Gerry memikirkan reaksi Jack saat mengetahui dirinya bertemu dengan Albert, sepertinya ada yang di sembunyikan oleh Jack darinya. Semakin dia memikirkan, itu membuatnya semakin merasa curiga. Bagaimana pun juga Jack memutuskan bersedia membantunya setelah mengetahui hal itu, memperjelas asumsi Gerry bahwa ada alasan lain yang cukup kuat bagi Jack untuk memutuskan tanpa harus memikirkannya lagi.
Gerry bukanlah orang bodoh yang tidak bisa melihat maksud dari sisi yang lain, namun dia tidak bisa menyimpulkan secara spesifik apa maksud dan tujuan Jack yang lain. Dan melihat Jack yang seperti tidak ingin memberitahukan alasan kepadanya, Gerry tidak lagi bertanya tentang itu.
“Baiklah paman, aku akan membawamu kepada Albert.” Kata Gerry. “Tapi sebelum itu, Albert masih berpikir bahwa Anda telah meninggal. Dan saya tidak memberitahukan kepadanya. Apa menurut paman jika Anda tiba-tiba datang menemuinya semuanya akan baik-baik saja?”
“Itu
Gerry mengendarai mobilnya kembali menuju rumah. Sepanjang perjalanan dia bergelut dengan pikirannya sendiri yang sedang berpikir keras tentang ucapan Jack dan hubungannya dengan Albert. Bagaimanapun Gerry merasa tidak puas dengan jawaban yang dia terima ketika pergi dari tempat Jack. Masih terlalu banyak pertanyaan dalam otaknya yang belum mendapatkan jawaban. Jenny yang duduk di samping Gerry di dalam mobil, bisa melihat dengan jelas ekspresi murung suaminya. Hampir setengah perjalanan mereka berkendara dengan kebisuan masing-masing. Dan tentu saja itu membuat Jenny merasa khawatir. “Apa rencanamu selanjutnya, Gerry?” tanya Jenny dengan pelan, namun cukup untuk menyadarkan Gerry dari lamunannya. “Hah.” Kata Gerry seperti orang linglung. “Entahlah, aku juga sedang memikirkannya.” “Cobalah sedikit lebih rileks, sayang.” Kata Jenny sambil mengelus lembut pundak Gerry yang sedang mengemudikan mobilnya. “Ya, ka
Jam delapan malam, ketika Gerry dan Jenny berkendara memasuki kota, hanya berjarak dua puluh menit untuk sampai rumah mereka. Saat itulah Gerry tidak menyadari ada sebuah mobil yang mulai mengikutinya, melaju sekitar lima puluh meter di belakangnya. Sebuah mobil sedan berwarna merah, melaju dengan kecepatan yang sama dengan mobil yang Gerry kendarai. Mobil itu terus mengikuti di belakang dari jarak yang cukup jauh sehingga tidak membuat Gerry mencurigainya. Saat melewati jalanan yang kosong, Gerry baru menyadari ada mobil di belakangnya yang berjalan mendekat, namun itu tidak cukup untuk membuatnya curiga. Hingga akhirnya, mobil itu menyalip mobilnya dan berhenti mendadak melintang sekitar sepuluh meter di depan mobil Gerry sehingga menutup jalannya, mau tidak mau dia harus menghentikan mobilnya dengan refleks kaget. Mereka sangat panik, tapi Gerry segera menyadari mereka sedang dalam bahaya, dia mengambil pistol yang dia simpan di das
Beberapa saat si kembar menatap Gerry dengan khawatir, sebelum kemudian Dedi segera memeriksa kondisi Gerry. Dedi mendapati dirinya menghela nafas lega setelah mengetahui Gerry masih hidup. Namun luka yang di terima cukup parah, enam peluru menembus dada dan punggungnya, juga dua peluru lain melukai lengannya. Itu mengakibatkan pendarahan yang sangat serius. “Dia masih hidup. Kita harus cepat membawanya ke rumah sakit sebelum terlambat.” Kata Dedi yang membuat Jenny merasa sedikit lega mendapatkan secercah harapan untuk suaminya selamat. Ketika Dedi dan Dodi hendak mengangkat tubuhnya, tiba-tiba Gerry terbatuk dan memuntahkan seteguk darah dari mulutnya. Seketika itu membuat Jenny dan si kembar panik. Mereka terdiam menatap Gerry dengan perasaan khawatir yang tidak terkira. Perlahan Gerry membuka matanya, dia merasakan kesakitan di seluruh tubuhnya. Otot-ototnya seakan mati rasa. “Kenapa kalian hanya memandangiku? Apa kalian berh
Dua hari berlalu dengan cepat. Setelah mereka mencari pendonor darah yang cocok untuk Gerry, tidak membutuhkan waktu lama bagi dokter dan Jenny untuk mendapatkannya. Itu sangat membantu Gerry untuk berjuang keluar dari masa-masa kritisnya. Gerry perlahan membuka matanya, memutar mata memperhatikan sekeliling. Kemudian mendapati Jenny duduk tertidur, kepalanya bersandar pada sisi tempat Gerry berbaring. Gerry memaksa tangannya bergerak membelai rambut panjang Jenny, pada saat bersamaan ingatan tentang kejadian yang menimpanya sebelumnya, sedikit demi sedikit muncul di dalam otaknya. Gerry akhirnya sepenuhnya telah sadar. Jenny terbangun ketika merasakan belaian lembut bergerak di atas kepalanya. Dia mengusap matanya sesaat, kemudian dengan sedikit kaget dia mengalihkan pandangannya ke arah Gerry, dan dia tersenyum. “Kau sudah sadar, sayang.” Kata Jenny dengan senyum bahagianya. Gerry mengangguk pelan dan tersen
Kabar tentang penembakan terhadap Gerry tidak pernah di ketahui oleh siapa pun, selain orang-orang terdekatnya. Koran dan media masa lain tidak ada yang memberitakannya. Siang itu, Gerry sedang menikmati makan siangnya. Jenny dengan sabar menyuapi suaminya. “Apa yang sedang kau pikirkan, Gerry?” Jenny bertanya. Dia memperhatikan Gerry yang tampak sedang memikirkan sesuatu. “Oh, tidak.” Jawab Gerry yang terkejut. “Sepertinya aku hanya merasakan firasat yang tidak baik.” “Tentang apa itu? Kau membuatku merasa cemas.” Tanya Jenny. Gerry bisa melihat dengan jelas kekhawatiran mulai terpancar dari wajah Jenny. “Entahlah, mungkin aku hanya berpikir terlalu berlebihan. Tidak perlu kau pikirkan, sayang.” Kata Gerry menenangkan istrinya. “Tolong panggilkan Dedi dan Dodi untuk menemuiku. Aku ingin berbicara dengan mereka.” “Baiklah, akan aku lakukan nanti setelah kamu menyelesaikan makan siang dan minum
Pagi hari setelahnya, mereka sudah menyiapkan semua yang di perlukan, dan Gerry menyelesaikan semua urusannya di rumah sakit. Meskipun Dokter awalnya tidak mengizinkannya meninggalkan rumah sakit karena luka Gerry yang belum sembuh, namun itu tidak cukup untuk menghentikan Gerry untuk melakukan apa pun sesuai keinginannya. Dodi membantu Gerry menuju mobil, yang sudah di siapkan Dedi di depan rumah sakit, menggunakan kursi roda. Sedangkan Jenny yang hanya bisa mengikuti keinginan suaminya, berjalan di depan mereka. “Sekarang masih jam enam pagi, Gerry. Sedangkan kapal akan berlayar jam tiga sore. Tidakkah ini terlalu cepat untuk meninggalkan rumah sakit?” tanya Dedi ketika dia bersiap untuk menjalankan mobil. “Ya, kau benar. Aku ingin menemui seseorang sebelum kita berangkat.” Jawab Gerry. “Tempat yang akan kita tuju cukup jauh, jadi kita harus membuang banyak waktu.” “Menemui seseorang? Bukankah kamu mengatakan kepada kam
Pagi hari, setelah berlayar lebih dari dua belas jam, kapal yang ditumpangi Gerry, Jenny dan si kembar berlabuh di sebuah pulau kecil. Pulau itu terletak di laut Jawa, di mana Freddy membangun rumah sebagai tempat persembunyian keluarganya. Tidak banyak manusia yang hidup di pulau itu, hanya sekitar lima ratus jiwa. Maka tidak aneh jika jarak antara rumah satu dan rumah yang lainnya sangat jauh, karena sebagian besar daratannya berupa ladang, sawah dan hutan. Dan satu-satunya akses yang bisa di lalui untuk ke pulau itu hanya menggunakan kapal. Ketika kapal hendak berlabuh, Jenny memandang pulau dari atas kapal, dia tidak bisa menahan perasaannya yang mulai khawatir. Bagaimanapun dia adalah wanita yang dibesarkan dalam suasana keramaian kota, dan membayangkan bahwa dia harus hidup di tempat terpencil untuk pertama kali seumur hidupnya, mau tidak mau hal itu membuatnya merasakan ketakutan. Gerry bisa memahami apa yang dipikirkan istrinya hanya dengan
Sore harinya, Jenny ikut bersama Gerry pergi ke rumah si kembar. Jenny tidak terkejut ketika mendengar yang akan mereka kunjungi adalah mertua Gerry, karena dia telah mengetahui hal itu sejak lama. Sebelum mereka menikah, Gerry sudah menceritakan tentangnya yang pernah menikah dengan seorang gadis desa bernama Dewi. Awalnya Jenny murka ketika mengetahui kenyataan pernikahan itu, dia merasa seperti seorang yang kesetiaannya telah dikhianati. Namun, Freddy turut membantu Gerry menjelaskan tentang itu kepada Jenny, meskipun sangat sulit, akhirnya Jenny bisa dengan ikhlas menerimanya. Apalagi ketika mengetahui Dewi telah mati terbunuh, dia pun berempati terhadap nasibnya. Gerry menatap rumah Handoyo dengan tatapan sedih ketika keluar dari mobilnya. Dia memutar matanya ke sekeliling, tampak tidak ada yang berubah dengan lingkungan rumah itu sejauh yang bisa dia ingat. Tapi tatapan Gerry terhenti pada salah satu ujung halaman rumah itu. Seketika dia tidak
DING DING Ponsel Tommy di atas meja berbunyi, layarnya menyala menampilkan sebuah nama yang meneleponnya. “Jenny.” Gumam Tommy menatap layar ponselnya mengenali identitas si penelepon. Tommy mengangkat ponsel dan mendekatkan ke telinganya setelah menerima panggilan telepon itu. Dia mengangkat salah satu tangannya sebagai instruksi agar orang-orang di sekitarnya diam. Suasana menjadi hening dalam sekejap. Meskipun berada di dalam area night club, ruang VIP itu hampir sepenuhnya terisolasi dari kebisingan luar karena diselimuti peredam suara. “Apa kabar, Jen?” sapa Tommy dengan lembut. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Helen, Tom?” tanya Jenny terdengar lirih dari ponsel Tommy. Tommy sejenak terdiam tanpa ekspresi mendengar pertanyaan Jenny yang tanpa basa-basi. “Jawab aku, Tom.” Jenny mendesak Tommy. “Kau sudah mengetahui beritanya, Jen?” Tommy balik bertanya. “Apa maksudmu berbalik menanyaiku?” Jenny mulai terdengar marah. “Semua saluran berita menyiarkan ke
Gatot sedang rebahan dia atas sofa panjang sambil menonton televisi di ruang keluarga rumahnya ketika hari menjelang gelap. Tiba-tiba dia terperanjat duduk. Matanya terbelalak menatap tajam ke arah televisi yang menayangkan siaran berita tentang kecelakaan. Tanpa dia sadari tubuhnya mulai bergetar saat matanya fokus memperhatikan dua gambar potret wajah orang yang sepertinya dia kenali. Itu adalah dua foto wajah Jordi dan Helen, keponakan Gatot. “Tidak mungkin.” Bisiknya lirih kepada dirinya sendiri seolah dia belum bisa menerima kebenaran dari kabar siaran berita yang ditontonnya. Beberapa saat Gatot terpaku menyaksikan siaran televisi dengan tidak percaya. “Kakak ipar!” teriak Gatot yang masih duduk tercengang menatap televisinya. “Kakak ipar! Kakak ipar!” Gatot terus berteriak memanggil Luciana dengan panik karena tidak segera mendapatkan respons. Luciana keluar dari dalam kamarnya yang tidak jauh dari tempat Gatot berada. “Ada apa, Gatot? Kau berisik sekali” kata Luciana
Jordi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang melaju di tengah padatnya jalanan. Di dalam mobil suasana tampak canggung. Jordi dan Helen tidak berbicara satu sama lain. Sunyi. Hanya terdengar deru suara mesin kendaraan yang melaju di jalanan. Helen diam bersandar pada jok dan menatap keluar melalui kaca jendela mobil. Banyak hal yang sedang dia pikirkan. Jordi fokus menyetir sambil sesekali melirik ke arah Helen. Dia masih menganalisis sikap istrinya itu yang berbeda setelah bertemu dengan Albert. Jordi merasa seolah tidak mengenal dengan sosok cantik yang duduk di sampingnya. Ding Ding Ponsel Jordi berbunyi memecah keheningan. Rangkaian nomor terpampang di layar. Itu sebuah panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenanya. Helen seketika melirik layar ponsel suaminya dengan ekspresi penuh selidik. “Kenapa tidak diterima?” tanya Helen saat melihat Jordi yang hanya menatap layar ponselnya. “Oh. Hanya sebuah nomor, aku tidak mengenalnya.” Jawab Jordi ragu-ragu. “Mungkin
Jordi dan Helen memasuki sebuah rumah mewah yang terletak di pusat kota ketika hari menjelang siang. Itu adalah rumah Albert. Albert yang sudah menunggu kedatangan mereka sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Beberapa pria berdiri di belakang Albert. Albert bangkit dan tersenyum menyambut Jordi dan Helen. Jordi membalas senyuman itu saat menjabat tangan Albert. Mereka terlihat sangat akrab. Sedangkan Helen tampak canggung melihat pemandangan itu. Dia awalnya merasa biasa saja, namun sekarang dia merasa ada yang aneh. Jordi sebelumnya bilang tidak mengenal pria paruh baya itu. Namun, ketika Helen memperhatikan lebih lama Jordi dan Albert, mereka tampak mirip. ‘Siapa pria ini?’ ‘Apa hubungan dia dengan Jordi?’ “Jadi kamu Helen?” pertanyaan Albert membuyarkan pikiran Helen. Helena memaksakan senyumnya. “Betul.” Jawabnya singkat. Mereka berjabat tangan sejenak. Albert menatap lekat mengenali Helen. Secara naluriah dia mengagumi sosok cantik dan tenang yang diperlihatkan oleh
Jam di pergelangan tangan Dedi menunjukkan pukul dua lewat empat puluh lima menit dini hari, ketika dia dan Dodi selesai mengemasi barang-barang bawaannya. Dedi dan Dodi sudah menggendong ransel masing-masing dan bersiap untuk pergi dari rumah Jhony. “Kami sudah siap berangkat, paman.” Kata Dedi hendak berpamitan kepada Jack. “Apakah Anda yakin akan tetap di sini?” Tanyanya untuk memastikan kembali keputusan Jack. “Pergilah! Jaga diri kalian baik-baik. Dan kalian tidak perlu mengkhawatirkanku.” Jawab Jack meyakinkan si kembar. “Baiklah, paman. Anda juga harus menjaga diri.” Kata Dodi tersenyum kepada Jack. “Jika terjadi sesuatu, Anda bisa menghubungi nomor saya, paman.” Kata Dedi mengingatkan Jack. “Kami akan segera membicarakannya dengan Gerry sesampainya di sana.” Jack tersenyum kepada si kembar. “Berhati-hatilah!” katanya dengan singkat sesaat sebelum akhirnya Dedi dan Dodi pergi menin
Setelah Tommy dan anak buahnya pergi, terlihat jelas sekali Jack menampilkan ekspresi wajah yang tidak senang. Dia merasa tidak puas atas perlakuan Tommy kepadanya. Begitu juga dengan Dedi dan Dodi. Namun, mereka tidak memikirkan tentang terbongkarnya persembunyiannya dari Tommy, melainkan mereka lebih memikirkan semua ucapan Tommy sebelum dia pergi. Untuk beberapa waktu mereka bertiga hanya duduk dalam keheningan di dalam ruangan itu. Mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. “Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, paman?” tanya Dedi yang memecah keheningan meminta pendapat dari Jack. Pertanyaan dari Dedi seketika menyadarkan Jack dari lamunannya. “Aku juga sedang memikirkannya.” Jawab Jack yang masih terlihat kebingungan. “Aku masih memikirkan perkataan Tommy. Entah kenapa aku merasa dia orang yang bersih.” Kata Dedi menyampaikan asumsinya. “Ya. Aku juga.” Dodi menimpali untuk mene
Jack tidak menjawab pertanyaan dari Tommy. Dia membiarkan Tommy meluapkan segala bentuk emosinya. Dia berpikir dengan cara itu mungkin Tommy akan dapat menenangkan dirinya sendiri. Jadi Jack hanya tetap diam. Namun, apa yang dilakukan Jack adalah sebuah kesalahan. Tommy terlalu sakit hati menerima kenyataan. Dan sakit hati yang dia rasakan tidak dapat terobati semudah yang dipikirkan oleh Jack. Bahkan tidak hanya hatinya, tapi egonya juga terluka. “Kenapa kau tidak menjawabku? Apa kau mencoba mempermainkanku?” Tommy terus berteriak kepada Jack berharap mendapatkan penjelasan untuk memberi makan emosinya. “Kau tahu? Aku semalaman berkendara mengelilingi kota sambil menangis saat mendapatkan kabar kematianmu.” Kata Tommy sambil menunjuk ke arah Jack. “Ternyata aku salah. Kau hanya menganggapku seperti orang bodoh.” Tommy semakin brutal. Setelah selesai mengucapkan kalimatnya, dia memukul Jack dengan sekuat tenaga tepat
Jack dan si kembar yang masih berbincang di dalam rumah Jhony tidak menyadari bahwa sekelompok orang sedang berjalan menghampiri mereka. Tommy menyadari ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumah Jhony ketika dia mendapati pintu utama rumah itu dalam keadaan tidak terkunci. Perlahan Tommy membuka pintu rumah. Dia memicingkan kedua matanya menatap tajam ke arah dalam rumah. Tidak ada tanda-tanda aktivitas seorang pun, bahkan tidak ada suara yang terdengar dari dalam rumah. Suasana rumah itu begitu gelap dan hening. Namun itu tidak menyurutkan rasa kecurigaan Tommy. “Sepertinya apa yang kau katakan benar, Rey.” Kata Tommy berbisik-bisik. “Ada seseorang yang memasuki rumah ini.” “Apakah mungkin itu maling atau perampok, bos?” Tanya Rey berbisik kepada Tommy untuk memastikan dugaannya. Tommy menatap tajam ke arah Rey. “Sejak kapan kau menjadi bodoh, Rey?” Tanya Tommy dengan suara pelan namun teras
Jack menemui Dedi dan Dodi sesuai kesepakatan mereka. Sesaat sebelum tengah malam, Jack sudah memasuki rumah Jhony. Sebuah rumah mewah, namun tampak menyeramkan jika dilihat dari luar saat malam hari. Begitu gelap tanpa penerangan lampu, seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Disalah satu ruangan di dalam rumah itu, Jack bersama Dedi dan Dodi sedang bertemu. Mereka bertiga tengah duduk dan berbincang di ruangan bekas tempat kerja Jhony. “Hal penting apa yang ingin Anda bicarakan dengan kami, paman?” tanya Dodi tanpa berbasa-basi sesaat setelah mereka saling berbicara tentang kabar masing-masing. Jack tersenyum sebagai tanggapan atas pertanyaan Dodi. “Sebelum kita membicarakan hal itu, aku ingin mengetahui apa yang Gerry perintahkan kepada kalian?” kata Jack balik bertanya. Dodi mengalihkan tatapannya ke arah Dedi, sebagai tanda agar saudara kembarnya itu yang memberikan jawaban ata