Mama benar, jika bukan karena Mama, aku tak akan dititik ini. Titik dimana aku merasa tak berdaya, terlalu dalam aturan Mama. Jika bisa, aku ingin seperti Sabia yang hidup bebas tanpa dikekang. Aku mengangguk.“Lu baik-baik aja?” Tanya Risa. Aku mengangguk.Aku akan merasa baik-baik saja. Bukankah memang harus begitu?“Gue dipaksa buat baik-baik aja kan, Ris?”Risa menatapku sendu.“Lu bisa nangis kalau lu mau.”“Buat apa? Toh, nggak bakal bikin Mama berubah pikiran.”Risa mengelus punggungku. Mama sudah pergi beberapa menit yang lalu. Katanya akan menunggu Sabia pulang. Entah bagaimana nasib kembaranku itu, aku tak begitu ingin peduli.“Berita itu kan nggak benar, sebenarnya tinggal lu up foto masa kecil lu sih, Bri. Kelar masalah,” kata Risa.“Nggak segampang itu kalau sama Mama, Ris. Lu dengar sendiri kan, tadi dia bilang apa,” sanggahku.“Iya, sih. Mama lu yang bikin ribet. Miris juga sih, komentarnya. Kebanyakan menghujat. Memangnya, teman-teman sekolah lu nggak ada yang follow
“Mau ke mana kamu, Sabia?” Tanya Mama saat melihatku membawa koper berisi pakaian dan perlengkapan lainnya.“Mau pergi, Ma.”“Kamu marah sama Mama?”Aku mengembuskan napas berat. Mama tanya dan bertanya-tanya? Oke. Akan aku jawab, ya.“Nggak.”“Lalu kenapa kamu pergi?”“Sabia mau bertapa, Ma. Siapa tahu dapat hidayah dan taufik buat mengikuti perintah Mama.”Mama menggeleng pasrah anaknya agak lain.“Sabia—““Telinga Sabia sakit setiap hari harus mendengar teriakan Mama.”“Sabia, kamu—““Mama bahkan nggak bangga sama sekali sama aku, padahal series yang kalian perebutkan pemerannya adalah dari novelku,” ucapku kecewa. Sudan cukup, kali ini memang aku harus mengatakan apa yang selama ini aku pendam. Siapa tahu, kali ini Mama akan sadar dari khilafnya.“Aku kira, setelah tahu mama mendatangiku untuk mengucapkan selamat, atau paling nggak beri aku apresiasi. Tapi—“Aku menggeleng. “Mama justru memintaku menjadikan Sabrina peran di series itu tanpa sebelumnya memberiku sedikit pujian. Ap
“Jadi ... rencana Mama berhasil?” tanyaku sinis. Tega sekali.Mama mengangguk. Setelah membuat Sabia dan aku ramai diperbincangkan di sosial media, kini tujuan Mama untuk mengangkatku menjadi artis tercapai. Berkat Sabia, aku berhasil lolos seleksi talent untuk seriesnya.Aku menjadi pemeran utamanya. Tentu saja ini karena Sabia. Siapa lagi?“Ini.” Mama menyerahkan selembar foto usang. Aku dan Sabia saat masih duduk dibangku SMP.“Unggah foto itu di sosial mediamu. Media akan bungkam setelah melihat foto itu. Mereka yang menuduhmu operasi plastik Mama jamin akan diam.”Lalu?Mereka akan berbalik membully Sabia?“Dengan begitu namamu akan naik. Setelah ini, banyak endors yang akan masuk dan mungkin kamu akan diundang diacara tv.”Astaga. Jadi ini tujuan Mama?Mengorbankan anak-anaknya dibully hampir seluruh pengguna media sosial demi mendapatkan ketenaran yang tak seberapa.“Setelah mereka tahu aku nggak operasi plastik, mereka akan berbalik membully Sabia. Bukan begitu, Ma?”“Itu su
“Pak, bisa saya minta tolong,” ucapku pada Pak Rully saat aku mengajaknya bertemu di sebuah kafe.“Apa?” Pak Rully asyik memainkan sendok diatas kopinya.“Tolong jadikan Sabrina pemeran utama di series itu.”Pak Rully memandangku terkejut. Tangannya berhenti memainkan sendok. “Kenapa?”“Jangan kepo, Pak.”Pak Rully menyentil jidatku. Eh bukan mahram.“Saya produsernya. Kamu jangan semena-mena,” kesalnya.“Idih, memangnya Bapak saya apain?”“Saya serius, Sabia.”“Kalau begitu, datangi Papa saya,” ucapku asal.“Sabia—“ Pak Rully mulai kehabisan kesabaran. Padahal orang sabar anunya lebar. Eh maksudnya rezekinya. Tolong jangan berpikir yang iya-iya.“Agar Mama mau memberi klarifikasi berita yang sedang viral itu, Pak.”Pak Rully tertegun. Aku menunduk.“Jadi...”“Tolong,” pintaku dengan nada memohon. “bukannya aku juga ada hak untuk memilih siapa pemerannya?”Pak Rully mengangguk. “Akan saya pertimbangkan.”“Terima kasih, Pak.”“Sabia—“Aku bergumam menanggapi panggilan Pak Rully.“Apa
“Hapuslah foto itu jika kamu masih menganggap Sabia saudaramu.”Ucapan Papa masih terngiang dikepalaku. Haruskah aku menghapusnya?Lalu bagaimana dengan Mama?Aku menarik napas dalam. Ponsel yang ada ditanganku hanya kuputar saja tanpa berniat membuka layarnya. Papa, Kukuh.Kedua orang itu sama-sama kecewa terhadapku karena postingan itu. Ku buka akun sosial mediaku. Melihat postingan yang sudah mendapat like puluhan ribu dan komentar dengan jumlah yang tak kalah banyak.Bahkan, foto itu sudah direpost oleh akun gosip. Ada macam-macam pro dan kontra. Banyak pula komentar positif yang membela Sabia, ada juga yang menghujatnya habis-habisan.Aku memilih menghapus saja. Urusan Mama, biarkan nanti aku yang mengatasinya. Ku unggah fotoku jaman sekolah.Cantik dari dulu, kok. Bukan hasil operasi plastik.Caption itu kutulis di bawah empat foto yang kuunggah. Tak ku lihat lagi komentar yang muncul dinotifikasi aplikasi itu. Aku mengembuskan napas lega, lebih baik memang seperti ini.“Sabrin
“Jadi kamu yakin akan melakukan ini?”Aku menatap Tante Mirna sendu. Memegang perutku yang kebanyakan lapisannya adalah lemak yang sangat menggemaskan. Duh, kok tak tega, ya?Aku mengangguk ragu.“Kita mulai dengan mengatur pola makanmu,” kata Tante Mirna. “dimulai dari mengatur defisit kalori yang masuk ke tubuh kamu.”“Apa ini akan berhasil?”“Insya Allah jika dilakukan dengan sungguh-sungguh.” Tante Mirna beranjak dari duduknya.Beliau masuk ke dalam kamarnya, tak lama kemudian datang kembali dengan sebuah album foto ditangannya.“Lihat.” Tante Mirna menunjukkan sebuah foto.E buset apaan, tuh? Sudah kayak anak Dugong saja.“Itu foto Tante setelah melahirkan.”Astaghfirullah. Berdosa sekali Sabia. Maafkan Sabia yang telah mengatai Tante Mirna anak Dugong, ya Allah. Untung Cuma dalam hati, coba kalau mulutku keceplosan, bisa langsung jadi gelandangan aku.“Tante melakukan defisit kalori dan olahraga.”Mataku berbinar. Harapan itu selalu ada asal kita mau berusaha.Ya ampun. Sabia pu
Jadi—Adam masih ada dendam masa lalu?Kukira dulu adalah kesalahan kecil saat remaja. Toh, bukan aku dan Sabia yang mencelakainya. Tapi, dirinya sendiri yang terus mengganggu kami. Hingga puncaknya, Sabia menyenggolnya hingga masuk got.Loh, salah kami apa?Kami hanya membela diri, kok. Dasar baperan.Laki-laki kok, cemen.Aku tak mau ambil pusing dengan Adam. Masalahku sudah terlampau banyak. Aku melirik Mama yang sedang tertawa bersama Adam. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya lelaki itu mulai melancarkan aksinya.“Sabrina,” panggil Mama. “Sini.” Tangannya melambai menyuruhku untuk mendekat.Dengan malas kulangkahkan kakiku mendekat ke arah mereka. Adam seperti melemparkan senyum mengejek kepadaku.“Kenapa?”“Ini loh, Adam. Mama nggak tahu kalau kalian ternyata satu SMA dulu,” kata Mama antusias.“Kami tak terlalu kenal dekat,” acuhku.“Adam ini keponakannya Pak Yudis, Bri,” kata Mama lagi dengan senyum mengembang.Lalu?“Mungkin setelah series ini, kalian bisa menjalin lag
Napasku terengah-engah. Sepertinya nyawaku tinggal seperempat lagi. “Ya Allah ampuni Sabia kalau banyak dosa,” lirihku.“Jangan berlebihan, Sabia,” ucap Tante Mirna. “Ini minum.” Aku mengambil botol air mineral yang Tante Mirna berikan.“Baru nge-gym satu jam sudah lemah,” ledek Tante Mirna. “Habis ini boleh makan bubur ayam?” tanyaku dengan mata memohon.Tante Mirna menggeleng. “Kita makan bubur oat.”Lagi?Sudah satu Minggu proses dietku berlangsung. Menyiksa?Tidak terlalu buruk. Karbohidrat pagi diganti dengan roti gandum atau oat.Siang aku makan nasi hanya 100 gram. Lauknya masih seperti biasa.Malam, terkadang makan nasi atau hanya protein seperti ayam ungkep dan sayur.Untuk sesi camilan, Tante menyediakan camilan diet atau buah-buahan.Dan tadi pagi setelah buang air besar, dengan perut kosong Tante Mirna menyodorkan timbangan. Hasilnya?Hayooo penasaran ya?Berat badanku turun 2 kilogram.Hahay. Sebentar lagi Sabia akan glow up. Lisa blackpink bakalan lewat, yakin deh.
“Tadi kamu jadi ke kantor polisi, Yang?” Aku melirik suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk di kepalanya. Sejak kami menikah, hal-hal seperti ini sudah biasa kulihat dan tak menjadi kecanggungan lagi diantara kita.Aku mengangguk. “Terus gimana?” tanyanya lagi.“Nggak gimana-gimana, kok. Aku cuma dijadikan saksi saja, lagian aku juga salah satu korbannya. Dia nipu aku, kamu tahu kan? Dan...” Aku mengembuskan napas berat. “Aku ketemu Risa.”“Risa asisten kamu itu?”Aku mengangguk lagi. “Mereka sudah lama punya hubungan ternyata, dan aku sama sekali nggak tahu. Aku merasa dibohongi sama dia,” gumamku dengan suara parau. Kukuh mendekat, merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya dan mengelus punggungku pelan. “Nanti aku boleh kan, ketemu dia lagi? Sebentar saja, tadi aku nggak sempat berbicara banyak.”Kukuh mengangguk. “Tentu. K
“Gimana?” tanyaku saat Sabrina keluar dari kantor polisi.Nama Sabrina ikut terseret dalam kasus penangkapan Adam, dan yang lebih mengejutkan, Risa—asisten Sabrina juga ikut terjaring bersama Adam. Baru aku tahu dari Sabrina jika ternyata mereka menjalin hubungan. Aku jadi merasa kasihan dengan Sabrina karena telah percaya dengan orang yang salah. Bisa dibilang Risa adalah orang terdekat Sabrina saat itu.Aku tak tahu bagaimana perasaan Sabrina saat ini, aku yakin dia sangat kecewa. “Gue hanya dijadikan saksi,” jawabnya.“Lu bilang kan, kalau mereka sengaja menjebak lu?”Sabrina mengangguk, aku bernapas lega. “Gue ketemu Risa,” katanya dengan nada sendu. “gue masih nggak nyangka saja dia ngelakuin hal ini. Padahal gue sudah percaya banget sama dia.”Aku mengelus punggungnya. Kami hanya berdua, karena Kukuh dan Mas Rully ada pekerjaan yang tak bisa ditunda.
Aku melirik lelaki yang terlelap di sebelahku. Ada debaran aneh yang bergelayut di dadaku. Untuk pertama kalinya kami bersentuhan tanpa kain penghalang. Mau diceritakan?Janganlah, aku malu. Pasalnya beberapa kali aku berteriak dan beberapa kali memukulnya karena sakit yang kurasakan, setelahnya tentu saja dia mencibirku karena aku mendesah. Sudah cukup. Aku sangat malu. Sungguh.Aku memungut pakaianku yang berceceran dilantai, lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada beberapa jejak yang dia tinggalkan ditubuhku, aku menggeleng untuk menghilangkan ingatan tentang yang baru saja terjadi diantara kami.Astaga. Aku terkejut ketika membuka pintu kamar mandi dia sudah berdiri di depanku dengan celana kolor Spongebob kuningnya tanpa baju. Aku memalingkan muka berusaha menghindari menatap dada bidangnya yang terpampang nyata di depanku. Sepertinya dia rajin nge-gym.“An
Aku melirik tangan yang menggenggam erat jemariku di bawah meja seolah memberi kekuatan agar aku nyaman berada di depan banyak kamera. Ya, aku memutuskan untuk memberikan klarifikasi atas videoku dan Mama yang sudah tersebar di berbagai sosial media yang berimbas pada karier Sabrina dan nama baik Mama.Walaupun sampai saat ini Sabrina tak mengatakan siapa pelakunya, aku tetap akan membersihkan nama mereka. Ini adalah bentuk peduliku karena hanya mereka keluargaku semenjak Papa meninggal. “Apa Mbak Sabia diperlakukan tidak adil oleh Ibunya? Seperti yang kita lihat di video yang tersebar bahwa Ibu Anda seperti memilih kasih,” kata salah satu wartawan.Aku mengembuskan napas berat, lalu menggeleng. “Kami perlakukan sama, saya memang lebih dekat dengan Papa, kalau Sabrina dengan Mama, kalau di video itu saya rasa hanya kesalah pahaman saja, sih.”“Jadi, apa sebenarnya yang membuat Mbak Sabia memutuskan memilih Sabrina menjadi peme
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Aku mengucap syukur hamdalah ketika dengan lancar lelaki itu mengucapkan ijab qobul di depan Papa, penghulu dan beberapa saksi lainnya. Setelah drama panjang yang dibuat oleh Mama, akhirnya aku bisa menikah dengan lelaki yang kucintai.Begitu pula dengan Sabia, kami lahir dan menikah di hari yang sama dengan kondisi yang berbeda. Harusnya aku bahagia, tapi perasaan sedihku lebih mendominasi dari pada bahagiaku. Melihat Papa yang terbaring kemudian menjadi saksi nikah kami, membuatku miris.Bukankah pernikahan harusnya disambut dengan suka cita?Tapi tidak dengan pernikahan kami.Aku bahkan hanya memakai baju sederhana yang dia bawa dari rumah. Katanya ini baju nikah Ibunya dulu. Padahal, impianku adalah menikah dengan mewah bak putri raja.Bukan seperti ini.
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabia Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Air mataku mengalir tanpa sadar setelah para saksi dari dokter dan perawat menyaksikan pernikahan kami. Aku baru tahu, jika dokter Kalandra pernah menempuh pendidikan di pesantren, jadi kami tak perlu memanggil seorang ahli agama. Tak ada pesta, tak ada hiasan di wajah, hanya akad sederhana yang berlangsung di rumah sakit. Dengan baju gamis sederhana yang dibawakan oleh Tante Mirna, aku telah sah menjadi seorang istri. Sungguh, ini bukan jenis pernikahan yang menjadi impianku. Tapi, tak mengapa, demi Papa aku akan menjalaninya.Setidaknya aku telah memenuhi permintaan Papa untuk terakhir kalinya. Aku mewujudkan keinginan Papa untuk menjadi wali nikahku walaupun dalam kondisi terbaring lemah. Aku mencium tangan lelaki yang sudah sah menjadi suamiku dengan takzim. K
“Gue ingat, Bi!” Ya, sekarang aku ingat betul bahwa aku sendiri yang merekam kejadian itu dengan ponsel yang biasa kugunakan untuk mengunggah barang-barang endors dan ponsel itu berada di tangan Risa.Sial. Risa!Teganya dia berani menusukku dari belakang setelah apa yang aku lakukan padanya. Kukira dia akan menjadi pembela untukku, nyatanya malah dia yang menjadi duri dalam selimut.“Siapa?” tanya Sabia penasaran.Aku menatap Sabia, banyak sekali perdebatan di benakku antara berkata jujur atau aku berbohong saja. Padahal Sabia begitu baik mau mencari tahu dalang dibalik semua video itu. Astaga. Aku bahkan terlihat menyedihkan dan sangat stres kemarin dengan adanya video itu. Tanpa sadar bahwa akulah pelaku yang telah merekamnya. Aku sendiri yang menggali lubang, kemudian Risa mendorongku ke dalamnya.Risa?“Lupakan,” kataku akhirnya.Sabia tampak tak puas dengan jawabku, tapi aku terus berdalih agar dia melupakan masalah ini dan biarkan aku saja yang mengurusnya. Tatapan kecewa d
“Gue ingat, Bi.”Aku menatap antusias pada Sabrina. “Lu curiga seseorang?”Sabrina mengangguk. “Siapa?”Sabrina terdiam, menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Lalu menggeleng. Aku mengernyit.“Lupakan,” katanya.“Bri?”Entah kenapa aku merasa Sabrina menyembunyikan sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?“Nggak usah diperpanjang,” kata Sabrina sambil menunduk. “Nanti juga bakal hilang sendiri kok, beritanya.”Aku menatapnya kecewa. Bukan soal hilang atau tidaknya berita itu, tapi aku hanya ingin menjaga nama baik Mama dan Sabrina. Apa dia tidak mengerti itu?Netizen juga tak akan respek lagi dengannya, kenapa Sabrina begitu menggampangkan masalah ini?“Bri, nggak bisa gitu, dong. Ini harus segera diselesaikan.”Mata Sabrina tampak menerawang, lalu tersenyum tipis. “Biar gue yang urus,” katanya lalu duduk di kursi.Tangannya memijit kedua pelipisnya. Aku mencoba mendekatinya.“Bri,” lirihku.“Tolong hargai keputusan gue.”Aku bergeming menatap Sabrina penuh tanya. Teka t
Aku masuk ke ruangan Papa tak lama setelah kepergian Sabia. Entah kenapa hatiku panas ketika Kukuh dan Pak Rully berebut menawarkan diri untuk mengantar pulang kembaranku itu.Kalau Pak Rully sih, silakan saja. Kalau Kukuh? Jelas aku merasa cemburu. Bahkan dia tak sadar ketika aku menatapnya kesal. Dasar tak peka!Untunglah Sabia memilih Pak Rully yang mengantarnya. Aku tak berbicara apa pun padanya setelah kejadian itu. Biarkan saja dia introspeksi diri. Beraninya mengucap cinta padaku tapi masih berniat mengantar Sabia pulang.Ya, walaupun mereka berteman, setidaknya hargai posisiku.“Pa,” lirihku mengeluh punggung tangannya yang terasa sedikit hangat. “ternyata seperti ini rasanya cemburu.”Dulu aku merasa cemburu pada Sabia yang dekat dengan Papa, seorang aku cemburu Sabia dekat dengan Kukuh. “Dia bilang suka sama aku, tapi dia masih mendekati Sabia. Aku tahu mereka sudah berteman