Setelah keluar dari kamar Chris, Wilson merasa perlu untuk menyelidiki latar belakang seseorang lebih dalam. Ia mencabut ponselnya dari saku celananya, menekan beberapa tombol, lalu menempelkan ponsel itu di telinganya. "Selidiki siapa istri Markus Salveston!" perintah Wilson dengan tegas, sebelum segera memutuskan sambungan. Dalam hatinya, ia berpikir, "Walau memiliki bekas luka, tapi bukan berarti Viyone adalah Bella Salveston." Tak lama kemudian, ponselnya bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Wilson segera mengangkatnya. "Hallo," sahut Wilson dengan suara berat. "Bos, mereka sudah mengakui siapa dalang utamanya," jawab Steven, yang sedang bertugas di markas mereka. Setelah mendengar laporan Steven, Wilson memutuskan panggilannya."Sandez, Ternyata kau adalah orangnya, Kalau begitu aku juga tidak akan ragu membunuhmu!" gumamnya.Keesokan harinya.Vic berlarian di halaman rumah sambil memegang pistol air. Anak kecil itu menembak ke segala arah, membuat suara pistol air terde
Vic yang mendengar suara ibunya, ia pun langsung menghentikan aksinya," Mama!" teriaknya yang berlari ke menghampiri Viyone.Wanita itu kesal karena tubuhnya yang telah basah kunyup," Ahhh....""Vic, kenapa nakal sekali? Siapa yang menyuruhmu melayani tamu seperti ini?" tegur Viyone dengan nada tegas.Vic melirik tajam pada wanita itu," Bibi ini berniat jahat!" Wanita itu terlihat kesal dan tanpa basa-basi langsung membentak Viyone, "Apakah kamu adalah ibunya? Kalau tidak bisa mengajar anakmu kenapa kamu melahirkan dia?" Viyone terkejut dengan nada bicara wanita itu, namun sebelum ia sempat menjawab, Vic yang merasa mamanya diperlakukan tidak adil langsung menjawab"Jangan bersikap kurang ajar dengan mamaku!" bentak Vic sambil mendorong wanita itu dengan kedua tangan mungilnya. Wanita itu terkesiap, dan Viyone buru-buru menghentikan putranya. "Vic, cepat minta maaf!" titah Viyone sambil menatap Vic dengan tatapan tegas. "Aku tidak salah, Ma. Dia yang datang dengan niat jahat," jawa
Vic yang telah berada di kamarnya, menangis tanpa henti. Air mata mengalir deras di pipinya, menyebabkan wajahnya memerah dan bengkak. Ia berguling-guling di atas kasur, melempar bantal dan gulingnya ke sembarangan arah dalam kekalutan hatinya. Luis berdiri di depan pintu kamarnya, sementara Chris berdiri di ujung tempat tidur aidknya itu. Mereka hanya termenung, melihat ulah putra kedua Wilson yang tak bisa diredakan kesedihannya. Mereka merasa binggung tak tahu harus berkata apa untuk menghibur Vic. "Apakah bisa diam, kenapa menangis terus? Lagi pula dia yang ditembak olehmu. Kenapa kamu yang menangis?" tanya Chris dengan nada kesal, mencoba menggugah kesadaran Vic. Vic bangkit dan duduk sambil mengusap air mata yang masih mengalir. Dalam suara tersekat-sekat, ia menjawab, "Kata-katanya sangat menusuk hatiku. Dengan bangganya dia memberitahu aku ingin menjadi ibu tiriku. Aku merasa terluka dan tak bisa menerima kenyataan ini." Mendengar penjelasan Vic, Luis pun berusaha menenang
Malam itu berlalu begitu saja, Wilson masih terjaga hingga larut malam. Ia mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya. Namun, semakin ia mencari, semakin bingung dan terpuruk ia dalam dilema. Akhirnya, Wilson memutuskan untuk menyandarkan punggungnya di kursi besarnya memejamkan matanya sejenak.Pagi itu, langit masih mendung ketika si kembar, Chris dan Vic, tiba-tiba menangis dengan keras seolah terjadi sesuatu yang menakutkan. Wilson yang sedang berganti pakaian di ruang ganti langsung menghampiri kedua buah hatinya yang menangis histeris. "Chris, Vic, ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba menangis? Apa kalian sedang sakit?" tanya Wilson yang duduk di tepi kasur, mencoba meredakan kepanikan yang melanda anak-anaknya. Air mata mengalir deras dari kedua mata anaknya, membuat wajah mereka memerah dan basah oleh butiran-butiran air mata. Chris dan Vic langsung memeluk ayahnya dengan erat, seolah mencari perlindungan dari sesuatu yang menakutkan. "Jangan takut, papa ada di sini!" b
Sandez berdiri tegak di tengah ruangan markas yang diterangi cahaya remang-remang, dikelilingi oleh anggota gengnya yang setia. Tawa keras mereka menggema di seluruh ruangan, merayakan kemenangan mereka atas musuh bebuyutan mereka, Wilson Zavierson. Mereka semua terlihat puas, terutama Sandez yang tersenyum lebar hingga menampakkan gigi putihnya yang mengkilap. Ia melihat ke sekeliling ruangan, menatap wajah-wajah anggotanya yang penuh kebanggaan dan kegembiraan. "Akhirnya dia mati juga," kata Sandez dengan nada sombong, lalu melanjutkan, "Besok kita akan menyusun strategi untuk merebut kekuasaan markas Dragon." Anggota gengnya mengangguk sambil menjawab, "Baik, Bos." Mereka semua terlihat semangat, siap mengikuti perintah Sandez untuk menguasai markas yang selama ini dikuasai oleh Wilson Zavierson. "Wilson Zavierson yang ditakuti sudah tewas sehingga tubuhnya sudah tak tersisa. Markas dan mansionnya juga harus aku rebut," ucap Sandez dengan penuh ambisi. Matanya bersinar penuh ke
Viyone terlihat gelisah, berjalan bolak-balik di depan halaman rumahnya, tangannya sesekali mengepal dan menatap langit yang semakin gelap. "Apakah Wilson terjadi sesuatu?" gumam Viyone dengan nada khawatir.Sementara itu, Chris dan Vic bersembunyi di balik semak-semak, mengintip dari sisi lain. Vic mengerutkan kening dan bertanya pada kakaknya, "Kakak, kenapa Mama gelisah dan tidak bisa duduk diam? Apakah itu tandanya sudah menjelang monopause?" Chris mendengus kesal, "Yang benar adalah menopause, dan jangan bicara sembarangan! Lagipula, Mama belum cukup umur untuk itu.""Kenapa Kakak bisa tahu kalau mama belum cukup umur?" tanya Vic yang penasaran."Kata mama sebelum kita sekolah kita harus belajar sendiri di rumah. Agar saat di sekolah kita tidak binggung dan takut,"jawab Chris. Lalu Vic kembali bertanya dengan rasa penasaran, "Lalu, kenapa Mama dari tadi seperti belut kepanasan, seperti berendam lama dalam es batu?" " Chris menghela napas, mencoba menjelaskan pada adiknya, "Mun
Mike memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang sangat penting, "Bos, selama ini kita mencari Bella Salveston. Ternyata dia adalah kakak ipar. Apa rencana Bos setelah ini?"Wilson diam sejenak, bersikap tenang, dan menatap kejauhan, seolah-olah merenungkan sesuatu yang sangat dalam. Tidak tahu apa yang dia pikirkan, akhirnya Wilson membuka suara dengan nada pelan, "Aku membenci Bella setiap kali memikirkan kematian orang tuaku. Kebencian itu begitu mendalam, hingga aku bertekad untuk menemukannya dan menuntut keadilan. Namun, setelah aku tahu bahwa Bella adalah Viyone, wanita yang telah menjadi bagian penting dalam hidupku, semua kebencianku langsung hilang. Aku tidak pernah membayangkan bahwa orang yang kucari-cari selama ini adalah dia."Wilson menghela napas panjang, tampak berat untuk melanjutkan. "Pertanyaannya sekarang adalah... Apakah aku bisa menganggap tidak terjadi apa-apa dan menjalani kehidupan yang bahagia bersamanya? Bisakah aku memaafkan masa lalunya dan menerima ken
Malam itu, Wilson duduk termenung di sudut ruangan yang gelap. Ia meneguk beberapa gelas minuman favoritnya, mencoba melupakan beban yang menekannya. Wajahnya yang penuh kelelahan dan lesu terlihat jelas saat ia mengusap kasar dengan tangan gemetar. Sambil merenung, Wilson mengeluarkan sebatang rokok dari saku dan menyalakannya. Asap yang keluar dari mulutnya perlahan bercampur dengan aroma minuman beralkohol yang ada di atas meja. Wilson, yang terkenal tenang, lebih memilih untuk menyendiri saat ini agar bisa meresapi segala perasaan dan pikiran yang menghantui pikirannya. Dalam keheningan malam, Wilson bergumam pelan, "Bella Salveston, Viyone Florencia. Kenapa kami harus dipertemukan dalam situasi seperti ini? Bagaimana jika suatu saat nanti aku terpaksa membunuh ayahnya dengan tangan sendiri?" Ucapan itu keluar dengan perasaan bercampur aduk antara penyesalan, amarah, dan ketakutan. Wilson menarik nafas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang melanda. Minuman beralkohol yang