Haloooo semuanya! Terima kasih sudah membaca. Ada yang udah kepoin langsung tempatnya? Search di Google? Next, kita ke Mobius Arch yaa.
"Paman, apakah Paman pernah mendengar tentang Pita Mobius?" tanya Louis saat mereka sedang dalam perjalanan menuju lokasi selanjutnya. Jeremy menaikkan alis. "Apa itu?""Jadi, Paman belum pernah dengar? Pita Mobius itu permukaan satu sisi yang tidak punya batas." Mata Jeremy terbuka lebih lebar. Dahinya semakin dipenuhi kerutan. "Paman pasti bingung, Louis. Kita saja bingung saat pertama kali membacanya," celetuk Emily ringan. Wajahnya sudah kembali bersinar. Sambil berjalan di sisi Louis, tangan mungilnya terus menggenggam Frank. Jeremy berkedip-kedip linglung. Ia merasa seperti orang bodoh. "Coba jelaskan lebih lanjut, Louis. Buat pamanmu ini mengerti." Ia menepuk pundak si bocah laki-laki. Louis pun mengambil tali ransel yang menjuntai di bawah lengannya. Langkah kakinya tanpa sadar melambat. "Paman perhatikan ini. Anggap tali ranselku ini adalah sebuah pita." Jeremy menyimak. Ia dan yang lain kompak memperkecil langkah, mengimbangi kecepatan Louis. "Ini adalah pita yang lur
Ava mendesak bibirnya dengan dagu. "Kapan saja bisa. Kurasa Jeremy tidak akan terlalu peduli tentang hal itu. Dia pasti menuruti keinginanku. Bukankah laki-laki cenderung seperti itu?" Kara mengangguk-angguk setuju. "Benar juga. Frank juga pasti tidak keberatan. Tapi tetap saja, kita harus bertanya." Tiba-tiba, Kara mengacungkan telunjuk. Matanya berkilat memancarkan semangat. "Bagaimana kalau begitu mereka kembali, kita langsung tanyakan saja kepada mereka?" "Dan si Kembar?" "Tidak masalah. Kurasa mereka akan sangat gembira mendengar rencana kita ini." Ava mengembangkan senyum. "Oke." "Oke! Aku jadi tidak sabar menanti mereka kembali. Sekarang, mari kita tulis apa saja yang perlu disiapkan nanti." Kara kembali mengangkat bukunya dan menegakkan pena. Melihat itu, lengkung bibir Ava mendadak sendu. "Kau tahu? Ini pertama kalinya aku merencanakan sesuatu dengan seorang teman." Kara berkedip-kedip bingung. "Teman?" Ava mengangguk canggung. "Bolehkah aku menganggapmu begitu? Aku
Bukan hanya si Kembar, tetapi Frank dan Jeremy juga terbelalak. "Menanyakan apa?" Sementara Louis dan Emily berkedip-kedip menanti jawaban, Kara dan Ava bertukar pandang. "Aku dan Ava sedang membicarakan tentang persiapan kelahiran si Kecil nanti. Kami agak kesulitan karena belum tahu si Kecil laki-laki atau perempuan. Jadi ...." Frank mengimbangi ayunan nada bicara Kara dengan gerak kepalanya. "Kalian mau dokter mengumumkan gender si Kecil sebelum mereka lahir?" Kara mendesahkan senyum. "Ya, bagaimana kalau kita mengadakan gender reveal?" Dalam sekejap, mata si kembar membulat seperti purnama. Mulut mereka terbuka lebar, meloloskan kegembiraan. "Apakah kita akan segera mengetahui itu Russell atau Rylee?" Emily menunjuk perut Kara yang membuncit. "Dan juga Oscar atau Oasis?" Louis menunjuk perut Ava sambil melirik Jeremy. Sementara Ava dan Kara tercengang, Jeremy memasang tampang malas. "Louis? Yang benar saja?" Louis terkikik geli. "Apa salahnya? Itu nama yang bagus." Emily
"Ini untuk kalian." Barbara dan Philip menaruh topi bertuliskan Lofoten di kepala si Kembar. Kemudian, mereka menaruh kaos di pundak kedua balita itu. "Ini juga." Sementara si Kembar tercengang, pengantin baru itu melanjutkan. Mereka menyodorkan sweater, beanie yang terbuat dari wol, kaos kaki, buku-buku, stiker, poster, totebag, serta plush animal kecil berbentuk orca dan lebah. Kepala si Kembar nyaris tertutup oleh tumpukan oleh-oleh yang membeludak. "Terima kasih, Bibi. Kami tidak menduga oleh-oleh yang kami dapat bisa sebanyak ini." Emily terkikik di akhir. "Ya, ini banyak sekali, Bibi!" seru Louis tanpa melihat Barbara. Buntut Orca sedang menutupi setengah wajahnya. "Ini adalah bukti kalau kami tidak lupa dengan kalian," tutur Barbara sebelum berdiri dan menghampiri yang lain. "Kami juga membawa oleh-oleh untuk kalian, Para Orang Dewasa." Sementara pengantin baru itu sibuk membagikan apa saja yang dibelinya, Kara tertawa geli. "Terima kasih, Barbara, Philip. Kurasa kalian b
Mulai dari Frank, satu per satu menyebutkan huruf mereka. "E." "L." "R!" "L!" "U." "S." "S." Sambil menahan napas, si Kembar menyusun huruf-huruf dalam otak mereka. Begitu menemukan jawaban, Louis langsung turun dari kursi dan berlari mengelilingi meja makan. Kedua tangannya meninju-ninju udara. "Woohoo! Itu Russell! Adik Kecil adalah Russell! Aku akan punya adik laki-laki!" Semua orang tersenyum menyaksikan kegembiraannya. Namun, selang satu kedipan, semua mata tertuju pada Emily. Gadis mungil itu tampak menciut dengan pundak yang terkulai. Bibirnya mengerucut, alisnya sedikit berkerut. "Malaikat Kecil, kamu baik-baik saja?" Kara mengusap punggung sang putri. Emily menoleh dengan mata berkaca-kaca. Tidak ada senyum di wajahnya. Meski demikian, ia tetap mengangguk. "Aku baik-baik saja, Mama. Russell ataupun Rylee, aku tetap menyayangi adik kecil." Suaranya serak. Di ujung kalimat, Emily cepat-cepat mengulum bibirnya. Kara pun mengecup kepala sang putri dan memberinya pelu
Belum sempat Barbara bicara, Emily mengacungkan telunjuk seperti seorang murid hendak meminta izin kepada guru. "Bibi, bisakah Bibi memberiku adik perempuan? Aku janji tidak akan menangis kalau ternyata anak Bibi juga laki-laki. Tapi, bisakah Bibi berusaha? Mungkin menanam adik bayi ada aturannya. Harus dimasukkan seberapa dalam atau disiram berapa banyak? Seperti Nenek Susan menanam tanaman di rumah kaca."Semua orang tertawa geli mendengar permintaan Emily. Barbara sampai kehabisan kata-kata. Pipinya bersemu merah karena malu. "Madu Kecil," Kara mengelus pipi Emily, "kita tidak bisa mengaturnya begitu. Itu takdir dari Tuhan." "Apakah tidak bisa diusahakan?" Emily menggeleng tipis. "Tidak, Sayang."Sebelum pundak si gadis mungil kembali terkulai, Barbara menempatkan sebelah tangan di sisi mulutnya. "Ssst, Emily .... Sebetulnya, aku juga berharap kalau anakku perempuan. Bagaimana kalau kita berdoa bersama? Siapa tahu, Tuhan mengabulkannya. Tapi kalau tidak terkabul, kau jangan kece
"Apakah ini kursi lipat untuk berkemah yang didesain khusus untuk anak-anak?" seru Louis dengan mata berbinar. Emily di sampingnya ikut mendongak menanti jawaban. Wajahnya tak kalah terang. Barbara tersenyum bangga melihat respons itu. Sambil tertawa kecil, ia mengangguk. "Ya, dengan nama kalian tercetak pada kain sandarannya.""Wah, ini sangat keren! Terima kasih, Paman Philip, Bibi Barbara." "Ya, terima kasih, Paman, Bibi." Sementara Emily memeluk Barbara sekali lagi, Louis sibuk menarik kursi pink keluar dari kotak. "Emily, ini kursimu!" "Kau mau langsung mencobanya?" Emily membantu Louis membentang kursi agar bisa diduduki. "Ya! Kita harus berfoto dengan Paman dan Bibi sambil duduk di sini," ujar Louis, penuh semangat. Ia tidak peduli kalau jas kecil di tubuhnya membuatnya sulit bergerak. Namun, ketika mendapati kursi miliknya, geraknya tertahan. Matanya berkedip-kedip melihat kain tebal anti air tempat namanya tercetak. "Paman, Bibi, apakah kalian lupa? Warna kesukaanku ada
"Halo, Brandon. Selamat datang di acara kami," Louis menjabat tangan teman sekelasnya. "Halo, Louis. Selamat ulang tahun. Semoga kamu panjang umur dan sehat selalu," ucap bocah berambut pirang itu sambil sesekali melirik Emily. "Terima kasih, Brandon. Apakah kau datang seorang diri?" Brandon mengangguk. "Ya, orang tuaku harus menghadiri acara lain. Jadi, hanya sopir yang mengantarku kemari." Selang satu kedipan, Brandon menyodorkan tangannya kepada Emily. "Selamat ulang tahun juga, Emily. Kau cantik sekali malam ini." Emily menjabat tangan Brandon dengan senyum manis. "Terima kasih, Brandon. Kamu juga terlihat keren malam ini. Jas itu cocok denganmu." Brandon tersipu malu. Bibirnya berkedut menahan gejolak kegembiraan dalam dada. "Terima kasih, Emily. Aku sengaja meminta Mama-ku untuk mencari setelan terbaik demi tampil keren di acara ini." "Mama-mu punya selera fashion yang bagus," Emily mengangguk-angguk sebelum melirik ke samping. "Louis, kurasa nanti kau harus mencoba dasi
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum