Sudah dua hari Ayumi kembali ke Madrid, bersama dengan kedua orang tuanya ia tinggal kembali dengan mereka. Dan dua hari ini Ayumi malah terpuruk, dia tidak mau makan dan tidak mau melakukan apapun selain menyendiri di dalam kamar, hatinya sangat sakit setelah ia mendengar semua yang Kenzo katakan. Gadis itu menarik selimutnya, ia menutup sekujur tubuhnya. "Kenzi... Bo-bodoh!" Ayumi memukuli bantalnya dan menangis lagi. "Ayumi, Sayang kau sudah bangun?" Suara sang Mami membuat Ayumi kembali menarik selimutnya dan diam di balik selimutnya. Tery tidak akan pernah bisa tenang dengan anaknya yang dia hari ini tidak mau berbicara apapun padanya. "Ayumi... Kenapa Sayang? Kenapa tidak mau bicara sama Mami?" tanya Tery mengusap rambut Ayumi. "Ma-mami tinggalin Ayumi sendirian," pinta gadis itu dengan nada kesal dan sedih. "Mami tidak akan pergi sebelum Ayumi mengatakan pada Mama, kenapa Ayumi diam saja? Ada apa Sayang? Ayo bangun dan ceritakan semuanya sama Mami," bujuk Tery membantu
Hari demi hari berjalan tak menyenangkan sama sekali. Ayumi satu bulan ini merasa tersiksa, pasalnya terakhir ia menghubungi Kenzi, hari itu menjadi hari terakhir ia memegang ponsel. Gadis itu tidak diizinkan memegang ponsel oleh Papinya karana dokter mengatakan kalau kondisi mental Ayumi sangat kacau, dan Rivaldo mengira itu semua efek negatif dari ponsel.Dan malam ini, Ayumi duduk sendirian di ruang keluarga di dekat jendela. "Sayang, kenapa tidak pergi ikut malam, ayo sama Papi," anak Rivaldo merangkul pundak sang putri. Di sana, Ayumi pun menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ayumi ti-tidak lapar," jawabnya sangat irit. "Ayumi, jangan begini nak, Papi tidak tahu apa yang Ayumi inginkan," ujar Rivaldo duduk di hadapan Ayumi, laki-laki itu mengusap pucuk kepala sang putri. Kedua mata Ayumi menyorot menatap Rivaldo dengan tatapan yang sangat ngeri bagi sang Papa. "Sayang..." "Pa-papi mau ti-tidak, kembalikan po-ponsel punya A-ayumi?" pinta gadis itu. Rivaldo mengerutkan keningny
Madrid, Spain. Kenzi sampai di Madrid saat malam hari. Ia tidak pergi ke manapun apa lagi mencari penginapan atau hotel, laki-laki itu langsung menuju ke rumah sakit di mana Ayumi dirawat dan membutuhkan perjalanan beberapa jam untuk sampai di sana. Sampai akhirnya pukul sepuluh malam, barulah Kenzi sampai di rumah sakit. Di sana kedatangannya disambut oleh Rivaldo. "Om Rivaldo!" sapa Kenzi berlari di lorong. Tanpa mengatakan apapun lagi, selain melihat betapa kalutnya kedua orang tua Ayumi saat ini. Mereka yang sangat terlihat panik dan cemas. "Om, bagaimana keadaan Ayumi?" tanya Kenzi pada Rivaldo. Dan pertanyaan Kenzo malah dijawab pelukan hangat oleh Tery, wanita itu menangis memeluknya. Pikiran Kenzi semakin tidak tahu arah, ia semakin takut dan bingung. "Maafkan kami, Kenzi..." Tery menangis. "Tante..." Kenzi menarik pundak Tery, ia membungkukkan badannya menatap wajah Tery. "Bagaimana keadaan Ayumi, kalian jangan membuatku takut!" Baru kali ini Kenzi terlihat sangat-s
Kenzo perlahan membuka kedua matanya, kepalanya terasa sangat-sangat sakit seperti terhantam benda yang sangat keras. Ia membuka lebar-lebar kedua netranya dan tersadar ia berada di dalam sebuah kamar yang sangat kecil. "Ini di mana?!" pekiknya lirih. Kedua matanya mengerjap, ia memijit pelipisnya pelan sebelum pintu kamar itu terbuka. Nampak di sana seorang gadis cantik dengan balutan dress putih panjang, dia masuk ke dalam kamar membawa nampan berisi makanan dan minuman. "Oh, kau sudah bangun, ya?" Yasmin mendekati Kenzo dan meletakkan nampannya di atas meja. Kenzo terdiam menatap lekat-lekat gadis itu, bukan karena wajah cantiknya, perhatiannya, tapi karena luka di wajahnya dan lebam membiru yang terlihat sangat parah. "Kau baik-baik saja?" Kenzo malah bertanya pada Yasmin. Gadis itupun menoleh dan tersenyum mengangguk. "Ya, harusnya aku yang bertanya padamu. Kau kan baru saja kecelakaan. Semalam aku bingung harus membawamu ke mana, tidak ada orang sama sekali di jalanan, da
Sementara di Madrid, seorang Kenzi masih setia menanti Ayumi sadar. Ia malah meminta Rivaldo untuk fokus pada pekerjaan kantornya, dan juga Tery pada beberapa butiknya. Tidak pernah sebentar pun Kenzi meninggalkan Ayumi yang belum sadar sejak kemarin. Sekalinya sadar, hanya sebentar dan Kenzi malah tidak diberikan kesempatan oleh Arga. "Ayumi, apa kau tidak kangen Kakak?" lirih Kenzi mengusap kening Ayumi dan membenamkan wajahnya pada tangan Ayumi. "Bangun Sayang, Kakak kangen."Satu telapak tangan Ayumi dikecup oleh Kenzi dan ia lekatkan di pipinya. Perlahan tangan itu bergerak, Ayumi terbangun. Kenzi tersenyum tipis dan langsung bengkit dari duduknya. Kedua mata Ayumi terbuka, gadis itu awalnya saat ia bangun hanya dokter yang ia lihat, tapi kali ini sosok Kenzi yang ia lihat hingga Ayumi nampak sedikit terkejut. "Ka-kakak," lirihnya pelan. "Hem, kenapa? Kaget lihat Kakak di sini?" tanya Kenzi mengecup keningnya. "Kakak sudah dua hari di sini." Gadis itu langsung berusaha ban
Kenzi siang ini pulang sebentar ke rumah Rivaldo, pemuda itu mengambilkan beberapa pakaian ganti untuk Ayumi. Di rumah sakit, Ayumi sendirian. Dia hanya bisa berbaring, duduk, dan seperti itu terus. Namun di tengah rasa bosannya, tiba-tiba saja Arga masuk ke dalam kamar inapnya. "Siang Ayumi," sapa laki-laki itu berjalan mendekatinya. Ayumi menatap laki-laki itu, ia mengangguk dan tersenyum tipis. "Di mana kekasihmu?" tanya laki-laki itu tersenyum. "I-itu, Kak Ke-kenzi pulang. Cuma se-sebentar," jawab Ayumi tersenyum manis. Arga menarik kursi, laki-laki itu duduk di samping Ayumi. Ia memperhatikan wajah Ayumi yang begitu gugup. Awalnya memang Rivaldo menjanjikan ingin mengenalkan putrinya pada sosok Arga, karena Rivaldo menjadi donator terbesar di rumah sakit tersebut. Kedekatakan Arga dengan Rivaldo juga tidak diragukan lagi. "Apa Papamu pernah bercerita kalau akan mengenalkan kita?" tanya Arga menatap Ayumi lekat-lekat."Heem," jawab Ayumi mengangguk kecil. "Ta-tapi Ayumi ti
"Eungghh... Jam berapa ini?" Kenzi mengulur tangannya meraih sebuah ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Kedua mata dokter tampan itu terbeliak saat ternyata jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. "Astaga! Di... Di mana, Ayumi?! Ayumi..." Laki-laki itu menoleh ke kanan dan ke kiri sampai akhirnya pintu kamar terbuka. Di depan sana berdiri Ayumi yang memakai dress selutut yang kebesaran. Gadis itu terkikik geli melihat ekspresi Kenzi yang mencemaskannya. "Ka-kakak kenapa?" tanya Ayumi mendekati Kenzi. Gadis itu meletakkan telapak tangannya di kening Kenzi sebelum ia tersenyum manis. "Ja-jangan bilang kalau Kakak pikir A-ayumi pergi? Iya kan?" Kenzi menggaruk tengkuk lehernya dan menggeleng pelan. "Kakak pikir kau di mana," ujar Kenzi mengembuskan napasnya pelan. Barulah Ayumi tersenyum manis. "Ti-tidak ke mana-mana kok, A-ayumi ke bawah bu-buat sarapan," jawab Ayumi dengan santai. Ekor mata Kenzi pun langsung menjam, laki-laki itu dengan cepat menarik lengan Ayumi da
Ayumi sungguh-sungguh ikut bersama Kenzi ke Paris. Gadis itu berpikir kalau di rumah ia juga sendirian, lebih baik ikut dengan Kenzi. Mereka berdua sampai di Paris tepat saat sore hari, dan di rumah sedang sepi, hanya ada Alana saja. "Kalian ini pulang kenapa tidak ngabarin Mommy duluan, hah?! Tahu begitu Mommy masak lebih awal!" omel Alana seraya merangkul Ayumi. "Yah, ini dadakan Mom. Kenzi baru saja dihubungi Profesor Edward, dia ingin bertemu dan ada yang mau dibahas," jelas Kenzi pada sang Mama. Alana tidak terlalu mendengarkan Kenzi, melainkan ia masih sibuk bersama dengan Ayumi. "Ayumi pintar, tahu aja kalau Mommy kangen, ikut Kakakmu ke sini," ujar Alana merangkul gadis itu. Hanya senyuman kecil yang Ayumi tunjukkan dan ia menganggukkan kepalanya. "Eumm.. Ta-tapi Mom, Ayumi sama Kak Kenzi, ki-kita..." "Kita mau tinggal di apartemen Mom, mungkin mulai besok." Kenzi menyahuti seraya berbaring di atas sofa. Wajah Alana menjadi tekejut, wanita itu cemberut penuh tanda ti
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu