Pagi itu anak buah Gea gagal lagi membunuh Valentino lantaran mereka terkecoh dengan mobil yang membawa mereka.
Gea hanya bisa menahan kemarahannya karena pagi itu dia harus mengajar do kampus. Tak mungkin dia marah-marah di lingkungan kampus. Jika di kehilangan kendali dirinya, sudah tentu dia akan dipecat. Dia tidak akan mempertaruhkan pekerjaannya untuk hal itu. Dia hanya harus lebih bersabar.Usai mengajar, Gea harus buru-buru masuk ke dalam ruangannya namun malah dihalangi oleh salah seorang mahasiswanya. Sebenarnya bisa dibilang, gadis itu tidak berusaha mencegahnya namun Gea merasa begitu."Bu, apa boleh saya menganggu waktu Anda sebentar saja?' tanya Inka pelan.Gea ingin menjawab 'Tidak', tapi dia tentu tak bisa begitu jadi dia akhirnya menjawab, "Ya. Ada yang bisa saya bantu, Inka?""Sebenarnya ini...""Jika ini berkaitan dengan studimu, kita bisa bicarakan di ruangan saya," potong Gea. Dia tak mau berbicara di tengah j"Masih bertanya? Tentu saja kau," ucap Vesa santai.Derrick menatap sebal pada temannya dan langsung memberi Vesa sebuah pukulan ringan di bagian lengan kanannya.Keduanya pada akhirnya terlibat saling pukul dan Ruslan tak ingin ikut campur atas candaan dua sahabat itu. Ruslan menerawang jauh. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Candaan seperti itu. Pertemanan seperti itu, pernah dia lihat sebelumnya. Pria tua menghela napasnya yang berat. "Semoga nasib kalian tidak seperti nasib Tuan Besar dan juga Tuan Agusta," ucap Ruslan pelan begitu melihat dua pemuda itu sudah masuk ke kamar mereka masing-masing.Tentu saja, hal itu mengingatkan dia tentang persahabatan yang terjalin antara Valentino dan Agusta.Agusta yang mengenali Valentino kala itu dan malah akhirnya membantunya dengan mempertaruhkan nyawanya. Sayangnya, nasib baik tak berpihak kepadanya. Agusta ditemukan terbunuh selang beberapa bulan membantunya.Hal itu menjad
"Sudah, tak perlu dibahas lagi. Kenapa kau ikut kelas sore?" tanya Inka lagi.Mereka hanya sedang berdua di sudut tempat mesin minuman berjejer rapi itu, jadi Inka pun merasa lebih leluasa berbicara dengannya."Eh, aku kira kau tahu aku seperti sebagian dari mereka," ucap Vesa.Inka menaikkan sebelah alisnya bingung, "Hm. Memang aku harus tahu apa?""Oh, tidak. Tidak penting," balas Vesa cepat. Dia berpikir melihat reaksi Inka sepertinya gadis itu tidak tahu jika dia adalah anak miliarder yang sebagian besar mahasiswa di kampusnya itu tengah membicarakan dirinya."Ah, aku tahu. Aku tahu. Aku dengar gosip itu. Ada anak super miliarder yang baru saja pindah ke sini. Apakah itu kau?" tanya Inka tenang.Vesa menoleh heran, kenapa reaksi gadis itu malah biasa saja. Tak ada rasa ingin tahu lebih atau bahkan rasa kaget atau lainnya. Wajah gadis itu terlihat datar dan tenang seolah fakta mengenai Vesa itu adalah pewaris miliarder ternama
"Kenapa tumben sekali Paman terlambat menjemput?" tanya Inka pura-pura ngambek."Maaf, tadi ada sedikit urusan. Jadi bagaimana? Apakah kau sudah menemui temanmu yang tidak datang di hari ulang tahunmu itu?" tanya Stefan. Dia sudah membukakan pintu untuk Inka.Inka dengan cepat masuk ke dalam mobil lalu memasang seatbelt-nya dengan benar sebelum menjawab, "Bagaimana bisa Paman tahu jika aku akan menemuinya?"Stefan menoleh, "Tentu saja aku tahu. Memang apa yang tidak aku tahu, Dear?" Inka mencibir, "Seharusnya aku tahu jika Paman bisa membaca pikiran orang lain."Stefan terkekeh, "Terlihat sekali di wajahmu saat malam itu, Nak. Kau berharap dia datang tapi dia tidak bisa datang, sudah pasti kau akan mengejarnya. Jadi katakan padaku, apakah kau tertarik kepadanya?"Inka sontak menoleh pada pamannya itu, "Bisa kita pulang sekarang saja Paman Stefan?"Stefan tersenyum dan menuruti keinginan keponakan kesayangannya itu tapi
"Bagaimana keadaan Ayah?" tanya Vesa ketika baru saja pulang dari kampus.Setelah membersihkan dirinya, dia bergegas ke kamar ayahnya yang sudah ditata sedemikian rupa menjadi sebuah kamar rawat mirip kamar di rumah sakit. Semua peralatannya lengkap dan ada dua perawat yang menjaganya serta seorang dokter yang akan rutin memeriksanya setiap sehari dua kali."Baik, Tuan Muda." Ruslan yang menjawab."Belum ada pergerakan tangan atau semacamnya?" tanya Vesa pada dua perawat itu."Belum, Tuan."Vesa mengangguk. Dia tidak kecewa. Dia hanya bisa percaya jika ayahnya akan membuka matanya di waktu yang tepat."Baiklah, aku akan ke ruang kerja ayah," ujar Vesa dan langsung saja menuruni tangga.Dia tidak melihat ketiga temannya itu yang pasti sedang berkutat dengan tugas kuliah mereka masing-masing. Minggu ini mereka memang memiliki tugas yang cukup banyak sehingga mau tidak mau mereka harus ekstra bekerja keras untuk membagi wa
Vesa Araya masuk ke ruang meeting terlebih dulu, menunggu semua anak buahnya hadir di sana. Pria muda itu terlihat sangat tenang dan tampak tidak bisa dibaca.Ketika satu per satu orang-orangnya hadir di sana, semuanya tak bisa tidak terkejut melihat sang direktur yang malah sudah ada di sana sambil menikmati minumannya. Vesa terkadang menyesap minuman itu sesekali sambil menunggu semua orang datang.Beberapa dari mereka sedang bertanya-tanya tentang alasan pemilik perusahaan mereka itu meminta mereka menghadiri meeting dadakan itu. Namun, sebagian dari mereka tampak tak peduli dan hanya datang ke sana tanpa berpikir apapun. Dengan kata lain, mereka hanya mengira jika kemungkinan besar pewaris perusahaan itu sedang ingin mengetahui hal lebih mengenai perusahaan itu."Mau apa dia sebenarnya?" bisik salah seorang manager wanita pada salah satu temannya yang juga menjabat sebagai manager lain."Entahlah, aku harap ini memang hal yang penting karena k
Andre memucat. Pria muda itu terlalu syok tak menyangka."Cylla, apa yang kau katakan?" tanya Andre dengan bingung.Cylla tak menoleh pada kekasihnya itu dan malah tetap melanjutkan ucapannya, "Saya diperintahkan untuk membantu membuat laporan palsu dan juga mengubah sebagian besar laporan itu, Pak."Andre langsung saja berdiri, "CYLLA!" Pria itu berteriak nyaring, Vesa Araya berkata, "Tenanglah dulu, Pak Andre. Kita dengarkan dulu penjelasan Nona Cylla, silahkan duduk kembali!"Andre tetap kekeuh berdiri menatap nyalang pada wanita yang menjadi penghangat ranjangnya itu.Vesa berkata, "Duduk, Pak Andre!"Kata-kata pemuda itu terdengar tegas dan sangat tidak bisa dibantah sehingga mau tak mau Andre kembali duduk di tempatnya sambil menahan amarah yang akan meledak."Lanjutkan Nona Cylla!" titah Vesa tenang. Semua orang di ruangan itu hanya bisa terdiam melihat aura Vesa yang semakin terlihat mirip den
Usai mengurusi hal itu, Vesa memasuki ruang kerjanya diikuti oleh ketiga teman baiknya. "Verylta, tolong buatkan kami minuman yang segar," pinta Vesa pada sekretarisnya yang dijawab dengan sebuah anggukan kecil.Gadis muda itu menjadi semakin terpukau pada pemimpin muda itu. Dia benar-benar tidak pernah mengira jika pemuda yang usianya hampir sama dengannya itu bisa menjadi seorang pemimpin yang tegas dan berwibawa seperti tadi.Vesa melonggarkan dasinya dan menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan perlahan. Dia menoleh pada tema-temannya yang tersenyum lebar kepadanya. Pemuda tampan itu berkata, "Aku gugup tadi."Tawa mereka pun pecah seketika. Derrick merespon, "Aku tahu. Tapi tenang saja mungkin hanya orang-orang yang mengenalmu secara dekat saja jika tadi kau gugup. Iya kan? Kalian tidak tahu kan?" Derrick menoleh pada si kembar yang sudah mendudukkan diri mereka pada sofa empuk di ruangan Vesa itu."Ya. Aku malah tid
Meskipun Alex sama sekali tidak menyukai pemuda yang dia tolong ini, dia tidak mungkin tega membiarkan seseorang yang habis saja jatuh dari tangga ditinggalkan sendirian. Dia bukan orang jahat, dia menekankan hal itu pada dirinya sendi."Atau kau mau aku bawa ke pusat kesehatan kampus?" tawar Alex lagi.Vesa yang sudah mulai merasa jika sakit di kepalanya mulai menghilang segera menjawab, "Tidak. Saya tidak apa-apa. Terima kasih sudah menolong saya."Alex mengerutkan dahinya tak percaya, "Kau yakin baik-baik saja? Kau terlihat pucat sekali dan itu dahimu berdarah. Pasti terbentur saat kau jatuh tadi."Vesa meraba dahinya dan benar saja di tangannya ada darah."Nggak apa-apa, saya akan mengobatinya di rumah," jawab Vesa lagi.Alex menghela napas lelah, lalu pria itu mengeluarkan sebuah sapu tangannya dan memberikannya pada Ves. Dia berkata, "Seka darahmu."Vesa sekali berucap, "Terima kasih."Alex masih menunggu
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng