"Aku sangat menginginkanmu malam ini.”
Suara dalam milik seorang laki-laki yang tengah mabuk berat itu membuat Alana mati-matian untuk tidak berlari.Sebagai asisten pribadinya yang ke mana-mana mengikuti Boss-nya, Alana selalu sigap menjalankan tugasnya tersulit sekalipun.Alana mengembuskan napasnya panjang, merasa berat memapah tubuh tinggi besar yang lemas dan meracau tak henti-henti sejak tadi.“Pak Alex, kenapa selalu saja merepotkan saya seperti ini sih?!” keluh Alana mengajak laki-laki itu masuk ke dalam lift.Laki-laki bermanik mata hijau zamrud dengan stelan formal tuxedo hitam berwajah tampan ini adalah Alexsander Verolov, dia salah satu pemimpin perusahaan terbesar di bidang import yang berada di Madrid, juga salah satu Billionaire terkenal di Spanyol.Sialnya, Alana menjadi asisten pribadi Alex kurang lebih selama dua tahunan ini. Laki-laki dingin, galak, dan merepotkan yang selalu membuat Alana kewalahan dengan banyak perintahnya.“Aku benci dia. Aku sangat membencinya! Dia berani sekali menyelingkuhi aku, kurang ajar kau Lasitta!” Alex melingkarkan tangannya di pundak Alana dan berucap dengan penuh amarah di sela mabuknya. "Dia memang wanita tidak tahu diri. Tidak sepertimu, kau selalu ada untukku. Gadis cantik, kau berbeda. Kau istimewa, Sayang....”Alex meracau tidak jelas sampai tidak mengenali Alana dan setiap kata-kata yang diucapkannya membuat Alana merinding ngeri.“Pak, saya Alana! Saya asisten Bapak! Please jangan begini. Ini di dalam lift dan Pak Alex diam. Biar saya yang memapah Pak Alex,” cicit Alana mengurai rangkulannya saat legan kekar Alex lebih dulu memeluknya.“Katakan kalau kau berbeda dari Lasitta kan, cantik? Katakan kalau kau jauh lebih baik dari wanita busuk itu kan?!” Alex mendekatkan wajahnya dan meletakkan wajahnya di pundak Alana dan mendusal pelan.“Ya Tuhan, Pak Alex jangan begini. Kalau ada orang lain nanti bisa salah paham!” Alana cemas dengan tingkah Alex.Tidak ada jawaban apapun dari Alex, ia memeluk erat tubuh Alana dan mengusap punggung kecilnya dengan lembut penuh keinginannya yang tinggi pada Alana.Alex pun menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Alana yang harum aroma mawar juga sensasi hangat memabukkan membangunkan jiwa lelakinya."Hei Sayang, bantu aku malam ini. Aku ingin bersenang-senang denganmu, dan aku bisa membayarmu sepuluh kali lipat dari biasanya kau melayani laki-laki lain, kau mau kan, Sayang?” bisik Alex pelan dan merayu mesra dengan mata sayu.Dengan kuat Alana mendorong pundak Alex. Ia menatap kesal laki-laki yang kini tersenyum smirk padanya dengan mata berkabut. Bisa-bisanya Alex menganggapnya wanita gampangan saat ia mabuk.Alex perlahan mendekat sebelum tubuhnya limbung jatuh memeluk Alana kembali. Sekuat tenaga Alana memeluknya, namun Alex begitu manja padanya sampai mendekatkan wajahnya di pipi kiri Alana hingga menimbulkan sensai aneh dan geli. Dia tidak seperti Alexsander Verolov yang biasanya Alana kenali.“Pak Alex sedang mabuk, jangan melakukan hal yang macam-macam! Sadar Pak! Ini saya Alana, saya asisten Bapak!” tegas Alana menggelengkan kepalanya menahan pundak Alex.Alex berdecih pelan dan kembali mendekati Alana."Kau tidak perlu jual mahal padaku, hem? Kau belum tahu siapa aku!”Di saat seperti ini, Alana benar-benar takut pada sosok Alex, ia hanya bisa diam tanpa menjawab apapun selain detak jantungnya yang berpacu ketakutan.Untunglah dentingan pintu lift yang terbuka membawa Alana selamat dari obrolan gila seorang Alexsander.Sekuat tenaga Alana kembali memapah Alex dan membawanya masuk ke dalam sebuah kamar hotel. Ia menutup pintu kamar VIP dan berjalan ke arah ranjang, membaringkan Alex di sana.“Jangan pergi! Mau ke mana kau huh?! Apa kau tuli kalau aku memintamu menemaniku malam ini?!" seru Alex menahan lengan Alana.“Maaf Pak, lebih baik Bapak istirahat saja. Saya tidak....”“Jangan banyak bicara!”Alana memekik kaget saat laki-laki itu menariknya hingga tubuh kecilnya terjatuh dalam dekapan Alex di atas ranjang.Kedua lengan kekar melingkar erat memeluknya dengan hangat, Alana berusaha melepaskannya di tengah rasa takut yang ia rasakan.“Pak Alex, jangan! Lepaskan saya, lepaskan... Akhh!” Alana memekik kuat saat Alex kini mengubah posisi Alana menjadi di bawah kuasanya.Tatapan mata berkabut seorang Alexsander yang tidak pernah terlihat oleh Alana, ia tersenyum smirk bagai iblis menemukan mangsanya. Air mata yang berdesakan di pelupuk mata sipit Alana tidak bisa ditahannya.“Pak... Pak Alex mau apa? Pak ingat, saya Alana! Saya bukan wanita murah....""Diam!"Pekikan Alana terhenti begitu Alex mengapit kedua lengan Alana dan laki-laki itu melepas tuxedo hitam dan kemeja putih yang ia pakai dengan satu tangannya.Sebisa mungkin Alana memberontak melawan Alex, ia menangis takut apa lagi saat Alex mendekati wajah cantik Alana, ibu jarinya menyapu pipi putih Alana dengan mesra.“Kau hanya perlu diam saja dan menikmatinya. Aku akan membayarmu lebih untuk malam ini. Lakukanlah tugasmu seperti biasanya kau melakukannya dengan laki-laki di luaran sana! Malam ini aku ingin kau membantuku melupakan Lasitta sialan itu!”Air mata Alana deras mengalir di pipinya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya kuat dan memohon untuk dilepaskan.“Tidak... Tidak, Pak Alex sadar! Jangan lakukan, lepaskan saya Pak, Bapak sedang mabuk! Pak Alex kumohon sadarlah!”Refleks Alana berusaha menepis jauh-jauh tangan Alex yang berusaha menyentuhnya. Namun tetap saja, ia kalah tenaga dari laki-laki ini.Tangisan Alana tidak mampu ditahan lagi, ia berusaha mendorong dan memukuli Alex sekuat tenaga, namun laki-laki itu malah mengunci ruang gerak Alana.“Diamlah sialan!” hardik Alex mencengkeram erat pundak Alana hingga gadis itu meringis sakit.“Kurang ajar! Lepaskan aku sekarang juga! Lau laki-laki kurang ajar lepaskan dan biarkan aku pergi! Seseorang tolong....”Alex menatap nyalang kedua mata Alana yang berkaca-kaca. “Diam atau aku akan kasar padamu!"Terikan dan tangisan Alana malam ini sama sekali percuma dan sangat sia-sia. Api gairah menutupi pikiran dan pendengaran Alex, juga mata hatinya.Alana menahan rasa sakit dan benci di malam yang sama. Apa yang dijaganya selama dua puluh tahun ini, kini telah hilang diambil oleh orang yang selalu ia hormati dan patuhi semua perintahnya.Beberapa jam kemudian, kedua mata Alana kembali terbuka perlahan-lahan. Detak jantungnya berpacu saat ia melihat seorang Alexsander, Boss-nya yang tertidur memeluknya dengan erat.Air mata Alana kembali lolos setelah ia mengingat kejadian beberapa jam yang lalu dengan Alex.“Apa salahku padanya, ya Tuhan?” Alana berucap kecewa.Gegas Alana menuruni ranjang memungut pakaiannya di lantai dan kembali memakainya terburu-buru menahan rasa sakit di pangkal kakinya.Alana berdiri lemas di tepi ranjang menatap benci penuh dendam wajah Alex yang kini tertidur pulas.“Bisa-bisanya dia menganggapku wanita murahan," lirih Alana menangis terisak kuat menutup mulutnya.Segera Alana menyelinap pergi keluar dari dalam kamar hotel tersebut. Langkahnya terhuyung-huyung, pikirannya kacau dan kalut.Entah apa yang akan dilakukan Alana nanti kalau kejadian ini diketahui oleh orang tuanya.“Ke mana aku pergi, tidak mungkin aku pulang dalam keadaan seperti ini,” lirih Alana menyadari betapa kacaunya ia, bajunya yang robek, rambutnya yang bentakan dan tanda merah di sepanjang leher dan bagian tubuh lainnya, “aku bisa mati dihajar Papa. Aku tidak mau membuat mereka malu.”Sejauh ini, Alana adalah gadis yang baik, orang tuanya selalu membanggakannya di depan semua orang, tapi malam ini semua itu sudah pupus.Langkah Alana menyusuri jalanan yang sepi, pikirannya sangat kacau.“Kenapa jadi begini Ya Tuhan, bagaimana ini?!” Gadis itu menutup kedua telinganya saat ia merasa kembali seperti mendengar bisikan-bisikan mesra yang tadi Alex ucapkan di telinganya. Jelas saja Alana takut karena kabar di luaran sana beredar Alex akan segera menikah, tapi malam ini dia malah meniduri Alana.“Tidak... Tidak, aku tidak mau mengingatnya lagi!” teriak Alana menutup kedua telinganya dan menjambak rambutnya penuh amarah.Dengan tangisannya yang frustrasi, Alana berjalan tertunduk memeluk dirinya sendiri.Tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri, Alana menyeberangi jalanan dengan cepat. Dari arah kanan sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi tidak mampu mengurangi kecepatannya dalam jarak yang sangat dekat dan mendadak.Tiiiiiinnnn....Suara klakson mobil bersamaan dengan tubuh Alana yang terpental jauh dan terjatuh dia atas aspal. Alana memekik keras saat kepalanya terbentur sesuatu yang keras hingga pandangannya semuanya menjadi buram.Alana masih memiliki sedikit kesadaran beberapa detik sampai merasakan sesuatu yang hangat menetes di samping matanya dan kepalanya yang sangat sakit. Semuanya berhenti berdetik dan telinganya tidak mampu mendengar apapun selain berdenging dan mata yang sulit terbuka.“Ya Tuhan... Sampai matipun, aku tidak akan memaafkanmu. Alexsander Verolov,” lirih tanpa suara Alana berucap sebelum semuanya menjadi gelap dan Alana menutup rapat kedua matanya.Lima tahun kemudian."Kenzo, Kenzi, ayo sini sayang! Sekarang kita sudah punya rumah baru!" Alana melambaikan tangannya pada dua bocah yang tengah bermain dengan anjing baru mereka di teras depan rumah. Mereka langsung berlari begitu Mamanya memanggil. "Yeay asik! Tidak sama Kakek lagi!" "Kakek galak, ditinggal saja ya Mom!" Kedua bocah laki-laki itu bersorak masuk ke dalam sebuah rumah yang bisa dibilang cukup megah untuk ditempati Alana dan si kembar. Kenzo dan Kenzi adalah buah satu malam yang Alana lakukan lima tahun yang lalu. Hingga lahirlah si kembar yang pintar, cerdas, anak manis, menggemaskan, dan tentu saja mereka nakal. "Mom, Kenzo mau di kamar yang di atas sana, boleh ya Mom?!" "Kenzi mau bobo sama Mommy saja," sahut si bungsu yang memeluk kaki Alana. Kenzo berdecak lidah melihat tingkah manja kembaranya. "Ah payah! Manja sekali. Anak laki-laki tapi masih saja manja sama Mommy! Berani dong, kayak Kenzo," cibirnya sombong. "Mom... Kenzo nakal! Cubit dia, Mom!" Ken
Setelah satu minggu lamanya Alana berada di rumah lamanya, ia kembali lagi ke Barcelona. Tempat di mana ia lahir dan dibesarkan dulu. Alana yang selalu sibuk dengan si kembar dan untungnya ia tidak pernah merasa kewalahan mengasuh mereka berdua karena Alana terbiasa menjaga anaknya sejak bayi. “Sekarang kalian sarapan dulu, setelah ini Mommy akan mengantar kalian pergi ke sekolah baru, paham!” Alana menatap kedua putranya dan menarik dua kursi makan untuk mereka duduki. Kenzo dan Kenzi sudah siap dengan seragam putih dan merah muda, serta topi beret yang menutupi rambut cokelat mereka. “Tidak mau sekolah!” pekik Kenzo menggeleng-gelengkan kepalanya dan sesenggukan menangis. Alana menundukkan kepalanya menjentuskan pelan pada meja makan di hadapannya. “Astaga Kenzo... Ayolah nak, jangan membuat Mommy pusing, adikmu saja tidak rewel!”Kenzi menoleh sekejap, anak itu sibuk menyingkirkan putih telur rebus di atas piringnya.“Sekolah Kenzo, kalau kau tidak mau sekolah lalu apa jadi
“Ke mana si kembar, ya Tuhan... Anak ini!” Alana berlari terburu-buru setelah ia dikabari kalau sejak pagi tadi kembar pergi dari sekolah. Kini Alana kembali lagi pulang ke rumahnya usai ia mencari ke mana-mana namun nihil mereka berdua tidak ditemukan. Langkah Alana berhenti di depan gerbang rumahnya, gadis itu melihat Kenzo dan Kenzi yang duduk di teras. Masing-masing dari mereka membawa satu kantung plastik berukuran besar berisi camilan dan banyak mainan. “Mommy!” pekik Kenzi memasang wajah melas menatap Alana yang kini masuk ke dalam pekarangan rumah. “Mom, yeay... Lihatlah Mom, kami punya banyak camilan sama mainan. Dan semua ini gratis!” sahut Kenzo menunjukkan dua kantung plastik di tangannya. “Dari mana kalian?! Kenapa kalian malah pergi dari sekolah?! Kalian sudah membuat Madam Ella dan Mommy panik!” pekik Alana berkacak pinggang memarahi keduanya. Mereka langsung menundukkan kepala dan memasang wajah sedih pada Alana. Perhatian Alana tertuju pada lutut Kenzi yang kini
Siang ini Alex mengumpat-umpat kesal saat keluar dari ruangan meeting, pasalnya ia sudah membuat janji dengan untuk menemui karyawan baru yang ingin menjadi staf di kantornya, namun meeting malah terlambat beberapa menit. “Ah sial! Kenapa meeting bisa terlambat sampai beberapa menit?!” Seorang yang perfeksionis seperti Alex tentu saja pilih-pilih dalam banyak hal, termasuk mencari karyawan di kantornya. “Tuan Alex!” Suara Benigno menghentikan langkah Alex, laki-laki itu menoleh dan kembali berdecak. “Tuan sudah ditunggu di ruang VIP, George sudah membaca surat lamaran pekerjaannya dan data-datanya juga, Tuan bisa langsung ke sana,” ujar Benigno. “Ya,” jawab Alex singkat. “Baik Tuan, saya akan....” “Kerjakan perintahku Benigno! Sebelum aku membuatmu mennggembel di Barcelona!” sinis Alex dengan lirikan sinis dan senyuman smirknya meninggalkan Benigno. Sementara di dalam sebuah ruangan, nampak Alana yang memegangi dadanya berupaya untuk lebih tenang. Sejak pagi tadi ini ia sudah
Hari sudah gelap, Alana gelisah karena tidak biasanya hujan turun sore ini. Ia seharian meninggalkan si kembar di rumah. Alana berdiri di depan kantor dan ia menatap beberapa rekan kerjanya yang sudah pulang dengan mobil masing-masing. "Ya Tuhan, bagaimana dengan si kembar di rumah?" lirih Alana kepanikan. Tatapan mata Alana tertuju pada langit yang mendungnya semakin tebal. Demi anaknya ketakutan di runah, Alana tidak akan peduli air membasahinya. Alana hendak berlari menembus hujan, namun seseorang menahan lengannya hingga membuatnya menoleh dengan cepat. "Apa kau tidak tahu kalau sedang hujan?!" Kedua mata Alana mengerjap pelan menatap Alex yang begitu dalam menatapnya, perhatian Alana tertuju pada tangan Alex yang begitu erat mencengkeram lengannya. "I... Itu Pak, ada yang saya tinggalkan di rumah dan sangat membutuhkan saya, jadi saya harus pulang sekarang," jawab Alana dengan wajah panik dan cemas. "Tapi sedang hujan Alana, kau bisa sakit. Aku akan mengantarkan...." "Ti
"Selamat pagi Pak Alex, sedang apa di sini?" Benigno dan beberapa karyawan lainnya tengah memperhatikan Alex yang berdiri di depan pintu kantor miliknya. Dengan balutan tuxedo hitam rapi, wajah cemas menanti-nanti. Laki-laki itu membiarkan Benigno bertanya-tanya. "Ck! Dia bilang akan datang lebih awal," gerutu Alex berdecak seraya merlirik jarum jam di pergelangan tangannya. "Ohh... Pak Alex sedang membuat janji dengan seseorang?" tanya Benigno lagi. Sekali ini Alex langsung menoleh dan memberikan tatapan sengit pada Benigno. "Apa kau tidak bisa diam hah?! Jangan mengurusiku! Lakukan saja sana tugasmu!" sentak Alex dengan keras, bahkan beberapa karyawan lainnya yang ikut mau tahu pun langsung bubar. "Ba... Baik Pak Presdir," jawab Benigno. Mereka semua kembali masuk dan Alex masih setia berdiri bersedekap dengan wajah kesal dan siap mengomeli Alana. Namun kekesalan Alex perlahan berkurang saat ia melihat seorang gadis cantik baru saja turun dari dalam bus dan memeluk sebuah r
"Kenapa Pak Alex belum kembali, ini sudah malam. Bagaimana dengan anak-anakku di rumah, Ya Tuhan...." Alana duduk dengan cemas mengusap wajahnya berulang kali. Pasalnya ia tidak berani beranjak dari ruangan kerjanya sampai Alex kembali, dan jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.Bayangan Alana tentang kembar yang kesepian di rumah begitu tergambar jelas di benaknya, bisa saja mereka menangis menunggunya. "Bagaimana ini?" lirih Alana berdiri dan menatap dinding kaca yang menunjukkan pemandangan malam hari di Barcelona. Alana menoleh cepat saat pintu ruangan kerja tersebut terbuka, di sana nampak Alex yang berjalan masuk. Tatapan cemas Alana membuat Alex langsung mendekat. Jelas ia melihat kepanikan pada Alana saat ini. Gadis itu juga langsung mengambil tas miliknya. "Ada apa Alana?" tanya Alex mendekat."Pak, saya harus pulang sekarang. Ini sudah malam," ujar Alana cemas. "Ya, aku akan mengantarkanmu," ujar Alex dengan sabar. Alana terdiam, ia ingin menolak karena Alana be
"Mom, habis ini Mommy tidak ke mana-mana, 'kan? Ikut kita berdua ya Mom, kita bertemu Om tampan." kenzo merayu-rayu Alana, anak itu berdiri di atas kursi yang ada di dapur seraya menemani Mamanya memasak. "Mau ya Mom," pinta Kenzi tiba-tiba datang dan langsung memeluk kaki sang Mama dari belakang. "Mommy sibuk sayang. Ini hari libur Mommy, jadi sekarang Mommy ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan kalian, jangan dengan yang lainnya," seru Alana menatap kedua putranya. Kenzo langsung cemberut kesal dengan jawaban Mamanya. "Mommy tidak asik, Mommy tidak tahu ya kalau kita ini tidak ingin apapun yang bisa Mommy beli!" jawab Kenzo. "Betul! Kami ini ingin punya Daddy! Teman-teman di sekolah pulangnya dijemput Mommy dan Daddy-nya, terus kita kapan kayak gitu?!" imbuh Kenzi mengeroyok Alana. Seketika Alana meletakkan sendok di tangannya dan menatap marah kedua anaknya yang meluapkan kekesalannya pada Alana. Kenzo dan Kenzi langsung beranjak meninggalkan Alana begitu saja saat m
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu