"Ibu tenang saja Bu, misalnya Bani Azhar nanti terbukti bersalah, Mila ikhlas, asal bayi yang tumbuh di rahim ini sudah jelas punya bapak.""Itu betul, Bu," sahut Bapak lagi.Ibu pun memegang kepalanya yang tampak berat kemudian menyeka air matanya yang tak kunjung reda."Ibu bingung, sedih dan marah, kenapa takdir harus membawa kita pada keadaan seperti ini? Kemarin Ibu benar-benar dibuat shock dengan kepulangan Nila yang sudah tak bernyawa dan sekarang kamu ...?""Sudahlah Bu, jangan sampai semua ini terdengar oleh orang lain."Ibu mendesah kesal lalu masuk ke dalam kamarnya. Sementara aku juga bangkit ke dapur."Mila." Bapak menarik lenganku lagi."Apa sih?""Dari kemarin Bapak ingin bertanya," katanya serius.Aku mengerling malas."Apa?""Soal luka lebam di tubuh Nila dan soal kedatangan Nila yang tiba-tiba sudah ada di sini, katakan, apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa ini? Tiba-tiba kamu akan menikah dengan Bani Azhar? Apa kamu sudah gila?"Aku mendelik tak suka, bisa-bisanya b
"Ini rumah ibu dan bapak saya," tegasku sekali lagi.Mulut Bani Azhar spontan menganga."Ja-jadi ini ...? Terus kamu ..? Kamu siapanya Nila?""Nila? Nila adalah nama adik saya, tapi ... apa Nila yang Bapak maksud itu adalah Nila yang sama?" Aku mulai berakting.Mulut Bani Azhar kini mengatup dengan kepala yang spontan menggeleng. Wajahnya tampak bingung shock juga."Eng-gak, gak mungkin, gak mungkin.""Mila?" Bapak datang membuka pintu.Sontak Bani Azhar menoleh pucat."Bapak? Jadi bener Mil, Nila adalah adik kamu?" Aku mengangguk pelan."Ya ampun, kok bisa."Tanpa menungggu lagi, Bani Azhar pun segera memeluk mertuanya."Bapak apa kabar?""Baik," jawab Bapak tak bersemangat."Ayo masuk dulu," ucapku."Maaf Sultan baru ke sini lagi karena selama ini Sultan repot urusin pekerjaan, Pak." Bani Azhar mulai bicara setelah kami semua duduk di kursi.Bapak hanya menjawab dengan anggukan kepala, tampaknya bapak sangat malas dengan drama yang kubuat ini."Ibu dan Nila mana, Pak?" tanya Bani A
Aku berteriak menoleh ke arah kiri dan kanan jalan setapak, tapi tak kutemukan ia karena saat itu malam sangat gelap, tak ada cahaya bulan, hanya ada penerangan dari rumah warga dan dari ponselku saja."Kemana dia? Dasar gak jelas," dengusku.Kesal, kulanjutkan langkah. Karena si Parman malah kabur aku jadi harus cari saksi yang baru. Kira-kira siapa ya?Akhirnya aku pun melangkah lebar-lebar sambil terus berpikir. "Hahahaha bisa aja kamu ini Riiip, Riiip."Mendadak langkahku mati, saat aku melihat Parman sedang cekikikan di pos ronda bersama teman-temannya.Tubuhku kembali meremang, dadaku berdebar tak karuan. Sementara kedua kakiku terasa bergetar hebat.Kalau Parman ada di pos ronda lalu yang tadi bersamaku itu siapa? Apa jangan-jangan itu ... Nila?Napasku kembali tercekat, buru-buru aku berlari ke rumah meski kedua kakiju terasa lemas dan melayang dari bumi. Aku tahu, kalau sesuatu yang aneh terjadi sudah pasti Nila sedang datang menakutiku.Bruk. Gedebushh.Saking kencangnya ak
Bani Azhar duduk frustasi, diremas wajahnya yang tampan itu berkali-kali, dapat kulihat juga matanya yang bengkak sehabis menangis sejak tadi."Bapak, gak usah sedih lagi, semua ini memang sudah takdirnya, Pak, tapi saya janji setelah saya nanti jadi istri Bapak saya akan berusaha jadi istri yang baik sebaik Nila melakukannya," tuturku dengan yakin.Bani Azhar menoleh dengan wajah tak biasa. Sorot matanya sangat tajam dan meruncing.Aku menelan saliva, merasa ada sesuatu yang aneh sudah terjadi pada lelaki itu.Tapi meski begitu Bani Azhar tak mau berkata apa-apa, setelah aku bicara, ia memilih pergi ke kamar."Bani Azhar kenapa itu, Bu?" tanyaku cepat, setelah punggung lelaki itu menghilang.Alih-alih menjawab pertanyaanku, ibu juga ikut bangkit dan masuk ke dalam rumah."Mereka kenapa sih, Pak? Kok pada aneh gitu, Mila ngomong bukannya pada jawab malah pada melengos pergi," kesal aku berkata."Gak tahu juga," jawab Bapak pendek.Karena kesal dengan tingkah ibu dan Bani Azhar yang me
PoV Ibu."Ditangkap? Maksud Bapak, apa? Kenapa saya ditangkap?" Mila mulai tak santai.Spontan kakinya juga melangkah ke dekatku."Betul, Anda kami tangkap dengan tuduhan kasus pembunuhan berencana," tegas petugas polisi itu.Mila menggelengkan kepalanya cepat untuk menyangkal ucapan petugas."Enggak, itu gak bener, pembunuhan berencana bagaimana? Bisa-bisa nya kalian menuduh tanpa bukti.""Bu, tolong Mila, Bu, mereka salah sangka." Mila bersembunyi di belakangku.Aku bergeming. Rasanya periiih sekali hatiku ini."Tunggu dulu, Pak Polisi, sebaiknya kita bicarakan ini saja dulu, jangan asal tangkap saja, apa salah wanita ini?" sahut Parman."Kami punya buktinya, dan kami harap saudari Mila kooperatif, silakan nanti jelaskan semuanya di kantor."Kedua petugas itu lalu dengan paksa mulai memborgol tangan Mila."Eng-gak tunggu dulu Pak, saya gak bersalah, pembunuhan siapa yang kalian maksud?" Sekuat tenaga Mila memberontak, ia tak peduli walau tangannya sudah diborgol petugas."Pembunuh
"Apapun yang terjadi alasannya 'kan Bapak udah tahu, semua ini karena Mila ingin menyelamatkan, Bapak!" Mila bicara lagi, nada suaranya masih terdengar sangar."Tapi benar 'kan kamu yang sudah menyakiti Nila sampai tubuhnya lebam-lebam begitu?" "Emang iya, terus kenapa?" Mila menjawab jengkel.Sementara kepalaku bergeleng spontan, merasa tak percaya dengan apa yang kudengar.Jadi, luka lebam itu ...? Mila? Suamiku? Apa ini? Mereka tahu semuanya? Dan itu artinya mereka terlibat dalam kasus kematian Nila anakku?Aku tidak percaya, sungguh. Untuk apa mereka melakukan ini? Ya Tuhan, semoga aku hanya sedang bermimpi.Kutepuk-tepuk pipi ini berulang, tapi yang kudapati memang kenyataan pahit yang terpaksa haru kuterima."Bisa-bisanya kamu lakukan ini sama adikmu Mila." Suami bicara lagi, aku kembali menguping."Kalau Mila gak lakuin ini mana bisa Mila bawakan ginjal untuk menebus kesalahan Bapak, coba Bapak pikir, emang harus dengan cara apa lagi selain dengan cara ini?"Teg.Jantungku sep
Bab 41 BBani Azhar yang sedang terisak di atas pusara Nila mengangkat wajahnya. Ia terlihat sangat tak percaya dengan apa yang kuceritakan.Jelas saja menantuku tak percaya, apa yang terjadi ini memang seperti di luar logika.Kakak dan bapak sendiri tega menyakiti bahkan sampai menghilangkan nyawa keluarga sendiri.Sulit untuk dipercaya tapi nyatanya ini memang ada. Dunia sudah tua, kita hidup pada zaman di mana nyawa tak lebih berharga dari sekedar obsesi.Dengan mudah mereka saling bertikai dan menikam hingga pertumpahan darah adalah hal yang lumrah terjadi."Ibu gak mungkin salah, Nak, apa yang Ibu dengar itu memang nyata adanya.""Tapi ... untuk apa mereka melakukan ini, Bu?""Itulah yang harus kita cari tahu, Nak, kemarin mereka bilang mereka lakuin ini untuk menyelamatkan bapak, tapi Ibu sendiri bingung, menyelamatkan apa?"Bani Azhar bergeming sambil ikut berpikir."Oh ya Nak, Ibu ingin tanya, apa betul kamu sudah menodai Mila?"Wajah Bani Azhar berubah pias, ia lalu menunduk
PoV Bani Azhar"Ada, sebentar Ibu ambilkan dulu."Ibu bangkit mengambil foto itu dari dalam lemari, lalu memberikannya padaku."Ini Nak, simpanlah foto ini, barangkali ini akan membantumu."Kaget bukan main, saat kulihat foto itu, wajah yang kulihat di sana adalah wajah yang tak asing bagiku."Ini Sarah, Bu?""Iya, ini sahabatnya Nila.""Kalau ini Sultan tahu Bu, ini Sarah ART baru Sultan.""Hah? Sarah melamar di rumahmu?""Iya, tapi Sultan gak tahu kalau Sarah yang ada di sana adalah Sarah sahabatnya Nila, dia juga gak cerita apa-apa sama Sultan."Kening ibu mengerut dengan mata setengah menyipit."Sarah melamar di rumahmu dan dia gak cerita apa-apa? Soal kepergian Nila pun dia gak cerita?"Aku menggeleng serius."Kenapa dia gak cerita? Ini dia kerja di rumahmu kebetulan atau gimana? Padahal Sarah tahu betul kamu adalah suaminya Nila."Aku dan ibu kembali berpikir keras.Jujur, aku gak tahu menahu soal Sarah ini, tapi Nila memang pernah cerita dia punya sahabat dan kakak perempuan. A
Aku sama ngilunya juga, tak tega melihat jenazah Mila yang sangat mengkhawatirkan.Kedua matanya melotot, tubuhnya membiru dan lidahnya terjulur keluar. Tapi yang membuat kami makin ngilu adalah saat bagian dadanya sudah hilang sebagian."Kami perkirakan jenazah diserang binatang buas Bu, Pak," tutur seorang tim sar.Tubuhku meremang, bulu kuduk mendadak berdiri tak karuan.Segera seoranh petugas kembali menutup kantung itu.Setelah jenazah Mila ditemukan semua wargapun bubar. Tadinya petugas akan membawa jenazah Mila ke rumah sakit, tapi atas bantuan perangkat desa Sultan bisa meyakinkan mereka untuk langsung menyerahkan jenazah pada kami saja."Biar langsung kami makamkan di sini saja Pak, gak usah dibawa lagi ke rumah sakit dulu karena perjalanan cukup jauh."Dibantu orang yang sudah berpengalaman di desa ini, bu besan akhirnya mengurus jenazah Mila bersama mereka di rumahnya."Sabar Bu, sabar."Aku mengelus-ngelus pundaknya. Besan yang sedang memandikan jenazah Mila makin tertund
Mila melotot, wajahnya yang sedang marah tersorot cahaya bulan. "Ibu!" sentaknya tak suka."Kenapa? Kalau kau mau loncat, loncat saja! Hidupmu memang sudah tak ada gunanya!" besan kembali menantang.Segera kuelus pundak besan."Istighfar Bu besan, walau bagaimanapun dia anak Ibu," bisikku."Dia bukan anak saya lagi, Bu.""Ayo loncat Mila!" teriak besan lagi menatap tajam anak perempuannya itu."Tapi, Bu ... aaaaaa!" Suara Mila memekik langit dan malam yang hening."Milaaa!" Spontan mulutku berteriak saat melihat wanita itu terpeleset lalu jatuh ke sungai."Saudari Mila!" Bergegas para petugas juga maju ke sisi jembatan."Bu besan Mila jatuh Bu, Mila jatuh." Aku mengguncang kedua bahu besan.Bukannya beranjak ke tepi jembatan, besan malah ambruk di tempatnya dengan isak tangis yang mendadak pecah.Aku jadi bingung sendiri, tapi cepat kutinggalkan besan dan bergegas melihat ke tepi jembatan."Gimana Sultan?""Mila bener-bener jatuh, Bu.""Ya Allah ... nasibmu Mila." Aku menutup mulut.
"Ya tap-" Ucapanku terhenti saat kulihat Mila sudah mengeluarkan pisau cutternya.Aku bergegas bangkit dan menjauh darinya meski mendadak kedua kakiku terasa lemas dan bergetar.Wajah Mila tampak tengah dibakar api amarah, rupanya ia tersinggung karena tadi aku sempat menyebut dan membandingkan dia dengan Nila menantuku."Kamu ini apa-apaan Mila? Jangan main-main, itu benda tajam," ujarku memasang wajah waspada."Memang, memang ini benda tajam dan aku sengaja ingin memberimu kenang-kenangan," ucapnya diiringi gelak tawa.Dadaku bergemuruh hebat, napasku mendadak tercekat. Kulambaikan tangan ini untuk mencoba membuatnya tenang."Tenang Mila, kamu jangan begini, ingat aku adalah calon mertuamu."Mila mendecih dan terus maju ke arahku dengan tatapan tajam."Cih dasar pembohong, kalau kau adalah calon mertuaku kenapa kau sebut-sebut nama orang lain hah?"Sethh. Cutter itu menggores tepat di bagian atas lengan kananku.Aku menjerit, sejurus kemudian ibu besan datang membuka pintu kamar."Ya
PoV Ibu Ambarwati.Sultan menutup pintu kamar dengan kencang, lalu menguncinya agar Mila tak kabur sebelum polisi datang.Sementara di dalam Mila terus-terusan berteriak seperti orang kesetanan. "Biarkan dia teriak sendiri sampe capek sekalian," ujar Sultan penuh amarah.Aku bergidik ngeri sambil memegangi luka bekas sabetan pisau Mila. Wanita itu emang udah gak waras, hanya karena aku gak bisa membujuk anakku untuk menikahinya dia kalap dan gelap mata lalu tanpa ragu menyerangku dengan pisau cutter.Padahal aku sudah dengan besar hati tengah mencoba menerimanya karena ia sekarang sedang mengandung cucuku. Tapi rupanya aku salah, wanita seperti Mila itu memang pantasnya hidup di dalam penjara."Bu, Mila akan berikan bayi ini setelah ia lahir tapi Mila punya dua permintaan," ucapnya kemarin lusa, ketika aku dan Sultan menengoknya ke rumah sakit.Keningku mengerut, "permintaan apa?""Bebaskan Mila dari tuntutan Bani Azhar dan buatlah agar dia mau menikahi Mila," tegasnya menatapku seri
Dan ucapannya itu benar-benar jadi kenyataan. Ya Allah ... aku gak pernah membayangkan istriku akan benar-benar terbang dan gak pernah kembali lagi. Tapi keinginannya jadi orang yang berguna juga sudah tercapai.Sampai saat ini ginjal Nila masih berguna dan jadi wasilah kesehatan Bi Aminah. Semoga dengan hal ini Nila akan tenang dan bahagia di alam sana."Sudah sampai, Pak." Suara Pak Anwar menarikku dalam kesadaran."Eh kok cepet?"Tak terasa sepanjang jalan melamun, tahu-tahu mobil yang membawa kami sudah sampai saja di rumah sakit."Bapak ngelamun aja sih," balas Pak Anwar lagi.Ibu mertua dan Bi Aminah bergegas langsung masuk bahkan sebelum aku turun dari mobil.Sampai di ruangannya Sarah, kami tak diizinkan masuk bersamaan, karena Sarah masih dalam proses pengobatan setelah racunnya berhasil dikeluarkan."Masuk satu-satu ya Pak, agar tidak mengganggu kenyamanan pasien juga." Seorang perawat memperingatkan kami."Baik, Sus."Bi Aminah masuk lebih dulu, sekitar 20 menit beliau kemb
Aku menoleh. Mila sedang menyilangkan kedua tangannya di dada sambil tersenyum jahat."Dasar wanita gak punya rasa malu!"Ia malah tertawa puas."Aku hanya mengikuti skenario Tuhan Bani Azhar, awalnya aku gak pernah menduga dengan kehamilan ini ibumu akan membelaku tapi karena Tuhan sudah takdirkan ya sudah, mau bagaimana? Itu artinya kau memang ditakdirkan untukku 'kan?"Kedua tanganku mengepal hebat. Baru saja akan kutampar wanita itu ibuku sudah lebih dulu datang menampik tanganku."Apa ini Sultan? Jangan kasar sama wanita hamil, dia bisa stres dan jatuh lagi!" sentak beliau dengan mata melotot."Gak apa-apa kalau kamu gak mau terima aku Azhar, tapi bayi ini, tetap anakmu." Mila mulai berakting di depan ibuku, seolah-olah ia adalah orang yang paling tersakiti."Sudah Mila jangan nangis nanti bayimu stres, makanya saya 'kan udah bilang kamu di kamar aja, jangan deket-deket sama Sultan," ujar Ibuku lagi seraya meraih bobot Mila untuk setengah memeluknya.Geram, aku berteriak. "Bu, di
"Ayo Bu, lebih baik kita ke kantor polisi, kita harus tanyakan kenapa Mila bisa dibebaskan seperti itu pada petugas, gara-gara ulah mereka sekarang mata ibu Sultan malah tertutup dari kebenaran," ujarku penuh emosi.Kusetir sendiri mobil rental itu agar kami cepat sampai di kantor polisi."Bu Mila diberi keringanan bebas bersyarat, Pak."Aku kalap dan menggebrak meja."Kok, Bisa? Siapa yang beri kalian izin? Saya yang melaporkan Saudari Mila kenapa saya gak tahu apa-apa soal ini? Lancang sekali kalian!" sengitku.Ibu menahan bobotku agar aku tidak maju melawan mereka."Maaf Pak, tapi ... Bu Ambarwati bahkan sudah menjamin tersangka bebas dari hukuman.""Menjamin?!" teriakku lagi."Maaf Pak, jangan membuat keributan, kami harus bertugas dan melayani orang yang lainnya juga, kalau urusan Bapak sudah selesai silakan Bapak keluar," ucap petugas itu santun menunjuk ke arah pintu keluar.Aku menyipitkan mata. Aneh sekali rasanya mereka ini. Aku curiga mereka disuap dengan uang oleh ibuku. Y
"Sultaan cepat kemari!" teriak Ibu lagi.Aku dan ibu mertua bergegas ke kamar Mila."Cepat ambilkan air putih untuk Mila, kasihan perutnya sakit lagi!" titah Ibu.Aku bergeming tak segera melakukan perintah beliau. Si wanita licik itu tampak sedang berpura-pura meringis memegangi perutnya. Muak sekali aku, ingin rasanya kuguyur ia dengan air panas sampai jadi daging sop.Andai aja aku tahu sejak awal, bahwa wanita yang melamar di kantorku ini adalah kuntilanak akan kubuat ia mati untuk kedua kalinya."Ayo Sultan cepet!" Ibu mengejutkanku lagi.Spontan kakiku melangkah juga. Ibu mertua ikut ke belakang bersamaku."Nak Sultan tunggu! Ibu mau bertanya serius," ujar beliau seraya membawaku untuk duduk di kursi makan."Ada apa, Bu?""Ibu mau kamu jujur Nak, apa benar benih yang dikandung Mila sekarang adalah benihmu? Jujur sebelum Ibu tahu semua kejahatan Mila, Ibu kecewa dan marah sama kamu Nak, tapi setelah Mila memperlihatkan wajah aslinya Ibu jadi ragu apakah benar benih itu adalah beni
Aku mengangguk lesu."Kok bisa? Gimana ceritanya Sultan?!" Ibu bertanya setengah berteriak."Sabar dulu Bu, takut ibu mertua denger."Ibu menenangkan dirinya lalu duduk di sampingku."Sekarang ceritakan gimana awalnya? Kok bisa-bisanya Mila hamil anakmu? Apa jangan-jangan kamu sudah berbuat mesum? Astagfirullah Sultan, mau jadi apa hidup kamu?" "Enggak gitu Bu, tenang dulu. Kemarin itu Sultan juga gak ngerti kenapa tiba-tiba Sultan bangun tidur sama Mila."Kuceritakan semuanya dari awal hingga akhir sesuai yang kutahu kemarin saat kejadian di hotel itu.Ibuku sampai melotot tak percaya."Itu artinya kalian melakukannya atas dasar suka sama suka Sultan.""Gak gitu juga Bu, karena Sultan gak sadar waktu itu.""Tapi tetap saja sekarang benih itu tumbuh 'kan?""Gak Bu, Sultan ragu, apa iya benih bisa secepat itu terdeteksi tumbuh? Gak mungkin, Sultan yakin Mila sedang menjebak kita, entah sekarang anak siapa yang tengah dikandungnya itu," ujarku kesal mengepalkan jari jemariku.Tak lama