Vesa Araya kebingungan. Dia sadar jika dia tak banyak memiliki bukti untuk menunjukkan jika dia memang benar anak dari Sang Miliarder yang memiliki perusahaan di mana-mana itu.
Ayahnya tak pernah bercerita banyak mengenai kehidupannya, bahkan bisa dibilang Vesa buta perihal sang ayah.
Dia jadi mulai berpikir jika mungkin saja dia memang bukanlah anak kandung Valentino Araya. Kemungkinan itu cukup masuk akal lantaran kenyataan yang baru saja dia temui yakni tak ada satupun di negara itu yang mengetahui jika Valentino memiliki seorang putra yang masih hidup, berusia hampir dua puluh tahun.
Vesa menjambak rambutnya sendiri karena terlalu bingung. Dia semakin tak yakin dengan jati dirinya sendiri. Akan tetapi saat dia melihat cermin di dekat sofa tunggu itu, dia merasa mirip dengan sang ayah. Dia seperti duplikat ayahnya itu hanya dalam versi lebih muda.
Bukankah nenek dan kakeknya selalu mengatakan betapa mirip dirinya dengan ayahnya itu? Jadi tidak mungkin
Vesa tertegun. Dia terhenyak dan tak mengira jika ada orang yang bertanya kepadanya langsung begitu."Anda kenal ayah saya?" tanya Vesa dengan penuh harap.Wanita itu menatap lekat Vesa tapi kemudian dia menyunggingkan senyum menyesal."Bukan kenal tapi hanya tahu saja. Ayolah, siapa yang tidak tahu pengusaha paling sukses di negeri ini?" ucap wanita itu.Vesa yang baru saja sedikit berharap mulai kecewaa lagi."Tapi aku tak pernah tahu jika dia ternyata memiliki seorang putra. Dan kau sangat mirip sekali dengannya bagai pinang dibelah dua saat dia masih muda," ujar wanita itu.Vesa lagi-lagi merasa sakit mendengarnya.Apa dia begitu memalukan sehingga ayahnya tak ingin mengatakan kepada dunia jika dia memiliki putra?Namun tiba-tiba Vesa menatap wanita itu dengan pandangan penuh tanya."Anda tahu juga saat ayah saya masih muda?"Wanita itu tersenyum tipis, "Tentu saja. Bagaimana bisa aku t
"Apakah Tuan Muda tidak bisa diam?" tanya orang yang mengajaknya bicara tadi."Diam? Apa maksud Anda? Saya hanya bertanya di mana ayah saya akan menemui saya. Apa yang salah dengan hal itu?" tanya Vesa lagi."Tentu saja salah, Tuan Muda. Karena seharusnya Anda tak perlu banyak bersuara," jawab pria itu.Pria itu bernama Rio dan segera saja dia menepikan mobil itu dan membuka mobil itu. Vesa dan Derrick terkejut tapi sayangnya respon mereka kurang cepat sehingga Rio berhasil membius mereka berdua dengan mudah.Pria yang menutup telinganya dengan earphone tadi membuka penutup telinganya itu dan memandang malas pada dua pemuda yang telah tidak sadarkan diri itu."Rio, mau kita apakan yang satunya?" tanya Jefri."Tinggalkan saja di sini," ucap Rio tak berperasaan."Kau yakin? Di sini sangat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat," balas Jefri.Rio mendesah kesal, "Biarkan saja. Memangnya itu urusan kita? Nyonya besar ha
"Hah!?" ucap Lucas dan Lay secara bersamaan. Mereka terlalu kaget sampai membeku di tempat mereka selama beberapa saat hingga akhirnya tersadar dari rasa terkejutnya.Derrick sudah selesai berkemas."Kalian tetap di sini atau ikut ke perusahaan tadi?" tanya Derrick malas."Pertanyaan macam itu? Tentu saja kami ikut, kau ini bagaimana? Teman kita ada yang diculik masa iya kami diam saja," jawab Lay.Derrick mendengus keras. Dia membalas, "Lantas kenapa kalian masih diam di situ seperti orang bodoh?""Hei, sabar sebentar," sahut Lucas.Secepat kilat, mereka sudah bersiap dan bertiga mereka bergegas ke luar dari hotel itu.Tujuan mereka tentu saja AL Group.Di dalam taksi itu, mereka masih saja panik dan tak bisa menyembunyikan itu. Sang sopir itu bahkan beberapa kali melirik pada anak-anak muda itu yang terlihat sedang terburu-buru."Masih jauh kah, Pak?" tanya Lucas sopan."Sebentar lagi," jawab sopir itu.
Rio memutar badannya dan dia menyeringai."Kenapa memangnya? Apa kau takut mati?"Vesa tertawa dingin.Tawa pemuda itu bahkan membuat Jefri merinding seketika. Vesa memandang dua pria itu dengan tatapan remehnya."Aku? Takut mati? Yang benar saja," ucap Vesa tak gentar sedikitpun.Rio terkejut tapi wajahnya mengeras."Oh, jadi kau benar-benar mau mati?" ucap Rio tak kalah dingin.Pria itu mendekat ke arah Vesa. Dia menjambak rambut Vesa dan berkata, "Sebenarnya aku ingin sekali mengabulkan keinginanmu itu dan segera mengirim dirimu ke neraka tapi sayangnya kau harus menunggu itu sedikit lebih lama, anak muda.""Pengecut. Kau hanya berani menggertak saja. Kau tak akan berani membunuhku. Jika kau membunuhku, ayahku tak akan melepaskanmu. Sampai ke liang kubur pun, dia akan memburumu." Vesa menunjukkan gigi taringnya.Rio yang diprovokasi seperti itu tentu saja sangat kesal. Tangannya terangkat dan melayang ke wajah t
''Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu petugas yang berhenti begitu dia mendengar seorang tamu sedikit berteriak kepadanya."Itu. Photo itu bukankah Valentino Araya? Kenapa Anda membawa photonya?" tanya Derric ingin tahu.Petugas itu mengernyit bingung lalu meminta temannya untuk mengangkatnya sendiri. Si kembar hanya terdiam menyaksikan interaksi Derrick dan petugas itu."Oh, iya benar. Ini Tuan Valentino Araya. Kami sedang membereskan ruangannya karena beliau ingin ruangan itu direnovasi kembali," jawabnya.Derrick kembali dibuat terkejut, "Ruangan? Apa beliau juga bekerja di sini?"Sungguh pertanyaan bodoh, Derrick juga menyadari hal itu sehingga wajahnya memerah."Tentu saja tidak. Beliau pemilik hotel ini, untuk apa dia bekerja?" tanya petugas hotel dengan tatapan anehnya.Derrick tersenyum seperti orang bodoh.Jadi ternyata mereka selama ini tinggal di hotel milik ayah Vesa? Dan mereka bahkan tidak tahu
"Kau tidak membunuhnya?" ulang Gea."Ti-tidak Bos," cicit Rio tiba-tiba saja takut."Dasar bodoh," maki Gea.Rio terperanjat, "Anda bilang hanya membutuhkan anak itu saja dan Anda bilang tinggalkan saja temannya di jalan jadi saya pikir memang dia tak perlu saya bunuh," ujar Rio.Gea memijit pelipisnya. Dia tak menyangka anak buah kepercayaannya ini begitu bodoh karena tak langsung mengerti apa yang dia perintahkan."Rio, apakah kau tidak bisa menggunakan otakmu sedikit saja? Jika kau tidak membunuh temannya itu, dia bisa melapor ke mana-mana. Valentino bisa dengan cepat menemukan anaknya sementara kita belum bisa bermain-main," ucap Gea marah.Rio terkesiap, "Maaf, Bos. Saya memang bodoh. Baiklah, saya akan cari bocah itu lagi dan membunuhnya."Gea berdecak, "Apakah kau ingin melakukan hal bodoh lagi? Apa kau mau membuat kita semakin cepat ketahuan? Sialan. Kenapa aku bisa memiliki anak buah bodoh sepertimu?"Rio menggaruk bag
Valentino membelalakkan matanya usai mendengar Ruslan berbicara."Dia di Indonesia? Katakan kau sedang bercanda, Ruslan. Itu tidak mungkin. Dari mana putraku mendapatkan uang untuk biaya menuju ke sini?" tanya Valentino hampir saja terkena serangan jantung karena tingkah anak satu-satunya itu."Dia... Derrick White memfasilitasi Tuan Muda, Tuan." Ruslan sudah bersiap jika Tuan Besarnya itu akan memenggal kepalanya sewaktu-waktu. Dia merasa pantas mendapatkan itu lantaran memang dia telah lalai menjaga putra dari majikannya itu.Kepala Valentino berdenyut dan rasa takut yang amat sangat mulai menjalar ke pikiran serta hatinya."Di mana dia sekarang, Ruslan? Di mana dia?" teriak Valentino frustrasi."Kami masih melacaknya, Tuan. Tuan Muda terlihat di bandara Ir. Soekarno lima hari yang lalu bersama dengan ketiga temannya," jelas Ruslan.Valentino terduduk di lantai, lemas. Dia benar-benar sangat takut sekarang. Dia takut jika dia akan ke
Vesa sepenuhnya mengabaikan ucapan Rio yang terus menerus mengoceh. Dia hanya menyimpan semua informasi yang dikatakan oleh Rio.Dari ocehan itu, dia tahu jika ibunya dulu adalah seorang detektif. Astaga, dia tidak pernah tahu soal itu. Ayahnya tak pernah membicarakan hal itu. Dia hanya tahu nama ibunya dan juga photo sang ibu. Itupun hanya sebuah. Photo itu tergantung di meja belajarnya.Dia menjadi semakin penasaran, seperti apa ibunya dulu? Dia detektif. Pasti keren sekali. Tiba-tiba dia tersenyum bangga, ibunya pasti sudah melakukan pintar menangkap penjahat.Bagaimana dia bisa bertemu dengan ayahnya? Jika dia melihat ayahnya yang katanya masih hidup sendirian sampai sekarang, sudah pasti ibunya adalah wanita yang sangat hebat.Matanya terasa panas. Dia ingin tahu lebih. Dia ingin tahu kehidupan orang tuanya dulu.Napasnya tercekat. Dia hampir saja menunjukkan sisi lemahnya.Tidak, tidak Vesa. Kau kuat. Tak boleh lemah, jangan memb
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng