Hari pernikahan Stef dan Mely pun tiba. Ballroom hotel dijadikan pilihan untuk mengadakan pesta pernikahan. Ruangan besar itu kini sudah penuh dengan kursi, meja berisi kaviar juga ada panggung mini tempat hiburan para tamu akan disuguhkan.“Re.”Renata menoleh saat mendengar suara Kasih, lantas tersenyum melihat Kasih menghampiri bersama Dean.“Bagaimana kabarmu?” tanya Kasih yang sudah sangat lama tidak bertemu Renata.Evan juga menyapa Dean, sahabat, saudara, juga pria yang pernah jadi saingan cintanya.“Baik, Kak.” Renata memeluk Kasih.Kasih melepas pelukan kemudian melirik ke perut Renata.“Sudah berapa bulan?” tanya Kasih sambil mengusap perut Renata.“Sudah enam bulan,” jawab Renata melirik tangan Kasih yang sedang mengelus perutnya.“Pasti menyenangkan sudah sebesar ini dan tinggal menunggu dia lahir,” ujar Kasih bahagia melihat Renata hamil.“Kak Kasih juga sebentar lagi nyusul,” balas Renata.“Sudah, baru 3 bulan,” jawab Kasih lantas mengelus perutnya.Renata terkejut tapi
Sudah sebulan semenjak Stef dan Mely menikah. Renata kembali menjalankan harinya di rumah sang mertua. Menikmati setiap detik waktu yang dimiliki untuk menjaga kondisi tubuh dan janinnya.“Re, mama masak udang. Kamu mau makan duluan?” tanya Margaret menghampiri Renata yang sedang menonton televisi.“Mama masak udang?” tanya Renata terlihat senang.“Iya,” jawab Margaret, “kalau kamu mau makan dulu, makan saja. Takutnya kamu sudah lapar dan pengen duluan sebelum anak-anak pulang,” ujar Margarete kemudian.Renata mengangguk setuju. Dia suka udang dan akhir-akhir ini memang sering meminta olahan udang.Margaret berjalan menuju ruang makan bersama Renata. Usia kandungan Renata sudah besar dan perutnya tampak membulat sempurna.“Duduk pelan-pelan.” Margaret sangat perhatian ke Renata. Dia benar-benar memanfaatkan momen memberi perhatian ke menantunya itu.Renata senang mendapat perhatian dari Margaret. Seperti dia mendapat perhatian dari ibunya sendiri.“Mama masak ini khusus, ga terlalu pe
Hari di mana Renata, Evan, dan anak-anak pergi berlibur pun tiba. Semua persiapan sudah dilakukan, termasuk sebelumnya berkonsultasi ke dokter soal kesehatan Renata sebelum mereka pergi.“Ingat, jaga makanan kalian. Kalau ada apa-apa hubungi kami,” ujar Margaret saat Renata berpamitan untuk liburan.“Mama tenang saja. Kami akan bersenang-senang dan mengingat pesan Mama,” ucap Renata agar mertuanya tenang.Margaret memeluk Renata sejenak meski terhalang perut menantunya yang sudah mulai besar.“Jaga Renata dan anak-anak dengan baik ya, Van.” Margaret pun tak lupa mengingat putranya.“Mama jangan cemas, di sana kami akan menikmati liburan tanpa gangguan,” ujar Evan meyakinkan sang mama.Margaret dan Edward mengantar sampai depan rumah. Dhira dan Dharu terlihat sangat senang karena akan liburan bersama keluarga.“Kami pergi dulu.” Evan berpamitan sebelum masuk mobil.Margaret mengangguk dan melambai ke anak-anak yang sudah duduk di kursi belakang.Evan dan Renata akan menempuh perjalanan
Semua orang bahagia melihat Renata di sana. Sampai-sampai mereka tidak memperhatikan perut Renata yang besar, apalagi wanita itu memakai pakaian over size karena lebih nyaman.“Re, dia siapa?” tanya salah satu ibu.Renata menoleh Evan, melihat suaminya itu mengangguk sopan untuk memberi hormat ke wanita-wanita paruh baya itu.“Itu suamiku, Bi. Lihat ini.” Renata memperlihatkan perutnya yang besar.“Oh … astaga, kenapa kami tidak sadar karena terlalu senang.” Ibu-ibu itu terkejut bersamaan tapi juga senang.Renata memberi isyarat agar Evan mendekat. Dia memperkenalkan suaminya itu.“Ya ampun, suamimu tampan sekali. Kok mirip Dharu, ya?” Salah satu ibu itu menyadari kemiripan Evan dan Dharu.Renata menahan tawa, lantas menoleh Evan yang salah tingkah.“Dia ayah kandung Dhira dan Dharu, Bi.” Renata menjelaskan dan semua para wanita itu terkejut.“Nanti kujelaskan, sekarang aku capek, Bi. Kakiku pegal.” Renata mengeluh manja ke para wanita yang sangat baik kepadanya itu.“Ya Gusti, kita i
Malam itu, depan rumah yang ditempati Renata dan Evan cukup ramai. Para warga berkumpul di sana untuk menyambut kedatangan Evan dan Renata. Mereka berkumpul sambil membakar jagung, singkong, bahkan ikan hasil tangkapan dari sungai.“Apa di kota masih ngajar biola?” tanya salah satu warga sambil memberikan jagung bakar ke Renata.“Sudah tidak,” jawab Renata.“Oh … suamimu kerja apa?” tanya wanita itu kemudian.Renata menoleh Evan, melihat suaminya yang sedang membaur dengan para pria yang berkumpul di sana. Meski Evan sulit berbaur dengan orang banyak, tapi Renata bangga karena Evan mau berusaha agar tidak menyinggung warga.“Dia mengelola sebuah bisnis, Bi.” Renata menjawab kemudian memakan jagung bakar yang tadi diberi wanita itu.“Bisnis apa? Kalau dilihat-lihat, sepertinya dia juga bukan orang biasa,” ujar wanita lain.“Betul, penampilannya saja sudah beda ga kayak kita,” timpal yang lain.Renata mengulum senyum dan kembali menoleh Evan, sebelum akhirnya menatap para ibu yang bersa
Evan masih memeluk selimut. Udara pagi semakin dingin, semalam tidur terlambat membuatnya enggan bangun di pagi hari.Suara berisik di luar rumah terdengar, Evan semakin memeluk selimut sambil meringkuk untuk menghindari hawa dingin semakin menusuk kulit.“Re.” Evan meraba sisi ranjang, tapi tidak mendapati Renata di sisinya.Dia mencoba membuka kelopak mata meski rasanya berat. Evan tak melihat Renata di ranjang, membuatnya bangun dan mengedarkan pandangan di seluruh ruangan.“Re.” Evan kembali memanggil tapi tak mendengar balasan dari Renata.Evan pun mencoba bangun meski rasanya berat karena hawa dingin yang membuatnya mengantuk. Namun, dia tidak bisa tidur jika tak tahu istrinya di mana.Dia keluar kamar, lantas masuk kamar anak-anak. Evan tidak mendapati anak-anak di kamarnya, menandakan jika Renata dan yang lain sudah bangun lebih awal.“Eh … kamu sudah bangun. Mau kopi?” Renata baru saja datang bersama Dhira dan Dharu. Dia melihat Evan yang sedang menengok ke kamar anak-anak.“
Setelah beberapa hari berada di kampung tempat Dhira dan Dharu lahir. Renata dan Evan pun memutuskan kembali karena jatah Evan libur sudah habis.“Kalau ada waktu lagi, datang kemari ya, Re.” Nenek pemilik rumah berpamitan dengan Renata.“Iya, pasti akan ke sini lagi,” balas Renata sambil mengusap punggung sang nenek yang sedikit memeluknya.“Jaga kesehatan. Semoga nanti lahirannya lancar seperti Dhira dan Dharu,” ujar salah satu ibu.Renata mengangguk-angguk mendengar setiap doa yang diucapkan para ibu di sana secara bergantian.Selain berpamitan dengan Renata dan Evan, para ibu itu juga merasa berat berpisah dengan Dhira dan Dharu. Bagaimanapun mereka dulu ambil andil dalam menjaga anak kembar itu.“Kalau liburan sekolah main ke sini.”“Iya, terus kalau besok besar juga jangan lupa sama nenek-nenek di sini,” timpal yang lain.Dhira mengangguk mantap mendengarkan ucapan para nenek, sedangkan Dharu mengangguk pelan.“Nenek jangan cemas. Dhira ga akan lupa kok sama nenek semua. Dhira ‘
“Evan tidak jemput?” tanya Margaret saat Renata pamit ingin ke rumah sakit untuk kontrol.“Ga, Ma. Dia masih ada pekerjaan, jadi aku pergi sendiri,” jawab Renata yang siap pergi.Hari itu Renata harus kontrol sesuai dengan jadwal. Evan sudah menghubungi jika tidak bisa datang, membuat Renata memutuskan pergi sendiri.“Mau mama antar?” tanya Margaret tidak tega melihat Renata pergi sendiri.“Dhira dan Dharu jam setengah 2 pulang, Ma. Bantu jemput mereka saja, aku bisa kok pergi sendiri. Mama jangan cemas,” jawab Renata yang tak ingin menambah beban sang mama lebih banyak.“Kamu yakin?” tanya Margaret memastikan.“Iya, Ma. Aku ga masalah kok. Mama tenang saja, ya.”Renata pun pergi setelah meyakinkan Margaret. Dia diantar sopir rumah menuju rumah sakit.Sopir mengemudikan mobil dengan hati-hati, sesuai instruksi Evan yang meminta agar menjaga Renata dengan baik dan tidak kebut-kebutan saat menuju ke rumah sakit demi keselamatan.“Pak, bisa mampir beli rujak? Ini masih satu jam lagi, dok