Firda sedang berkumpul bersama teman sosialitanya, tentu saja membahas harta juga beberapa gosip yang sedang beredar.“Jadi, apa benar kalau keponakanmu memang melakukan pelecehan ke beberapa wanita?” tanya seorang teman Firda.“Iya, aku juga baca beritanya. Katanya dia juga menghilang ga ada kabar, bahkan orang tuanya juga katanya ikut menghilang,” timpal yang lain.“Tidak menyangka sekali jika keluarga terhormat, bisa dibilang juga disegani, malah kelakuannya begitu,” imbuh yang lain.Firda menahan senyum mendengar semua orang menghina dan mencaci keluarga Margaret. Namun, dia juga tak lantas langsung menunjukkan jika senang, berusaha bersikap baik dengan membela, agar tidak ada yang menyebutnya jahat.“Aku juga tidak tahu. Aku saja syok mendengar berita itu. Selama ini keluarga adik iparku itu sangat tertutup, mereka sama sekali tidak pernah menganggap suamiku sebagai kakak mereka, karena itu berita yang beredar membuat aku dan suamiku sangat tidak percaya,” ujar Firda berpura-pura
Stef pergi ke perusahaan Renata untuk menemui Mely sesuai janji. Dia sudah sampai di perusahaan dan ingin masuk lift, hingga bertemu dengan salah satu teman dari divisi Mely.“Anda ingin menemui Mely?” tanya staf yang baru saja keluar dari lift.“Iya, benar. Apa dia masih di atas?” tanya Stef sambil menunjuk ke lift.“Mely sudah ke kantin sejak tadi. Mungkin masih di sana,” jawab rekan kerja Mely menunjuk ke arah kantin.Stef menoleh ke arah staf itu menunjuk. Dia mengangguk dan berucap, “Oh ya, terima kasih.”Stef pun memutar arah dan pergi ke kantin. Sesampainya di sana mencari keberadaan Mely tapi tidak juga ditemukan. Dia mengedarkan pandangan, tapi masih tidak ada tanda-tanda keberadaan Mely di tempat itu.“Pak Stef!” Teman Mely yang tadi mengajak makan, melambaikan tangan ke Stef.Stef melihat staf yang mengaku dekat dengan Mely melambai ke arahnya. Dia pun memilih mendekat untuk bertanya di mana Mely berada.“Pak Stef nyari Mely? Dia tadi ke kamar kecil karena pakaiannya ketump
Damar berada di rumah. Tatapannya tertuju ke layar televisi yang sedang menyiarkan sebuah berita. Ekspresi wajahnya terlihat sejak jika tidak senang, bahkan tangan sampai menggenggam erat gelas yang dipegang.“Dia benar-benar ingin bermain-main denganku.”Damar sedang melihat berita tentang klarifikasi Evan di rumah sakit. Bahkan klarifikasi keberadaan dan kondisinya sekarang diperkuat oleh pernyataan dokter jika Evan mengalami cidera.Damar meletakkan gelas di atas meja dengan kasar. Dia benar-benar tidak bisa menerima Evan yang melakukan perlawanan.Damar mengambil ponsel, lantas menghubungi seseorang.“Jalankan rencana B. Aku tidak mau tahu bagaimanapun caranya, kamu harus bisa menjatuhkannya!”Damar mengakhiri panggilan setelah memberi perintah. Dia akan terus berusaha menjatuhkan Evan, sampai keponakannya itu mundur dari dunia bisnis.**Stef menunggu sampai Mely di klinik sampai kondisi benar-benar pulih.“Apa yang sebenarnya tadi terjadi? Kenapa kamu bisa terkunci di kamar mand
Sore itu Evan pun sudah diperbolehkan pulang. Renata sudah mengemas barang Evan sambil menunggu sopir datang.“Tadi, apa yang kamu katakan ke Dhira, sampai dia terlihat sangat senang?” tanya Evan penasaran.Renata sedang mengecek tas, lantas menoleh ketika mendengar pertanyaan Evan.“Tidak ada, hanya mengucapkan hal kecil yang bisa membuatnya senang,” jawab Renata sambil tersenyum hingga kedua mata menyipit.“Main rahasia dariku?” tanya Evan yang cemburu jika tidak tahu apa saja yang dibicarakan oleh dua wanita tercintanya itu.Renata tertawa melihat Evan curiga dan cemburu. Dia lantas mendekat dan duduk berhadapan dengan suaminya.“Hanya memberi pengertian soal posisi kakak ke Dhira. Dia ingin jadi kakak Dharu, tapi jelas itu tidak mungkin. Jadi, aku mencoba memberinya kesempatan dengan cara lain,” ujar Renata menjelaskan.“Kesempatan dengan cara lain? Maksudnya?” tanya Evan bingung.“Hei, Pak Evan Danantya, apa kamu tidak berniat memberi Dhira dan Dharu adik, apa mereka saja sudah c
Mely benar-benar tidak tahu mau diajak ke mana, hingga mobil yang dikemudikan Stef masuk ke halaman luas sebuah rumah besar, membuat Mely semakin panik dibuatnya.“Stef, ini rumah siapa?” tanya Mely panik karena tidak berani menebak.Stef hanya menoleh Mely tanpa menjawab. Pria itu hanya tersenyum memandang Mely, sebelum kemudian memarkirkan mobil tepat di depan garasi.“Stef.” Mely benar-benar panik jika dugaannya benar.“Apa? Tidak usah bingung. Ayo turun!” ajak Stef yang sudah mematikan mesin mobil, lantas bersiap untuk turun.Mely bingung harus bagaimana, hingga Stef kembali menoleh ke arahnya.“Kenapa?” tanya Stef sambil menatap Mely yang kebingungan.Andai bisa marah ke pria itu, sudah pasti Mely akan mengamuk Stef yang mengajaknya ke sana.“Ini rumahmu?” tanya Mely memastikan.Stef melongok ke bangunan rumah mewah itu, lantas menjawab, “Secara teori ini rumah orang tuaku.”Mely syok karena dugaannya benar,. Membuat Mely semakin tidak ingin turun dari mobil.“Kenapa membawaku ke
“Paman sekarang berada di penjara, lalu bagaimana dengan Oma?” tanya Renata yang malam itu duduk berdua dengan Veronica.Setelah beberapa hari mengurus Evan di rumah sakit, malam itu Renata memiliki kesempatan bicara dengan Veronica, setelah mengabaikan masalah Kevin karena sibuk merawat Evan.“Kamu mau pergi dari sini?” tanya Veronica sambil menatap cucunya itu. Dia langsung menembak Renata dengan pertanyaan itu, sebab pertanyaan Renata sendiri menjuru ke sana.Renata pun tidak tahu. Keberadaannya di sana membawa banyak masalah. Tanpa sengaja sudah mengacaukan pekerjaan suaminya, meski itu bukan seratus persen kesalahannya.“Aku belum tahu, Oma.” Renata pun tidak tega jika meninggalkan Veronica sendiri.Veronica menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan. Dia menatap Renata yang terlihat bimbang.“Oma tidak bisa melarangmu jika memang mau pergi, lagi pula oma menyadari jika kamu pun sekarang memiliki kehidupan sendiri. Namun, oma pun sebenarnya berharap kamu mau mengelola pe
Mely duduk di tepian ranjang, bingung harus melakukan apa di rumah itu. Dia benar-benar merasa sungkan dan canggung, apalagi ibu Stef terlihat biasa saja. Saat Mely sedang melamun, terdengar suara ketukan pintu kamar, membuatnya terkejut sampai memegang dada. “Mel.” Suara Stef terdengar dari luar. “Ya.” Mely menjawab panggilan dari Stef. Dia pun berjalan menuju pintu, lantas membuka dan melihat Stef berdiri di hadapannya hanya memakai kaus polos hitam dengan celana panjang. “Ayo makan malam,” ajak Stef. Mely tampak canggung dan bingung, hingga menoleh ke kanan dan kiri. “Tidak usah. Aku tidak mau menganggu makan malam kalian. Nanti aku makan di kamar saja,” ujar Mely menolak. Dia hanya tidak ingin jika kedua orang tua Stef beranggapan kalau keberadaannya di sana hanya untuk memanfaatkan Stef saja. Stef menatap Mely, lantas mendekat hingga membuat wanita itu mundur karena terkejut. “Ada apa?” tanya Mely panik sambil menatap Stef. “Tidak ada yang mengganggu. Kamu tamuku jadi su
Damar berada di perusahaan seperti biasa, mengurus perusahaan turun temurun dari keluarga. Hingga pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan, membuat Damar terkejut dan langsung menatap ke arah pitu. “Maaf, Pak. Saya sudah meminta untuk menunggu, tapi beliau memaksa masuk,” ucap sekretaris Damar sambil menatap canggung ke wanita yang baru masuk ke ruangan itu dengan paksa. Ya, siapa lagi yang masuk tanpa permisi jika bukan Margaret. Dia datang ke sana bersama pengacaranya, tentu saja kedatangannya untuk melakukan perlawanan. Damar mengayunkan tangan, memberi isyarat ke sekretarisnya agar keluar dari ruangan. Margaret menatap tajam ke sang kakak. Dia pun mendekat kemudian meletakkan tasnya di atas meja kerja Damar dengan sedikit kasar. Damar terlihat santai, memandang sang adik yang menatapnya tajam. “Kenapa tidak mengabari jika mau ke sini? Jika kamu menghubungiku dulu, aku pasti akan menyiapkan makanan kesukaanmu,” kata Damar berbasa-basi menyambut sang adik yang diyakini datang kar