu penuh haru menemukan jejak masa lalu orang-orang yang dekat dengan hidupnya. "Kamu tidak asing dengan kata-kata itu?" tanya Lukman. Fea menggeleng. "Mama dan nenek beberapa kali mengatakannya. Aku pikir itu hanya ungkapan rasa sayang mereka satu sama lain. Aku perlu menunjukkan sesuatu." Fea melangkah ke kamar, dia membuka laci paling bawah di lemari pakaian. Ada kotak kecil di sana, peninggalan dari neneknya. Dia perhatikan kotak itu. Ada gambar bunga berwarna putih dan kuning, juga gambar dua hati. Fea menyimpannya karena ingin terus mengingat neneknya. Isinya sebuah buku kecil catatan lagu-lagu kesukaan Nenek Ellina. Dengan kotak kecil di tangan, Fea kembali ke ruang tengah dan meletakkan kotak kecil itu di atas meja. Lukman dan Arnon memperhatikan kotak kecil yang bahkan lebarnya leb
Di depan Klinik Ibu dan Anak di ujung jalan itu masih ada beberapa ibu-ibu mengantre akan memeriksakan kandungannya. Di antara mereka tampak Fea dan Rania duduk sambil ngobrol. Sore itu jadwal Rania dan Fea kontrom kehamilan. Tidak sengaja, ternyata jadwal mereka bisa bersama. Rania dengan ceria menuturkan proses yang dia sudah lewati hingga tinggal tiga minggu lagi dia akan melahirkan. Fea mendengarkan baik-baik pengalaman sahabatnya. Bagus juga dia dapat banyak tips dari Rania yang sudah selangkah lebih dulu menghadapi masa kehamilan. "Anak kamu manis banget. Sudah jalan dua bulan malah ga pusing-pusing, ga mual? Aku waktu itu harus berjuang keras bisa bangun dan berangkat kerja tiap pagi." Rania mengingat lagi awal-awal kehamilannya. Fea tidak mungkin lupa. Bahkan di kantor juga Rania masih akan muntah-muntah. Setelah lewat jam sepuluh pagi, dia bisa kembali normal. Di kursi seberang mereka, Jaka dan Arnon duduk bersebelahan. Sama, Jaka bicara bany
Rasa terkejut Fea belum juga hilang, pria itu kembali meraih tangan Fea. "Maaf, kamu tidak apa-apa? Aku tidak sengaja." Pria itu lumayan manis, berkulit sawo matang, dengan mata lebar, Badannya sedikit lebih tinggi dari Arnon, tapi lebih kurus. Fea menarik tangannya, melepaskan pegangan pria itu. "Ya, tidak apa-apa. Permisi." Fea cepat-cepat berjalan meninggalkannya, meneruskan langkahnya menuju ke tempat parkir. Stefi sudah di dalam mobil, menunggu Fea. Fea baru membuka pintu mobil, tiba-tiba pria tadi memanggil Fea. "Fea! Ada yang ketinggalan!" Fea menoleh. Pria itu mengacungkan ponsel yang ada di tangannya. Fea terkejut lagi. Bagaimana bisa ponselnya berada di tangan pria itu? Fea yakin ponselnya tidak terjatuh. "Ini punya kamu, bukan?" Pria itu mendekat dan mengulurkan ponsel. Masih dengan rasa heran, Fea menerimanya. "Ya, ini punyaku. Kok bisa?" "Kurasa terjatuh saat kita bertabrakan tadi." Pria itu tersenyum
Arnon tidak menunda lagi. Dia akan pulang lebih cepat. Dia akan minta Fea menjelaskan apa yang terjadi. Saat dia pergi, Fea bebas jalan dengan siapa yang dia mau. Bagus sekali! Tanpa berpikir panjang, Arnon membeli tiket pesawat yang paling cepat untuk dia bisa kembali pulang. Sayangnya tetap saja, harus menunggu satu hari baru dia bisa kembali tiba di rumah. Dan itu membuat dia kesal sekali. Fea menghubunginya, mengirim pesan manis. Dia tunjukkan apa yang dia buat dengan Melia. Menu masakan yang baru dia pelajari. Fea tampak gembira dengan senyum lebar. Dia bahkan mengatakan akan memasak menu itu buat Arnon. "Bisa kamu semanis ini padaku, Fea. Sementara kamu pergi dengan orang lain. Siapa laki-laki itu? Aku tak pernah tahu dia. Teman kerja kamu dulu?" Arnon terus berpikir. Sama sekali tidak ada ide. Sepanjang malam hingga saat dia berangkat pulang, Arnon rasanya tidak sabar lagi ingin segera sampai di rumah. Bukan untuk memeluk dan menciu
Dengan rasa kesal yang setinggi gunung, Fea masuk ke rumah. Dengan cepat dia menuju dapur, meletakkan belanjaan lalu segera pergi mandi. Dia cuci mukanya lama-lama, bekas kecupan pria aneh yang dia temui. "Ahh ... kenapa bisa aku ketemu laki-laki geje itu!?" Fea terus membersihkan mukanya. "Aku harus kasih tahu Arnon, ada orang ga beres nguntit aku." Itu yang Fea pikir akhirnya. Aneh saja, dua kali dia ketemu Dio, dua kali kejadian menyebalkan terjadi. Fea hampir yakin itu bukan kebetulan. Dia harus lebih hati-hati kalau mau pergi. Sangat mungkin Dio akan datang lagi, tiba-tiba. Entah kapan, waktu Fea sedang di mana. Selesai mandi, Fea kembali ke dapur, memulai memasak. Melia mendampingi Fea, agar menu yang Fea mau sajikan pada Arnon menjadi sempurna. Sambil memasak Fea bercerita tentang Dio dan kecurigaan Fea jika ada sesuatu dengan laki-laki itu. "Hati-hati, Fe. Jangan pergi sendirian. Kamu ini bagaimanapun juga dikenal karena jadi istri Arnon. Mung
Tubuh Fea rasanya melayang. Arnon menuduh dia berselingkuh bahkan meragukan bayi dalam perut Fea? Dia tatap Arnon dengan mata berkaca-kaca. "Aku pergi. Aku tidak mau tinggal serumah dengan wanita yang ternyata tidak setia padaku!" Arnon berbalik dan melangkah menjauh. Fea menguatkan hati dan mengejar Arnon. Dia menarik lengan Arnon, menahan langkah suaminya. "Arnon! Jangan begini! Kita bisa bicara. Kamu harus percaya sama aku. Ini semua tidak benar!" Fea memandang Arnon dengan wajah memelas. Arnon menyentakkan tangan Fea. Matanya menyala karena ledakan emosi dari dalam dirinya. "Aku manusia bebas, Fea. Aku akan melakukan apa yang aku kamu. Aku Arnon, dan aku tidak mau terus dipermainkan. Cukup sandiwara kamu!" Arnon sama sekali tidak mau mendengar. Yang Arnon pikir, dia akan tunjukkan pada Fea seperti apa Arnon yang sebenarnya. Dia tidak mau lagi peduli semua yang Fea bilang selama ini sebagai kebaikan hidup, sebagai aturan Tuhan agar hi
Tidak punya pilihan, Riko dan sekretaris serta asisten Arnon harus meneruskan urusan kantor. Riko mengatakan pada yang lain Arnon kurang sehat sehingga tidak mungkin datang. Meeting tetap berjalan dengan lancar. Untungnya Arnon sudah mengatakan semua hal pada Riko dan asistennya sehingga mereka tahu apa yang harus diputuskan setelah pertemuan.Usai meeting, Riko menghubungi Fea. Saat bicara di telpon, Fea menahan sedih dan tangis, tidak banyak bicara. Riko segera meluncur menuju rumah Arnon. Dia perlu tahu semua yang terjadi. Arnon bisa berantakan kalau begini. Dan Riko tidak akan tinggal diam."Fea ..." Riko menatap wanita yang sedang hamil muda di depannya.Wajah Fea kuyuh dan lesu. Matanya sembab. Riko maju beberapa langkah, dia rentangkan tangan pada Fea. Tangan terbuka itu, membuat Fea punya satu bahu lagi untuk menangis. Fea menjatuhkan badannya dalam pelukan Riko.Riko benar-benar seperti ayah yang Fea tidak punya lagi. Fea bi