Ivy sudah selesai mengepak barang pribadinya. Tidak banyak. Hanya satu koper penuh. Karena dia bukan tipe orang yang gemar mengoleksi sesuatu. Ivy yang sudah terbiasa hidup prihatin lebih pintar menyimpan uang ketimbang dahulu. Charlotte menghapus air mata. "Rasanya seperti mimpi."Ivy mengusap lembut seprai yang terpasang rapi. "Di kamar ini banyak sekali kenangan manis. Aku sering diam-diam membawa Lake tidur di sini. Apalagi saat dia masih bayi merah.""Kau Ibu yang baik, Ivy. Bukan salahmu kalau bayi dalam kandungan tidak bisa diselamatkan." Charlotte menggenggam jemari Ivy."Ya. Kau benar. Kalau dia hidup, pasti akan sangat tersiksa karena kondisi kami saat itu." Ivy sudah lama mengikhlaskan kepergian bayinya. Mungkin juga karena ada Lake di sisinya. Ada perasaan yang tak bisa Ivy terjemahkan saat pertama kali memeluk dan menyusui Lake. Seperti bayinya hidup kembali. "Aku ... patah hati, Charlotte," keluh Ivy di antara lelehan air matanya.Charlotte memeluk Ivy. "Oh, Sayang. A
Ocean menyalakan pemanas ruangan. Setelah melakukan itu, ia menoleh ke arah Ivy yang masih berdiri bingung di area foyer. "Masuklah. Atau aku perlu menggendongmu?"Ivy tersentak lalu memasang wajah masam. "Aku ... kenapa Tuan membawaku ke sini?""Karena kau akan tinggal di sini." Ocean berjalan ke arah kitchen island sambil menggulung lengan kemejanya. Dengan cekatan lelaki bermata sebiru lautan itu membuat dua cangkir teh. Lalu dibawanya kembali ke ruang tamu. Ada senyum tipis yang disembunyikannya karena berhasil memboyong pulang si gadis seratus dollar.Tidak mudah bagi Ocean untuk membujuk Jacob. Karena selama ini hubungan di antara keduanya bisa dikatakan tidak begitu akrab, Ocean terpaksa menggunakan metode lain agar niatnya terlaksana."Minumlah. Aku pikir sepertinya kau cukup lama berada di halte dalam kondisi kedinginan." Ivy melepas jas yang dipinjamkan Ocean. "Jasnya biar aku cuci saja, Tuan."Alis mata Ocean naik sebelah. "Tak perlu. Aku punya pelayan khusus yang menguru
Ivy tidak bisa menolak ketika Ocean menggedor pintu kamar, memaksa agar menghabiskan makanan. Apalagi Ivy sempat berada di luar rumah dalam keadaan hujan deras.Tanpa menunggu, Ocean langsung naik ke kamarnya sendiri. Sengaja memberi ruang untuk Ivy dan dirinya sendiri. Karena belum mengantuk, Ocean berbaring terlentang berbantalkan tangan, sambil menatap langit-langit kamar."Aku masih penasaran dengan semua teka-teki terkait malam itu. Kenapa Ivy sama sekali tidak seperti gadis seratus dollar yang nakal dan penuh energi? Dia malah tampak ringkih dan ketakutan." Ocean masih mencoba mengingat tentang masa lalu. Semua kenangan panas di malam itu, masih terekam jelas. Namun, tidak ada tanda khusus dari tubuh Ivy yang bisa dijadikan bukti apakah Ivy punya saudari kembar."Mungkin aku bisa langsung bertanya. Daripada penasaran seperti selama ini. Lagipula aku sudah menyimpulkan kalau Ivy ini gadis munafik." Ocean mendengkus. Dibawanya rasa kesal itu sampai akhirnya tertidur. Sementara d
Dalam keadaan antara hidup dan mati, Charlotte muncul sebagai dewi penolong. Tanpa menghiraukan wajah seram yang ditampilkan oleh Valerie, ditariknya tangan Ivy menjauh dari dosen itu. Ivy seperti diberi kesempatan untuk menikmati kehidupan sebagai manusia. Walau tak tahu sampai kapan, karena Ivy pasti akan diburu setelah kelas berakhir. "Kenapa wajahmu pucat sekali? Seperti habis bertemu setan saja." Charlotte berbisik dengan tatapan masih ke arah papan tulis di depan mereka."Aku hampir mati tadi. Terima kasih, Bibi Charlotte." Seandainya bisa, Charlotte ingin mencubit pipi Ivy karena panggilan itu mengingatkannya kepada Lake tersayang mereka. "Aku tau kau rindu padanya."Suasana hati Ivy langsung berubah menjadi kelabu. Penyebab kenapa dia bangun terlambat ialah tersentak di tengah malam. Ivy mencari keberadaan Lake. Lalu kesulitan untuk kembali tidur."Apa Tuan tidak memberi kabar sama sekali?""Tidak. Suasana mansion benar-benar sepi. Mereka tampak seperti memakai topengnya ma
Ivy mencubit pelan lengan bagian dalamnya. Dia meringis pelan. Hanya untuk memastikan kalau ini semua bukanlah mimpi.Ivy menebak kalau kinerja otak Ocean agak bergeser karena bukan hanya menampungnya di penthouse, tetapi di kantor juga. Entah atas dasar apa lelaki asing itu begitu baik kepada Ivy. Jarret yang memberi petunjuk tentang apa saja yang harus Ivy lakukan sepulang dari kampus. Dan Ivy jauh merasa lebih menyenangkan berada di sebelah asisten pribadi Ocean itu, ketimbang bos mereka sendiri. Postur tubuh Jarret jauh lebih tinggi, besar dan berotot ketimbang Ocean. Kesan maskulin dan melindungi timbul ketika Ivy tanpa sengaja memperhatikan sosok Jarret. "Bisakah kau menjaga mata, Nona Ivy?" Ocean tiba-tiba muncul tepat di belakang bahu Ivy. Ada rasa tak suka ketika mendapati pandangan kagum dari gadis seratus dollar-nya itu.Ivy refleks menoleh, lalu limbung. Bibirnya langsung mendarat di dada Ocean. Karena lelaki yang merangkap sebagai bosnya itu, sigap menahan bobot tubuh
Ivy hanya bisa menatap bingung pada apa yang dilihatnya di depan mata. "Kita meeting di butik pakaian, Tuan?"Bukannya menjawab, Ocean malah melepaskan seat belt lalu keluar dari mobilnya. Ivy langsung mengomel pelan. "Dasar bos minim sopan santun! Aku lagi nanya, malah ditinggal begitu saja." Dengan menahan kesal, Ivy pun menyusul bosnya yang sudah masuk ke dalam butik. Baru tiga langkah, Ivy tertegun sejenak. "Jangan katakan kalau laki-laki ini hendak bertemu dengan Nona Muda yang sombong itu."Memikirkan kemungkinan itu, Ivy jadi malas untuk melangkah. Dia tetap berdiri dengan harapan Ocean lupa dan melanjutkan meeting berdua saja. Sementara di bagian butik yang memajang produk terbaru itu, Ocean sibuk mengamati. Matanya menyisir rak pajangan juga gantungan. Ia sibuk memikirkan yang sesuai dengan kepribadian Ivy. Mendadak, Ocean menatap ke belakang. "Di mana gadis itu?" Dua pramuniaga yang sejak awal sudah mendampingi Ocean, pun ikut mengekori calon pembeli mereka. Mata Ocean
Ivy tertawa gugup. "Jangan bercanda, Tuan. Demi apa pun, ini sama sekali tidak lucu."Ocean tersenyum kecut. "Aku hanya ingin melindungimu."Hah, Ocean ingin sekali menampar wajahnya sendiri. Berkali-kali. Melindungi? Yang benar saja! Bukankah dirinya yang sudah merusak masa depan gadis itu? Sampai hamil dan bayinya meninggal?"Jangan mempermainkan pernikahan hanya karena rasa iba, Tuan. Aku hanya ingin hidup tenang. Anda ingin menikahi aku? Lupa kalau punya tunangan?" Ivy tak mampu menekan nada sinisnya.Ocean mengusap wajahnya dengan gusar. Ivy benar, Ocean sudah punya tunangan. Wanita itu dipilihkan oleh sang Kakek. Dengan tujuan kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan.Hanya saja, Ocean tidak sedikit pun merasa tertarik. Bahkan saat mencoba untuk mencari satu saja titik yang bisa membuatnya jatuh hati, hasilnya nihil. Valerie sama seperti wanita kebanyakan.Di mata Ocean, Valerie seperti boneka barbie. Semua serba matching dan penuh kepalsuan. Saat mereka pergi berkencan, buk
Ivy merasa hidupnya akan semakin rumit karena dipaksa mengiyakan keinginan Ocean. Sepanjang perjalanan pulang, dan sampai keesokan paginya, dia seperti sedang tidak menapak bumi.Apalagi Ocean sepagi ini sudah menghadiahinya dengan sebuket bunga mawar merah dengan aroma semerbak. "Untuk calon istriku."Bagi Ivy, ini adalah sebuah permulaan yang aneh. Tanpa mengurangi kerut di dahinya, Ivy menatap bergantian antara buket bunga dan pemberinya. "Anda ... sudah sarapan?""Aku sudah memesan layanan antar. Mungkin sekitar setengah jam lagi akan sampai. Apa kau sudah sangat lapar?" Ocean malah balik bertanya. "Bukan aku, tapi Anda, Tuan. Aku pikir lapar adalah pemicu Anda membelikan bunga," jawab Ivy, sekenanya.Ocean tertawa. "Sayang, setahuku, kalau lapar, para gadis akan lebih suka dibelikan makanan, bukan bunga. Apa kau sejenis manusia pemakan bunga? Tidak, kan?"Lagi, Ivy merasa dejavu dengan panggilan sayang itu. Getarannya menyusup hingga ke relung hati paling gelap. Tempat di mana I