"Mana Laura?!" Kenzo mendatangi butik milik Laura, di sana hanya ada dua karyawannya saja yang tengah berjaga. Nampak Laura yang langsung keluar begitu ia mendengar suara Kenzo yang tengah mencarinya. Gadis itu tersenyum seolah tidak ada apa-apa, seperti tidak berdosa saja atas apa yang dia lakukan. "Kenzo, kau dari mana? Tumben ke sini malam-malam, butik mau tutup sebentar lag-" BRUAKK... Ucapan Laura langsung terhenti, kedua pegawainya pun langsung terdiam di depan sana. Wajah Kenzo mengeras marah, bahkan jauh lebih marah dari sebelum-sebelumnya. Kenzo menatap sengit gadis itu. "Jadi begini kelakuanmu, hah?!" desis Kenzo marah. Laura melebarkan kedua matanya, ia takut pada dua hal. Apa Kenzo tahu rencana ia mencelakai Ayumi, atau rencana yang lainnya? Jangan-jangan hubungan gelapnya dengan Vin!"Ke-kenzo, aku..." "APA?! Dengar Laura, aku memberikan butik ini padamu agar kau bisa menghormatiku sebagai pasanganmu! Aku selalu respect pada apapun tentangmu! Tapi kenapa... Kena
"Sudah dua hari ini Kenzo tidak pulang, dia tidur di apartemen. Daddy sama Mommy tidak tahu apa yang terjadi dengannya!" Alex mendengus resah memikirkan si sulung yang satu itu. Di sana, Kenzi dan Ayumi mendengarkan keluhan Alex dan Alana yang membicarakan Kenzo. "Lebih tepatnya setelah mengantar Ayumi malam itu, dia tidak kembali ke rumah." Alana menatap Ayumi yang diam tertunduk. "Kalian tidak berantem, kan?" Ayumi pun menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ti-tidak Ma. A-ayumi tidak berantem." "Kenzo ribut dengan Laura, Mom, Dad," sahut Kenzi dengan santai. "De-dengan Laura? Soalan apa, Kenzi? Apa kau tahu, kenapa mereka ribut?" tanya Alana dengan wajahnya yang cemas. "Ka-karena Ay-" Ucapan Ayumi terhenti saat mendengar suara klakson mobil di depan rumah. Mereka langsung menoleh ke depan, nampak Kenzo dengan wajah lesu ia berjalan masuk ke dalam rumah. Tatapannya langsung tertuju pada Ayumi yang duduk di samping Kenzi. Dengan tak acuh, ia hendak berjalan melewati mereka. "Kenzo!
"Nih minum! Jangan sampai kau minum wine, bisa ditampar Ayumi kau nanti!"Kenzo tersenyum tipis meletakkan satu gelas minuman bersoda. Ia sudah tahu kalau Kenzi tidak pernah berani menyentuh minuman wine dan semacamnya. Di sebuah street cafe mereka berada saat ini. Kenzi dan Kenzo duduk berhadapan, mereka berdua sudah lama tidak berkumpul seperti saat ini."Bagaimana hubunganmu dengan Laura? Kau... Kau benar-benar memutuskan hubunganmu dengan dia?" tanya Kenzi menatap lekat wajah kembarannya. "Heem," jawab Kenzo hanya dengan sebuah gumaman. "Kau yakin? Apa dia tidak bisa-" "Aku tidak suka pada siapapun yang menyakiti orang-orang yang aku sayangi, Zi." Kenzo tertunduk dan kembali menenggak minumannya. "Ayumi... Dia kan calon adik iparku." Tersenyum Kenzo pada sang adik, meskipun penuh kepalsuan. Kenzi yang duduk di depannya hanya membalas dengan sama-sama palsu. Keduanya pun sama-sama diam untuk beberapa menit lamanya, Kenzi memperhatikan kembarannya yang tengah minum berulang ka
Pagi ini Ayumi sudah berada di sekolah kurusnya, gadis itu nerasa lega setelah ia mengumpulkan dua tugas yang seniornya berikan. Ayumi bukan sembarang junior, nilainya bahkan sangat baik, dia juga memiliki kemampuan melulis yang sangat luar biasa. "A-akhirnya selesai ju-juga, A-ayumi jadi tidak me-merasa seperti pu-punya hutang!" gadis itu tersenyum manis. Ia terus menatap hasil lukisannya yang dipajang di tempat khusus. Di antara para seniornya, hanya lukisan milik Ayumi yang terkesan sangat bagus. "Ayumi!" suara teriakan seseorang yang kini berlari ke arahnya. Ayumi menoleh dan ia terkejut saat melihat sahabatnya, Rara yang berlari mendekati Ayumi. "Kau menyebalkan," seru Rara tiba-tiba seraya memukul pelan pundak Ayumi. Ayumi pun mengerjapkan kedua matanya. "Me-menyebalkan kenapa Ra?" "Madam Enelise bilang kau keluar dari kelas balet!" pekik gadis itu merangkul Ayumi. "Kita tidak bisa berudaan lagi, tidak bisa curhat lagi, tidak bisa pergi beli jus lagi, dan tidak bisa be-"
"Ayo masuk! Ikut denganku, dasar gadis bodoh!" Tidak sendirian, ternyata Laura mengajak dua temannya membawa Ayumi ke sebuah rumah kosong yang entah di mana tempat ini berada. "Kak-""Diam!" sentak salah satu teman Laura yang berambut merah itu. Di sana, Ayumi di dorong kuat hingga ia terjatuh di atas lantai yang sangat kotor. Laura dan kedua temannya berdiri di hadapan Ayumi dan memberikan tatapan mematikan. Ayumi jelas saja dia menangis dan gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berpikir dalam hati, kesalahan apa lagi yang ia ciptakan saat ini, mungkin ini akan jauh lebih fatal dari yang ia dulu. "Ayumi... Kau memang tidak bisa disabari!" Laura, dia membungkuk badannya dan mengapit kuat dagu Ayumi. Tersenyum sinis seolah tidak ada lagi manusia paling baik di dunia ini. "Ayo teriak! Ayo bantah aku dengan suara gagapmu seperti gadis tidak waras!""Oh, jadi dia gagap ya? Dari tampangnya saja sudah terlihat kalau dia ini gadis bodoh!" "Tidak berguna, gadis cacat mental seper
Situasi menjadi sangat senyap begitu semua orang berada di rumah sakit. Kenzi memberanikan diri merawat Ayumi di dalam bersama beberapa dokter lainnya. Meskipun ia harus berusaha profesional, namun tetap saja yang ia rawat adalah orang yang sangat ia cintai. "K-kak..." Ayumi yang masih dalam keadaan sadar, gadis itu menatap sayu Kenzi yang membersihkan luka di lengan dan wajah Ayumi. "Ka-kak Kenzi, se-semuanya sa-kit. Jangan diobati." Ayumi kembali merintih dan menatap lampu yang menyala di atasnya. Ia memejamkan kedua matanya pelan sebelum membukanya lagi. "K-kak," panggil gadis itu lagi. Ia meraih tangan Kenzi yang membersihkan lengannya. "Ma-mamiku... Pa-papiku, mana? A-ayumi..." "Ssshhhttt... Jangan bicara lagi ya, Sayang. Diobati dulu, setelah itu Ayumi tidur ya," bujuk Kenzi, ia menundukkan kepalanya dan mendekati wajah Ayumi. Gadis itu menggenggam tangan Kenzi, kedua matanya terlihat tak tahan untuk tidak terpejam setelah Dokter Grace memberikan obat tidur. Kenzi menjatu
Setelah dua hari Ayumi dirawat di rumah sakit, ia tidak mau bertemu dengan siapapun. Selain hanya berteman dengan Mama dan Papanya yang masih dalam perjalanan. Kondisi Ayumi sudah jauh lebih baik, ia tidak bisa berjalan untuk beberapa waktu ini memang Ayumi membutuhkan kursi roda untuk membantunya ke mana-mana. Contohnya saat ini, Ayumi duduk sendiri dia tas kursi roda menatap pemandangan kota Paris dari dinding kaca gedung rumah sakit ia dirawat. "Papi, Mami," lirih Ayumi, ia tidak gagap sekedar gumaman lirih tak bersuara. Kedua mata Ayumi terpejam, hingga tiba-tiba seseorang berjalan mendekatinya dan menekuk lutut di hadapan Ayumi. "Sayang," panggil laki-laki itu dengan sangat lembut. Barulah Ayumi membuka kedua matanya dan menatap Kenzi yang berada di hadapannya. "Kenapa sedih-sedih begini, hem? Mana tangannya, Kakak obati lagi," ujar Kenzi ingin mengganti perban di tangan Ayumi. Ayumi menyerahkan tangan kirinya pada Kenzi. Ditatap lekat-lekat wajah cantik Ayumi hingga Kenz
"Laura! Keluar kau! Laura!" Teriakan keras itu bersamaan dengan gedoran pintu di sebuah kamar apartemen milik teman Laura. Kedua temannya sudah tertangkap, dan kini hanya tinggal Laura. Di sana, selama beberapa hari ini Kenzo benar-benar tidak tidur dan terus mencari Laura hingga akhirnya semua orang menemukannya. "Dobrak saja pintunya ya, Pak!" Kenzo menatap tak sabar pada polisi di depannya. Mereka mengangguk. Dengan amarah yang membuncah, Kenzo langsung mendobrak pintu tempat itu. Benar sekali, di sana Laura nampak bersama dengan seorang laki-laki. Kenzo mengepalkan kedua tangannya dengan wajah mengeras marah. Saat polisi mendekat, Kenzo meminta mereka diam sejenak. "Tunggu pak! Aku masih punya ucapan terkahir untuk wanita menjijikkan ini sebelum dia dipenjara!" "Kenzo... A-aku bisa jelaskan!" Laura menangis meraih tangan Kenzo. Kenzo menepis dengan kuat tangan Laura, bahkan laki-laki yang bernama Vin itu sama sekali tidak bereaksi, yang jelas dia tidak ikut campur tangan
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu