BREAKING NEWS
Selebgram cantik pendatang baru, Sabrina Maryam mendapat penghargaan sebagai duta kecantikan.Aku menatap layar ponsel yang menampilkan foto cantik Sabrina—kembaranku. Ada denyut didada. Iri? Tentu saja. Dia selalu lebih beruntung dan bersinar dariku. Sejak dulu.Kami kembar, tapi tak serupa. Jika berpikir saudara kembar akan mempunyai wajah sama dan ikatan batin yang kuat, kalian salah. Bahkan, ketika aku di bully saat sekolah dulu, dia hanya diam saja. Sungguh tak berperi kesaudaraan.Dia cantik, aku tidak.Dia tinggi, aku tidak.Dia langsing, aku ... bahkan seperti bundelan karung beras.Nasib Sabrina selalu beruntung, aku kebalikannya. Satu-satunya yang dapat aku banggakan adalah aku pintar. Jangan heran kenapa, karena kenyataannya seperti ini.Dia mirip sekali dengan Mama, dan aku sangat mirip dengan Papa. Mama yang cantik, tinggi dan putih, menurunkan gennya ke Sabrina. Sungguh Sabrina sangat serakah mengambil semua kecantikan Mama tanpa menyisakan sedikit pun padaku.Harusnya bagi hasil, karena aku juga bersedia berbagi rahim dengannya. Padahal, aku lahir 5 menit lebih dulu darinya, harusnya aku juga mendapat bagian kecantikan Mama minimal separo.Cih. Menyebalkan sekali bukan?Sejak dari rahim bahkan dia sudah mulai diet dengan mengikhlaskan sebagian besar nutrisi selama kehamilan Mama kepadaku. Aku lahir dengan berat badan 3 kilogram, sementara dia hanya 2,4 kilogram.“Kamu sedang apa?”Aku segera menutup ponsel begitu suara Papa terdengar. Meliriknya sebentar, lalu aku kembali fokus pada laptopku.“Kamu sudah lihat berita?” tanya Papa lagi yang ku jawab dengan sebuah anggukan.“Papa akan lebih bangga jika dia menutup aurat sepertimu.” Lelaki itu mengembuskan napas berat, lalu mengelus punggungku.“Papa lihat beritanya?”“Tentu.”“Harusnya Papa bangga.”Papa menggeleng, “Besok jadwal kamu menginap di rumah Mama?” tanya Papa.Aku mengangguk.“Kalau begitu, bersiaplah. Besok Papa antar sekalian jemput Sabrina—“ ucapan Papa terhenti.“Papa lupa kalau Sabrina bisa ke sini sendiri.”Aku menjatuhkan diri ke kasur setelah Papa benar-benar menghilang dari balik pintu. Aku dan Sabrina berpisah sejak masuk bangku SMP, mungkin itu yang menjadi penyebab kami kekurangan ikatan batin.Aku melirik ponsel yang sejak tadi berkedip.[Bilang Papa, aku besok masih ada jadwal.]Pesan dari Sabrina ku abaikan, lalu melihat pesan lain yang masuk. Kamu tak seakrab itu.[Biantet, main yuk.]Dih.[Ogah.]Seenaknya saja mengganti nama anak orang. Padahal Papa mengadakan pengajian di hari ketujuh kelahiranku untuk memberi nama Sabia Maryam.Kukuh Bima mengirimkan foto.Sial.Bakso Mang Daud sungguh menggoda iman. Padahal aku rencananya mau diet biar langsing seperti Sabrina. Benar-benar Kukuh meluruhkan niatku.[Otw.]Akhirnya aku mengalah. Dietnya besok saja. Inilah yang membuatku lebih beruntung dari Sabrina, bisa makan apa pun yang kusuka tanpa ada yang melarang.Aku ingat Sabrina bahkan di tegur oleh Mama ketika sedang menikmati bakso yang kubawa.“Sabrina, jangan makan sembarangan,” tegur Mama saat itu. “Sabia, lain kali kalau mau ke rumah Mama jangan bawa makanan yang nggak sehat itu, kamu tahu kan Sabrina harus menjaga tubuhnya. Kamu juga kurangi makanan nggak sehat begitu, lihat badan kamu sudah kayak karung beras.”Aku menelan bakso yang baru saja ku masukan ke mulut tanpa kukunyah menyebabkan aku tersedak.“Astaga.” Mama dengan cepat menepuk punggungku dengan keras. “Makanya kalau makan pelan-pelan. Kayak Papamu nggak pernah kasih makan aja.”"Apa anak Mama hanya Sabrina?" Aku menyingkirkan tangan Mama dari punggungku begitu beliau menyinggung Papa.“Alhamdulillah, Papa nggak pernah melarang Bia makan apa pun,” sindirku.“Pantas saja badan kamu jadi bengkak gitu. Berapa berat badan kamu sekarang?”Astaghfirullah! Anak sendiri di bully. Aku melirik Sabrina yang terlihat acuh.“Apa penampilan begitu penting buat Mama?”“Tentu dong. Kamu lihat Sabrina, adikmu itu sudah jadi orang terkenal sekarang berkat penampilannya yang menarik. Sudah bisa menghasilkan uang sendiri,” papar wanita yang melahirkanku itu membanggakan kembaranku.“Mama heran, kalian kembar tapi kenapa beda banget.”Aku mengembuskan napas kasar. Bukan sekali dua kali Mama membandingkanku dengan Sabrina seperti ini.“Aku juga bisa menghasilkan uang sendiri, Ma.”“Jadi apa kamu?”“Aku pen—““Stop, Ma!”Kami mengalihkan pandangan pada Sabrina yang terlihat frustrasi.“Kalian sangat berisik,” ucapnya lalu pergi dari meja makan. Sementara aku, menatap Mama jengah dan melakukan hal sama seperti yang Sabrina lakukan. Meninggalkan Mama sendiri dengan tumpukan mangkok bakso yang belum habis isinya.Kan mubazir.Maunya sih, balik lagi ambil bakso yang tersisa. Tapi gengsi. Aku kan sedang marah!Kukuh melambaikan tangannya ketika melihatku memarkirkan motor di depan warung bakso langganan kami. Sepertinya dia bersama Puput.“Duduk sini, Bi.” Puput menepuk bangku di sebelahnya.Setelah memesan seporsi bakso, aku duduk di Puput.“Makin glowing aja, Put,” kataku sambil menyeruput es teh manis dari gelas gadis itu.“Es orang main minum saja,” sungut Puput mengambil kembali esnya. Pelit.“Ajarin Sabia makeup bisa glow up juga kek lu, Put.” Kukuh menimpali. "Muka kusam banget kek debu aspal."Astaghfirullah. Hobi sekali membuatku berdzikir terus-terusan.“Bukan gue nggak mau ngajarin, ini Dugong yang nggak mau diajak glow up.”Ck. Aku masih nyaman dengan kondisiku sekarang, walaupun jujur dari hati yang sangat dalam aku juga ingin seperti Sabrina yang mendapat pujian dari orang-orang.Puput teman senasib seperjuangan saat kami sama-sama dibangku SMA. Jelek, kumel, kucel, dekil pokoknya istilah nggak bagus itu ada pada kami berdua. Puput dulu bahkan memakai kacamata yang hampir memenuhi separuh wajahnya. Tapi lihatlah, gadis itu bahkan kini sudah menjadi MUA.Dan aku ... menjadi orang yang tertinggal jauh. Mau sedih tapi malu sama harga diri.Prestasiku hanya dibidang akademik, yang lainnya bikin hati meringis. Bahkan, aku pernah sering di bully karena tak memberi jawaban saat ulangan pada teman sekelas.“Si Sabrina makin bersinar aja,” puji Puput. “Pengikut dia di youtube sudah sepuluh juta, kecipratan duitnya nggak, lu?”Boro-boro. Kecipratan keringatnya saja tidak.“Jadi Beauty influncer laku keras, apalagi jaman skincare lagi digandrungi kek sekarang,” lanjutnya.Aku mengaduk baksoku dengan tak minat. Selera makanku hilang. Seperti sadar dengan perubahan ekspresiku, Kukuh menyenggol lengan Puput.Puput berdehem, “Lu juga cantik kok, Bi. Tapi perlu dipermak saja dikit.”Tuh kan.“Lu kata baju, dipermak.” Kukuh tertawa sampai menggebrak meja.Dih! Teman macam apa mereka. Mau cari teman lain tapi tak ada yang mau. Nasib orang jelek.Dadaku bergetar, rupanya ada panggilan masuk dari Pak Rully—bosku di kantor.“Assalamualaikum,” ucapku.“Kamu dimana?”Jawab salam dulu kek.“Makan bakso.”“Oh, pantas saja badan kamu bulat seperti bakso.”Astaghfirullah! Jadi dia telepon cuma buat bully?“Sabia,” panggilnya.“Hmmm.”“Naskahmu akan dipinang,”“Saya belum siap, Pak.”Eh dia ngomong apa, sih?“Bukan kamu. Tapi naskah kamu.”Eh serius? Aku menggebrak meja sampai kuah bakso milik Puput dan Kukuh muncrat.“Astaga, Sabia!” teriak mereka berdua bersamaan. Cie kompak.“Bisa diulangi?”“Tidak ada pengulangan, Sabia. Cepat temui saya dan dandan yang cantik.”Mati. Maksudku teleponnya, bukan orangnya.Apa tadi dia bilang? Dandan cantik? Cantik?Aku melirik Puput. Puput balik menatapku curiga.“Ada apa?”“Gue butuh bantuan lu.”Aku membaca komentar-komentar di sebuah akun gosip diaplikasi I*******m. Berita tentangku yang mendapat penghargaan sempat viral di berbagai media sosial.Gyu**Memang cantik banget sih, dia.Kumal*aPrestasi dia apa?YunjayGue suka liat konten dia, bagus sih. Besok kawinEh bukannya dia punya kembaran ya?Kembaran?Kami bahkan tak layak disebut kembar. Kami berbeda. Dia mirip Papa, dan aku lebih mirip Mama. Beruntungnya aku karena mewarisi hampir seluruh kecantikan Mama. Tapi Sabia—kembaranku mewarisi kecerdasan Papa yang seorang dosen di universitas negeri yang cukup terkenal di Jakarta. Itulah yang membuatku merasa sangat kesal dengannya. “Sabrina, coba kamu belajar lebih giat lagi seperti Sabia agar mendapat nilai yang lebih baik,” ucap Papa ketika aku memberi kertas hasil ulangan.Aku melirik Sabia dengan mata melotot. Sabia menunduk. Cupu. Dia bahkan tak belajar sama sekali. Hobinya membaca komik atau novel. Membosankan sekali hidupnya.“Sabia mendapat nilai sempurna, kamu se
“Serius ini gue?” tanyaku tak percaya setelah melihat pantulan dicermin. Puput mengangguk.“Nggak nyangka ternyata gue cantik juga,” ucapku bangga sambil meraba wajah yang kini mirip dengan Sabrina.“Lu tuh cantik, Bia,” puji Puput. “Tapi lu songong nggak mau glow up. Bangga banget dengan muka dekil lu itu.”“Entar gue pikir-pikir dulu. Lagian ini demi naskah gue yang mau dijadikan series.”“Akhirnya setelah lima kali ganti makeup ada yang cocok juga sama muka lu, Bi,” ujar Puput lega.Aku tertawa membayangkan betapa kesalnya muka Puput setengah jam yang lalu saat aku memprotes hasil riasannya. Ya iyalah, siapa yang nggak protes kalau request biar jadi Lisa blackpink malah jadinya kek emak-emak mau kondangan.Menor.“Lu nggak sadar diri, Bia,” kesal Puput saat aku memprotesnya. “Muka lu juga pas-pasan, lu malah ngelunjak minta dibikin biar kek si Lisa.”“Ya kan katanya lu biasa makeup-in artis.”“Gue MUA, bukan dokter plastik!” protes Puput sambil menoyor kepalaku. Ish, bisa bodoh ak
Lelaki di hadapanku bernama Kukuh Ardi. Kami baru saja berkenalan tadi saat sampai di warung bakso.“Teman main Sabia di saat suka maupun duka,” katanya.Aku mengernyit. Sungguh romantis sekali. Itu teman main apa teman hidup?“Jadi—lu juga tahu tentang gue?” Tanyaku lagi.“Tentu.” Dia kembali menikmati baksonya. “Kalian anak kembar yang beda nasib.”“Kami hanya beda jalan,” protesku.“Sama saja.”Terserahlah. Aku lebih suka menikmati baksoku dari pada menanggapi omongan Kukuh. Kapan lagi aku bisa bebas memakan apa pun yang ku mau. Mama tak akan tahu.“Lu nyaman tinggal sama nyokap lu?”Aku menghentikan kunyahanku. Kenapa dia ingin tahu?“Lu tahu, Sabia nggak pernah nyaman tinggal di rumah nyokap kalian, karena selalu dibandingkan sama lu.”“Gue juga merasakan hal yang sama, kalo lu mau tahu. Gue seperti hidup tanpa kemauan gue sendiri. Entah, rasanya berat banget harus menuruti keinginan Mama.”“Jadi, lu melakukan semua kerjaan dengan terpaksa?” tanya Kukuh lagi. Kepo sekali dia.Aku
Aku mencoba fokus pada layar laptop di depanku. Menjadi seorang penulis adalah keinginanku sejak SMP. Hobi membaca dan menulis buku diary, membuatku terbiasa menyusun setiap kalimat yang muncul di kepala menjadi sebuah tulisan.Aku memasukkan karakter Mama pada tokoh antagonis yang sedang ku tulis. Siapa suruh marah-marah terus, inilah akibatnya jika membuat masalah dengan penulis. Karaktermu bakal diabadikan di dalam tulisan.“Hapus, deh,” ucapku menghapus tulisan tentang Mama. Bisa dikutuk jadi cantik kalau ketahuan. Lagi pula aku juga masih menaruh hormat pada Mama dan tak ingin dianggap durhaka. “Bisa bantu Mama?” “Astaghfirullah!”Bikin kaget saja! Mama tiba-tiba muncul dibalik pintu.“Apa?” tanyaku malas.“Keluarlah,” ucap Mama.Pintu kamarku ditutup lagi. Tanpa mematikan laptop, aku menyusul Mama yang berjalan lebih dulu.“Mama habis belanja bulanan.” Mama menunjuk pada beberapa kantong belanjaan yang berserakan di dapur.“Kebetulan yang biasa bantu-bantu sedang pulang, bisa
[Ingat, Bri, sore nanti ada casting.]Pesan dari Mama aku abaikan. Kabarnya, produser dari series yang akan aku bintangi adalah Pak Rully—bos Sabia.Melihat interaksi Sabia dengan bosnya, sepertinya mereka sudah lama dekat. Bahkan, mereka terlihat akrab. Berbeda denganku yang introvert, Sabia selalu bisa mencairkan suasana. Pembawaannya yang apa adanya selalu membuatnya cepat akrab dengan orang lain.Aku?Teman pun selalu datang dan pergi jika sudah menumpang pada ketenaranku. Setelah tadi melakukan pemotretan untuk barang-barang endors, seperti biasa aku akan mereview beberapa produk kosmetik yang kugunakan.Aku menyalakan kamera untuk melakukan live di akun sosial mediaku. Pengikutku sudah lumayan banyak, sekitar sembilan ratus ribu.“Hai gaes, kali ini aku mau bikin make up tipis-tipis, pokoknya simpel banget buat kalian yang kepingin hang out bareng besti,” ucapku menyapa beberapa orang yang mulai mengikuti live-ku.“Nah, ini dia.” Aku menunjukkan tepat di kamera beberapa produk
“Saya masih nggak menyangka kalau kamu kembaran Sabrina,” kata Pak Rully menatapku curiga.Setelah Papa dan Sabrina pulang, aku dan Pak Rully masih duduk di restoran untuk rapat. Katanya.Aku berdecak. “Nggak usah heran gitu deh, Pak.”“Kamu yakin bukan anak pungut?” E buset itu mulut. “Astaghfirullah. Mulut enak benar ngomong.”“Ya, kan, siapa tahu.”“Bapak nggak liat muka Papa saya? Kami mirip loh.”“Iya sih, mirip bulatnya.”Astaga.Hampir saja aku melempar gelas jus di depanku kalau tak ingat kalau dia bosku.“Jadi intinya Bapak ngajak saya ke sini untuk apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.“Saya mau besok kamu ikut ke lokasi.”Ck. Padahal bisa kirim pesan saja, kenapa mesti suruh datang? Bilang saja kalau kangen. “Pulsa Bapak habis?”Dia menggeleng. “Kuota habis?”Dia menggeleng lagi. “Kamu mau belikan kuota?”“Idih, ogah!”Dia ketawa. Matanya menyipit. Kok ganteng?Astaghfirullah! Sadar Sabia. Dia bos menyebalkan tukang bully. “Sepertinya kalian nggak terlalu akrab.”Aku
Di tengah riuh para talent yang mengikuti casting, aku memperhatikan bagaimana Pak Rully dan Sabia berinteraksi di depan sana. Sungguh, aku masih penasaran dengan apa yang Sabia lakukan.Apakah dia asisten Pak Rully?Aku melirik Mama yang juga ternyata memperhatikan mereka. “Kamu lihat Sabia?” Tanya Mama.Aku mengangguk. “Sepertinya dia punya peran penting di sini.”Aku mengangguk setuju. Beberapa kali dia seperti bicara pada sutradara dan juga Pak Rully. “Dia kelihatan dekat dengan Pak Rully.”“Dia bos Sabia, Ma.”“Oh, ya? Apa Sabia asistennya?”Aku menggeleng. Tidak tahu. “Lakukan yang terbaik, Sabrina. Setelah ini giliran kamu.”Aku mengembuskan napas. “Walaupun nggak dapat peran utama, tapi kamu harus dapat peran di series ini. Kamu tahu sendiri kalo series yang sedang digarap sedang di gandrungi.”“Ma—““Dengarkan saja apa kata Mama, Sabrina.”Series yang akan digarap diadopsi dari novel bergenre romansa komedi yang sedang digandrungi. Katanya, novelnya bahkan menjadi best sell
“Jangan ngandi-ngandi ya, Pak! Bapak bukan tipe saya.”“Terbalik, Sabia.”Oh, iya. Sabia mah, sadar diri.Sudahlah, yang waras mengalah. Dari pada dipecat tidak terhormat, dan nggak dapat pesangon. Rugi bandar.Sejak casting dimulai, Mama dan Sabrina terus memperhatikanku. Entah apa yang mereka pikirkan. Aku sedikit menahan napas ketika Sabrina memerankan tokoh yang ku ciptakan. Gadis sederhana yang tak cantik, namun baik hati. Kayak aku. “Sepertinya karakter Sabrina cocok dengan tokoh gendis,” ucap Pak Rully yang duduk di sebelahku.Aku bergeming. Sebenarnya memang cocok, tapi agak sedikit gengsi jika aku harus jujur. Ternyata dia juga punya bakat akting, pantas saja dulu jago berbohong. Aku masih ingat bagaimana dulu Sabrina pura-pura sakit, padahal aku tahu dia sengaja bolos sekolah.Belum lagi dia yang mengadu pada Mama kalau aku tak membantunya saat ujian, padahal dia sama sekali tak mengerjakannya. Alhasil, aku kena marah Mama karena tak memberi jawaban soal padanya.Dan bany
“Tadi kamu jadi ke kantor polisi, Yang?” Aku melirik suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk di kepalanya. Sejak kami menikah, hal-hal seperti ini sudah biasa kulihat dan tak menjadi kecanggungan lagi diantara kita.Aku mengangguk. “Terus gimana?” tanyanya lagi.“Nggak gimana-gimana, kok. Aku cuma dijadikan saksi saja, lagian aku juga salah satu korbannya. Dia nipu aku, kamu tahu kan? Dan...” Aku mengembuskan napas berat. “Aku ketemu Risa.”“Risa asisten kamu itu?”Aku mengangguk lagi. “Mereka sudah lama punya hubungan ternyata, dan aku sama sekali nggak tahu. Aku merasa dibohongi sama dia,” gumamku dengan suara parau. Kukuh mendekat, merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya dan mengelus punggungku pelan. “Nanti aku boleh kan, ketemu dia lagi? Sebentar saja, tadi aku nggak sempat berbicara banyak.”Kukuh mengangguk. “Tentu. K
“Gimana?” tanyaku saat Sabrina keluar dari kantor polisi.Nama Sabrina ikut terseret dalam kasus penangkapan Adam, dan yang lebih mengejutkan, Risa—asisten Sabrina juga ikut terjaring bersama Adam. Baru aku tahu dari Sabrina jika ternyata mereka menjalin hubungan. Aku jadi merasa kasihan dengan Sabrina karena telah percaya dengan orang yang salah. Bisa dibilang Risa adalah orang terdekat Sabrina saat itu.Aku tak tahu bagaimana perasaan Sabrina saat ini, aku yakin dia sangat kecewa. “Gue hanya dijadikan saksi,” jawabnya.“Lu bilang kan, kalau mereka sengaja menjebak lu?”Sabrina mengangguk, aku bernapas lega. “Gue ketemu Risa,” katanya dengan nada sendu. “gue masih nggak nyangka saja dia ngelakuin hal ini. Padahal gue sudah percaya banget sama dia.”Aku mengelus punggungnya. Kami hanya berdua, karena Kukuh dan Mas Rully ada pekerjaan yang tak bisa ditunda.
Aku melirik lelaki yang terlelap di sebelahku. Ada debaran aneh yang bergelayut di dadaku. Untuk pertama kalinya kami bersentuhan tanpa kain penghalang. Mau diceritakan?Janganlah, aku malu. Pasalnya beberapa kali aku berteriak dan beberapa kali memukulnya karena sakit yang kurasakan, setelahnya tentu saja dia mencibirku karena aku mendesah. Sudah cukup. Aku sangat malu. Sungguh.Aku memungut pakaianku yang berceceran dilantai, lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Ada beberapa jejak yang dia tinggalkan ditubuhku, aku menggeleng untuk menghilangkan ingatan tentang yang baru saja terjadi diantara kami.Astaga. Aku terkejut ketika membuka pintu kamar mandi dia sudah berdiri di depanku dengan celana kolor Spongebob kuningnya tanpa baju. Aku memalingkan muka berusaha menghindari menatap dada bidangnya yang terpampang nyata di depanku. Sepertinya dia rajin nge-gym.“An
Aku melirik tangan yang menggenggam erat jemariku di bawah meja seolah memberi kekuatan agar aku nyaman berada di depan banyak kamera. Ya, aku memutuskan untuk memberikan klarifikasi atas videoku dan Mama yang sudah tersebar di berbagai sosial media yang berimbas pada karier Sabrina dan nama baik Mama.Walaupun sampai saat ini Sabrina tak mengatakan siapa pelakunya, aku tetap akan membersihkan nama mereka. Ini adalah bentuk peduliku karena hanya mereka keluargaku semenjak Papa meninggal. “Apa Mbak Sabia diperlakukan tidak adil oleh Ibunya? Seperti yang kita lihat di video yang tersebar bahwa Ibu Anda seperti memilih kasih,” kata salah satu wartawan.Aku mengembuskan napas berat, lalu menggeleng. “Kami perlakukan sama, saya memang lebih dekat dengan Papa, kalau Sabrina dengan Mama, kalau di video itu saya rasa hanya kesalah pahaman saja, sih.”“Jadi, apa sebenarnya yang membuat Mbak Sabia memutuskan memilih Sabrina menjadi peme
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Aku mengucap syukur hamdalah ketika dengan lancar lelaki itu mengucapkan ijab qobul di depan Papa, penghulu dan beberapa saksi lainnya. Setelah drama panjang yang dibuat oleh Mama, akhirnya aku bisa menikah dengan lelaki yang kucintai.Begitu pula dengan Sabia, kami lahir dan menikah di hari yang sama dengan kondisi yang berbeda. Harusnya aku bahagia, tapi perasaan sedihku lebih mendominasi dari pada bahagiaku. Melihat Papa yang terbaring kemudian menjadi saksi nikah kami, membuatku miris.Bukankah pernikahan harusnya disambut dengan suka cita?Tapi tidak dengan pernikahan kami.Aku bahkan hanya memakai baju sederhana yang dia bawa dari rumah. Katanya ini baju nikah Ibunya dulu. Padahal, impianku adalah menikah dengan mewah bak putri raja.Bukan seperti ini.
“Saya terima nikah dan kawinnya Sabia Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Maryam binti Surya Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Sah!”Air mataku mengalir tanpa sadar setelah para saksi dari dokter dan perawat menyaksikan pernikahan kami. Aku baru tahu, jika dokter Kalandra pernah menempuh pendidikan di pesantren, jadi kami tak perlu memanggil seorang ahli agama. Tak ada pesta, tak ada hiasan di wajah, hanya akad sederhana yang berlangsung di rumah sakit. Dengan baju gamis sederhana yang dibawakan oleh Tante Mirna, aku telah sah menjadi seorang istri. Sungguh, ini bukan jenis pernikahan yang menjadi impianku. Tapi, tak mengapa, demi Papa aku akan menjalaninya.Setidaknya aku telah memenuhi permintaan Papa untuk terakhir kalinya. Aku mewujudkan keinginan Papa untuk menjadi wali nikahku walaupun dalam kondisi terbaring lemah. Aku mencium tangan lelaki yang sudah sah menjadi suamiku dengan takzim. K
“Gue ingat, Bi!” Ya, sekarang aku ingat betul bahwa aku sendiri yang merekam kejadian itu dengan ponsel yang biasa kugunakan untuk mengunggah barang-barang endors dan ponsel itu berada di tangan Risa.Sial. Risa!Teganya dia berani menusukku dari belakang setelah apa yang aku lakukan padanya. Kukira dia akan menjadi pembela untukku, nyatanya malah dia yang menjadi duri dalam selimut.“Siapa?” tanya Sabia penasaran.Aku menatap Sabia, banyak sekali perdebatan di benakku antara berkata jujur atau aku berbohong saja. Padahal Sabia begitu baik mau mencari tahu dalang dibalik semua video itu. Astaga. Aku bahkan terlihat menyedihkan dan sangat stres kemarin dengan adanya video itu. Tanpa sadar bahwa akulah pelaku yang telah merekamnya. Aku sendiri yang menggali lubang, kemudian Risa mendorongku ke dalamnya.Risa?“Lupakan,” kataku akhirnya.Sabia tampak tak puas dengan jawabku, tapi aku terus berdalih agar dia melupakan masalah ini dan biarkan aku saja yang mengurusnya. Tatapan kecewa d
“Gue ingat, Bi.”Aku menatap antusias pada Sabrina. “Lu curiga seseorang?”Sabrina mengangguk. “Siapa?”Sabrina terdiam, menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Lalu menggeleng. Aku mengernyit.“Lupakan,” katanya.“Bri?”Entah kenapa aku merasa Sabrina menyembunyikan sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi?“Nggak usah diperpanjang,” kata Sabrina sambil menunduk. “Nanti juga bakal hilang sendiri kok, beritanya.”Aku menatapnya kecewa. Bukan soal hilang atau tidaknya berita itu, tapi aku hanya ingin menjaga nama baik Mama dan Sabrina. Apa dia tidak mengerti itu?Netizen juga tak akan respek lagi dengannya, kenapa Sabrina begitu menggampangkan masalah ini?“Bri, nggak bisa gitu, dong. Ini harus segera diselesaikan.”Mata Sabrina tampak menerawang, lalu tersenyum tipis. “Biar gue yang urus,” katanya lalu duduk di kursi.Tangannya memijit kedua pelipisnya. Aku mencoba mendekatinya.“Bri,” lirihku.“Tolong hargai keputusan gue.”Aku bergeming menatap Sabrina penuh tanya. Teka t
Aku masuk ke ruangan Papa tak lama setelah kepergian Sabia. Entah kenapa hatiku panas ketika Kukuh dan Pak Rully berebut menawarkan diri untuk mengantar pulang kembaranku itu.Kalau Pak Rully sih, silakan saja. Kalau Kukuh? Jelas aku merasa cemburu. Bahkan dia tak sadar ketika aku menatapnya kesal. Dasar tak peka!Untunglah Sabia memilih Pak Rully yang mengantarnya. Aku tak berbicara apa pun padanya setelah kejadian itu. Biarkan saja dia introspeksi diri. Beraninya mengucap cinta padaku tapi masih berniat mengantar Sabia pulang.Ya, walaupun mereka berteman, setidaknya hargai posisiku.“Pa,” lirihku mengeluh punggung tangannya yang terasa sedikit hangat. “ternyata seperti ini rasanya cemburu.”Dulu aku merasa cemburu pada Sabia yang dekat dengan Papa, seorang aku cemburu Sabia dekat dengan Kukuh. “Dia bilang suka sama aku, tapi dia masih mendekati Sabia. Aku tahu mereka sudah berteman