[Ingat, Bri, sore nanti ada casting.]
Pesan dari Mama aku abaikan. Kabarnya, produser dari series yang akan aku bintangi adalah Pak Rully—bos Sabia.Melihat interaksi Sabia dengan bosnya, sepertinya mereka sudah lama dekat. Bahkan, mereka terlihat akrab.Berbeda denganku yang introvert, Sabia selalu bisa mencairkan suasana. Pembawaannya yang apa adanya selalu membuatnya cepat akrab dengan orang lain.Aku?Teman pun selalu datang dan pergi jika sudah menumpang pada ketenaranku.Setelah tadi melakukan pemotretan untuk barang-barang endors, seperti biasa aku akan mereview beberapa produk kosmetik yang kugunakan.Aku menyalakan kamera untuk melakukan live di akun sosial mediaku. Pengikutku sudah lumayan banyak, sekitar sembilan ratus ribu.“Hai gaes, kali ini aku mau bikin make up tipis-tipis, pokoknya simpel banget buat kalian yang kepingin hang out bareng besti,” ucapku menyapa beberapa orang yang mulai mengikuti live-ku.“Nah, ini dia.” Aku menunjukkan tepat di kamera beberapa produk dari B erl.“Ini adalah produk dari B erl yang super duper simpel banget buat kalian. Step pertama aku mau pakai h glow fine & fairness Cream. Nih bentuknya kayak gini.”Aku menunjukkan produk ke kamera, setelah itu meratakannya ke wajahku.“Ini bisa kalian jadikan base makeup gaes. Ini tuh, ringan banget dan nyaman dipakai seharian dan dengan coverege light to medium yang bisa nutupin noda hitam di wajah kamu. Kek aku ini ada noda hitam samar gitu, tapi serius ini bisa ke tutup sih.Menurut aku, ini kemasannya cukup besar, dan hasilnya lumayan bagus di wajah aku sih, jadi kalau kalian pakai ini gampang banget diblend. Lihat nih, wajah aku jadi kelihatan cerah kan. Nah kalau kalian nggak suka yang terlalu tebal, habis pakai ini nggak perlu lagi pakai bedak," paparku.Aku mengambil produk lainnya sambil melihat beberapa komentar yang masuk. Rata-rata mereka memujiku. Mataku terpaku pada nama akun yang baru saja bergabung.Kukuh.Dia mau belajar makeup kah?“Nah, buat step kedua, aku mau pakai b glow three way cake. Ini ada 2 shade ya teman-teman, kalian bisa pilih yang menurut kalian cocok di kulit wajah masing-masing. Ada natural nude dan natural beige. Kalau aku mau coba yang natural nude, dan aku mau langsung swap saja ke muka aku.Produk ini punya kemampuan blurring effect, bisa menyamarkan noda hitam dan bekas jerawat yang ganggu penampilan kamu. Ini juga bisa dijadikan bedak padat, bedak tabur juga bedak basah. Nih lihat deh, nggak kelihatan menor, kan?”Aku mendekatkan wajah ke kamera.Kukuh.BimaCantik.Aku sedikit melebarkan mata melihat komentarnya. Senyum tersungging dari bibirku, padahal bukan hanya dia yang memuji cantik, tapi kenapa aku malah berdebat dibuatnya?“Jadi hari ini aku ada casting gitu, gaes. Aku rasa makeup ini pas banget buat tokoh utamanya. Doakan, ya—“‘Biar nggak lolos,” lanjutku dalam hati tentunya.“Oke, oke, yang terakhir aku mau pakai lip matte cream masih dengan produk b erl tentunya, karena hari ini memang khusus buat review produk ini.”Aku mengaplikasikan lip matte ke bibirku.“Aku tap, tap gini ya. Ini tuh, formulasinya ringan, teksturnya creamy dan nggak bikin cracky di bibir aku, gaes. Aku pakai yang nude, karena ini cocok banget sama base make up aku kali ini. Sedikit di ombre dengan yang nude brown dan serius ini hasilnya oke banget nggak, sih? Coba deh lihat.”Aku mendekatkan lagi wajahku ke arah kamera biar yang menonton liveku melihat hasil make up ku hari ini.“Selain melembapkan bibir, lip cream ini juga bisa menutrisi, mencerahkan dan juga melindungi bibir kamu dari sinar UV. So, kalian bisa coba kayak aku. Simpel banget kan penampilan aku kali ini.”Kukuh.BimaKeburu ditinggal pacaran. Kelamaan dandan.Lagi-lagi dia berkomentar. Aku hampir tertawa melihat ketikannya. Ya, mau bagaimana lagi, sebagai perempuan sangat normal ingin terlihat cantik. Kecuali Sabia.“Aku sudah mau jalan ke tempat casting, jadi aku udahin sampai di sini dulu, ya, teman-teman semua. Terima kasih yang sudah menonton live aku hari ini. Semoga bermanfaat.”Klik.Aku menyelesaikan live-ku hari ini. Lumayan puas karena yang menonton hampir sepuluh ribu.“Sudah?” tanya Mama yang berdiri di sampingku.Aku mengangguk.Setelah berpamitan dengan Risa, aku dan Mama segera menuju lokasi.“Katanya penulisnya langsung yang akan memilih tokohnya,” kata Mama.Sebenarnya aku tak terlalu peduli. Toh, ini bukan atas kemauanku sendiri.“Siapa tahu kariermu makin berkembang.”Begitu katanya. Ah, lagi-lagi aku tak bisa menolak keinginan Mama.“Lakukanlah dengan maksimal, Sabrina. Mama ingin kamu lebih maju lagi, demi masa depan kamu.”“Demi aku atau Mama?”“Jangan memulai berdebat, Sabrina. Mama sudah cukup pusing menghadapi kakakmu yang nggak bisa diatur itu.”Aku melirik Mama yang terlihat kesal. Apa dia bertengkar lagi dengan Sabia?Bukan hanya aku, Sabia pun hampir sama. Mama ingin kamu tampil menarik. Bedanya, Sabia berani melawan sedangkan aku tidak. Kalau aku, memang dasarnya suka menjaga penampilan, tidak dengan Sabia yang memilih apa adanya.“Kalian bertengkar?”“Mama hanya ingin dia tampil lebih baik. Kalian sudah 25 tahun, Mama khawatir nggak ada laki-laki yang mau mendekatinya dengan badan dan penampilannya itu.”Apa Mama tak tahu kalau Sabia dekat dengan bosnya? Aku bahkan bisa melihat tatapan lain dari Pak Rully saat melihat Sabia. Walaupun dengan penampilan yang biasa saja, bahkan cenderung cuek, Sabia tetap terlihat manis dengan pipi tembamnya.“Cobalah menghargainya sedikit saja, Ma. Nggak perlu memaksa, Sabia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri,” ucapku.Sabia dan aku.“Tetap saja. Gemuk itu nggak sehat.”“Mama bicara saja pelan-pelan, jangan dengan pemaksaan.”“Kamu tahu Mama selalu kehabisan kesabaran menghadapinya.”Aku mengembuskan napas. Padatnya jalanan lebih menarik dibanding dengan kekesalan Mama terhadap Sabia. Aku juga tak akan menyalahkan Sabia yang tak mau mengikuti omongan Mama. Aku yakin suatu saat dia akan berubah dengan sendirinya.Setelah memarkirkan mobil, kami memasuki gedung yang terletak di tengah kota Jakarta. Aku melihat sekeliling yang sudah terlihat ramai.“Mah,” panggil.“Kenapa?”“Mama yakin? Lihat deh, hampir tujuh puluh lima persen yang ikut casting pemain sinetron terkenal.”“Kamu nggak usah insecure, nasib siapa yang tahu?”Aku memutar bola mataku. Astaga.“Bu Astri.”Kami menoleh ke sumber suara. Pak Rully di sana dengan—Sabia?“Pak Rully?”Lelaki itu tersenyum.“Loh, Sabia?”Tak hanya aku, Mama pun terlihat terkejut dengan kedatangan Sabia ke tempat ini? Sebenarnya dia kerja apa sampai mengikuti Pak Rully ke tempat ini?Sabia terlihat canggung.“Pak Rully kenal dengan Sabia?” tanya Mama.“Tentu, dia pen— aw.”Pak Rully terlihat kesakitan. Kami malah memandang mereka penuh tanya.“Sabia, kamu mencubit saya?” tanya Pak Rully pada Sabia.“Maaf, Pak. Sengaja.” Sabia tampak acuh.“Sabia, kamu—“Sabia seperti memberi kode pada Pak Rully.“Saya malah baru tahu, kalau Sabia ini sebenarnya kembaran Sabrina,” kata Pak Rully.Mama tersenyum canggung. Kenapa terlihat tak senang?“Iya. Mereka kembar beda nasib,” jawab Mama membuatku sedikit menyikut lengannya untuk memperingati.“Ma—““Pak Rully bisa lihat, kan, bedanya?”Pak Rully mengangguk dengan tak enak hati. Lelaki itu terlihat melirik Sabia yang kelihatan tak peduli.“Omong-omong, Sabia ngapain kamu di sini? Mau ikut casting juga?” tanya Mama.Sabia mengembuskan napas. “Iya, Ma.”“Mau casting jadi peran apa?”“Bola basket.”“Saya masih nggak menyangka kalau kamu kembaran Sabrina,” kata Pak Rully menatapku curiga.Setelah Papa dan Sabrina pulang, aku dan Pak Rully masih duduk di restoran untuk rapat. Katanya.Aku berdecak. “Nggak usah heran gitu deh, Pak.”“Kamu yakin bukan anak pungut?” E buset itu mulut. “Astaghfirullah. Mulut enak benar ngomong.”“Ya, kan, siapa tahu.”“Bapak nggak liat muka Papa saya? Kami mirip loh.”“Iya sih, mirip bulatnya.”Astaga.Hampir saja aku melempar gelas jus di depanku kalau tak ingat kalau dia bosku.“Jadi intinya Bapak ngajak saya ke sini untuk apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.“Saya mau besok kamu ikut ke lokasi.”Ck. Padahal bisa kirim pesan saja, kenapa mesti suruh datang? Bilang saja kalau kangen. “Pulsa Bapak habis?”Dia menggeleng. “Kuota habis?”Dia menggeleng lagi. “Kamu mau belikan kuota?”“Idih, ogah!”Dia ketawa. Matanya menyipit. Kok ganteng?Astaghfirullah! Sadar Sabia. Dia bos menyebalkan tukang bully. “Sepertinya kalian nggak terlalu akrab.”Aku
Di tengah riuh para talent yang mengikuti casting, aku memperhatikan bagaimana Pak Rully dan Sabia berinteraksi di depan sana. Sungguh, aku masih penasaran dengan apa yang Sabia lakukan.Apakah dia asisten Pak Rully?Aku melirik Mama yang juga ternyata memperhatikan mereka. “Kamu lihat Sabia?” Tanya Mama.Aku mengangguk. “Sepertinya dia punya peran penting di sini.”Aku mengangguk setuju. Beberapa kali dia seperti bicara pada sutradara dan juga Pak Rully. “Dia kelihatan dekat dengan Pak Rully.”“Dia bos Sabia, Ma.”“Oh, ya? Apa Sabia asistennya?”Aku menggeleng. Tidak tahu. “Lakukan yang terbaik, Sabrina. Setelah ini giliran kamu.”Aku mengembuskan napas. “Walaupun nggak dapat peran utama, tapi kamu harus dapat peran di series ini. Kamu tahu sendiri kalo series yang sedang digarap sedang di gandrungi.”“Ma—““Dengarkan saja apa kata Mama, Sabrina.”Series yang akan digarap diadopsi dari novel bergenre romansa komedi yang sedang digandrungi. Katanya, novelnya bahkan menjadi best sell
“Jangan ngandi-ngandi ya, Pak! Bapak bukan tipe saya.”“Terbalik, Sabia.”Oh, iya. Sabia mah, sadar diri.Sudahlah, yang waras mengalah. Dari pada dipecat tidak terhormat, dan nggak dapat pesangon. Rugi bandar.Sejak casting dimulai, Mama dan Sabrina terus memperhatikanku. Entah apa yang mereka pikirkan. Aku sedikit menahan napas ketika Sabrina memerankan tokoh yang ku ciptakan. Gadis sederhana yang tak cantik, namun baik hati. Kayak aku. “Sepertinya karakter Sabrina cocok dengan tokoh gendis,” ucap Pak Rully yang duduk di sebelahku.Aku bergeming. Sebenarnya memang cocok, tapi agak sedikit gengsi jika aku harus jujur. Ternyata dia juga punya bakat akting, pantas saja dulu jago berbohong. Aku masih ingat bagaimana dulu Sabrina pura-pura sakit, padahal aku tahu dia sengaja bolos sekolah.Belum lagi dia yang mengadu pada Mama kalau aku tak membantunya saat ujian, padahal dia sama sekali tak mengerjakannya. Alhasil, aku kena marah Mama karena tak memberi jawaban soal padanya.Dan bany
Paginya, aku dan Kukuh berlari pagi di car free day. Malamnya, memang kami sudah berjanji olahraga bersama. Lebih tepatnya, aku yang mengajaknya. Sejak menginap di rumah Papa, aku dan Kukuh menjadi teman sama seperti Sabia.Aku yang seperti menemukan teman bicara selain Risa. Kami duduk di warung bubur ayam pinggir jalan.“Lu yakin makan di sini?” Tanya Kukuh.“Memangnya kenapa?” Tanyaku balik.“Nggak. Takut aja perut lu kejang-kejang.”“Santai.”“Ini bubur ayam langganan gue dan Sabia,” ucapnya. “Lu sering ajak Sabia olahraga?”Dia mengangguk. Dua gelas teh hangat dan dua mangkuk bubur ayam disajikan di depan kami. Perutku mulai meraung meminta diisi.“Iya.” Kukuh menyesap tehnya. “Gue yang olahraga, dia yang makan.”Aku tertawa. Seseru itu pertemanan mereka. Aku bahkan tak punya waktu untuk pergi dengan teman-temanku. Bukan lebih tepatnya, memangnya aku punya teman?“Pantas aja badannya tetap gemuk,” ucapku terkekeh. “Kami bahkan nggak pernah makan bersama.Kukuh menghentikan suapa
Berkali-kali aku menghela napas sebelum benar-benar masuk ke rumah Mama. Lampu yang menyala terang, menandakan Mama ada di rumah. Alamat bakal disidang. Terima saja nasibmu, Sabia.Bismillah. Semoga saja Mama sudah tidur dan lupa mematikan lampu.Aku membuka pagar rumah. Bahkan, suara pagar yang bergeser terasa seperti difilm horor. “Sabia.”Aku melonjak kaget.“Astaghfirullah.”“Sabia.”Eh kayak kenal suaranya. Aku menoleh ke belakang. “Pak Rully?!”“Kamu ngapain mengendap-endap kayak maling begitu?”“Bapak ngapain kagetin saya?”Pak Rully menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Iya, lah. Aku bukan peramal. “Bisa temani saya sebentar?”Aku menyilangkan kedua tanganku di dada.“Saya masih suci, Pak. Saya wanita baik-baik.”Pak Rully menoyor kepalaku.“Pikiran kamu terlalu kotor, Sabia. Lagian saya mana nafsu sama kamu,” ucapnya kesal.Lagian malam-malam minta ditemani. Apalagi kami sama-sama jomblo. E tapi aku tetap jomblo kelas premium yang memang belum laku dari jaman
“Dari mana saja kamu?” tanya Mama saat aku masuk ke rumah.Minimal jawab salam dulu, kek.“Makan, Ma.” Mama menghela napas. “Mama sudah bilang kalau selama tinggal di sini, kamu harus makan apa yang Mama masak.”Makan makanan kambing, sapi dan unta?“Pak Rully yang mengajak Sabia makan.”Maafkan Sabia, Pak.Mama menaikkan sebelah alisnya.“Duduklah, ada yang ingin Mama bicarakan.”Aku mengangguk. Mungkin kalau sambil minum kopi dan ngemil lebih santai suasana. Tapi jangan harap itu ada kalau sama Mama.Aku duduk di hadapan Mama. Sudah seperti tamu dan ruang rumah.“Kamu sudah melihat berita tentang kalian?” tanya Mama.Aku mengangguk.“Mama sudah wanti-wanti ini sejak lama, Sabia. Sabrina yang akan dirugikan dengan keegoisan kamu yang nggak mau berubah.”Berubah jadi apa? Power ranger kuning?“Apa salahnya merubah penampilanmu? Bukan hanya demi Sabrina, juga kebaikanmu juga. Kalau kamu lebih cantik dan badanmu bagus, kamu akan lebih mudah mendapat jodoh.”Jadi demi Sabrina kan?“Kap
Mama benar, jika bukan karena Mama, aku tak akan dititik ini. Titik dimana aku merasa tak berdaya, terlalu dalam aturan Mama. Jika bisa, aku ingin seperti Sabia yang hidup bebas tanpa dikekang. Aku mengangguk.“Lu baik-baik aja?” Tanya Risa. Aku mengangguk.Aku akan merasa baik-baik saja. Bukankah memang harus begitu?“Gue dipaksa buat baik-baik aja kan, Ris?”Risa menatapku sendu.“Lu bisa nangis kalau lu mau.”“Buat apa? Toh, nggak bakal bikin Mama berubah pikiran.”Risa mengelus punggungku. Mama sudah pergi beberapa menit yang lalu. Katanya akan menunggu Sabia pulang. Entah bagaimana nasib kembaranku itu, aku tak begitu ingin peduli.“Berita itu kan nggak benar, sebenarnya tinggal lu up foto masa kecil lu sih, Bri. Kelar masalah,” kata Risa.“Nggak segampang itu kalau sama Mama, Ris. Lu dengar sendiri kan, tadi dia bilang apa,” sanggahku.“Iya, sih. Mama lu yang bikin ribet. Miris juga sih, komentarnya. Kebanyakan menghujat. Memangnya, teman-teman sekolah lu nggak ada yang follow
“Mau ke mana kamu, Sabia?” Tanya Mama saat melihatku membawa koper berisi pakaian dan perlengkapan lainnya.“Mau pergi, Ma.”“Kamu marah sama Mama?”Aku mengembuskan napas berat. Mama tanya dan bertanya-tanya? Oke. Akan aku jawab, ya.“Nggak.”“Lalu kenapa kamu pergi?”“Sabia mau bertapa, Ma. Siapa tahu dapat hidayah dan taufik buat mengikuti perintah Mama.”Mama menggeleng pasrah anaknya agak lain.“Sabia—““Telinga Sabia sakit setiap hari harus mendengar teriakan Mama.”“Sabia, kamu—““Mama bahkan nggak bangga sama sekali sama aku, padahal series yang kalian perebutkan pemerannya adalah dari novelku,” ucapku kecewa. Sudan cukup, kali ini memang aku harus mengatakan apa yang selama ini aku pendam. Siapa tahu, kali ini Mama akan sadar dari khilafnya.“Aku kira, setelah tahu mama mendatangiku untuk mengucapkan selamat, atau paling nggak beri aku apresiasi. Tapi—“Aku menggeleng. “Mama justru memintaku menjadikan Sabrina peran di series itu tanpa sebelumnya memberiku sedikit pujian. Ap
“Tadi kamu jadi ke kantor polisi, Yang?” Aku melirik suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk di kepalanya. Sejak kami menikah, hal-hal seperti ini sudah biasa kulihat dan tak menjadi kecanggungan lagi diantara kita.Aku mengangguk. “Terus gimana?” tanyanya lagi.“Nggak gimana-gimana, kok. Aku cuma dijadikan saksi saja, lagian aku juga salah satu korbannya. Dia nipu aku, kamu tahu kan? Dan...” Aku mengembuskan napas berat. “Aku ketemu Risa.”“Risa asisten kamu itu?”Aku mengangguk lagi. “Mereka sudah lama punya hubungan ternyata, dan aku sama sekali nggak tahu. Aku merasa dibohongi sama dia,” gumamku dengan suara parau. Kukuh mendekat, merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya dan mengelus punggungku pelan. “Nanti aku boleh kan, ketemu dia lagi? Sebentar saja, tadi aku nggak sempat berbicara banyak.”Kukuh mengangguk. “Tentu. K
“Gimana?” tanyaku saat Sabrina keluar dari kantor polisi.Nama Sabrina ikut terseret dalam kasus penangkapan Adam, dan yang lebih mengejutkan, Risa—asisten Sabrina juga ikut terjaring bersama Adam. Baru aku tahu dari Sabrina jika ternyata mereka menjalin hubungan. Aku jadi merasa kasihan dengan Sabrina karena telah percaya dengan orang yang salah. Bisa dibilang Risa adalah orang terdekat Sabrina saat itu.Aku tak tahu bagaimana perasaan Sabrina saat ini, aku yakin dia sangat kecewa. “Gue hanya dijadikan saksi,” jawabnya.“Lu bilang kan, kalau mereka sengaja menjebak lu?”Sabrina mengangguk, aku bernapas lega. “Gue ketemu Risa,” katanya dengan nada sendu. “gue masih nggak nyangka saja dia ngelakuin hal ini. Padahal gue sudah percaya banget sama dia.”Aku mengelus punggungnya. Kami hanya berdua, karena Kukuh dan Mas Rully ada pekerjaan yang tak bisa ditunda.
Aku melirik lelaki yang terlelap di sebelahku. Ada debaran aneh yang bergelayut di dadaku. Untuk pertama kalinya kami bersentuhan tanpa kain penghalang. Mau diceritakan?Janganlah, aku malu. Pasalnya beberapa kali aku berteriak dan beberapa kali memukulnya karena sakit yang kurasakan, setelahnya tentu saja dia mencibirku karena aku mendesah. Sudah cukup. Aku sangat malu. Sungguh.Aku memungut pakaianku yang berceceran dilantai, lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada beberapa jejak yang dia tinggalkan ditubuhku, aku menggeleng untuk menghilangkan ingatan tentang yang baru saja terjadi diantara kami.Astaga. Aku terkejut ketika membuka pintu kamar mandi dia sudah berdiri di depanku dengan celana kolor Spongebob kuningnya tanpa baju. Aku memalingkan muka berusaha menghindari menatap dada bidangnya yang terpampang nyata di depanku. Sepertinya dia rajin nge-gym.“An
Aku melirik tangan yang menggenggam erat jemariku di bawah meja seolah memberi kekuatan agar aku nyaman berada di depan banyak kamera. Ya, aku memutuskan untuk memberikan klarifikasi atas videoku dan Mama yang sudah tersebar di berbagai sosial media yang berimbas pada karier Sabrina dan nama baik Mama.Walaupun sampai saat ini Sabrina tak mengatakan siapa pelakunya, aku tetap akan membersihkan nama mereka. Ini adalah bentuk peduliku karena hanya mereka keluargaku semenjak Papa meninggal. “Apa Mbak Sabia diperlakukan tidak adil oleh Ibunya? Seperti yang kita lihat di video yang tersebar bahwa Ibu Anda seperti memilih kasih,” kata salah satu wartawan.Aku mengembuskan napas berat, lalu menggeleng. “Kami perlakukan sama, saya memang lebih dekat dengan Papa, kalau Sabrina dengan Mama, kalau di video itu saya rasa hanya kesalah pahaman saja, sih.”“Jadi, apa sebenarnya yang membuat Mbak Sabia memutuskan memilih Sabrina menjadi peme
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Aku mengucap syukur hamdalah ketika dengan lancar lelaki itu mengucapkan ijab qobul di depan Papa, penghulu dan beberapa saksi lainnya. Setelah drama panjang yang dibuat oleh Mama, akhirnya aku bisa menikah dengan lelaki yang kucintai.Begitu pula dengan Sabia, kami lahir dan menikah di hari yang sama dengan kondisi yang berbeda. Harusnya aku bahagia, tapi perasaan sedihku lebih mendominasi dari pada bahagiaku. Melihat Papa yang terbaring kemudian menjadi saksi nikah kami, membuatku miris.Bukankah pernikahan harusnya disambut dengan suka cita?Tapi tidak dengan pernikahan kami.Aku bahkan hanya memakai baju sederhana yang dia bawa dari rumah. Katanya ini baju nikah Ibunya dulu. Padahal, impianku adalah menikah dengan mewah bak putri raja.Bukan seperti ini.
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabia Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Air mataku mengalir tanpa sadar setelah para saksi dari dokter dan perawat menyaksikan pernikahan kami. Aku baru tahu, jika dokter Kalandra pernah menempuh pendidikan di pesantren, jadi kami tak perlu memanggil seorang ahli agama. Tak ada pesta, tak ada hiasan di wajah, hanya akad sederhana yang berlangsung di rumah sakit. Dengan baju gamis sederhana yang dibawakan oleh Tante Mirna, aku telah sah menjadi seorang istri. Sungguh, ini bukan jenis pernikahan yang menjadi impianku. Tapi, tak mengapa, demi Papa aku akan menjalaninya.Setidaknya aku telah memenuhi permintaan Papa untuk terakhir kalinya. Aku mewujudkan keinginan Papa untuk menjadi wali nikahku walaupun dalam kondisi terbaring lemah. Aku mencium tangan lelaki yang sudah sah menjadi suamiku dengan takzim. K
“Gue ingat, Bi!” Ya, sekarang aku ingat betul bahwa aku sendiri yang merekam kejadian itu dengan ponsel yang biasa kugunakan untuk mengunggah barang-barang endors dan ponsel itu berada di tangan Risa.Sial. Risa!Teganya dia berani menusukku dari belakang setelah apa yang aku lakukan padanya. Kukira dia akan menjadi pembela untukku, nyatanya malah dia yang menjadi duri dalam selimut.“Siapa?” tanya Sabia penasaran.Aku menatap Sabia, banyak sekali perdebatan di benakku antara berkata jujur atau aku berbohong saja. Padahal Sabia begitu baik mau mencari tahu dalang dibalik semua video itu. Astaga. Aku bahkan terlihat menyedihkan dan sangat stres kemarin dengan adanya video itu. Tanpa sadar bahwa akulah pelaku yang telah merekamnya. Aku sendiri yang menggali lubang, kemudian Risa mendorongku ke dalamnya.Risa?“Lupakan,” kataku akhirnya.Sabia tampak tak puas dengan jawabku, tapi aku terus berdalih agar dia melupakan masalah ini dan biarkan aku saja yang mengurusnya. Tatapan kecewa d
“Gue ingat, Bi.”Aku menatap antusias pada Sabrina. “Lu curiga seseorang?”Sabrina mengangguk. “Siapa?”Sabrina terdiam, menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Lalu menggeleng. Aku mengernyit.“Lupakan,” katanya.“Bri?”Entah kenapa aku merasa Sabrina menyembunyikan sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?“Nggak usah diperpanjang,” kata Sabrina sambil menunduk. “Nanti juga bakal hilang sendiri kok, beritanya.”Aku menatapnya kecewa. Bukan soal hilang atau tidaknya berita itu, tapi aku hanya ingin menjaga nama baik Mama dan Sabrina. Apa dia tidak mengerti itu?Netizen juga tak akan respek lagi dengannya, kenapa Sabrina begitu menggampangkan masalah ini?“Bri, nggak bisa gitu, dong. Ini harus segera diselesaikan.”Mata Sabrina tampak menerawang, lalu tersenyum tipis. “Biar gue yang urus,” katanya lalu duduk di kursi.Tangannya memijit kedua pelipisnya. Aku mencoba mendekatinya.“Bri,” lirihku.“Tolong hargai keputusan gue.”Aku bergeming menatap Sabrina penuh tanya. Teka t
Aku masuk ke ruangan Papa tak lama setelah kepergian Sabia. Entah kenapa hatiku panas ketika Kukuh dan Pak Rully berebut menawarkan diri untuk mengantar pulang kembaranku itu.Kalau Pak Rully sih, silakan saja. Kalau Kukuh? Jelas aku merasa cemburu. Bahkan dia tak sadar ketika aku menatapnya kesal. Dasar tak peka!Untunglah Sabia memilih Pak Rully yang mengantarnya. Aku tak berbicara apa pun padanya setelah kejadian itu. Biarkan saja dia introspeksi diri. Beraninya mengucap cinta padaku tapi masih berniat mengantar Sabia pulang.Ya, walaupun mereka berteman, setidaknya hargai posisiku.“Pa,” lirihku mengeluh punggung tangannya yang terasa sedikit hangat. “ternyata seperti ini rasanya cemburu.”Dulu aku merasa cemburu pada Sabia yang dekat dengan Papa, seorang aku cemburu Sabia dekat dengan Kukuh. “Dia bilang suka sama aku, tapi dia masih mendekati Sabia. Aku tahu mereka sudah berteman