Share

Sabia

Author: Mumtaza wafa
last update Last Updated: 2023-04-03 17:34:29

Aku mencoba fokus pada layar laptop di depanku. Menjadi seorang penulis adalah keinginanku sejak SMP. Hobi membaca dan menulis buku diary, membuatku terbiasa menyusun setiap kalimat yang muncul di kepala menjadi sebuah tulisan.

Aku memasukkan karakter Mama pada tokoh antagonis yang sedang ku tulis. Siapa suruh marah-marah terus, inilah akibatnya jika membuat masalah dengan penulis. Karaktermu bakal diabadikan di dalam tulisan.

“Hapus, deh,” ucapku menghapus tulisan tentang Mama.

Bisa dikutuk jadi cantik kalau ketahuan. Lagi pula aku juga masih menaruh hormat pada Mama dan tak ingin dianggap durhaka.

“Bisa bantu Mama?”

“Astaghfirullah!”

Bikin kaget saja! Mama tiba-tiba muncul dibalik pintu.

“Apa?” tanyaku malas.

“Keluarlah,” ucap Mama.

Pintu kamarku ditutup lagi. Tanpa mematikan laptop, aku menyusul Mama yang berjalan lebih dulu.

“Mama habis belanja bulanan.” Mama menunjuk pada beberapa kantong belanjaan yang berserakan di dapur.

“Kebetulan yang biasa bantu-bantu sedang pulang, bisa kamu bantu Mama membereskan ini?” tanyanya.

Ini sih, gampang. Aku sudah terbiasa membereskan dapur bahkan berbelanja bersama dengan Papa setiap akhir minggu. Kami yang memang tak memakai jasa art, sudah terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah sendiri.

Aku mengangguk.

Jujur saja, aku masih kesal dengan Mama yang memaksaku agar bisa cantik seperti Sabrina. Apa setelah aku cantik nanti Mama akan menjadikanku artis seperti Sabrina?

Aku membereskan belanjaan Mama yang kebanyakan sayur dan buah. Mungkin Mama dan Sabrina herbivora, pemakan tumbuhan. Bisa mati aku kalau mengikuti gaya makan mereka.

“Serius ini cuma ada sayur dan buah?” tanyaku tak percaya. “Proteinnya mana?”

“Sabrina sedang diet.”

Memangnya hanya Sabrina yang ada di rumah ini?

“Protein juga penting, Ma. Memangnya Sabrina kambing.”

Kasihan sekali kembaranku itu, pantas saja badannya ceking. Lain kali akan aku traktir mi gacoan biar senang. Tapi, dia yang bayar.

“Selama di sini, kamu juga akan makan seperti yang Sabrina makan. Mama akan beli daging nanti,” kata Mama membuatku merinding disko.

Apa lebih baik aku kabur saja?

“Jangan coba-coba kabur dari sini, Sabia. Mama tahu apa yang kamu pikirkan.”

“Aku manusia, bukan kambing.”

“Tapi badan kamu sudah mirip-mirip dengan spesies mereka.”

Astaghfirullah! Dia Mamaku bukan sih? Sama anaknya kejam sekali.

“Mulailah membenahi penampilanmu, Sabia. Kamu sudah 25 tahun, kalau kamu seperti ini terus kapan akan di lirik lelaki?”

Aku menghentikan tanganku yang sedang menata foodprep ke dalam lemari es.

“Apa standar kecantikan perempuan hanya dilihat dari fisik?”

“Bukankah semua orang melihat luarnya terlebih dahulu?” tanya Mama. “Ibarat beli buku pasti yang dilihat covernya terlebih dahulu.”

“Dan mereka mengabaikan isinya,” kilahku.

“Sabia—“

“Apa dulu Mama memilih Sabrina yang ikut dengan Mama karena Sabrina cantik sementara aku nggak?”

Tuh, kan, aku jadi su’udzon.

Mama terlihat terkejut. Sepertinya aku telah tahu jawabannya. Bahkan, Mama tak menghiraukannya yang menangis sesenggukan saat beliau dan Sabrina meninggalkan rumah Papa.

Aku menyelesaikan tugas dari Mama dengan segera. Rasanya terlalu lelah berbicara dengan Mama.

“Sabia—“

Aku tak lagi menghiraukan Mama yang masih mencoba mengajakku bicara. Terlalu sulit untuk mengikuti kemauan Mama yang memaksaku harus seperti Sabrina.

Aku memang ingin lebih baik dari segi penampilan, tapi bukan dengan hinaan seperti yang Mama layangkan setiap kali kami bertemu.

“Apa karena ini juga Mama bercerai dari Papa?” tanyaku.

“Apa maksudmu, Sabia?”

“Papa nggak ganteng, apa itu juga salah satu alasan Mama meminta cerai?”

“Sabia—“

“Kenapa Mama nggak menyalahkan diri sendiri karena telah melahirkan anak yang buruk rupa sepertiku?”

Mama membeliakkan matanya. “Apa yang kamu bicarakan, Sabia?”

Aku tersenyum sinis, lalu meninggalkan Mama yang masih memanggil namaku. Menutup pintu kamar dengan sedikit bantingan.

“Nangis nggak ya?” gumamku sendiri. “Ingin nangis tapi gengsi. Gitu saja nangis. Tenang ya, Sabia, udah biasa kok,” lanjutku bicara sendiri seperti orang stres.

Aku menangis.

Padahal sudah terbiasa menerima perlakuan seperti ini dari Mama, tapi kenapa masih saja menangis?

Cengeng sekali aku.

Heran sih, Mama selalu memarahiku tapi tak memberi solusi.

“Minim-minim beliin skincare, kek,” kesalku. “Ini ngomel saja tapi nggak kasih solusi.”

Ponsel di nakasku berdering.

Pak Rully.

Jam berapa ini dia menelepon? Apa dia tidak tahu kalau aku sedang sibuk?

Sibuk nangis!

“Halo?” ucapku menerima panggilannya tanpa mengucap salam.

“Sabia, tolong jauhkan telingamu, ini video call,” katanya dari seberang sana.

Eh masa?

Aku menatap layar ponsel. Wajah Pak Rully terpampang di sana.

“Bapak kangen sama saya?”

“Astaga. Selain badanmu yang besar, kepercayaan dirimu juga tak kalah besar.”

Bully saja terus. Besok kalau aku diet dan berhasil kurus paling naksir. E tapi, kapan mau diet ya?

“Bapak juga besar.”

Ngomong apa sih?

“Apanya?”

“Bapak ada apa telepon saya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Temui saya di kantor. Ada yang perlu saya bicarakan.”

Aku melirik jam dinding.

“Pak ini jam 7 malam, loh.”

“Saya nggak bilang ini subuh.”

“Lalu?”

“Cepat! Nggak pakai lama, Sabia.”

Klik.

Dih! Kebiasaan suka mematikan telepon seenaknya. Minimal salam kek.

Aku memakai pasmina instan berwarna burgundi dan memakai gamis abaya hitam. Setelah memastikan penampilan, aku bergegas keluar rumah.

“Mau ke mana?”

Aku menghentikan langkahku.

“Kerja.”

“Jam segini?” tanya Mama. “Sebenarnya kamu kerja apa?”

“Mama tanya? Mama bertanya-tanya? Aku kasih tahu ya—“ aku sengaja menirukan gaya si rambut cepmek. Gemes sih, jadi pengen cemplungin dia ke sungai Ciliwung.

“Sabia—“

“Aku kerja pagi, siang, sore, malam, tengah malam, subuh,” ucapku.

Ya memang begitulah pekerjaan penulis. Mama semakin mengerutkan keningnya.

“Pekerjaan aku menghalu, Ma.”

Tapi memang benar sih, pekerjaan penulis memang berhalu. Suka membayangkan yang indah-indah walaupun hidup tak seindah dinovel buatanku sendiri. Bayangkan saja dulu, siapa tahu jadi kenyataan. Amin paling kenceng!

“Mama tanya baik-baik, Sabia.” Sepertinya Mama terlihat kesal.

“Sabia juga bicara benar-benar, Ma.”

Mama mengembuskan napas, menyerah berdebat lagi denganku, Mama masuk ke dalam kamarnya.

___________________

Aku sampai di kantor 15 menit kemudian. Suasana ruko lumayan sepi karena memang bukan jam kerja. Iya, Pak Rully menyewa sebuah ruko tingkat dua yang lumayan besar untuk dijadikan kantor penerbit. Enak sekali jadi bos. Sesuka hati menyuruh karyawannya datang malam-malam begini.

“Bos,” panggilku pada Pak Rully yang sedang memainkan ponsel.

“Lama!”

Dih.

“Saya lapar.”

“Makan, Pak.”

“Ayo.”

“Ke mana?”

“Makanlah.”

Bilang saja minta di temani makan. Kenapa harus dengan embel-embel ada pekerjaan penting?

Cih. Sepertinya dia naksir aku.

Kami sampai di restoran yang biasa aku dan Papa sambangi. Aku merekomendasikan tempat ini karena memang sudah menjadi pelanggan tetap.

Eh tunggu! Sepertinya kenal.

Aku mendekati dua orang yang sedang makan bersama.

“Papa?”

“Sabia?”

Sedikit terkejut karena Papa mengajak Sabrina makan di tempat ini. Jika ketahuan Mama, tamatlah riwayatnya. Sebenarnya aku lebih khawatir Mama akan memarahi Papa, sih. Soal Sabrina itu urusan dia.

“Kamu sama siapa?”

Aku sampai lupa dengan sosok yang datang bersamaku. Aku mengenalkan Papa dengan bos menyebalkan itu. Mereka saling berjabat tangan.

“Bukankah ini Sabrina?” tanya Pak Rully saat melihat Sabrina yang tengah makan bersama Papa.

Rupanya mereka saling kenal.

“Benar. Dia kembaran Sabia," jawab Papa bangga.

Aku dapat melihat keterkejutan di wajah Pak Rully. Wajar sih, orang juga akan tak menyangka jika kami adalah anak kembar karena bagai langit dan bumi.

Dia langit yang banyak disanjung orang karena kecantikannya, dan aku adalah Bumi yang menjadi bahan injakan orang-orang.

“Tadinya Papa pikir lelaki ini calon suamimu, Sabia.”

“Hah?!”

Ucapan Papa sukses membuatku terkejut. Sabrina bahkan sampai terbatuk. Sepertinya tersedak piring.

Eh, maksudnya sambal.

Pak Rully menatapku sambil bergidik ngeri.

Memangnya aku genderuwo, sampai dia memamerkan wajah horor ke arahku?

“Sepertinya ide bagus,” bisik Pak Rully di dekat telingaku.

Maksudnya?

“Kalau punya istri sepertimu, sepertinya saya nggak perlu beli kasur. Kamu bisa menggantikan peran kasur itu.”

Astaghfirullah!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mifta Nur Auliya
hahahahahhahahahahaha
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Anak Kembar yang Dibedakan   Sabrina

    [Ingat, Bri, sore nanti ada casting.]Pesan dari Mama aku abaikan. Kabarnya, produser dari series yang akan aku bintangi adalah Pak Rully—bos Sabia.Melihat interaksi Sabia dengan bosnya, sepertinya mereka sudah lama dekat. Bahkan, mereka terlihat akrab. Berbeda denganku yang introvert, Sabia selalu bisa mencairkan suasana. Pembawaannya yang apa adanya selalu membuatnya cepat akrab dengan orang lain.Aku?Teman pun selalu datang dan pergi jika sudah menumpang pada ketenaranku. Setelah tadi melakukan pemotretan untuk barang-barang endors, seperti biasa aku akan mereview beberapa produk kosmetik yang kugunakan.Aku menyalakan kamera untuk melakukan live di akun sosial mediaku. Pengikutku sudah lumayan banyak, sekitar sembilan ratus ribu.“Hai gaes, kali ini aku mau bikin make up tipis-tipis, pokoknya simpel banget buat kalian yang kepingin hang out bareng besti,” ucapku menyapa beberapa orang yang mulai mengikuti live-ku.“Nah, ini dia.” Aku menunjukkan tepat di kamera beberapa produk

    Last Updated : 2023-04-28
  • Anak Kembar yang Dibedakan   Sabia

    “Saya masih nggak menyangka kalau kamu kembaran Sabrina,” kata Pak Rully menatapku curiga.Setelah Papa dan Sabrina pulang, aku dan Pak Rully masih duduk di restoran untuk rapat. Katanya.Aku berdecak. “Nggak usah heran gitu deh, Pak.”“Kamu yakin bukan anak pungut?” E buset itu mulut. “Astaghfirullah. Mulut enak benar ngomong.”“Ya, kan, siapa tahu.”“Bapak nggak liat muka Papa saya? Kami mirip loh.”“Iya sih, mirip bulatnya.”Astaga.Hampir saja aku melempar gelas jus di depanku kalau tak ingat kalau dia bosku.“Jadi intinya Bapak ngajak saya ke sini untuk apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.“Saya mau besok kamu ikut ke lokasi.”Ck. Padahal bisa kirim pesan saja, kenapa mesti suruh datang? Bilang saja kalau kangen. “Pulsa Bapak habis?”Dia menggeleng. “Kuota habis?”Dia menggeleng lagi. “Kamu mau belikan kuota?”“Idih, ogah!”Dia ketawa. Matanya menyipit. Kok ganteng?Astaghfirullah! Sadar Sabia. Dia bos menyebalkan tukang bully. “Sepertinya kalian nggak terlalu akrab.”Aku

    Last Updated : 2023-04-30
  • Anak Kembar yang Dibedakan   Sabrina

    Di tengah riuh para talent yang mengikuti casting, aku memperhatikan bagaimana Pak Rully dan Sabia berinteraksi di depan sana. Sungguh, aku masih penasaran dengan apa yang Sabia lakukan.Apakah dia asisten Pak Rully?Aku melirik Mama yang juga ternyata memperhatikan mereka. “Kamu lihat Sabia?” Tanya Mama.Aku mengangguk. “Sepertinya dia punya peran penting di sini.”Aku mengangguk setuju. Beberapa kali dia seperti bicara pada sutradara dan juga Pak Rully. “Dia kelihatan dekat dengan Pak Rully.”“Dia bos Sabia, Ma.”“Oh, ya? Apa Sabia asistennya?”Aku menggeleng. Tidak tahu. “Lakukan yang terbaik, Sabrina. Setelah ini giliran kamu.”Aku mengembuskan napas. “Walaupun nggak dapat peran utama, tapi kamu harus dapat peran di series ini. Kamu tahu sendiri kalo series yang sedang digarap sedang di gandrungi.”“Ma—““Dengarkan saja apa kata Mama, Sabrina.”Series yang akan digarap diadopsi dari novel bergenre romansa komedi yang sedang digandrungi. Katanya, novelnya bahkan menjadi best sell

    Last Updated : 2023-05-02
  • Anak Kembar yang Dibedakan   Sabia

    “Jangan ngandi-ngandi ya, Pak! Bapak bukan tipe saya.”“Terbalik, Sabia.”Oh, iya. Sabia mah, sadar diri.Sudahlah, yang waras mengalah. Dari pada dipecat tidak terhormat, dan nggak dapat pesangon. Rugi bandar.Sejak casting dimulai, Mama dan Sabrina terus memperhatikanku. Entah apa yang mereka pikirkan. Aku sedikit menahan napas ketika Sabrina memerankan tokoh yang ku ciptakan. Gadis sederhana yang tak cantik, namun baik hati. Kayak aku. “Sepertinya karakter Sabrina cocok dengan tokoh gendis,” ucap Pak Rully yang duduk di sebelahku.Aku bergeming. Sebenarnya memang cocok, tapi agak sedikit gengsi jika aku harus jujur. Ternyata dia juga punya bakat akting, pantas saja dulu jago berbohong. Aku masih ingat bagaimana dulu Sabrina pura-pura sakit, padahal aku tahu dia sengaja bolos sekolah.Belum lagi dia yang mengadu pada Mama kalau aku tak membantunya saat ujian, padahal dia sama sekali tak mengerjakannya. Alhasil, aku kena marah Mama karena tak memberi jawaban soal padanya.Dan bany

    Last Updated : 2023-05-03
  • Anak Kembar yang Dibedakan   Sabrina

    Paginya, aku dan Kukuh berlari pagi di car free day. Malamnya, memang kami sudah berjanji olahraga bersama. Lebih tepatnya, aku yang mengajaknya. Sejak menginap di rumah Papa, aku dan Kukuh menjadi teman sama seperti Sabia.Aku yang seperti menemukan teman bicara selain Risa. Kami duduk di warung bubur ayam pinggir jalan.“Lu yakin makan di sini?” Tanya Kukuh.“Memangnya kenapa?” Tanyaku balik.“Nggak. Takut aja perut lu kejang-kejang.”“Santai.”“Ini bubur ayam langganan gue dan Sabia,” ucapnya. “Lu sering ajak Sabia olahraga?”Dia mengangguk. Dua gelas teh hangat dan dua mangkuk bubur ayam disajikan di depan kami. Perutku mulai meraung meminta diisi.“Iya.” Kukuh menyesap tehnya. “Gue yang olahraga, dia yang makan.”Aku tertawa. Seseru itu pertemanan mereka. Aku bahkan tak punya waktu untuk pergi dengan teman-temanku. Bukan lebih tepatnya, memangnya aku punya teman?“Pantas aja badannya tetap gemuk,” ucapku terkekeh. “Kami bahkan nggak pernah makan bersama.Kukuh menghentikan suapa

    Last Updated : 2023-05-04
  • Anak Kembar yang Dibedakan   Sabia

    Berkali-kali aku menghela napas sebelum benar-benar masuk ke rumah Mama. Lampu yang menyala terang, menandakan Mama ada di rumah. Alamat bakal disidang. Terima saja nasibmu, Sabia.Bismillah. Semoga saja Mama sudah tidur dan lupa mematikan lampu.Aku membuka pagar rumah. Bahkan, suara pagar yang bergeser terasa seperti difilm horor. “Sabia.”Aku melonjak kaget.“Astaghfirullah.”“Sabia.”Eh kayak kenal suaranya. Aku menoleh ke belakang. “Pak Rully?!”“Kamu ngapain mengendap-endap kayak maling begitu?”“Bapak ngapain kagetin saya?”Pak Rully menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Iya, lah. Aku bukan peramal. “Bisa temani saya sebentar?”Aku menyilangkan kedua tanganku di dada.“Saya masih suci, Pak. Saya wanita baik-baik.”Pak Rully menoyor kepalaku.“Pikiran kamu terlalu kotor, Sabia. Lagian saya mana nafsu sama kamu,” ucapnya kesal.Lagian malam-malam minta ditemani. Apalagi kami sama-sama jomblo. E tapi aku tetap jomblo kelas premium yang memang belum laku dari jaman

    Last Updated : 2023-05-06
  • Anak Kembar yang Dibedakan   Sabia 2

    “Dari mana saja kamu?” tanya Mama saat aku masuk ke rumah.Minimal jawab salam dulu, kek.“Makan, Ma.” Mama menghela napas. “Mama sudah bilang kalau selama tinggal di sini, kamu harus makan apa yang Mama masak.”Makan makanan kambing, sapi dan unta?“Pak Rully yang mengajak Sabia makan.”Maafkan Sabia, Pak.Mama menaikkan sebelah alisnya.“Duduklah, ada yang ingin Mama bicarakan.”Aku mengangguk. Mungkin kalau sambil minum kopi dan ngemil lebih santai suasana. Tapi jangan harap itu ada kalau sama Mama.Aku duduk di hadapan Mama. Sudah seperti tamu dan ruang rumah.“Kamu sudah melihat berita tentang kalian?” tanya Mama.Aku mengangguk.“Mama sudah wanti-wanti ini sejak lama, Sabia. Sabrina yang akan dirugikan dengan keegoisan kamu yang nggak mau berubah.”Berubah jadi apa? Power ranger kuning?“Apa salahnya merubah penampilanmu? Bukan hanya demi Sabrina, juga kebaikanmu juga. Kalau kamu lebih cantik dan badanmu bagus, kamu akan lebih mudah mendapat jodoh.”Jadi demi Sabrina kan?“Kap

    Last Updated : 2023-05-06
  • Anak Kembar yang Dibedakan   Sabrina

    Mama benar, jika bukan karena Mama, aku tak akan dititik ini. Titik dimana aku merasa tak berdaya, terlalu dalam aturan Mama. Jika bisa, aku ingin seperti Sabia yang hidup bebas tanpa dikekang. Aku mengangguk.“Lu baik-baik aja?” Tanya Risa. Aku mengangguk.Aku akan merasa baik-baik saja. Bukankah memang harus begitu?“Gue dipaksa buat baik-baik aja kan, Ris?”Risa menatapku sendu.“Lu bisa nangis kalau lu mau.”“Buat apa? Toh, nggak bakal bikin Mama berubah pikiran.”Risa mengelus punggungku. Mama sudah pergi beberapa menit yang lalu. Katanya akan menunggu Sabia pulang. Entah bagaimana nasib kembaranku itu, aku tak begitu ingin peduli.“Berita itu kan nggak benar, sebenarnya tinggal lu up foto masa kecil lu sih, Bri. Kelar masalah,” kata Risa.“Nggak segampang itu kalau sama Mama, Ris. Lu dengar sendiri kan, tadi dia bilang apa,” sanggahku.“Iya, sih. Mama lu yang bikin ribet. Miris juga sih, komentarnya. Kebanyakan menghujat. Memangnya, teman-teman sekolah lu nggak ada yang follow

    Last Updated : 2023-05-07

Latest chapter

  • Anak Kembar yang Dibedakan   Tamat

    “Tadi kamu jadi ke kantor polisi, Yang?” Aku melirik suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk di kepalanya.  Sejak kami menikah, hal-hal seperti ini sudah biasa kulihat dan tak menjadi kecanggungan lagi diantara kita.Aku mengangguk. “Terus gimana?” tanyanya lagi.“Nggak gimana-gimana, kok. Aku cuma dijadikan saksi saja, lagian aku juga salah satu korbannya. Dia nipu aku, kamu tahu kan? Dan...” Aku mengembuskan napas berat. “Aku ketemu Risa.”“Risa asisten kamu itu?”Aku mengangguk lagi. “Mereka sudah lama punya hubungan ternyata, dan aku sama sekali nggak tahu. Aku merasa dibohongi sama dia,” gumamku dengan suara parau. Kukuh mendekat, merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya dan mengelus punggungku pelan. “Nanti aku boleh kan, ketemu dia lagi? Sebentar saja, tadi aku nggak sempat berbicara banyak.”Kukuh mengangguk. “Tentu. K

  • Anak Kembar yang Dibedakan   Extra Part 2

    “Gimana?” tanyaku saat Sabrina keluar dari kantor polisi.Nama Sabrina ikut terseret dalam kasus penangkapan Adam, dan yang lebih mengejutkan, Risa—asisten Sabrina juga ikut terjaring bersama Adam. Baru aku tahu dari Sabrina jika ternyata mereka menjalin hubungan. Aku jadi merasa kasihan dengan Sabrina karena telah percaya dengan orang yang salah. Bisa dibilang Risa adalah orang terdekat Sabrina saat itu.Aku tak tahu bagaimana perasaan Sabrina saat ini, aku yakin dia sangat kecewa. “Gue hanya dijadikan saksi,” jawabnya.“Lu bilang kan, kalau mereka sengaja menjebak lu?”Sabrina mengangguk, aku bernapas lega. “Gue ketemu Risa,” katanya dengan nada sendu. “gue masih nggak nyangka saja dia ngelakuin hal ini. Padahal gue sudah percaya banget sama dia.”Aku mengelus punggungnya. Kami hanya berdua, karena Kukuh dan Mas Rully ada pekerjaan yang tak bisa ditunda. 

  • Anak Kembar yang Dibedakan   Extra Part 1

    Aku melirik lelaki yang terlelap di sebelahku. Ada debaran aneh yang bergelayut di dadaku. Untuk pertama kalinya kami bersentuhan tanpa kain penghalang. Mau diceritakan?Janganlah, aku malu. Pasalnya beberapa kali aku berteriak dan beberapa kali memukulnya karena sakit yang kurasakan, setelahnya tentu saja dia mencibirku karena aku mendesah. Sudah cukup. Aku sangat malu. Sungguh.Aku memungut pakaianku yang berceceran dilantai, lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada beberapa jejak yang dia tinggalkan ditubuhku, aku menggeleng untuk menghilangkan ingatan tentang yang baru saja terjadi diantara kami.Astaga. Aku terkejut ketika membuka pintu kamar mandi dia sudah berdiri di depanku dengan celana kolor Spongebob kuningnya tanpa baju. Aku memalingkan muka berusaha menghindari menatap dada bidangnya yang terpampang nyata di depanku. Sepertinya dia rajin nge-gym.“An

  • Anak Kembar yang Dibedakan   51. Sabia

    Aku melirik tangan yang menggenggam erat jemariku di bawah meja seolah memberi kekuatan agar aku nyaman berada di depan banyak kamera. Ya, aku memutuskan untuk memberikan klarifikasi atas videoku dan Mama yang sudah tersebar di berbagai sosial media yang berimbas pada karier Sabrina dan nama baik Mama.Walaupun sampai saat ini Sabrina tak mengatakan siapa pelakunya, aku tetap akan membersihkan nama mereka. Ini adalah bentuk peduliku karena hanya mereka keluargaku semenjak Papa meninggal. “Apa Mbak Sabia diperlakukan tidak adil oleh Ibunya? Seperti yang kita lihat di video yang tersebar bahwa Ibu Anda seperti memilih kasih,” kata salah satu wartawan.Aku mengembuskan napas berat, lalu menggeleng. “Kami perlakukan sama, saya memang lebih dekat dengan Papa, kalau Sabrina dengan Mama, kalau di video itu saya rasa hanya kesalah pahaman saja, sih.”“Jadi, apa sebenarnya yang membuat Mbak Sabia memutuskan memilih Sabrina menjadi peme

  • Anak Kembar yang Dibedakan   50. Sabrina

    “Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Aku mengucap syukur hamdalah ketika dengan lancar lelaki itu mengucapkan ijab qobul di depan Papa, penghulu dan beberapa saksi lainnya. Setelah drama panjang yang dibuat oleh Mama, akhirnya aku bisa menikah dengan lelaki yang kucintai.Begitu pula dengan Sabia, kami lahir dan menikah di hari yang sama dengan kondisi yang berbeda. Harusnya aku bahagia, tapi perasaan sedihku lebih mendominasi dari pada bahagiaku. Melihat Papa yang terbaring kemudian menjadi saksi nikah kami, membuatku miris.Bukankah pernikahan harusnya disambut dengan suka cita?Tapi tidak dengan pernikahan kami.Aku bahkan hanya memakai baju sederhana yang dia bawa dari rumah. Katanya ini baju nikah Ibunya dulu. Padahal, impianku adalah menikah dengan mewah bak putri raja.Bukan seperti ini.

  • Anak Kembar yang Dibedakan   49. Sabia

    “Saya terima nikah dan kawinnya Sabia Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Air mataku mengalir tanpa sadar setelah para saksi dari dokter dan perawat menyaksikan pernikahan kami. Aku baru tahu, jika dokter Kalandra pernah menempuh pendidikan di pesantren, jadi kami tak perlu memanggil seorang ahli agama. Tak ada pesta, tak ada hiasan di wajah, hanya akad sederhana yang berlangsung di rumah sakit. Dengan baju gamis sederhana yang dibawakan oleh Tante Mirna, aku telah sah menjadi seorang istri. Sungguh, ini bukan jenis pernikahan yang menjadi impianku. Tapi, tak mengapa, demi Papa aku akan menjalaninya.Setidaknya aku telah memenuhi permintaan Papa untuk terakhir kalinya. Aku mewujudkan keinginan Papa untuk menjadi wali nikahku walaupun dalam kondisi terbaring lemah. Aku mencium tangan lelaki yang sudah sah menjadi suamiku dengan takzim. K

  • Anak Kembar yang Dibedakan   48. Sabrina

    “Gue ingat, Bi!” Ya, sekarang aku ingat betul bahwa aku sendiri yang merekam kejadian itu dengan ponsel yang biasa kugunakan untuk mengunggah barang-barang endors dan ponsel itu berada di tangan Risa.Sial. Risa!Teganya dia berani menusukku dari belakang setelah apa yang aku lakukan padanya. Kukira dia akan menjadi pembela untukku, nyatanya malah dia yang menjadi duri dalam selimut.“Siapa?” tanya Sabia penasaran.Aku menatap Sabia, banyak sekali perdebatan di benakku antara berkata jujur atau aku berbohong saja. Padahal Sabia begitu baik mau mencari tahu dalang dibalik semua video itu. Astaga. Aku bahkan terlihat menyedihkan dan sangat stres kemarin dengan adanya video itu. Tanpa sadar bahwa akulah pelaku yang telah merekamnya. Aku sendiri yang menggali lubang, kemudian Risa mendorongku ke dalamnya.Risa?“Lupakan,” kataku akhirnya.Sabia tampak tak puas dengan jawabku, tapi aku terus berdalih agar dia melupakan masalah ini dan biarkan aku saja yang mengurusnya. Tatapan kecewa d

  • Anak Kembar yang Dibedakan   47. Sabia

    “Gue ingat, Bi.”Aku menatap antusias pada Sabrina. “Lu curiga seseorang?”Sabrina mengangguk. “Siapa?”Sabrina terdiam, menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Lalu menggeleng. Aku mengernyit.“Lupakan,” katanya.“Bri?”Entah kenapa aku merasa Sabrina menyembunyikan sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?“Nggak usah diperpanjang,” kata Sabrina sambil menunduk. “Nanti juga bakal hilang sendiri kok, beritanya.”Aku menatapnya kecewa. Bukan soal hilang atau tidaknya berita itu, tapi aku hanya ingin menjaga nama baik Mama dan Sabrina. Apa dia tidak mengerti itu?Netizen juga tak akan respek lagi dengannya, kenapa Sabrina begitu menggampangkan masalah ini?“Bri, nggak bisa gitu, dong. Ini harus segera diselesaikan.”Mata Sabrina tampak menerawang, lalu tersenyum tipis. “Biar gue yang urus,” katanya lalu duduk di kursi.Tangannya memijit kedua pelipisnya. Aku mencoba mendekatinya.“Bri,” lirihku.“Tolong hargai keputusan gue.”Aku bergeming menatap Sabrina penuh tanya. Teka t

  • Anak Kembar yang Dibedakan   46. Sabrina

    Aku masuk ke ruangan Papa tak lama setelah kepergian Sabia. Entah kenapa hatiku panas ketika Kukuh dan Pak Rully berebut menawarkan diri untuk mengantar pulang kembaranku itu.Kalau Pak Rully sih, silakan saja. Kalau Kukuh? Jelas aku merasa cemburu. Bahkan dia tak sadar ketika aku menatapnya kesal. Dasar tak peka!Untunglah Sabia memilih Pak Rully yang mengantarnya. Aku tak berbicara apa pun padanya setelah kejadian itu. Biarkan saja dia introspeksi diri. Beraninya mengucap cinta padaku tapi masih berniat mengantar Sabia pulang.Ya, walaupun mereka berteman, setidaknya hargai posisiku.“Pa,” lirihku mengeluh punggung tangannya yang terasa sedikit hangat. “ternyata seperti ini rasanya cemburu.”Dulu aku merasa cemburu pada Sabia yang dekat dengan Papa, seorang aku cemburu Sabia dekat dengan Kukuh. “Dia bilang suka sama aku, tapi dia masih mendekati Sabia. Aku tahu mereka sudah berteman

DMCA.com Protection Status