Sore itu Evan pun sudah diperbolehkan pulang. Renata sudah mengemas barang Evan sambil menunggu sopir datang.“Tadi, apa yang kamu katakan ke Dhira, sampai dia terlihat sangat senang?” tanya Evan penasaran.Renata sedang mengecek tas, lantas menoleh ketika mendengar pertanyaan Evan.“Tidak ada, hanya mengucapkan hal kecil yang bisa membuatnya senang,” jawab Renata sambil tersenyum hingga kedua mata menyipit.“Main rahasia dariku?” tanya Evan yang cemburu jika tidak tahu apa saja yang dibicarakan oleh dua wanita tercintanya itu.Renata tertawa melihat Evan curiga dan cemburu. Dia lantas mendekat dan duduk berhadapan dengan suaminya.“Hanya memberi pengertian soal posisi kakak ke Dhira. Dia ingin jadi kakak Dharu, tapi jelas itu tidak mungkin. Jadi, aku mencoba memberinya kesempatan dengan cara lain,” ujar Renata menjelaskan.“Kesempatan dengan cara lain? Maksudnya?” tanya Evan bingung.“Hei, Pak Evan Danantya, apa kamu tidak berniat memberi Dhira dan Dharu adik, apa mereka saja sudah c
Mely benar-benar tidak tahu mau diajak ke mana, hingga mobil yang dikemudikan Stef masuk ke halaman luas sebuah rumah besar, membuat Mely semakin panik dibuatnya.“Stef, ini rumah siapa?” tanya Mely panik karena tidak berani menebak.Stef hanya menoleh Mely tanpa menjawab. Pria itu hanya tersenyum memandang Mely, sebelum kemudian memarkirkan mobil tepat di depan garasi.“Stef.” Mely benar-benar panik jika dugaannya benar.“Apa? Tidak usah bingung. Ayo turun!” ajak Stef yang sudah mematikan mesin mobil, lantas bersiap untuk turun.Mely bingung harus bagaimana, hingga Stef kembali menoleh ke arahnya.“Kenapa?” tanya Stef sambil menatap Mely yang kebingungan.Andai bisa marah ke pria itu, sudah pasti Mely akan mengamuk Stef yang mengajaknya ke sana.“Ini rumahmu?” tanya Mely memastikan.Stef melongok ke bangunan rumah mewah itu, lantas menjawab, “Secara teori ini rumah orang tuaku.”Mely syok karena dugaannya benar,. Membuat Mely semakin tidak ingin turun dari mobil.“Kenapa membawaku ke
“Paman sekarang berada di penjara, lalu bagaimana dengan Oma?” tanya Renata yang malam itu duduk berdua dengan Veronica.Setelah beberapa hari mengurus Evan di rumah sakit, malam itu Renata memiliki kesempatan bicara dengan Veronica, setelah mengabaikan masalah Kevin karena sibuk merawat Evan.“Kamu mau pergi dari sini?” tanya Veronica sambil menatap cucunya itu. Dia langsung menembak Renata dengan pertanyaan itu, sebab pertanyaan Renata sendiri menjuru ke sana.Renata pun tidak tahu. Keberadaannya di sana membawa banyak masalah. Tanpa sengaja sudah mengacaukan pekerjaan suaminya, meski itu bukan seratus persen kesalahannya.“Aku belum tahu, Oma.” Renata pun tidak tega jika meninggalkan Veronica sendiri.Veronica menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan. Dia menatap Renata yang terlihat bimbang.“Oma tidak bisa melarangmu jika memang mau pergi, lagi pula oma menyadari jika kamu pun sekarang memiliki kehidupan sendiri. Namun, oma pun sebenarnya berharap kamu mau mengelola pe
Mely duduk di tepian ranjang, bingung harus melakukan apa di rumah itu. Dia benar-benar merasa sungkan dan canggung, apalagi ibu Stef terlihat biasa saja. Saat Mely sedang melamun, terdengar suara ketukan pintu kamar, membuatnya terkejut sampai memegang dada. “Mel.” Suara Stef terdengar dari luar. “Ya.” Mely menjawab panggilan dari Stef. Dia pun berjalan menuju pintu, lantas membuka dan melihat Stef berdiri di hadapannya hanya memakai kaus polos hitam dengan celana panjang. “Ayo makan malam,” ajak Stef. Mely tampak canggung dan bingung, hingga menoleh ke kanan dan kiri. “Tidak usah. Aku tidak mau menganggu makan malam kalian. Nanti aku makan di kamar saja,” ujar Mely menolak. Dia hanya tidak ingin jika kedua orang tua Stef beranggapan kalau keberadaannya di sana hanya untuk memanfaatkan Stef saja. Stef menatap Mely, lantas mendekat hingga membuat wanita itu mundur karena terkejut. “Ada apa?” tanya Mely panik sambil menatap Stef. “Tidak ada yang mengganggu. Kamu tamuku jadi su
Damar berada di perusahaan seperti biasa, mengurus perusahaan turun temurun dari keluarga. Hingga pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan, membuat Damar terkejut dan langsung menatap ke arah pitu. “Maaf, Pak. Saya sudah meminta untuk menunggu, tapi beliau memaksa masuk,” ucap sekretaris Damar sambil menatap canggung ke wanita yang baru masuk ke ruangan itu dengan paksa. Ya, siapa lagi yang masuk tanpa permisi jika bukan Margaret. Dia datang ke sana bersama pengacaranya, tentu saja kedatangannya untuk melakukan perlawanan. Damar mengayunkan tangan, memberi isyarat ke sekretarisnya agar keluar dari ruangan. Margaret menatap tajam ke sang kakak. Dia pun mendekat kemudian meletakkan tasnya di atas meja kerja Damar dengan sedikit kasar. Damar terlihat santai, memandang sang adik yang menatapnya tajam. “Kenapa tidak mengabari jika mau ke sini? Jika kamu menghubungiku dulu, aku pasti akan menyiapkan makanan kesukaanmu,” kata Damar berbasa-basi menyambut sang adik yang diyakini datang kar
“Kamu yakin akan pergi besok?” tanya Renata yang pagi itu menemani Evan sarapan.“Iya, aku harus menyelesaikan semuanya segera mungkin,” jawab Evan meyakinkan.Renata masih cemas jika Evan pergi sendiri dengan kondisinya sekarang, tapi dia pun tidak bisa menemani karena ada tanggung jawab yang harus dijalankan.Evan memperhatikan Renata yang terlihat murung, paham jika istrinya itu mencemaskan dirinya.“Aku akan baik-baik saja di sana, kamu jangan mencemaskan apa pun,” ucap Evan menenangkan.“kalau kondisimu baik-baik saja, aku tidak akan mencemaskan apa pun. Tapi sekarang kakimu ….” Renata menjeda ucapannya, lantas menunjuk ke kaki Evan.Evan pun ikut melirik kakinya, lantas kembali beralih menatap Renata.“Ada Albert yang akan menemaniku, tidak usah khawatir dan fokus saja dengan pekerjaanmu di sini,” ujar Evan lagi.Renata mendesau frustasi, menatap Evan dengan ekspresi wajah seolah tidak rela suaminya pergi.“Apa aku ikut saja? Aku akan izin Oma,” ucap Renata kemudian.“Re, Oma se
Stef dan temannya berjalan cepat menghampiri seorang wanita berpakaian minim yang sedang berjalan di bahu jalan sekitar Stef berada.Stef dan temannya menghadang wanita itu dengan cepat, membuat wanita berpakaian sedikit norak itu terkejut dibuatnya.“Siapa kalian?” tanya wanita itu sambil menatap Stef dan pria satunya dengan tatapan waspada.“Ikut dengan kami,” kata Stef, “ada yang perlu aku bicarakan denganmu,” imbuh Stef lagi.Wanita itu awalnya bingung, hingga kemudian tersenyum.“Kalian mau membookingku? Bilang dong, jangan malah bikin terkejut,” kata wanita itu yang bicara dengan nada centil.Stef dan temannya saling tatap mendengar ucapan wanita itu, hingga keduanya bersamaan memandang wanita itu.“Kami tidak mau membooking, tapi jika kamu mau jujur menjawab pertanyaanku, juga mau bekerjasama, aku akan membayarmu,” ujar Stef memberi penawaran.Wanita itu bingung mendengar ucapan Stef, tidak paham kenapa Stef memberi penawaran yang ambigu dan tidak dipahaminya.**Mely berada di
“Benar dia.”Evan menatap ke wanita yang dibawa oleh Stef.Renata pun menatap dan memperhatikan penampilan wanita itu.Stef melirik ke wanita yang dibawanya, wanita panggilan yang delapan tahun lalu menjebak Evan.Wanita itu panik, apalagi ingat jika Evan adalah pria yang pernah dijebaknya meski gagal.“Jangan apa-apakan aku. Aku tidak tahu apa-apa.” Wanita itu langsung berlutut karena takut, bahkan tubuhnya terlihat gemetar.Stef menatap Evan dan Renata yang kesal, tapi tugasnya hanya mencari keberadaan wanita itu. Usahanya meminta tolong ke temannya yang biasa hidup di jalanan ternyata tidak sia-sia.“Jadi kamu ingat dengan apa yang kamu lakukan delapan tahun lalu?” tanya Evan dengan tatapan tajam ke wanita panggilan itu.Tubuh wanita itu gemetar. Dia sudah menghindar selama bertahun-tahun dengan cara menghilang agar tidak ditemukan, tapi ternyata sekarang harus ditemukan oleh Evan.“I-ingat.” Wanita itu menjawab sambil tergagap.Renata menghela napas berulang kali, mencoba menahan