Lalu-lalang kendaraan tampak ramai di jalanan, dari kiri kanan nyaris tak ada celah untuk menyebrang. Bocah lelaki itu ketakutan berdiri di sisi jalan, pandangannya buram melihat kendaraan yang berseliweran dengan begitu cepat sampai membuatnya tanpa sadar melangkah ke tengah jalanan. Tubuhnya gemetar hebat, pandangannya mengabur, bahkan pendengarannya juga terganggu, dia tak bisa menemukan jalan untuk kembali.
“Ayah bilang tetap diam. Kenapa kau tak menurut?” Bayangan perkataan sang ayah memenuhi benaknya.
Napas anak itu memburu, ketakutan mengungkungnya sampai sebuah mobil sedan hitam melaju dari arah kanannya ketika dia sampai di tengah jalan raya tanpa sadar. Tubuh kecilnya hanya mampu terpaku di tempat, tidak bisa bergerak barang sedikitpun, bahkan pandangannya tertuju pada lampu mobil itu dengan suara klakson yang memekakkan telinga.
Satu, dua, tiga detik lagi ketika depan mobil itu nyaris menyundulnya, seseorang meraih tangan anak itu, dan mendekapnya dalam pelukan.
“Sialan! Perhatikan anakmu! Payah sekali menjadi orang tua yang tak becus menjaga anak!” maki si pengemudi mobil yang menghentikan lajunya ketika anak itu berhasil diselamatkan.
“Maafkan saya, tuan. Mohon maaf,” ucap seorang gadis yang menolong anak itu dari nyaris kecelakaan.
Si pengendara itu melengos ketika suara klakson dari belakangnya menjerit. Mata-mata tertuju pada seorang gadis yang terduduk di sisi bahu jalan mendekap erat tubuh mungil anak itu, dia gemetar hebat.
“Tenanglah, kamu sudah tidak apa-apa sekarang, sudah aman,” katanya mengusapkan telapak tangannya ke kepala si anak yang menangis di dadanya.
Tadi itu nyaris sekali, untungnya dia datang tepat waktu walau harus membuat tubuhnya terluka, tapi setidaknya dia lega karena berhasil menyelamatkan anak itu yang entah siapa.
Setelah merasa tenang, gadis bernama Fara Izzumi itu menangkupkan kedua tangannya di sisi wajah anak lelaki itu, menatapnya lembut agar tak menakutinya.
“Apakah kamu terluka, adik kecil?” tanyanya pelan seraya tersenyum.
Linangan air mata memenuhi wajahnya yang tampan dan putih, gadis itu berusaha menenangkan.
“Tidak apa-apa, ada kakak di sini, kamu aman sekarang. Coba lihat, apakah kamu terluka?”
Bukannya menjawab, anak itu justru terisak tapi menuruti apa yang gadis itu lakukan untuk mengecek apakah dia terluka. Rupanya lututnya yang terluka, dan Fara menghela napasnya setelah tak ada luka serius di tubuh mungil itu, tapi sepertinya anak itu masih terkejut atas kejadian barusan. Gadis itu kembali mendekap tubuhnya untuk menenangkannya.
“Hanya satu luka lecet di lututmu. Jangan khawatir, kakak akan mengobatimu, hm.” Fara tersenyum menenangkannya dan kembali memeluknya yang kembali menangis ketakutan tanpa menyadari kalau dia juga terluka.
Sementara itu di dalam hotel, semua staf sudah dikerahkan ketika Daryn Affandra akhirnya selesai rapat dan menyadari kalau anaknya tak ada di tempat. Dia turut mencari, tapi tak berhasil ditemukan karena hotel itu cukup luas. Daryn juga tak bisa menghubungi ponsel anaknya yang selalu tergantung di dadanya.
“Kemana dia?” desahnya khawatir dan berdecak kesal, kalau ibunya sampai tahu cucunya menghilang tamatlah dia.
“Maaf, Direktur, kami sudah mencarinya, tapi tidak ada di hotel ini,” ujar salah satu staf yang mencari.
Kedua mata Daryn terpejam, kepalanya pening sekarang. Dia memijat pelipisnya pelan. Beginilah bila dia yang selalu sibuk membawa anak enam tahun yang memiliki trauma. Sepertinya anak itu bosan menunggu, tapi tidak ada waktu untuk menyalahkan diri sekarang.
“Bagaimana di bagian lain? Apakah terlihat di CCTV?” tanyanya.
“Ya, dia pergi keluar hotel lewat lobi utama,” lapor salah satu staf yang baru saja bergabung.
Kedua matanya membulat, dia bergegas mengambil langkah lagi untuk mencari anaknya.Tanpa menunggu lagi Daryn melesat pergi melintasi lobi utama dan hendak keluar dari hotel ketika dilihatnya sosok bocah yang dikenalinya berada dalam gendongan seorang gadis berjalan memasuki hotel dengan terpincang-pincang.
Posisi anak itu yang berada dalam dekapan Fara membelakangi Daryn dan menutupi wajah gadis itu, tapi dengan mudah pria itu mengenalinya sebagai gadis yang menumpahkan kopi padanya tadi pagi. Matanya menyipit, dia tiba-tiba menjadi emosi. Dia bergegas menghampiri, merebut paksa anaknya dari pangkuan si gadis dan mengejutkan mereka.
Mata Fara terbuka lebar, melotot pada Daryn yang mengambil alih anaknya dengan paksa padahal anak itu baru saja tenang.
“Apa yang kau lakukan? Kau mengejutkanny!” seru Fara marah.
“Aku yang seharusnya bertanya, apa yang kau lakukan padanya, hah? Kaulah yang mengajaknya keluar,” balas Daryn menuduh.
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti?” kata gadis itu.
“Jangan berpura-pura denganku, Nona.”
Fara mendesah tak percaya, dia memalingkan mukanya sesaat dan kembali menatap Daryn. Jelas tak terima dengan tuduhan pria itu padahal dialah yang telah menyelamatkan anaknya dari celaka, bahkan yang lebih buruk dari itu, tapi pria itu seenaknya menuduh dialah yang membawa anak itu keluar?
“Kau pikir aku sejahat itu? Oh, maaf, Tuan, aku sama sekali tak tertarik pada anak orang lain kalau saja dia tak berada di jalanan dan nyaris saja tertabrak mobil! Apa salahku yang menyelamatkannya dari kecelakaan? Kau menuduhku sembarangan,” balas Fara tak mau kalah, bahkan suaranya juga meninggi.
Daryn yang telah mengambil alih tubuh anaknya dan kini dalam gendongannya menatap Fara tak percaya.
Pedebatan itu menjadi tontonan orang-orang di lobi, mereka berbisik-bisik sampai membuat sekretaris Daryn yang berdiri di belakangnya salah tingkah karena atasanya sama sekali tak mau mengalah bahkan semakin gencar membalik pembelaan gadis itu, menuduhnya, juga tak peduli dengan tangis anaknya di pangkuan.
“Direktur, sebaiknya Anda mencari tempat aman. Di sini banyak orang, citramu dan hotel bisa ternoda,” bisik sekretarisnya mengingatkan.
Barulah Daryn menghentikan debatnya dan melirik sekitar.
“Ayah jahat,” ujar anak itu meracau dalam dekapannya. Dia menangis yang tak dipedulikan ayahnya.
“Bawa dia ke ruanganku juga. Aku akan menuntutnya,” katanya memerintah seraya melirik Fara tajam.
Sekretarisnya hanya mengangguk, dan Daryn melengos begitu saja meninggalkan lobi tanpa menenangkan anaknya lebih dulu. Sekretaris menghampiri Fara yang tercengang melihat ketidakpedulian pria itu pada anaknya, ayah macam apa dia itu? Pikirnya. Fara menuruti sekretaris untuk mengikuti atasannya dengan kaki terpincang-pincang karena sempat terkilir ketika menyelamatkan bocah itu tadi.
Tak hanya kakinya terkilir, sikunya juga menjadi korban benturan dengan jalan dan terluka, tapi dia mengabaikannya karena terlalu sibuk menenangkan tangis anak itu yang masih ketakutan, sepertinya itu memicu kembali trauma yang Fara sendiri tidak tahu, tapi dia menyadarinya. Tatapannya masih tertuju pada punggung Daryn yang berjalan di depan sambil menenangkan tangisan kecil itu. Dengus kesal terbuang dari Fara mengkritik cara pria itu menenangkan anaknya.
Mereka tiba di kantor Daryn, Fara tak segera duduk, bahkan tak mempedulikan denyutan di kakinya yang minta diobati lebih dulu, perhatiannya masih tertuju pada bagaimana sikap Daryn terhadap anaknya.
“Ayolah Delvin, jangan menangis,” bujuknya begitu menurunkan anaknya di sofa ruangannya.
“Kau sungguh ayah yang payah,” kritik Fara meliriknya tajam. Dia berjalan menghampiri Daryn yang berjongkok di depan anaknya dan menyuruhnya untuk minggir.
Daryn menoleh dan balas menatapnya tajam, tapi Fara tak peduli, perhatiannya terpusat pada anak itu yang tangisnya mereda begitu melihatnya.
“Biar aku yang urus. Kau ambilkan kotak keshatan,” titah Fara seenaknya.
Tentu saja Daryn tak terima dengan perintah gadis itu, dialah yang punya hak sekarang sebagai ayahnya dan pemilik hotel ini. Dialah yang seharusnya memerintah.
“Kenapa diam? Cepat ambil, biar aku yang menenangkannya. Minggir!” Fara menggeser tubuh Daryn sembarang yang diam di tempatnya dan mengambil alih posisi pria itu untuk menenangkan anaknya sekaligus memeriksanya.
Sekretaris hanya memalingkan muka ketika atasannya itu melampiaskan tatapan tajam padanya dan menawarkan diri untuk mengambil kotak kesehatan. Daryn berdiri di belakang gadis itu yang mulai bicara dengan nada lembut dan ramah, lantas hal itu mengundang dengus sinis darinya. Namun, melihat punggung Fara yang ada di depannya tiba-tiba memicu sekelebat bayangan tentang seseorang yang dahulu dilihatnya. Suara dari gadis itu yang menenangkan tangis anaknya mengingatkan Daryn pada kenangan lama yang selalu menghantui.
Matanya menyipit, kenangan itu samar, tapi masih berlangsung dalam benaknya bagai deja-Vu.
“Kau siapa?” Pikirnya.
“Siapa namamu, adik kecil?” tanya Fara ketika anak itu akhirnya berhenti menangis. Tangan gadis itu mengusapnya lembut penuh kasih.“Del-vin,” sahutnya terbata diselingi isak tangisnya.“Delvin, kamu suka permen tidak?” tanyanya lagi.Anggukan kecil dari anak itu menjawabnya dan Fara mengeluarkan tiga macam loli dari saku jas dan memberikannya pada Delvin.“Nah, karena kamu sudah berhenti menangis, sekarang kakak akan mengobati lukamu, hm?” katanya.Sayangnya Delvin menolak dengan menggelengkan kepala kuat-kuat dan menghindari Fara.Gadis itu tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, hanya memperhatikan tingkah Delvin sampai sekretaris memberikan kotak kesehatan padanya. Fara mengucap terima kasih dan mengalihkan perhatian pada luka di lutut anak itu.“Aku tidak mau,” tolak Delvin dan merengek.Daryn maju untuk menegur tapi Fara menghentikannya dengan cepat dan melayangkan tatapan tajam yang mencela padanya.“Biar aku urus, kau diam saja,” sentaknya melotot pada Daryn yang seketika
Melihat dan memastikan Delvin sekali lagi sebelum dia pergi, Fara merekam wajah bocah itu baik-baik dan dahinya menampilkan kerutan halus ketika wajah kecil itu mengingatkannya pada seorang anak yang dulu pernah dia lihat.“Bagaimana mungkin?” tanya hatinya ragu. Dia menggelengkan kepala untuk menghalau bayangan itu.Bangun dari duduknya, Fara menatap Daryn yang tampak kesal mengawasinya dengan tajam.“Apakah kau seperti itu pada semua pria?” tanya Daryn.Fara menatapnya tak mengerti.“Bersikap seenaknya, bahkan membuka kancing baju pria tanpa izin. Kau sungguh cocok sekali sebagai seorang wanita penggoda,” katanya.Kali ini Fara tertawa tapi hanya sesaat lalu mengarahkan tatapannya kembali pada Daryn.“Ini yang pertama, dan terakhir. Kau tau, bertemu denganmu adalah kesialan bagiku,” kata Fara sarkas.Jelas saja Daryn tak terima. Bagaimana mungkin bertemu dengannya adalah kesaialan disaat orang lain menganggapnya keberuntungan, Fara justru sebaliknya tapi gadis itu tak menjelaskan ap
“Ayah!” Panggilan dari Delvin untuk Daryn mengalihkan perhatian kedua orang itu.Delvin menatap Daryn yang mencoba tersenyum padanya setelah menenangkan dirinya.Melihat Delvin yang tampak lemah di matanya, Daryn menghampiri lantas memeluknya erat. Hatinya terluka dengan apa yang dikatakan Sandra. Tidak ada yang tahu kebenaran tentang mereka.“Maafkan Ayah, Delvin,” ucap Daryn pelan. Delvin membalas pelukannya, mengusap punggung lebar Daryn dengan tangannya yang kecil.Entah mengapa, ada yang mengusupi hati Fara melihat pemandangan itu, rasanya hangat sekaligus membingungkan karena sekali lagi melihat wajah Delvin mengingatkannya pada masa lalu, tentang seorang anak di bawah guyuran hujan dan simbahan darah serta tangisan yang begitu menyayat hati. Namun, suara dering ponselnya menyita perhatian.Fara sedikit menjauh untuk menerima panggilan.“Baik. Aku akan kembali sekarang,” katanya pada sambungan dan menutupnya kemudian.Ayah dan anak itu sudah melepaskan pelukan mereka. Daryn meng
Fara sedang duduk di kursi sebuah restoran untuk makan siang. Dia sedang ingin keluar maka dari itu mengajak temannya untuk ikut dengan alasan tidak mau makan sendirian, nyatanya dia hanya ingin melamun. Ada jeda satu jam untuk makan siang dari kerjaannya dan itu bisa dimanfaatkan Fara untuk melamun, teringat kembali pada kejadian kemarin.“Kakimu bagaimana?” temannya bertanya sambil meletakan makanan penutup di depan Fara yang sejak tadi diam.Gadis itu melirik kakinya di bawah meja lalu menggerakannya.“Sudah tak terasa sakit setelah melakukan pengobatan,” jawab Fara.Temannya mengangguk sambil menyuapkan makanan penutup ke mulutnya. Fara yang traktir jadi Ira memesan makanan sesuka hatinya, berhubung suasana hati Fara sedang buruk jadi dia memanfaatkan itu untuk memerasnya karena di saat seperti itu Fara tak akan peduli.Ira memperhatikan ekspresi wajah Fara yang tampak begitu serius dari biasanya. Gadis cantik yang selalu berpenampilan ala kadarnya itu tak pernah terlalu lama terj
Fara balas menatap Daryn tak kalah tajam. Rahang keduanya mengeras. Dari sorot matanya Fara pikir pria itu tak akan bisa dengan mudahnya melepaskan dirinya. Bila terlalu lama di sana, dia akan kehilangan nyawa anak itu. Otaknya berpikir cepat selagi tatapannya masih terpancang pada iris mata Daryn.Dari kedua iris kelam pria di hadapannya yang masih mencekal pergelangan tangannya, tatapan Fara turun melewati pangkal hidung Daryn lalu berhenti di bawahnya, tepat pada kedua bibir itu.Ini gila! Jangan lakukan. Hatinya menjerit memberi tahu. Tapi kalau dia tak bertindak, nyawa seseorang terancam, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia pikirkan saat ini meskipun memang gila.“Aku sungguh harus pergi sekarang. Hanya satu cara supaya aku bisa pergi, jadi jangan salahkan aku melakukan ini, kau sendiri yang tak mau melepaskanku,” kata Fara.Kedua alis hitam Daryn yang memayungi kedua matanya itu terangkat mendengar apa yang dikatakan gadis itu.Hanya dalam satu kedipan mata saja kejadian
Pertemuan dan kejadian itu cukup mengganggunya, bahkan membuat waktu tidurnya terganggu. Dia tak bisa memejamkan mata karena kejadian itu menghantuinya, kecupan singkat yang menyebalkan bagi Daryn. Namun tanpa sadar jarinya menyentuh kedua bibirnya sendiri, merasakan sentuhan itu.“Apa yang aku pikirkan?” tegurnya begitu tersadar dari lamunan.Daryn mengakui kegilaan Fara yang berani sekali melakukan itu padanya.“Apa maksudnya?” Dia bertanya entah pada siapa.Keheningan malam terasa begitu tenang. Hanya terdengar bunyi jangkrik dan binatang malam di kejauhan. Di remangnya cahaya lampu tidur, Daryn berbaring di atas ranjang, selimut menutupi setengah tubuhnya, kedua tangannya berada di atas dada, tatapannya tertuju ke langit-langit kamar, pikirannya berkelana lagi pada kenangan masa lalu dan pertemuannya dengan gadis itu.“Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya?” gumamnya ambigu.Di hati kecilnya, Daryn berharap gadis itu adalah sosok yang dari masa lalunya, seseorang yang meninggalkan p
“Ini yang terakhir?” Fara bertanya begitu pasien yang dirawat jalannya telah selesai konsultasi.“Ya,” sahut seorang perawat yang menemaninya. “Namun, ada yang aneh,” katanya melihat kertas di tangannya.Fara mendongakan wajahnya menatap pewarat itu seakan bertanya dalam diam.“Ada apa?”“Di sini tidak dijelaskan apa-apa selain konsultasi,” jawab perawat itu.Dahi Fara mengerut, entah kenapa firasatnya tak enak.“Coba kulihat, Delvin Aezar?” Kerutan di dahi Fara semakin banyak dan dalam membuat kedua alisnya nyaris bertemu. Nama itu terasa tak asing. “Persilahkan masuk,” katanya.Perawat itu hanya mengangguk, mengiyakan instruksi Fara untuk memanggil pasien terakhirnya yang sedikit aneh. Dia sendiri fokus pada layar laptop di depannya dan beralih ke data y
Fara tak menunggu Daryn, dia terus berjalan meninggalkan pria itu sejauh mungkin bahkan ketika namanya dipanggil pun dia tak menoleh. Perasaannya sedang kesal, itu sebabnya dia tak menghentikan langkah. Namun anehnya, Daryn sama sekali tak mengeluh dan mengikuti saja ke mana langkah kaki gadis itu membawa seolah dia menikmatinya, memantau kekasih yang merajuk.Sekali lagi, perhatiannya tefokus pada punggung Fara yang masih berjalan di depan. Meskipun jaraknya cukup jauh, Daryn bisa dengan mudah mengimbangi langkah gadis itu. Namun sekarang, ingatan masa lalunya kembali terpicu ketika melihat punggung kecil itu.“Tiga tahun berlalu, dia pasti berubah,” katanya bergumam, meyakinkan dirinya ada banyak gadis yang memiliki punggung serupa, tetapi entah mengapa bertemu gadis itu ingatan kelamnya terpicu.Fara akhirnya berhenti di zebra cross perasaanya campur aduk, sungguh tak nyaman sekali di ikuti seorang pria. Dia mungkin pergi makan malam bersama rekan pria juga tapi tak pernah terlibat
Terlalu lama Fara diam, akhirnya Daryn gemas juga.“Apa? Ada apa, sih, Far? Kau membuat aku jadi penasaran,” kata Daryn akhirnya.Mata Fara mengerjap, terkejut juga karena malah melamun.“Oh, tidak. Tidak jadi,” kata gadis itu.“Ish. Kau membuat aku jadi semakin penasaran saja, Fara. Ada apa? Katakan padaku,” timpal Daryn bahkan memaksa gadis itu untuk mengatakan apa yang ingin Fara katakan sebelumnya.“Tidak jadi. Bukan apa-apa,” kilah Fara. Sepertinya masih ragu untuk membicarakan hal itu dengan Daryn.“Ayolah.” Daryn mendesah kesal sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Ada apa? Ayo katakan padaku, atau aku akan terus memintamu untuk mengatakannya,” kata Daryn tak ingin menyerah.Fara menatap Daryn tajam, dan membuang napas kasar.“Aku bilang tidak jadi. Kenapa kau ngotot sekali?” balas Fara. Tapi entah bagaimana tubuhnya tak juga beranjak dari sana.Atau mungkin Fara juga penasaran sama seperti Daryn.Kira-kira siapakah foto dalam bingkai di kamar Delvin itu?Melihat Fara dia
Setelah makan malam itu Fara menemani Delvin hingga tidur sedangkan Daryn kembali sibuk dengan tabletnya di lantai dua, duduk di sofa dengan nyaman. Pria itu sudah mengganti bajunya dengan piaya tidur.“Delvin sudah tidur?” tanya Daryn tanpa mengalihkan perhatian dari tabletnya.“Ya, sudah,” sahut Fara berjalan pelan ke kamarnya. Gadis itu tampak mengantuk.Tidak ada yang bicara sampai Fara berdiri di depan pintu kamarnya dan hendak membuka pintu itu tapi pikirannya tertuju pada Daryn.“Kenapa?”Rupanya Daryn menyadari Fara yang berhenti di depan itu.“Tidak ada. Aku hanya teringat sesuatu. Selamat malam,” ucap gadis itu lantas masuk ke kamarnya.Tapi Fara bersandar di balik pintu kamarnya, pikirannya tertuju ke suatu tempat di kamar Delvin ketika meninabobokan anak itu.Ada beberapa pigura di kamar anak itu. Yang besar tergantung di dinding, hanya Delvin, Daryn dan sang nenek yaitu Dennda. Sedangkan di pigura kecil di atas meja, terdapat sebuah foto yang terdiri dengan beberapa orang
“Delvin, apa maksudnya dengan Mama?” tanya Daryn.Anak itu menoleh pada sang ayah lantas tersenyum dan melirik Fara.“Aku ingin punya Mama, dan aku suka Dokter Fara,” kata anak itu dengan nada bicaranya yang khas.Baik Daryn maupun Fara, sama-sama terkejut mendengar apa yang anak itu katakan. Fara bahkan menelan ludahnya ketika pikirannya mencerna sedikit lambat.“Jadi aku menggambar ini,” lanjut Delvin sambil memandangi gambar yang dia buat sendiri itu. Senyum lebar mengiasi wajahnya yang bahagia.Apa yang mesti Fara lakukan? Tidak mungkin bukan Fara menghancurkan harapan anak itu yang tampaknya merindukan kehadiran sosok ibu di hidupnya, di usia yang masih belia itu. Fara melirik Daryn sekali lagi memastikan bagaimana respon pria itu.Sama. Daryn pun terdiam, tak berkata, bungkam seribu bahasa. Sebagai ayah, tentu saja hati Daryn sakit mendengarnya. Bukan karena tak mau menghadirkan sosok ibu yang sangat Delvin inginkan, tapi Daryn tidak bisa asal memilih istri untuk menjadi ibu bag
“Ibu ke mana?” tanya Fara ketika menjelajahi rumah besar itu tapi tak menemukan sang nyonya rumah.Daryn yang tengah duduk di sofa sambil menunggu makan malam siap menoleh pada gadis itu.“Ada urusan, nanti juga kembali,” jawab Daryn lalu fokus pada tablet di tangannya.“Oh, begitu. Apakah biasanya lama?” tanya Fara lagi sambil mengambil posisi duduk di sofa tak jauh dari pria itu.Sesaat Daryn terdiam seperti tengah berpikir apakah ibunya pergi lama atau tidak.“Paling lama tiga hari, paling sebentar sampai malam nanti,” kata Daryn menjawab Fara dengan santai.Fara menganggukkan kepalanya berusaha untuk tidak ikut campur urusan Dennda atau Daryn. Setiap orang punya urusannya sendiri yang tak harus selalu dibagikan.Delvin tengah di kamarnya entah sedang apa. Jam menunjukan pukul enam petang. Daryn mengatakan Delvin biasa mengurung diri di kamar pada jam seperti itu, nanti anak itu akan keluar dengan sendirinya entah akan membawa apa.Meski Daryn menyuruhnya untuk tak khawatir karena
Masih menatap Daryn dengan penuh kemarahan, Sandra berteriak agar melepaskan penjagaan supaya bisa menghampiri pria itu dengan leluasa. Namun sepertinya percuma, Daryn tak akan mengizinkannya.“Kenapa kau bersikap begitu? Apa yang kau pikirkan sehingga hidup orang lain kau hancurkan,” kata Brian tak mempedulikan protes Sandra.Mendengar apa yang pria itu katakan, Sandra mulai berhenti tapi tetap menatap Daryn dengan tajam.“Kau ingin tahu alasannya, hah?” Sandra membalas.Daryn menatap Sandra dengan sorot yang serius.“Bukankah sudah aku bilang, itu karena kau. Seandainya kau tidak datang padanya, aku tak akan melakukan hal itu,” kata Sandra.“Jadi kau memang sengaja melakukan itu?”“Memangnya kenapa? Kau tak senang, bukan? kalau begitu, kenapa kau tak bicara denganku?”“Apa gunanya? Kau tak akan berhenti menganggunya, bukan? Sampai kau puas. Jadi aku tak akan membiarkannya.”“Itu sebabnya kau begitu melindunginya? Jangan bilang kau mencintai gadis itu, hah?” Sandra tersenyum miring,
Daryn masih asyik bermain game di ponselnya sementara Fara serta anaknya masih tidur siang. Hujan masih turun tapi tak begitu lebat, hanya saja udara kian dingin menjelang sore.Setelah bosan bermain game, tidur pun tidak bisa meski sudah berusaha untuk tidur lagi karena Daryn sempat tertidur tadi sebelum makan siang. Pria itu akhirnya memilih membuka ponselnya lagi dan membaca artikel yang muncul.Sesekali Daryn menghela napas saat membaca artikel yang membuat kabar tentang Fara dan dirinya yang dituduh berselingkuh sementar Daryn memiliki kekasih yaitu Sandra.“Siapakah sebenarnya gadis yang dikatakan perebut itu? Kabarnya dia seorang dokter anak kompeten, tetapi tidak diketahui apa niatnya.” Daryn membaca beberapa kalimat di artikel tersebut dan berdecih pelan.“Itu tidak benar. Ini sampah!” umpatnya marah tapi tidak bisa membanting ponselnya karena masih butuh.Daryn mencari sesuatu yang setidaknya memberikan komentar positif atau sebagainya. Hampir semua artikel memojokkan Fara.
Hujan deras mengguyur bumi membuat udara terasa dingin tapi menciptakan kehangatan di antara mereka yang tengah berkumpul. Daryn membebaskan para pengawal untuk melakukan apa pun supaya mereka tidak bosan. Ada sebuah ruangan di belakang rumah itu jadi para pengawal berada di sana untuk istirahat sedangkan Daryn masih menemani Delvin nonton kartun.Fara bergabung tak lama kemudian bersama mereka, Delvin beringsut ke dekatnya sebelum kedahului sang ayah. Anak itu sepertinya paham sikap aneh ayahnya yang menempel pada sang dokter.Jam menunjukan pukul satu siang, itu sudah waktunya makan siang tapi karena mereka terlalu asyik menonton sambil sesekali tertawa jadi tidak sadar waktu berlalu.“Delvin kamu suka makan apa?” tanya Fara.“Apa saja, kecuali ikan dan kacang,” jawab anak itu polos.“On tentu. Suka telur atau daging bukan?”“Ya, suka. Apalagi daging ayam kripsi,” katanya.Fara tersenyum.“Aku akan masak. Di dapur ada bahannya. Tunggu sebentar, ya.”Delvin hanya mengangguk saja kare
Tidak ada yang Daryn katakan atau lakukan selain hanya membiarkan Fara dalam pelukannya sampai gadis itu merasa lebih tenang barulah menarik diri dari pelukan. "Maaf," ucap Fara pelan. Kepala Daryn menggeleng. Fara mengusap pipinya yang sedikit basah dengan punggung tangannya sementara Daryn memperhatikannya. tangannya tiba-tiba terulur ketika di lihatnya setetes air mata di pipi gadis itu dan berniat untuk menghapusnya. Melihaat gaadiss itu menangiss, rasanyaa hati Daryn taak keruan. Dalam hati masih ada pertanyaan apa yang menjadi penyebabnya? Tadi mereka tengah bercanda tapi tiba-tiba terjadi tangisan. "Kau baik-baik saja?" tanya Daryn. Hanya anggukan kepala yang Fara lakukan sebagai jawaban. Hati gadis itu masih terasa sakit mengingat kembali masa lalu yang sesungguhnya amat sangat ingin Fara lupakan. "Aku sudah tidak apa-apa. Maaf, ini rasanya memalukan sekali," kata Fara."Apa yang memalukan? Biasa saja. Tidak apa-apa bila di depan aku, asalkan jangan di depan apalagi di
Masih butuh waktu bagi Fara mengembalikan moodnya yang jelek karena kekacauan yang terjadi tadi pagi. Dia memasukan kakinya di kolam renang dan memainkannya sehingga air terciprat. Daryn hanya memperhatikannya dari belakang, duduk di kursi santai tak jauh dari gadis itu.“Kau seperti anak kecil saja,” komentar Daryn.“Biarlah. Aku dokter anak jadi tahu bagaimana bermain seperti anak kecil,” balas Fara ketus.“Ck!” Daryn berdecak mendengar tanggapan Fara.Membiarkan gadis itu dengan keasyikannya sendiri, Daryn memilih membaringkan dirinya di kursi santai dan memejamkan mata. Dia pikir Fara tidak akan kabur begitu saja meski tidak Daryn awasi. Lagi pula gadis itu bukan anak kecil, tapi dokter anak kecil.Bermain-main dengan air, sesekali Fara tersenyum. Dia sangat suka air layaknya anak kecil. Sampai beberapa menit setelahnya dia mengangkat kakinya ke tepi kolam dan berdiri. Kakinya yang basah dia biarkan begitu saja. tangannya menepuk-nepuk belakang tubuhnya yang sedikit kotor. Fara me