“Ma.”Evan baru saja sampai rumah dan kini langsung menghampiri Margaret yang juga baru menginjakkan kaki di teras.Margaret menoleh, memandang Evan yang kini berjalan ke arahnya meski sedikit tertatih sebab kaki Evan belum sembuh sempurna.“Ada apa, Van. Kenapa kamu terlihat terburu-buru seperti ini? Apa ada masalah?” tanya Margaret yang cemas.Evan akhirnya sampai di hadapan Margaret, hingga kemudian menyampaikan apa yang diketahuinya.“Paman sudah ditangkap polisi,” ucap Evan.Margaret terkejut mendengar informasi yang disampaikan Evan, tapi kemudian bersikap tenang dan biasa saja.“Baguslah, sudah selayaknya dia menerima hukuman atas apa yang sudah dilakukannya,” ucap Margaret yang tidak ingin menggunakan hati dalam menghadapi masalah sang kakak.Sudah cukup Margaret berbaik hati selama ini, nyatanya sang kakak malah semakin menjadi-jadi dalam bertindak buruk ke keluarganya.“Satu lagi, Ma.” Evan sedikit ragu menyampikan berita kedua ke sang mama.Margaret mengerutkan alis menatap
“Jadi sekarang pamanmu ditahan dan akan menjalani proses hukum yang berlaku?” tanya Renata ketika malam itu dihubungi Evan.“Ya, akhirnya.” Terdengar suara helaan napas lega dari seberang panggilan.Renata pun lega karena akhirnya masalah dari keluarganya juga keluarga Evan berakhir.“Aku ikut lega, semoga setelah ini tidak lagi ada masalah baik di keluargaku atau keluargamu. Aku berharap kita bisa berkumpul lagi seperti dulu, anak-anak pun menginginkannya,” ujar Renata menjelaskan keinginannya.“Iya, Papa! Dhira mau tinggal seperti dulu!” Dhira ikut bicara karena tahu Renata sedang bicara dengan Evan.Renata pun memberikan ponsel ke Dhira dan Dharu agar kedua anaknya bisa bicara dengan Evan.“Ya, nanti kita pasti akan tinggal bersama seperti dulu. Papa akan selesaikan semua pekerjaan, lalu menyusul kalian,” ujar Evan dari seberang panggilan.“Ya, janji segera datang,” ucap Dhira yang lebih banyak bicara daripada Dharu.“Papa janji. Kalian baik-baik di sana dan jaga Mama,” ucap Evan k
Hari itu, Renata, Veronica, juga Sandra menghadiri acara persidangan Kevin, mereka sengaja tidak membawa anak-anak ke pengadilan karena tidak ingin memberikan pengalaman buruk untuk anak-anak.Persidangan berjalan lancar. Kevin mengakui semua perbuatannya tanpa terkecuali. Namun, berkas tuduhan pembunuhan berencana terhadap kedua orang tua Renata tidak dimasukkan, sebab Renata ingin melupakan masalah itu.“Terima kasih sudah meringankan tuntutanku,” ucap Kevin saat ditemui di ruang khusus tunggu setelah sidang.Renata menatap sang paman yang kini sudah berubah, tidak lagi sombong dan mau mengakui semua kesalahan.“Paman sudah mendapat kesempatan kedua. Bersikaplah baik di penjara, agar nantinya bisa mendapatkan pemotongan masa hukuman lagi. Kelak jika Paman sudah bebas, jadilah pria baik yang bertanggung jawab,” ujar Renata ke Kevin.Kevin mengangguk dengan tatapan haru karena semua orang memaafkan dirinya.“Jaga Adam dengan baik,” ucap Kevin ke Sandra.Sandra menganggukkan kepala mem
Renata masih terlelap dalam tidur, larut dalam buaian mimpi setelah seharian merasakan kesal yang bercokol di dada. Dia benar-benar tidur nyenyak, sampai tidak menyadari jika kini ada seseorang yang masuk kamarnya, berjalan mengendap ke ranjang hingga sekarang duduk di tepian ranjang, tepai di samping Renata berbaring.Pencahayaan yang remang karena hanya menyalakan lampu tidur, membuat orang yang masuk kamar tidak terlihat wajahnya. Orang itu mendekatkan wajah ke arah Renata, menatap lamat-lamat wajah Renat.“Selamat ulang tahun, Re.”Orang itu ternyata Evan. Pria itu masuk di tengah malam, mengendap tanpa menyalakan lampu dan kini berbisik mesra mengucapkan selamat ulang tahun di hari kelahiran sang istri.“Re.” Evan kembali berbisik agar Renata bangun.Renata sedikit menggerakkan kelopak mata ketika mendengar suara seseorang berbisik di telinga, belum lagi ada udara hangat yang menerpa leher, membuat bulu kuduknya berdiri.“Re.” Evan kembali menyebut nama Renata dengan lembut, saat
Evan masih terus memagut bibir Renata. Menyesap berulang kali bibir tak bertulang milik istrinya itu. Bahkan kini mendorong pelan tubuh Renata, membuat wanita itu berbaring terlentang dengan dirinya di atas.Mereka masih saling memagut, bahkan napas mereka terdengar memburu satu sama lain. Evan melepas pagutan bibir untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, begitu juga dengan Renata.Renata menatap Evan dengan dada naik turun tak beraturan sebab paru-paru sempat kehabisan oksigen. Dia menatap Evan yang ada di atas tubuhnya, melihat betapa tampannya suami yang sangat dirindukan.“Aku juga sangat merindukanmu, Re.” Evan bicara dengan napas yang tersengal, belum lagi gairah kini memuncak saat tubuh mereka saling bersentuhan.Evan memandang Renata yang mengulas senyum. Satu tangan menyingkirkan helaian rambut yang sedikit menutup wajah Renata.“Kalau begitu, obati rasa rindu ini agar tidak terus menyiksa dan membuatku ingin uring-uringan,” ucap Renata menyelipkan sedikit nada candaan di
“Kita sebenarnya mau ke mana?” tanya Renata keheranan.Evan benar-benar mengajak Renata pergi tanpa anak-anak. Bermaksud menghabiskan waktu berdua setelah lama keduanya sibuk dengan urusan masing-masing.“Ikut saja dan lihat kejutan yang sudah aku siapkan,” jawab Evan sambil terus mengemudi.Renata menatap suaminya yang menyetir sambil tersenyum, benar-benar tidak tahu kejutan apa yang sudah disiapkan suaminya. Evan pun masih tidak mau memberitahu meski Renata memaksa, bahkan memberi alasan ke anak-anak jika mereka harus mengurus bisnis, padahal mau liburan.“Aku cemas anak-anak akan kesepian di rumah,” ucap Renata sambil memperhatikan jalan yang mereka lewati.“Ada Sandra dan Oma, sekarang mereka juga sedang senang bersama Adam. Aku yakin jika mereka tidak akan kesepian,” balas Evan santai.“Dari mana kamu tahu?” tanya Renata sambil menatap Evan dengan kepala sedikit dimiringkan.“Ya, pasti tahu. Dhira sendiri yang bilang betah di sana karena ada Adam,” jawab Evan sambil menoleh seki
Evan mengajak Renata masuk ke kabin kamar mereka. Saat pintu dibuka, Renata benar-benar terkejut dengan isi kamar itu.Bagaimana tidak terkejut, kamar itu dihias sedemikian rupa. Bunga bertabur di atas ranjang yang dipasang sprei putih. Lilin terapi dengan aroma lavender menyeruak di hidung tatkala baru saja menginjakkan kaki di kamar. Ada ember berisi sampanye juga hidangan yang sudah tersaji di atas meja berbentuk bulat di dekat jendela.“Kamu yang meminta untuk menyiapkan ini semua?” tanya Renata terkagum-kagum.“Tentu saja,” jawab Evan sambil mengunci pintu.Renata masih menatap takjub tak percaya, hingga merasakan dua lengan kekar melingkar di perut, bahkan Evan menyandarkan kepala di pundak Renata.“Anggap ini ganti bulan madu kita. Setelah menikah, aku belum bisa mengajakmu berlibur, jadi anggap ini gantinya, hm ….” Evan mengecup pipi Renata setelah selesai bicara.Renata tersenyum mendapat perlakuan manis dan banyak kejutan dalam sekali waktu dari Evan. Dia memeluk kedua lenga
“Apa ada masalah? Sampai-sampai kami harus menghubungimu saat baru saja kembali?” tanya Evan sambil menatap Stef yang duduk berhadapan dengannya.“Ya, ga langsung menghubungi juga. Besok juga ga papa, aku mau menghubungi takut mengganggu, yang ada nanti terkena amukanmu,” balas Stef dengan santainya.Tentu saja ucapan Stef membuat Evan mendelik kesal. Bisa-bisanya sepupunya berkata dengan santai, sedangkan dia dan Renata sudah cemas terjadi sesuatu.“Kamu ini! Kami mencemaskanmu, tapi jawabanmu membuat kesal!” geram Evan yang hampir saja melempar serbet ke muka Stef.Renata menggenggam telapak tangan agar sabar, sungguh kakak dan adik sepupu ini kalau bertemu selalu saja bertengkar.“Aku sudah baik tidak menghubungi kalian karena tidak mau mengganggu liburan kalian. Bukankah wajar jika aku menitip pesan, karena memang ada yang ingin aku bahas. Ya, meski tidak harus langsung saat kalian baru datang juga,” ujar Stef menjelaskan.Evan benar-benar kesal dengan tingkah Stef, sepupunya itu