Dalam dunia ini banyak sekali orang yang melakukan hal yang tidak terduga. Dan salah satunya kutemukan sifat itu pada diri suamiku El yang senang sekali membuat kejutan.Dia yang selalu punya rencana rahasia seolah mampu menjadikanku seorang wanita yang harus selalu siap siaga apa pun kondisinya. Terlebih, saat dia bilang mau mengajakku menginap di rumah Bu Rosa, rasanya hatiku sudah terserang gegana (gelisah, galau dan merana) walau nyampe rumahnya masih lama.Sepanjang perjalanan menuju rumah Bu Rosa, aku tak henti bertanya-tanya.Oh Tuhan. Apa yang akan kami lakukan di sana sebenarnya? Bagaimana tanggapan Bu Rosa nanti jika tahu kami sudah menikah?Lagian, kenapa sih ketemunya harus sekarang? Apa Mas El gak tahu kalau semua ini gak bisa terburu-buru apalagi ragu-ragu? Soalnya sekali saja salah bertindak, dikhawatirkan hanya akan menambah masalah baru.Oalah, angel wes angel!Namun, meski rasanya aku masih ragu nyatanya keputusan seorang El gak bisa diganggu gugat.Alhasil, selepas
Bab 67 Sekali lagi dengan gemetar aku menapaki lantai granit rumah keluarga Fahreza yang sudah lama aku tinggalkan. Memikirkan permintaan El yang menginginkanku bersandiwara demi mendapat restu Bu Rosa membuat perutku melilit tidak karuan. Bagaimana bisa El memintaku pura-pura hamil di depan Bu Rosa? Padahal dia tahu kalau syarat kami pun dari Bik Ratih malah berkata sebaliknya. Astaga! Gimana kalau Bu Rosa marah besar? Dan pada akhirnya bukan merestui tapi malah semakin benci. Menyadari itu semua, tidak bisa ternafikan hatiku menjadi sangat cemas karena El tidak menjelaskan apa tujuannya. Kata El aku hanya perlu menuruti semua permainannya. "Alina." ''Y-ya Mas?'' Teguran El membuatku kikuk dan gelagapan. Aku bahkan menyembunyikan tanganku yang tremor. ''Ayo, kita masuk!'' ajak El seraya meraih tanganku dan membawaku melintasi pintu ruang depan. Sungguh, detik ini juga jantungku rasanya tengah bekerja sangat ekstra dari sebelumnya. Tapi, aku harus kuat menghadapi semuanya. Aku
Bab 68 Aku tahu sejak kecil El itu tidak pernah dimanja oleh ibu mau pun ayahnya. Tidak seperti anak kebanyakan, El sepertinya salah seorang anak yang mengalami pengecualian. Sejak kecil El seolah-olah memiliki beban yang berat karena embel-embel 'sang pewaris' yang begitu melekat pada diri El. Karena tanggung jawabnya, El pun jadi anak yang pendiam dan gak punya teman karena yang lain jadi enggan mendekat. Pasti banyak yang bertanya, aku tahu dari mana? Jawabannya, orang tua-kulah yang bercerita. Almarhum Ibuku yang sudah bekerja sebagai pembantu El sejak lama pernah bilang, El itu dulunya anak yang sangat dingin karena dididik cukup keras dan tidak diberi pilihan makanya hidupnya serba diatur oleh Bu Rosa. Maka gak heran, ketika dia beranjak dewasa apa yang dilakukannya selalu saja sesuai dengan keinginan sang Ibu dan bahkan aku sempat mengira dia adalah makhluk yang gak punya keinginan, dingin juga tak pintar mengeskpresikan perasaaan. Tapi, semakin aku mengenalnya, entah mengap
[Maaf ya Sayang, Mas harus menyelesaikan pekerjaan dulu. Kalau ada apa-apa Mas udah bilang Bik Sum buat ngelayani apa yang kamu butuhkan. Kamu bilang aja ya sama dia. Oh ya, untuk masalah Ibu kita susun malam nanti. Kamu tenang aja, Ibu gak akan berani berbuat macam-macam. Sampai jumpa malam nanti my sweerheart. (Emot love banyak)] Aku terkekeh mendapat chat alay dari El. Entah siapa yang mengajarinya tapi ini cukup membuatku geli karena bukan El banget. Tapi meski aneh, kabar dari El tersebut cukup membuatku tenang setelah tadi sempat khawatir gara-gara suamiku pergi dengan terburu-buru. Usai membalas pesan El yang mengatakan kalau aku akan baik-baik saja di rumah mertua, aku pun buru-buru memasukan ponsel ke saku dan kembali berjalan mengelilingi rumah. Aku memutuskan menjelajah rumah sembari menunggu El pulang. Menurutku rumah ini lebih dari sempurna seandainya si penghuni rumah bukanlah Bu Rosa. Aku ingat dulu pernah begitu terpukau sewaktu diajak Ibu masuk pertama kali ke ru
Bab 70 Mata El berkeliling dengan tajam guna mencari sesosok wanita yang memenuhi pikirannya. Usai mengerahkan semua anak buahnya, dia gegas berlari bak orang kesetanan untuk menemukan Alina yang tak disangka diam-diam sudah mengetahui keberadaan kantornya. Dia terus memantau timnya, berharap pergerakan Alina terpantau CCTV. Beruntung, setelah mencari satu jam ada satu rekamam yang menunjukkan kalau Alina berjalan ke arah gudang. Tanpa pikir panjang, El langsung melarikan diri ke arah sana. Namun, sangat disayangkan ketika sampai di sana, El tak menemukan siapa pun. El panik, dia terus mencoba berkoordinasi dengan semua staf dan Bre yang menggeledah seluruh gedung, ternyata mereka pun sama gak menemukan Alina di mana pun. "Alina! Di mana kamu Sayang? Alina! Ini Mas! Jawab! ALINA!" panggil El keras sambil terus mengawasi setiap sisi. Dia terus melarikan dirinya dari satu ruangan ke ruangan lain bak orang yang gak waras. Pria itu sangat yakin kalau Alina belum pergi jauh. "Ya Allah
Suasana hening. Baik aku mau pun El belum ada yang berani buka suara lebih dulu, padahal sudah hampir lima belas menit berlalu setelah aku mempertanyakan tentang kebenaran statusku sebagai anak haram sesuai yang kudengar dari Bu Rosa pada El. Aku tahu pertanyaanku pasti mengejutkan El tapi aku gak bisa menahannya lagi. Sebenarnya, seusai mendengar tuduhan Bu Rosa yang mengatakan kalau aku ini adalah anak haram dan keluargaku penipu, aku bergegas pergi menuju ke kantor El yang alamatnya diberikan oleh Bu Rosa. Aku memutuskan utuk bertanya langsung pada El karena kata Bu Rosa, El juga tahu semuanya. Awalnya aku gak percaya tapi sialnya aku malah mendengar fakta yang begitu mencengangkan dari El dan anak buahnya. Aku dengar kalau ibuku emang benar seorang pelacur dan dia sekarang ada di panti jompo. Mendengar itu tentu saja aku sangat syok. Tak kusangka fitnahan Bu Rosa itu benar. Ya Allah! Aku ternyata benar anak haram! Aku adalah anak yang lahir di luar hubungan yang sah! Mengetah
Setelah beberapa jam berdiam diri di kamar rahasia untuk mengatur napas, memikirkan semua dan mengumpulkan kepingan hati yang tercerai berai, aku pun siap keluar dari tempat perenungan. Aku pikir, ini saatnya aku menata hati, menerima takdir dan mencoba mengumpulkan lebih banyak tentang masa laluku. Kutatap wajahku di depan cermin lamat-lamat. Kukira mungkin inilah saatnya aku mengambil keputusan untuk hidupku sendiri. Seperti kata El, mungkin niat mereka semua baik karena tidak mau aku menyalahkan diriku sendiri dan pada akhirnya hanya mereka juga yang ada buat aku. Aku melirik jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan jam 10.00 pagi, tak terasa aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk merenung. Sepertinya aku harus segera kembali menemui El dan mengatakan aku ingin bertemu ibu kandungku. Aku pikir ini saatnya aku menyelesaikan semua permasalahan ini agar pada saatnya nanti Bu Rosa gak akan menjadikan statusku boomerang bagi hubungan kami. Setelah menguatkan diri, aku pun melang
Aku pikir waktu setengah hari itu cukup buatku menenangkan diri dan menghadapi semuanya. Namun, setelah bertemu dengan Faye yang menyebalkan, entah mengapa perasaanku kian memburuk. Perkataan Faye yang bertindak seolah aku adalah orang paling hina untuk El dan Iza benar-benar melukai perasaanku. Apalagi dia juga bilang kalau Iza dan El lebih baik diurus sama dia saja dibanding olehku.Oh My God! Wait the minute! Is she crazy? Bisa-bisanya dia bilang begitu padaku yang jelas-jelas ibu kandung Iza.Parah. Sumpah!Namun,meski Faye menyerang segila itu sebagai wanita yang tidak mau jatuh ke lubang yang sama, aku memilih tetap menyelesaikan semuanya. Dimulai dari sekarang yaitu meluluskan niatku untuk memberanikan diri bertemu ibu kandungku sendiri apa pun resikonya.Aku berjalan menyusuri lorong kantor dengan perasaan yang campur aduk. Waktu sudah menunjukan jam 12.00 siang saat kakiku secara tergesa-gesa mencari keberadaan El. Kali ini aku berniat untuk berbicara dengan El dengan serius.
Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d
Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan
Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten
Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini
Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun
Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo
Esok harinya. Aku merasa sudah cukup menyendiri dan memikirkan rencana ke depannya untuk dilakukan menghadapi masalah ini. Semalaman penuh aku merenungkan semua sampai akhirnya aku memilih untuk berbicara dengan El dan menyelesaikan semuanya sesuai saran Rahma. Berulang kali aku memikirkan kalau apa yang dikatakan Rahma itu benar, kalau dosa ibu kandungku bukanlah dosaku. Tidak seharusnya aku menanggung kesalahan ibuku dan aku pun seharusnya percaya pada El. Selama ini El sudah banyak berkorban, gak mungkin dia mengkhianatiku terutama sama Faye.Dikarenakan mengingat itu semua, aku pikir ini saatnya aku untuk mengambil semua peranan dan memutuskan yang terbaik untuk kehidupanku sendiri. Aku harus percaya sama El dan aku yakin dia pun akan memahami kalau pengkhianatan orang tua kami gak ada hubungannya dengan rumah tangga kami.Aku melirik jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan jam 7.00 pagi, sepertinya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Aku ingin bergegas menemui El dan mem
Keesokan paginya. Aku kembali mencoba mencari cara agar bisa masuk ke ruangan El tanpa bisa diusir seperti semalam. Bagaikan orang gila, aku meminta bantuan ke sana dan ke sini demi bisa masuk ke ruangan El tapi rasanya susah sekali karena Bu Rosa sama sekali gak beranjak.Beruntung, setelah menunggu hampir tengah hari. Aku akhirnya dapat bantuan dari Bre--sahabatnya El dan sekarang jadi mantan bosku. Bre yang baru saja menjenguk El bilang kalau El sudah membaik dan dipindah ke ruang rawat VIP sehingga aku bisa dengan mudah mengakses selama gak ada Bu Rosa atau pengawalnya. Kata Bre, El masih belum sadar sepenuhnya karena masih harus banyak istirahat akibat cidera tulang yang ia alami. Tentu kabar itu setidaknya membahagiakan hatiku yang sejak semalam sudah harap-harap cemas, terutama Bre juga bilang Bu Rosa sedang pergi keluar jadi ini saatnya aku bisa menyelinap masuk.Dan setelah persiapan matang, akhirnya aku bisa juga sampai di depan ruang rawat El. Sebelum masuk, aku berhenti
"El kecelakaan Lin, dia kecelakaan! Sekarang katanya dia dilarikan ke UGD." Sekali lagi informasi dari Bik Ratih beberapa saat lalu membuatku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. 1320015635874Jujur, aku sangat terkejut hingga sempat terdiam dan tubuhku terasa kaku. Berita kecelakaan tentang El benar-benar menghantamku seperti gelombang besar yang tiba-tiba datang. Namun, meski rasanya hati ini begitu cemas, tanpa pikir panjang dengan cepat, aku meraih tas dan jaketku, lalu bergegas keluar rumah menuju rumah sakit, tentu saja setelah menitipkan Iza kepada Bik Ratih. Aku sengaja gak mau memberitahukan kabar tentang El pada Iza karena anak itu pasti menangis kencang dan ingin ikut padahal ini sudah sangat larut malam.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ayal pikiranku kacau dengan berbagai perasaan. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mendalam. Aku mengira kalau El mengalami kecelakaan tunggal karena saking marahnya padaku sehingga oleng dan menabrak pembat