Share

Menelan Nasehat Sendiri

Author: Widanish
last update Last Updated: 2023-01-10 05:00:31

Itu bagaikan suara petir di telingaku. Meli mengucapkannya dengan terbata dan ragu.

Kulepaskan tanganku dari genggamam Meli, lalu memeluknya. “Kalau benar yang kau katakan, harusnya sejak dulu kau tahan Dian agar tetap di sisimu, hingga ia tak punya kesempatan untuk bertemu lagi denganku,” ucapku. “Sekarang, aku sudah menyebar undangan pada semua rekan, dan akad nikah kami tinggal beberapa hari lagi. Kenapa kau baru bercerita?” tanyaku setenang mungkin seraya melepas pelukan.

Seumur hidup, baru kali ini aku memeluk Meli. Rasanya, seperti menemukan ‘rumahku’ setelah kepergian Ibu. Tapi, sayang, sebentar lagi Meli akan pergi.

“Karena, begitu banyak ketakutan dalam dadaku. Kau tahu, kan, berkata jujur tak mudah? Terlebih hal yang kukatakan akan membuatmu terluka,” jawab Meli, matanya berkaca-kaca. “Tapi, kenapa kau begitu tenang, Fai? Tidakkah kau terkejut atau sedih mendengarnya? Calon suamimu pernah ‘bersetubuh’ denganku.”

Aku mengusap air mata yang mulai menetes di pipinya. Bedaknya t
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Negotiations Hati

    *Kamar Meli kini kosong, aku mengubahnya menjadi tempat menaruh semua persiapan akad nikahku. Pagi ini barang-barang yang telah kupesan datang, mulai dari baju pengantin hingga sayuran. Semua kugeletakkan begitu saja di sana. Entah apa yang akan kulakukan dengan barang-barang itu, karena aku telah mengundurkan akad nikahku.“Beri aku waktu untuk berpikir,” ucapku saat mengajukan pengunduran tanggal akad nikah pada Dian, pagi kemarin sebelum detik-detik berpisah dengan Meli. Dian menyetujuinya, ia mengerti bagaimana galaunya pikiranku setelah mengetahui kebenaran itu Miris, memang. Sejak kehadiran Meli dalam hidupku, aku selalu dapat “bekasnya”. Baju, tas, sepatu, mainan, dan lainnya … selalu bekas Meli. Apakah salah jika kali ini aku menolak ‘lelaki bekas Meli’ untuk jadi suamiku? Kurasa, cukup di masa kecil saja aku pakai ‘barang-barang bekas’.“Astaghfirulloh,” gumamku saat menyadari telah mengatai Dian dengan ujaran yang tak sopan. Semua itu karena rasa kesalku padanya.Setelah p

    Last Updated : 2023-01-15
  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Gagal Nikah

    Aku menggeser posisi, menjauh dari Dian. “Aku hargai kejujuranmu, dan kesiapanmu menerima konsekuensinya. Terimakasih untuk semua itu. Kita masih bisa berteman. Itulah bentuk penghargaanku atas kejujuranmu,” ucapku dengan gemetar sambil melangkah mundur. Tak sangka niat untuk mengakhiri hubungan dengannya, terucap juga.“Fai, ap—apa maksudmu?” Dian bertanya untuk memastikan pernyataanku.“Aku tak bisa melanjutkan hubungan denganmu,” jawabku dengan yakin. Kemudian melangkah mundur perlahan.“Tapi, undangan sudah disebar. Dan bagaimana dengan hatiku?” Setiap aku mundur selangkah, Dian pun akan maju selangkah. Sehingga jarak diantara kami tetap sama.“Soal undangan, aku akan mengurusnya. Dan soal hati … kita urus masing-masing!” tegasku sambil mempercepat langkah ke pinggir jalan, melambaikan tangan pada angkutan kota yang tengah melintas. Beruntung, ujung jilbabku tersapu angin hingga menutupi wajah, dan menyerap air mataku yang tiba-tiba saja menetes tak terkendali. Semoga saja, tak

    Last Updated : 2023-01-16
  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Video Meli

    “Halo, Mel?” balasku.“Fai, how are you?” tanyanya di seberang sana.“Fine. And you?”“Not too bad. By the way, iklanku sudah tayang di televisi dan channel Youtube. Coba lihat, deh,” katanya.“Aku lagi kerja, mana bisa nonton TV Mel.”“Ya bukan di TV, dong. Lagian iklannya gak akan tayang di TV Indo. Maksudku, lihat di Youtube. Kemarin aku shooting dua iklan sekaligus, hasilnya bagus banget. Perusahaan juga puas dengan kinerjaku, mereka langsung memperpanjang kontrak. Mimpiku sebentar lagi terwujud, Fai! Kamu harus nonton, ya!” “Oke, Mel. Nanti kalau istirahat aku pasti nonton. Thanks ya udah nyempetin nelepon, sering-sering aja.”Keceriaan Meli di ujung telepon membuatku senang sekaligus teriris. Aku tahu kepergiannya ke Singapore bukan hanya untuk mengejar karir, tetapi juga untuk melarikan diri dari bayang-bayang masa lalunya bersama Dian.Mita menghampiri mejaku, menyerahkan berkas yang harus segera kuselesaikan. Seminar kesehatan akan diadakan hari ini, aku harus menyusun power

    Last Updated : 2023-01-22
  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Pembelaan Dian

    “Yang salah, adalah orang yang menyalahkan orang lain atas kesalahan yang telah dilakukannya!” jawabku, kemudian beranjak meninggalkan Dian sendiri.Sikap kami mengundang perhatian rekan-rekan yang lain. Mereka tampak heran karena aku dan Dian masih bisa berbincang walaupun telah membatalkan pernikahan.“Dian kayaknya masih belum rela melepaskanmu, Fai,” bisik Pak Anwar yang tengah membantuku melepas kabel infokus. Sementara Dian sudah pulang lebih dulu. “Gosip orang ketiga itu benar?”“Tidak ada orang ketiga, Pak. Saya hanya menemukan ketidakcocokan dengannya. Walaupun saya mengenal baik Dian di masa kecil, tapi rupanya sekarang sudah banyak yang berubah darinya,” jawabku.Pak Anwar manggut-manggut. Sambil membetulkan letak kacamatanya, ia mencoba mengatakan sesuatu padaku. “Fai, Dian itu insyaalloh lelaki yang baik, walau tak sempurna. Sebaiknya, kalau ada kesempatan kalian untuk bersama, maka kembalilah bersama,” ucapnya. Aku langsung terdiam, entah harus menanggapi apa. Yang past

    Last Updated : 2023-01-24
  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Prasangka

    Meli membawakan iklan sabun mandi. Dalam video itu ia memperlihatkan seluruh bagian punggungnya hingga pinggang, tanpa sehelai kain yang menutupinya, sambil menoleh dan tersenyum ke arah kamera.Aku merebut ponsel dari tangan Dian dan segera mem-pause videonya. Tak sengaja kulihat banyak respon viewers di kolom komentar, kebanyakan para lelaki. Mereka menggoda Meli dalam komentar itu, dan kata-kata mereka sangat tidak pantas! Sebagai saudaranya, hatiku teriris hingga napasku tersengal. Meli, dia sangat berani berakting seperti ini di depan kamera.“Kau lihat sendiri, kan? Dia selalu berdalih apa yang dilakukannya adalah seni, keindahan tubuhnya adalah seni. Dulu pada saat berprofesi sebagai fotografer, aku pun beranggapan begitu. Tapi, sekarang aku bukan fotografer lagi, Fai. Sekarang aku ini seorang lelaki yang mencari calon istri, dan aku hanya akan memilih wanita yang baik untuk jadi istriku. Tolonglah mengerti,” kata Dian panjang lebar.Ucapan itu membuatku terhenyak. Membaca kome

    Last Updated : 2023-01-26
  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   25

    “Fai, kau masih di sana?” Akhirnya Meli menyahut.“Iya, Mel. Sinyalnya mungkin jelek. Sambungannya sempat terputus barusan. Aku sedang memilah sayuran. Akad nikahku batal, Mel,” jawabku.“Kenapa, Fai? Apa karena aku?” tanyanya dengan nada terkejut.“Tepat sekali. Makanya, kamu harus pulang, ya. Aku sudah minta Dian untuk bertanggungjawab. Kau harus menuntutnya agar mau menikahimu, jangan menyerah!”“Tapi, tak mungkin Dian mau menikahiku. Dia selalu menganggapku murahan.”Aku menghela napas, berat sekali permasalahan ini. “Yang dikatakan Dian itu memang benar. Karena kamu mengumbar auratmu. Seorang wanita yang ‘mahal’, tidak akan mengobral tubuhnya. Sudah kubilang, tinggalkan dunia itu!” tegasku.“Kalian sama saja, ya! Sungguh tidak mengerti seni! Kenapa tidak ada satu orang pun yang mau mengerti aku? Semua orang menghakimiku! Padahal aku bukan kriminal, aku hanya berpose di depan kamera!”Bukan Meli namanya jika tidak keras kepala. Ia langsung menutup teleponnya, dan aku hanya bisa me

    Last Updated : 2023-02-05
  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Haykal S. Sn

    “Sudah pergi, Fai. Gak tahu di mana alamat rumahnya. Sepertinya dia orang jauh,” jawab Bu Beni.Tanpa pikir panjang, aku segera pamit pulang dengan membawa baju-baju ayahku, setelah minta izin terlebih dahulu. “Fai, ada satu kesalahan Ibu yang akan membuatmu tak bisa memaafkanku. Namun, Ibu tak akan menceritakannya padamu. Andai kau masih punya waktu, dan meski rasanya mustahil, carilah ayahmu. Ibu yakin, dia akan menceritakannya. Biar nanti kau dengar sendiri darinya, apa kesalahanku itu.”Sepanjang perjalanan, pesan Ibu di detik-detik terakhir hayatnya itu terus menghantui rasa penasaranku. Aku yakin setulus hatiku, bahwa Ibu tak punya dosa apapun. Semua orang tahu perjuangannya untuk membesarkanku. Semoga saja, waktu itu aku hanya salah dengar, atau Ibu pasti telah salah bicara. Sebuah mobil kolbak berhenti di depan warung sembako, beberapa orang lelaki tengah menurunkan beras dalam kemasan plastik 5kg. Melihatnya, aku jadi teringat Dian. Semasa kecil, dia pernah membantuku memba

    Last Updated : 2023-02-07
  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Petunjuk Ayah

    *Menjelang Idul Fitri, aku mendapat cuti dari kantor. Pagi ini aku mengirim pesan pada Meli agar ia pulang sebelum lebaran. Namun, tak ada balasan.Teman-teman kantorku sibuk dengan persiapan lebaran bersama keluarga masing-masing. Sementara, aku hanya sendirian saja menyambut kedatangan hari raya tiba. Rasanya hampa. Benar kata Ibu, bahwa hidup sendirian itu kesepian. Itulah sebabnya aku meminta Meli untuk pulang, supaya ada teman. Namun, dia tak membalas pesanku, sepertinya dia masih marah.Tercium bau pantai dalam bayanganku, juga gemerisik pasir saat menginjakkan kaki di pesisir. Pantai Pangandaran, Pantai Batuhiu, atau Pantai Batukaras kah tujuanku hari ini? Aku menimbang hendak ke pantai mana libur cutiku kali ini, selagi menghubungi Kakek Mul—gojek langgananku—untuk menjemput ke rumah.“Iya, siap, Bu Fai. Saya ke sana sekarang,” jawab Kakek Mul di ujung telepon. Sebenarnya ada mobil, motor pun ada. Tinggal mengeluarkan dari garasi. Namun, kemarin aku mendapat THR dari kantor

    Last Updated : 2023-02-12

Latest chapter

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Kemenangan

    Hubungan antar manusia memang tak selamanya baik, namun juga tak selamanya buruk. Sedekat apapun kita dengan seseorang, pasti akan selalu ada gesekan yang memicu konflik. Entah itu konflik fisik, maupun konflik batin. Meli menyikut pinggangku. “Itu Dian, Fai,” ucapnya seraya menunjuk Dian dengan dagu. “Aku tahu,” jawabku. “Kalau ada yang mau diomongin sama Dian, sana samperin. Jangan dipendam,” lanjut Meli. Rupanya ia menyadari gelagatku yang tengah menghadapi konflik batin tak kunjung usai ini. “Dari mana aku harus mulai bicara?” tanyaku pada Meli. Kali ini aku merasa perlu meminta pendapatnya. “Ayo kutemani,” bisiknya. “Kau pergi saja bersama Dian. Jalan-jalan kemana kek. Biar aku yang menemani Bu Mardiyah.” Meli tampak yakin. Dia meraih tanganku, mengajakku untuk melangkahkan kaki menghampiri Dian. Aku sempat ragu, karena khawatir Meli keberatan dalam hatinya. Mengingat dia pun pernah mengharapkan Dian di sisinya. “Kau yakin, Mel?” tanyaku. “Soal apa?” “Kau sudah mengikhla

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Malam Takbir yang Panjang

    “Pelankan suaramu, Fai!” titah Ibu, panik. Ia kemudian melepaskan tangannya dari mulutku saat aku sudah agak tenang. Ibu menahan isak tangis hingga ekspresi wajahnya sulit kugambarkan. Namun yang pasti, adaberjuta kepedihan tergurat di sana. Lantunan takbir masih menggema, begitu pun suara bedug bertalu-talu di malam takbir itu, harusnya kami menangis bahagia menyambut hari kemenangan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ibu langsung memelukku dengan erat. Tangisnya mulai pecah, namun dengan suara yang sengaja ditahan. Aku takut sekaligus merasa aman dalam pelukan Ibu. Namun tanda tanya itu masih ada, tentang noda darah yang bau amisnya sangat menusuk. “Fai, tadi selelpas buka puasa Ibu menemani Nyonya Guntur membagikan THR pada fakir miskin yang hidup di jalanan. Tiba-tiba mobil yang dikendarai kami ditabrak orang tak dikenal. Mobil kami terguling ke hutan. Nyonya Guntur langsung meninggal, Ibu dan supir yang selamat mengeluarkan Nyonya Guntur dari mobil yang hampir meledak. Mak

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Malam Takbir

    Mengapa Dian begitu terpaut padaku, apa istimewanya aku di matanya hingga ia tak bisa lepas dariku? Selama puluhan tahun berpisah, tidakkah Dian menemukan wanita lain selain aku? Semua piring selesai dicuci, dapur juga kembali bersih. Ini pertama kalinya aku bebersih rumah dibantu Meli. Rasanya hari ini spesial, karena beberapa hal terjadi untuk pertama kalinya. Tabuhan bedug dan lantunan suara takbir mulai berkumandang. Aku dan Meli pergi ke teras rumah, melihat anak-anak se-usia sekolah dasar bermain petasan dan kembang api. Suasana seperti inilah yang kami rindukan sepanjang tahun. Suka cita menyambut hari kemenangan dirayakan anak-anak itu dengan cara menyenangkan versi mereka. Menyalakan petasan, melemparnya ke halaman terbuka, kemudian berlari menjauhi petasan tersebut sambil menutup telinga. Sebagian yang lain menyalakan kembang api, cahayanya berkilauan saat dilempar ke atas. Anak-anak kecil itu tampak bahagia. Aku membuka pintu pagar dan keluar rumah mendekati anak-anak i

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Bercengkrama

    “Siapa yang godain, Yah? Aku serius, kok, “ jawab Haykal. Meli berhenti mengunyah, ia melihat ke arahaku sejenak, lalu pura-pura tak peduli dengan pernyataan Haykal. “Kalau begitu, jangan digoda terus, kasihan. “ Ayah berseloroh. Kami pun tertawa. Ramadhan terakhir di tahun ini aku menemukan kebahagiaan dapat berkumpul kembali bersama Ayah, Meli, dan juga anggota keluarga baru yaitu Haykal. Hubunganku dengan Dian juga mulai mencair, meskipun di antara kami tidak ada ikatan istimewa lagi, namun setidaknya silaturahmi tetap terjaga. Kami menghabiskan semua menu buka puasa, meskipun masak menu beragam, tapi masing-masing menu itu porsinya sedikit, sengaja kami atur agar cukup untuk makan berempat, sehingga tidak mubazir. Hanya sisa sedikit belalang goreng di atas piring. Ayah meminta kami bertiga untuk mencicipinya. “Gak suka, ah. Geli, “ balas Meli. “Ayo, dicoba dulu. Jangan bilang gak suka kalau belum nyoba. Makanan ini kaya protein, gak kalah dengan daging ayam.” Ayah membujuk

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Meli dan Tempe Goreng

    “Ya, itu buktinya,” ujar Meli sambil menahan tawa melihat ekspresi geliku. Aku mengambil baskom berisi belalang kecil ini dan mulai mencucinya. Orang kampung sini biasa menyebutnya ‘simeut’. Meski di jaman modern seperti sekarang sudah jarang peminatnya, namun untuk beberapa orang, serangga kecil ini memang biasa dikonsumsi sebagai lauk. Cara memasaknya sangat mudah, tinggal diberi bumbu rempah, lalu goreng hingga kering. Belalang goreng ini bahkan sudah ada yang menjual dalam bentuk kemasan dan siap santap, banyak dijual di marketplace online. “Dari mana Ayah dapat belalang ini, Mel?” tanyaku. “Tadi pas kami lewat pesawahan di pinggir jalan, Ayah mengajak turun dan menangkap belalang-belalang itu. Seru, lho!” jawab Meli dengan raut wajah gembira. “Katanya, dulu Ayah sering melakukannya sama kamu, waktu kamu berusia dua tahun.” Aku membumbui belalang ini dengan kunyit bubuk, bawang putih bubuk, garam, dan penyedap rasa, lalu menggorengnya dalam minyak panas. “Oh ya, aku sama sekal

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Tertawa Bersama

    “Sudah, Bu. Tak baik, tak ada sangkut pautnya dengan Fai,” jawab Dian. Aku cukup terkejut dan berkata, “kenapa, Di?” “Benar bahwa kami pindah ke sini karena malu atas utang di desa, namun sebenarnya kepindahan kami ke sini pun adalah keinginan Dian yang ngotot ingin melamarmu, Fai. Dia gadaikan SK-nya untuk pindah ke sini. Kemudian sisa uangnya dipakai untuk biaya lamaran dan persiapan akad nikahmu yang batal itu,” jawab Bu Mardiyah. “Setelah pernikahan kalian batal, rasanya pengorbanan anakku jadi sia-sia.” “Bu—“ Dian menghentikan Bu Mardiyah, terlihat jelas ia merasa tak enak dengan yang diucapkan ibunya barusan. Aku semakin terkejut, namun berusaha sebisa mungkin agar tak terkecoh. Sedikitnya, aku tahu sifat Bu Mardiyah, ia akan membuat seseorang merasa bersalah agar orang itu mau menuruti keinginannya. Dan sepertinya, ia pun sedang melakukan trik itu padaku. “Benarkah itu, Di?” tanyaku pada Dian. Sekedar untuk menghargai cerita Bu Mardiyah, aku pun menanggapinya. “Ah, jangan

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Tetangga Baik

    “Kena AC mobil,” jawabku. Akhirnya, mau tak mau aku harus menatapnya juga. Dian tersenyum tipis dan sikapnya masih canggung. Mengetahui kedatanganku dan Linda untuk menjenguk Bu Mardiyah, Dian langsung mempersilakan kami masuk. Hampir tak ada perabot yang mengisi rumahnya. Hanya TV yang terpajang di atas rak dan lemari kaca kosong di sebelah pinggir. Ditambah satu set sofa lengkap dengan meja tamu di dekat pintu masuk. Setelah puluhan tahun, ini baru pertama kalinya aku masuk lagi ke rumah Dian. Walau rumahnya besar, tapi isinya kosong. Keadaan yang jauh berbeda dengan puluhan tahun lalu, saat keluarga Bu Mardiyah masih berjaya. Perabotan rumahnya lengkap dan mahal. Bahkan, terkadang ia menyombongkan barang-barang yang dimilikinya. Ternyata seperti inilah gambaran hidup, tak selamanya yang kita miliki kekal dalam genggaman, kalau tidak bijak menggunakan harta maka bisa lenyap kapan saja. Dan melihat kondisi rumah ini sekarang, aku jadi percaya bahwa keuangan Dian sedang tidak baik-

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Teman Curhat

    Tiba-tiba seseorang menggandeng tanganku di tengah kerumunan, membuatku tersadar. Ternyata Linda. Ia menarikku ke depan toko kue.“Kamu bikin kaget aja. Kukira orang iseng,” kataku.Linda mengernyit dan terlihat khawatir. “Habisnya kamu melamun dan diem di tempat, di tengah-tengah jalan lagi. Gimana kalau kesenggol orang? Aku merhatiin kamu lho, dari tadi aku di sini dan langsung kutarik aja tanganmu. Kamu mikirin apa sih Fai, sampai kayak orang linglung begitu?”Aku mengerjap, pikiranku masih terpaut pada Dian. Aku dan Linda janjian di toko kue yang letaknya di dalam pusat perbelanjaan ini. Hanya saja karena pikiranku tak fokus, aku jadi banyak melamun dan kakiku seakan terkunci.“Kamu mikirin apa?” ulang Linda sambil memilih kue. “Eum, apa soal pernikahanmu yang gagal ya?” Aku mengangguk.“Kalau kamu butuh teman curhat, ngomong aja ke aku. Gak apa-apa kok, sesekali kan kamu perlu sharing, jangan nyimpan semuanya sendiri. Gak baik buat kesehatan mentalmu,” lanjut Linda.Aku pun men

  • Anak Yang Tidur Dengan Perut Lapar   Pengganti

    “Sakit apa, Pak?” Salah seorang diantara mereka berhenti dan bertanya pada Dian. Aku mendengarkan sambil menyirami tanaman. “Sudah seminggu ini badan Ibu mengigil. Tak tahu kenapa. Cuma Ibu cuek, dia rasa baik-baik saja. Puncaknya, tengah malam tadi Ibu tak bisa bangun,” jawab Dian. Seminggu? Berarti ketika Bu Mardiyah menemuiku saat aku hendak pergi ke Batukaras beberapa hari yang lalu, ia sedang sakit? Pantas saja waktu itu aku melihatnya pakai syal yang dililitkan ke leher. Semalam waktu datang ke rumah, syal itu masih terpasang dan Bu Mardiyah juga memakai mantel tebal. Namun, ia terlihat baik-baik saja. “Cepat sembuh untuk ibumu, Pak. Saya salut sama Pak Dian, mau menggantikan pekerjaan ibumu di saat ia sedang sakit.” “Cepat carikan menantu untuk Bu Mardiyah, Pak.” Begitulah kata-kata terakhir mereka sebelum berangkat ke pasar. Dian langsung menoleh ke arahku. Aku mengalihkan pandangan. Dian masih sama seperti yang dulu. Penuh kasih sayang dan berbudi. Kurasa ia memang tid

DMCA.com Protection Status