Brukk. Bi Aminah didorong ibu hingga terjatuh ke atas kasur. Dan sejurus kemudian Bi Aminah seperti tersentak, ia langsung memegangi kepalanya."Masitah kamu di sini?" tanyanya lemah.Aku dan ibu saling melirik dengan wajah tegang.Ibu lalu merunduk."Aminah, kamu baik-baik aja?""Emangnya aku kenapa? Ya tentu aku baik, Tah.""Tapi tadii ... tadi kamu ...." Ibu kebingungan."Aku kenapa?""Tadi kamu nyekik anakku Nah, kamu minta pertanggungjawaban sama ank saya, maksudnya apa?"Bi Aminah terperangah."Masa sih? Aku gak inget Tah.""Iya bener."Malam itu seperti biasa aku melewati malam-malam yang panjang dan menyeramkan lagi sampai aku tidak bisa tidur dengan benar selama aku di rumah ibu.Setiap malam bayangan Nila selalu menghantuiku dan sekalinya aku bisa memejamkan mata Nila akan datang dalam mimpi.Argghh. Andai kalau bukan untuk menyelesaikan masalah penting aku pasti sudah enyah dari rumah ibu."Mil, kamu masih lama 'kan di sininya?""Emm rencananya sampai hasil surat autopsi it
"Mil, kepala saya kenapa pusing lagi?"Bani Azhar mulai memegangi kepalanya, segera kupapah dia keluar kantor."Kita pulang saja, Pak."Aku bergegas memasukan Bani Azhar ke dalam taksi online yang sudah siap sejak tadi.Untunglah Pak Anwar juga tak ada di depan kantor, hanya ada beberapa karyawan saja yang melihat kami.---"Astagfirullah, ya Allah."Bani Azhar melonjak kaget ketika ia tersadar. Aku ikut mengucek mata dan berpura-pura bangun dari tidur."Ya ampun Bapak, apa ini? Apa yang sudah Bapak lakukan?" Aku bertanya dengan wajah cemas dan tegang.Semampunya aku harus bisa menjebak Bani Azhar dan membuatnya tersudut hari ini."Anu itu Mil ... anu." Bani Azhar mulai kebingungan, wajahnya berubah pias dengan mulut tergagap."Saya juga bingung kenapa saya ada di sini?" katanya lagi."Tadi Bapak minta diantarkan ke hotel karena mau istirahat tapi saya bingung apa yang terjadi setelah itu? Kenapa kita ...?" Aku menutup mulut dan mulai terisak kemudian menelungkupkan wajahku pada lut
"Ibu tenang saja Bu, misalnya Bani Azhar nanti terbukti bersalah, Mila ikhlas, asal bayi yang tumbuh di rahim ini sudah jelas punya bapak.""Itu betul, Bu," sahut Bapak lagi.Ibu pun memegang kepalanya yang tampak berat kemudian menyeka air matanya yang tak kunjung reda."Ibu bingung, sedih dan marah, kenapa takdir harus membawa kita pada keadaan seperti ini? Kemarin Ibu benar-benar dibuat shock dengan kepulangan Nila yang sudah tak bernyawa dan sekarang kamu ...?""Sudahlah Bu, jangan sampai semua ini terdengar oleh orang lain."Ibu mendesah kesal lalu masuk ke dalam kamarnya. Sementara aku juga bangkit ke dapur."Mila." Bapak menarik lenganku lagi."Apa sih?""Dari kemarin Bapak ingin bertanya," katanya serius.Aku mengerling malas."Apa?""Soal luka lebam di tubuh Nila dan soal kedatangan Nila yang tiba-tiba sudah ada di sini, katakan, apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa ini? Tiba-tiba kamu akan menikah dengan Bani Azhar? Apa kamu sudah gila?"Aku mendelik tak suka, bisa-bisanya b
"Ini rumah ibu dan bapak saya," tegasku sekali lagi.Mulut Bani Azhar spontan menganga."Ja-jadi ini ...? Terus kamu ..? Kamu siapanya Nila?""Nila? Nila adalah nama adik saya, tapi ... apa Nila yang Bapak maksud itu adalah Nila yang sama?" Aku mulai berakting.Mulut Bani Azhar kini mengatup dengan kepala yang spontan menggeleng. Wajahnya tampak bingung shock juga."Eng-gak, gak mungkin, gak mungkin.""Mila?" Bapak datang membuka pintu.Sontak Bani Azhar menoleh pucat."Bapak? Jadi bener Mil, Nila adalah adik kamu?" Aku mengangguk pelan."Ya ampun, kok bisa."Tanpa menungggu lagi, Bani Azhar pun segera memeluk mertuanya."Bapak apa kabar?""Baik," jawab Bapak tak bersemangat."Ayo masuk dulu," ucapku."Maaf Sultan baru ke sini lagi karena selama ini Sultan repot urusin pekerjaan, Pak." Bani Azhar mulai bicara setelah kami semua duduk di kursi.Bapak hanya menjawab dengan anggukan kepala, tampaknya bapak sangat malas dengan drama yang kubuat ini."Ibu dan Nila mana, Pak?" tanya Bani A
Aku berteriak menoleh ke arah kiri dan kanan jalan setapak, tapi tak kutemukan ia karena saat itu malam sangat gelap, tak ada cahaya bulan, hanya ada penerangan dari rumah warga dan dari ponselku saja."Kemana dia? Dasar gak jelas," dengusku.Kesal, kulanjutkan langkah. Karena si Parman malah kabur aku jadi harus cari saksi yang baru. Kira-kira siapa ya?Akhirnya aku pun melangkah lebar-lebar sambil terus berpikir. "Hahahaha bisa aja kamu ini Riiip, Riiip."Mendadak langkahku mati, saat aku melihat Parman sedang cekikikan di pos ronda bersama teman-temannya.Tubuhku kembali meremang, dadaku berdebar tak karuan. Sementara kedua kakiku terasa bergetar hebat.Kalau Parman ada di pos ronda lalu yang tadi bersamaku itu siapa? Apa jangan-jangan itu ... Nila?Napasku kembali tercekat, buru-buru aku berlari ke rumah meski kedua kakiju terasa lemas dan melayang dari bumi. Aku tahu, kalau sesuatu yang aneh terjadi sudah pasti Nila sedang datang menakutiku.Bruk. Gedebushh.Saking kencangnya ak
Bani Azhar duduk frustasi, diremas wajahnya yang tampan itu berkali-kali, dapat kulihat juga matanya yang bengkak sehabis menangis sejak tadi."Bapak, gak usah sedih lagi, semua ini memang sudah takdirnya, Pak, tapi saya janji setelah saya nanti jadi istri Bapak saya akan berusaha jadi istri yang baik sebaik Nila melakukannya," tuturku dengan yakin.Bani Azhar menoleh dengan wajah tak biasa. Sorot matanya sangat tajam dan meruncing.Aku menelan saliva, merasa ada sesuatu yang aneh sudah terjadi pada lelaki itu.Tapi meski begitu Bani Azhar tak mau berkata apa-apa, setelah aku bicara, ia memilih pergi ke kamar."Bani Azhar kenapa itu, Bu?" tanyaku cepat, setelah punggung lelaki itu menghilang.Alih-alih menjawab pertanyaanku, ibu juga ikut bangkit dan masuk ke dalam rumah."Mereka kenapa sih, Pak? Kok pada aneh gitu, Mila ngomong bukannya pada jawab malah pada melengos pergi," kesal aku berkata."Gak tahu juga," jawab Bapak pendek.Karena kesal dengan tingkah ibu dan Bani Azhar yang me
PoV Ibu."Ditangkap? Maksud Bapak, apa? Kenapa saya ditangkap?" Mila mulai tak santai.Spontan kakinya juga melangkah ke dekatku."Betul, Anda kami tangkap dengan tuduhan kasus pembunuhan berencana," tegas petugas polisi itu.Mila menggelengkan kepalanya cepat untuk menyangkal ucapan petugas."Enggak, itu gak bener, pembunuhan berencana bagaimana? Bisa-bisa nya kalian menuduh tanpa bukti.""Bu, tolong Mila, Bu, mereka salah sangka." Mila bersembunyi di belakangku.Aku bergeming. Rasanya periiih sekali hatiku ini."Tunggu dulu, Pak Polisi, sebaiknya kita bicarakan ini saja dulu, jangan asal tangkap saja, apa salah wanita ini?" sahut Parman."Kami punya buktinya, dan kami harap saudari Mila kooperatif, silakan nanti jelaskan semuanya di kantor."Kedua petugas itu lalu dengan paksa mulai memborgol tangan Mila."Eng-gak tunggu dulu Pak, saya gak bersalah, pembunuhan siapa yang kalian maksud?" Sekuat tenaga Mila memberontak, ia tak peduli walau tangannya sudah diborgol petugas."Pembunuh
"Apapun yang terjadi alasannya 'kan Bapak udah tahu, semua ini karena Mila ingin menyelamatkan, Bapak!" Mila bicara lagi, nada suaranya masih terdengar sangar."Tapi benar 'kan kamu yang sudah menyakiti Nila sampai tubuhnya lebam-lebam begitu?" "Emang iya, terus kenapa?" Mila menjawab jengkel.Sementara kepalaku bergeleng spontan, merasa tak percaya dengan apa yang kudengar.Jadi, luka lebam itu ...? Mila? Suamiku? Apa ini? Mereka tahu semuanya? Dan itu artinya mereka terlibat dalam kasus kematian Nila anakku?Aku tidak percaya, sungguh. Untuk apa mereka melakukan ini? Ya Tuhan, semoga aku hanya sedang bermimpi.Kutepuk-tepuk pipi ini berulang, tapi yang kudapati memang kenyataan pahit yang terpaksa haru kuterima."Bisa-bisanya kamu lakukan ini sama adikmu Mila." Suami bicara lagi, aku kembali menguping."Kalau Mila gak lakuin ini mana bisa Mila bawakan ginjal untuk menebus kesalahan Bapak, coba Bapak pikir, emang harus dengan cara apa lagi selain dengan cara ini?"Teg.Jantungku sep