Aku pikir waktu setengah hari itu cukup buatku menenangkan diri dan menghadapi semuanya. Namun, setelah bertemu dengan Faye yang menyebalkan, entah mengapa perasaanku kian memburuk. Perkataan Faye yang bertindak seolah aku adalah orang paling hina untuk El dan Iza benar-benar melukai perasaanku. Apalagi dia juga bilang kalau Iza dan El lebih baik diurus sama dia saja dibanding olehku.Oh My God! Wait the minute! Is she crazy? Bisa-bisanya dia bilang begitu padaku yang jelas-jelas ibu kandung Iza.Parah. Sumpah!Namun,meski Faye menyerang segila itu sebagai wanita yang tidak mau jatuh ke lubang yang sama, aku memilih tetap menyelesaikan semuanya. Dimulai dari sekarang yaitu meluluskan niatku untuk memberanikan diri bertemu ibu kandungku sendiri apa pun resikonya.Aku berjalan menyusuri lorong kantor dengan perasaan yang campur aduk. Waktu sudah menunjukan jam 12.00 siang saat kakiku secara tergesa-gesa mencari keberadaan El. Kali ini aku berniat untuk berbicara dengan El dengan serius.
Dengan napas tersenggal-senggal akhirnya aku sampai juga di sekolah Aliza. Miss Hely sudah memberitahukan permasalahan Iza dan Wulan--teman kelas Iza ketika dia menyambutku di pintu masuk ke sekolah. Menurut penuturan Miss Hely, ternyata Iza bertengkar karena Wulan yang memulai duluan, hal itu sudah dicek ke semua teman yang ada di kelas ketika kejadian berlangsung. Wulan menyebut Iza dengan sebutan anak yang gak punya Ayah."Ih kasian gak punya Ayah! Kamu mah gak punya Ayah! Weee!" Begitulah katanya bunyi bully-an Wulan pada Iza sehingga Iza terpancing dan bilang kalau sebenarnya dia punya Ayah.Tapi, dikarenakan Iza sudah berjanji padaku untuk merahasiakan El sebagai ayah-nya sekarang alhasil Iza gak bisa memberitahukan nama ayahnya ketika Wulan bertanya. Akhirnya sama anak-anak sekelasnya Iza pun disangka berbohong.Iza yang gak nerima alhasil marah dan memukul Wulan sementara Wulan pun balas memukul Iza cukup kencang hingga muntah. Mendengar penjelasan itu perasaanku jadi campur a
Suasana ini sangat tidak menguntungkan. Hal di luar dugaan terjadi, siapa sangka El tiba-tiba datang dan bilang kalau apa yang dikatakan Iza benar yaitu Iza sudah punya ayah. Tentu saja pernyataan El yang terlalu lantang itu sangat mengejutkan bagiku juga bagi semua orang yang hadir di ruangan. Ibunya Wulan, Miss Hely dan Bu Astri bahkan kompak memandang ke arahku yang seolah membatu. "Jadi benar ya, Bu? Apa tadi kata Pak El kalau Iza sudah punya Ayah?" Suara Ibunya Wulan memecah keheningan. Dia memandangku dan El secara bergantian seolah ingin meminta kepastian. Jujur, saat ini aku tidak tahu harus berekspresi dan menjawab apa. Haruskah aku mengiyakan ataukah terpaksa menidakan? Karena aku tahu sekali kedudukan El-lah yang menjadi taruhan.Aku bimbang mengakui. Di satu sisi aku tak mau nenyakiti El tapi di sisi lainnyajika aku mengakui pastinya masalah ini akan semakin runyam dan gosip pun bertebaran. Apalagi aku tahu Bu Wini--ibunya Wulan ini salah satu orang tua yang menyebalkan
Aku tidak tahu El akan membawaku ke mana. Tapi, ada satu hal yang kurasakan pasti yaitu perjalanan kami diliputi ketegangan dan juga kesunyian. El bungkam seribu bahasa, menyetir mobil dengan konsentrasi penuh seperti pusat hidupnya ada di jalan.Aku sendiri membuang pandangan ke samping. Tak terasa mobil kami sudah berhenti di lampu merah. Tiba-tiba tangan El terulur ke arah laci dashboard yang ada di depanku. Pria itu membuka dan mengeluarkan sebuah undangan berwarna gold lalu menyimpannya di pangkuanku."Kita harus menghadiri undangan itu," katanya tanpa menengokkan kepala padaku."Hah? Undangan apa ini, Mas?" Aku mengangkat benda itu bingung."Itu acara temu pemegang saham tahunan. Biasanya perusahaan mengundang para pemegang saham sebagai bentu apresiasi dan loyalitas. Mas akan memperkenalkan kamu sebagai istri di sana.""Apa? Apa Mas gila?"Mendengar ucapannya, seketika aku tercengang. Bisa-bisanya dia membuat rencana untuk mengenalkanku pada koleganya. Bukankah itu sangat berba
"Ya Allah Mas, kayaknya saya gak usah masuk deh. Saya takut malu-maluin, Mas. Saya di sini aja, ya?'Aku bertanya panik saat turun dari mobil El yang sudah terparkir di salah satu hotel yang ada di kawasan elit ibu kota. Melihat kondisi hotelnya yang mewah dan banyaknya mobil yang terparkir saja sudah membuat aku ciut, apalagi di dalam nanti.Jujur, saat ini aku merutuki keputusanku untuk mengikuti keinginan El yang ingin memploklamirkan status kami yang jadi suami istri.Bukan. Bukan karena aku tak siap menghadapi Bu Rosa dan menjegal sepak terjang Faye yang semakin menggila, tapi sebaliknya aku hanya takut mempermalukan El. Bagaimana pun sekarang El bukan lagi pria yang sama dengan delapan tahun lalu. Seperti kata Bu Rosa, El harus memiliki istri yang bisa menjaga image-nya dan aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku pantas ada di sini.Seperti tahu kegelisahanku, El menjalin jari jemari kami."Kamu gak usah malu. Ada saya Alina, ayo!"Tanpa memperdulikan aku yang cemas dan ragu, dia
Aku tidak tahu keputusan ini benar atau salah. Walau terlihat tenang, dadaku terus saja berdebar-debar karena merasa gelisah akan bertemu ibu kandung yang telah membuangku selama tiga puluh tahun tersebut. Tak dipungkiri di hati ini terselip rasa takut dan ragu karena Bu Rosa juga bilang akan membongkar rahasia lain yang berkaitan dengan keluargaku dan El.Namun, meski agak bersalah karena aku diam-diam mengikuti Bu Rosa tanpa bilang El sesuai permintaan Bu Rosa, tetap saja aku memutuskan untuk mengikuti mertuaku ini. Sebagai menantu yang cukup paham watak Bu Rosa, aku yakin dia pasti punya alasan, mengajakku bicara berdua saja tanpa melibatkan anaknya. Sejahat-jahatnya Bu Rosa dia gak pernah bercanda jika itu tentang El.Agh. Tapi, bagaimana jika dia hanya ingin mempermainkanku saja? Bagaimana jika Bu Rosa lebih gila dari sebelumnya?Duh! Aku harus tetap waspada.Dari pada terlihat lemah dan menunjukkan rasa panik, aku tetap akan bersikap tegar. Sekarang, aku hanya perlu kembali ke p
"Apa? Katamu? Kamu menyuruhku berpisah dengan El?! Hah, Ibu macam apa kamu! Setelah kamu meninggalkan anakmu, sekarang kamu malah merebut satu-satunya kebahagiaanku, hah?!" teriakku penuh amarah. "Sekarang, dibanding aku lepas kendali dan dinilai gak punya sopan santun pada Ibu kandung durhaka macam kamu! Lebih baik kamu pergi sekarang! Pergi!" lanjutku lagi membabi buta. Aku bahkan sampai melempar barang apa saja yang ada di dekatku dan melemparkannya ke sembarang arah. Bibik yang tahu betapa hancurnya hatiku bergegas menghampiriku dan memelukku. "Tenang, Alina. Tenang! Meski Yunita berdosa, tapi kini Bibik berpikir sama. Rosa bukanlah wanita yang mudah untuk dihadapi. Pertimbangkanlah lagi, maafkan Bibik juga yang sebelumnya udah setuju.""Oh, bagus! Bagus! Jadi sekarang Bibik sekongkol sama dia, hah?""Bibik gak sekongkol Alina. Bibik hanya--""Sudahlah! Sudah! Jangan dibahas lagi! Aku muak bicara sama kalian. Dan aku juga muak melihat wajah Ibu kandungku sendiri. Kalau begini akh
POV Author"Sialan! Siapa yang berani menculik anakku?! B*rengsek!" El menggeram emosi. Dengan wajah dingin, El melajukan mobilnya kencang untuk membelah jalan raya yang cukup lengang. Malam sudah semakin larut tapi hatinya kian kalut karena sudah hampir enam jam berlalu Aliza menghilang dari pemantauan. Sebenarnya, beberapa saat lalu, di saat dia hampir berhasil menemukan bukti kecurangan ibunya di brankas salah satu kamar yang ada di hotel tempat acara pesta diadakan, tiba-tiba El ditelepon oleh Nek Omi yang mengatakan kalau Aliza menghilang saat ditinggal sebentar bermain di depan rumah.Kabar itu tentu saja membuat El syok. El yang sedang menunaikan misi langsung hilang fokus, terlebih di saat yang bersamaan El juga sempat kehilangan jejak Alina. El sejujurnya curiga karena Alina disinyalir menghilang di tengah acara. Namun, untunglah setelah mencari-cari akhirnya Alina bisa dihubungi. Katanya Alina tadi dia sakit perut sehingga lama di toilet.Walau masih menyisakan ganjala
Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d
Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan
Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten
Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini
Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun
Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo
Esok harinya. Aku merasa sudah cukup menyendiri dan memikirkan rencana ke depannya untuk dilakukan menghadapi masalah ini. Semalaman penuh aku merenungkan semua sampai akhirnya aku memilih untuk berbicara dengan El dan menyelesaikan semuanya sesuai saran Rahma. Berulang kali aku memikirkan kalau apa yang dikatakan Rahma itu benar, kalau dosa ibu kandungku bukanlah dosaku. Tidak seharusnya aku menanggung kesalahan ibuku dan aku pun seharusnya percaya pada El. Selama ini El sudah banyak berkorban, gak mungkin dia mengkhianatiku terutama sama Faye.Dikarenakan mengingat itu semua, aku pikir ini saatnya aku untuk mengambil semua peranan dan memutuskan yang terbaik untuk kehidupanku sendiri. Aku harus percaya sama El dan aku yakin dia pun akan memahami kalau pengkhianatan orang tua kami gak ada hubungannya dengan rumah tangga kami.Aku melirik jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan jam 7.00 pagi, sepertinya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Aku ingin bergegas menemui El dan mem
Keesokan paginya. Aku kembali mencoba mencari cara agar bisa masuk ke ruangan El tanpa bisa diusir seperti semalam. Bagaikan orang gila, aku meminta bantuan ke sana dan ke sini demi bisa masuk ke ruangan El tapi rasanya susah sekali karena Bu Rosa sama sekali gak beranjak.Beruntung, setelah menunggu hampir tengah hari. Aku akhirnya dapat bantuan dari Bre--sahabatnya El dan sekarang jadi mantan bosku. Bre yang baru saja menjenguk El bilang kalau El sudah membaik dan dipindah ke ruang rawat VIP sehingga aku bisa dengan mudah mengakses selama gak ada Bu Rosa atau pengawalnya. Kata Bre, El masih belum sadar sepenuhnya karena masih harus banyak istirahat akibat cidera tulang yang ia alami. Tentu kabar itu setidaknya membahagiakan hatiku yang sejak semalam sudah harap-harap cemas, terutama Bre juga bilang Bu Rosa sedang pergi keluar jadi ini saatnya aku bisa menyelinap masuk.Dan setelah persiapan matang, akhirnya aku bisa juga sampai di depan ruang rawat El. Sebelum masuk, aku berhenti
"El kecelakaan Lin, dia kecelakaan! Sekarang katanya dia dilarikan ke UGD." Sekali lagi informasi dari Bik Ratih beberapa saat lalu membuatku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. 1320015635874Jujur, aku sangat terkejut hingga sempat terdiam dan tubuhku terasa kaku. Berita kecelakaan tentang El benar-benar menghantamku seperti gelombang besar yang tiba-tiba datang. Namun, meski rasanya hati ini begitu cemas, tanpa pikir panjang dengan cepat, aku meraih tas dan jaketku, lalu bergegas keluar rumah menuju rumah sakit, tentu saja setelah menitipkan Iza kepada Bik Ratih. Aku sengaja gak mau memberitahukan kabar tentang El pada Iza karena anak itu pasti menangis kencang dan ingin ikut padahal ini sudah sangat larut malam.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ayal pikiranku kacau dengan berbagai perasaan. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mendalam. Aku mengira kalau El mengalami kecelakaan tunggal karena saking marahnya padaku sehingga oleng dan menabrak pembat