Sudah berpuluh-puluh menit berlalu. Warren masih tetap menunggu kedatangan Karleen bersama sahabatnya di gerbang. Dia masih merasa cemas dengan perasaannya yang tidak enak. Dua buah kereta kuda berhenti tepat di depan gerbang. Mata Warren bergetar saat menangkap sosok Karleen yang terlihat sangat lemah. Perasaannya tidak salah. Karleen terlihat pucat.
Tanpa memikirkan pandangan pengawal kompleks, Warren memacukan langkah kakinya menuju kereta kuda yang ditumpangi oleh Karleen bersama Lisette. Matanya sedikit memicing ketika melihat Conrad yang membantu menopang tubuh Karleen.
Dengan gerakan cepat tetapi tidak kasar, Warren menggantikan Conrad menopang tubuh Karleen.
“A-arren?” panggil Karleen pelan dengan bibir pucatnya. Warren menahan tangisnya. Tanpa sadar dia merengkuh tubuh Karleen yang lemah. Dia tidak menyangka Karleen yang sangat bersemangat berlatih pedang tadi pagi berubah menjadi gadis yang terkulai
Karleen pura-pura tidur selama Warren menggendongnya. Dia sangat beruntung karena sejak awal digendong, Karleen membenamkan wajahnya. Jika tidak, Warren akan tertawa melihat wajahnya yang semerah tomat. Ingin rasanya Karleen membisikkan Warren untuk berjalan dengan lambat. Tapi itu tidak mungkin, dia tidak ingin anak-anak lain sudah selesai makan malam dan melihat mereka.Telinga Karleen geli. Warren berulang kali mengucapkan kata yang mungkin saja tidak bisa Karleen katakan. Karleen berusaha kuat untuk tetap tenang. “Karleen, apa kau tahu? Aku tidak mungkin bisa mengatakan ini jika kau tidak tidur sekarang.”Karleen benar-benar gemas mendengarnya. Ingin sekali dia berteriak membalas ucapan Warren. Meskipun hanya kata-kata menyukai, Karleen tidak menyangka akan memberi efek yang begitu hebat kepada hatinya. Dia tidak ingin membayangkan Warren mengucapkan kata yang lebih hebat dari pada itu suatu hari nanti.&
Conrad kembali bersama Kenan. Sejak tadi, raut wajah Kenan sedih. Dia mengerti perasaan Kenan. Akan tetapi, Conrad tidak mau ambil pusing. Dia hanya mengamati Kenan dalam kesunyian.Kereta kuda itu sampai di pinggir kota. Malam mulai menyingsing. Tanpa kata, Kenan hanya mengikuti kemana langkah kaki Conrad melangkah.Mereka tiba di sebuah restoran berbintang. Dengan suasana kondusif di sini, dia berharap percakapan mereka nanti bisa berjalan lancar. Mereka duduk di kursi yang berhadapan.Seorang pelayan yang mengenakan jas hitam menghampiri mereka. Dua buah buku menu bersampul merah, pelayan itu berikan kepada Conrad dan Kenan.Mata mereka berdua menyelidiki berbagai menu yang tersedia di sana. Tidak hanya makanan khas Jerman saja, makanan khas Italia pun juga ada. Kenan sedikit berekspresi ketika melihat harga menu yang mahal. Dari interior restoran Kenan bisa pastikan hanya orang kelas meneng
Gunther menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya yang bidang. Seakan sedang tidak berada di ruangan, Warren menyelonong masuk dengan ekspresi wajah yang sangat aneh. Gunther menggurutu dengan suara pelan.Warren duduk dengan sembarangan ke atas sofa. Wajahnya sangat merah. Dia menundukkan wajahnya dan mengusap-usapnya berulang kali. Gunther bisa menebak mengapa wajahnya bisa semerah tomat seperti itu.“Ehem.” Gunther berdeham dengan sangat kencang.Tidak ada tanggapan dari Warren. Dia seperti sedang berada di dunianya sendiri. Tawa kecil keluar dari mulut Warren, membuat Gunther tersentak dan hampir jatuh.“Kapten sudah gila sepertinya,” gumamnya pelan.Gunther menghampiri Warren dengan duduk tepat di sebelahnya. Dia memerhatikan kaptennya itu dari samping. Keadaannya benar-benar mengenaskan. Tidak hanya wajahnya yang merah, telinganya pun juga merah.
Karleen merasakan degup jantungnya tidak beraturan. Dia masih belum percaya dengan yang dialaminya barusan. Warren. Entah apa yang dipikirkan Warren sehingga dia berani berbuat seperti itu. Karleen tidak marah. Dia hanya merasa sangat bingung dengan tujuan Warren.Sudut mata Karleen mengeluarkan air. Lisette yang melihatnya kembali panik. Dia mengusap air mata Karleen dengan cekatan. Mata Lisette menatap teduh tubuh Karleen yang masih tampak lemah.“Kau masih merasa sakit, Karleen?”Karleen menggeleng pelan.“Ayolah, kau makan bubur ini dulu sampai habis. Kau hanya makan di waktu pagi saja tadi. Aku khawatir maagmu akan kambuh.”“Aku tidak apa-apa, Lisette. Aku hanya perlu beristirahat sebentar. Jangan khawatirkan aku lagi. Kau bisa kembali ke kamarmu,” ucap Karleen lemah.“Mana bisa begitu Karleen. Aku tahu betul kon
Lisette mengedor pintu kamar Karleen. Tidak ada jawaban yang terdengar. Berulang kali Lisette mengedor dan memanggil nama Karleen, tetapi tidak ada juga jawaban yang kunjung didengar. Setelah mencoba lagi, perlahan kenop pintu kamar Karleen terbuka dari dalam.Wajah Karleen terlihat membengkak, matanya yang berkantung, dan rambutnya yang acak-acakan menyambut Lisette yang sudah rapi.“Astaga! Bagaimana bisa pasien ini seperti ini? Kau begadang semalaman ya, Karleen?”Karleen hanya terkekeh mendengarnya. “Lisette, apakah aku boleh istirahat hari ini?” tanya Karleen dengan wajah yang memelas. Seketika wajahnya berubah menjadi serius, seakan teringat oleh sesuatu yang penting.“Aku lupa untuk berlatih pedang bersama Warren!” timpal Karleen kemudian.“Kau gila atau bagaimana Karleen? Mana ada pasien yang harus istirahat sudah berlatih pedang.
Badan Kenan sedikit terkesiap saat mereka mendarat di kastil. Tatapannya yang kosong membuat orang berpikir bahwa Kenan sedang tidak baik-baik saja. Dari sudut mata Conrad, dia bisa melihat bahwa Kenan sedih.Belum sempat Conrad membuka mulut, Kenan sudah berlari menuju kamarnya. Padahal sesuai kesepakatan mereka, Conrad akan menjelasakan kehidupan Karleen kepada Kenan. Conrad mengejarnya. Dia tidak paham dengan perubahan sikap Kenan yang menurutnya seperti kenak-kanakan.“Hei! Kenan! Aku ingin menceritakan kehidupan Karleen kepadamu! Mengapa kau malah kembali ke kamar duluan? Aku tidak jadi ingin mendengarnya, huh?”Seakan tidak peduli dengan ucapan Conrad, Kenan menepis tangan Conrad yang menahan lengan kirinya. “Aku ingin istirahat, tolong jangan ganggu aku!” balas Kenan.“Kau baru saja makan berat. Mana mungkin kau langsung istirahat setelah ini. Kau pasti berbohong.
Karleen dan Lisette bergandengan tangan menuju gedung administrasi. Edwyn sudah sampai duluan bersama teman-temannya. Dari kejauhan, Edwyn tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Karleen dan Lisette.“Syukurlah kau sudah membaik hari ini, Karleen!” ucap Edwyn. Rasa senang terpatri jelas di wajahnya.Karleen membalas dengan hangat senyuman itu. “Terima kasih telah mengkhawatirkanku, Edwyn!”Teman-teman Edwyn saling sikut menyikut. Mereka seakan terpana melihat senyum Karleen. Edwyn yang tahu akan itu dengan sengaja mengusir teman-temannya dengan dalih ingin berbicara dengan Karleen dan Lisette.“Apakah kau masih merasa pusing, Karleen?” tanya Edwyn selepas teman-temannya pergi.“Tidak, aku sudah sangat baik sekarang.”“Baiklah, semoga kejadian seperti itu tidak terjadi kepadamu lagi. Kami benar-benar bi
Suara hentakan kaki terdengar di lorong panjang yang sedang sepi. Tidak ada satu pun orang di sana. Hanya ada Hylda yang berlari menuju taman belakang untuk menemui seseorang. Napasnya terengah-engah. Sedangkan kedua tangannya mengepal.Dia ingin sekali berteriak untuk meluapkan kekesalannya hari ini. Setelah apa yang dia dengar di kantin mengenai Warren yang mengantar makanan ke asrama perempuan untuk Karleen yang sedang sakit.Tepat sebelum mulut Hylda terbuka dan berteriak, sebuah tangan dari belakang menutup mulutnya.“Kau sudah gila, ya! Meskipun sekarang sudah dini hari, teriakanmu itu bisa membangunkan orang-orang.”Hylda menepis kasar tangan Jaye. Dia berbalik berniat memarahi Jaye yang sudah menghalanginya untuk melampiaskan amarahnya.“Mengapa kau melihatku seperti itu? Kau ingin memarahiku, huh?”Perkataan Jaye tidak ditangg
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Warren menuju perpustakaan. Makanan yang dibawanya tidak terlalu banyak. Dia yakin Karleen tidak akan makan dengan banyak. Warren tidak menghiraukan imbauan di perpustakaan yang melarang pengunjung untuk membawa makanan. Penjaga perpustakaan juga tidak terlihat di meja resepsionis. Mata Warren sibuk berpendar mencari keberadaan Karleen. Warren melihat Karleen yang sedang duduk bersama dengan perempuan yang tidak dia kenali. Dia langsung menghampiri Karleen.“Astaga, Karleen!” ucap Warren dengan cemasnya. Mata Karleen membulat ketika melihat Warren ada di hadapannya.“Mengapa Anda ada di sini, Kapten?” Karleen berusaha untuk seformal ini menjawab ucapan Warren. Dia takut Rachel akan salah paham.“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Mengapa kau ada di sini alih-alih untuk sarapan di kantin?” Warren menanyakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Karleen m
Edwyn mendekati Lisette yang sedang sarapan sendirian di kantin. Dia tidak menemukan Karleen sejauh matanya berpendar. Edwyn yang awalnya duduk bersama teman-temannya memutuskan untuk menemani Lisette, “Hai, Lisette! Mengapa kau sarapan sendirian? Dimana Karleen?” sapa Edwyn yang kemudian duduk di samping Lisette. “Oh, hai, Edwyn! Karleen sedang tidak berselera makan. Dia sedang berada di perpustakaan sekarang. Aku tebak dia sedang mencari novel romansa klasik dan kebingungan ingin membaca yang mana,” jawab Lisette yang kemudian terkekeh. “Oh, ya? Memangnya kenapa Karleen tidak bernafsu untuk sarapan? Apakah dia sedang ada masalah?” Edwyn belum memakan sarapannya. “Sepertinya iya, tampaknya dia sering memendam perasaannya akhir-akhir ini. Dia tadi hanya mengatakan bahwa dia malas untuk sarapan, tetapi aku tidak mempercayainya. Meskipun aku sudah mengatakan padanya aku akan selalu mendengarkan ceritanya, Karleen terlihat enggan menceritakannya kepadaku.” Lisette menenggak minumanny
Di pagi hari seperti ini, koridor terasa sangat sepi. Entah itu hanya perasaan Karleen saja, atau koridor benar-benar sepi. Karleen bergegas melangkah menuju asrama. Hingga sebuah genggaman pada lengannya membuat Karleen berhenti. Karleen reflek menipis kuat tangan itu. “Sebuah reflek yang sangat bagus,” ucap seseorang diikuti dengan tepuk tangan yang ringan. Karleen mendongak melihat sosok tersebut. Laki-laki berambut pirang yang sangat enggan dia temui. “Salam Komandan!” Karleen memberi salut. “Tidak perlu formal begitu, Karleen. Sekarang hanya ada kita berdua di sini.” Karleen mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Jaye. “Mana mungkin saya bersikap seperti itu Komandan. Maafkan juga atas tindakan saya tadi yang menipis tangan Komandan,” jawab Karleen. Bibir Jaye menyunggingkan senyuman. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Aku a
Pagi-pagi sekali Karleen sudah bersiap-siap untuk berlatih pedang bersama Warren. Rasanya seperti sudah sangat lama dirinya tidak berlatih pedang. Karleen mengenakan celana panjang berwarna hitam dan gaun sebetis miliknya. Tidak lupa pula dia menguncir rambut hitam legamnya. Sambil tersenyum riang, Karleen menyusuri tangga. Dia sudah tidak sabar lagi. Entah ekspresi apa yang harus dia tunjukkan kepada Warren sesampainya dia di sana.Tangan Karleen mengayun bebas. Senyuman lebarnya dibalas oleh senyum Warren yang jarang dia lihat. Entah mengapa ada rasa hangat yang memenuhi hatinya. Sambil berlari kencang dia menghampiri Warren yang memegang dua pedang kayu. Karleen tidak mengerti mengapa dia berlari seperti ini. Warren seketika meletak dua pedang kayu itu ke atas tanah. Dia membuka kedua lengannya lebar-lebar. Meraih badan mungil Karleen dan merengkuhnya. Karleen menahan napas ketika wajahnya bersentuhan dengan badan Warren. Karleen tidak menyangka
Gunther langsung membaringkan dirinya setelah tiba di ruangan Warren. Conrad tidak mau membuka portal untuk mereka kembali. Dia malah menyuruh Gunther untuk sering-sering latihan teleportasi. Warren tampak tenang, dia tidak sesyok saat pertama tadi. Mereka menghabiskan waktu hampir dua jam berbincang-bincang di kastil tadi.“Kira-kira Karleen sedang apa ya?” tanya Warren spontan. Gunther tersenyum tipis mendengarnya.“Apa kau sudah rindu dengan Karleen, Kapten?”“Hmm, bukan rindu. Aku sangat rindu,” jawab Warren sambil memikirkan Karleen.Gunther mendadak geli mendengarnya.“Bagaimana kalau aku tidak ikut latihan untuk besok, Kapten? Aku tidak memiliki semangat untuk latihan besok pagi bersamamu. Lagipula aku sangat peka, aku tahu bahwa kau ingin bersama Karleen.”Muka Warren merah. Gunther t
“Sebentar, coba kau tersenyum,” perintah Warren. Kenan dengan polosnya mengikuti perkataan Warren tanpa membantah.“Lebih lebar lagi.” Kenan tersenyum sangat lebar.“Lesung pipimu ada, tetapi tidak sejelas milik Karleen,” tukas Warren. Conrad dan Gunther melemparkan pandangan.“Sejak kapan Karleen memiliki lesung pipi?” tanya Conrad. Gunther menaikkan bahunya.“Aku mengetahuinya sejak kecil. Dia selalu tertawa lebar dan lesung pipinya akan terlihat jelas. Namun, aku jarang melihat lesung pipinya seperti saat kami waktu kecil. Karleen jarang sekali tertawa dengan lebar.”Kenan hanya memanggut. “Apa kau sudah percaya aku adalah saudara kembarnya Karleen?” tanya Kenan. Warren mengangguk.“Kau akan menjadi adik iparku,” ucap Warren tanpa sadar. Mereka bertiga terkejut dengan apa y
Conrad menghela napasnya panjang. Dia membereskan dokumen-dokumen yang baru saja selesai dia kerjakan. Kini saatnya menulis surat untuk Gunther. Conrad mengambil kertas dan bolpen. Dia lupa apa saja yang ingin dia tulis untuk Gunther.“Haaa, aku lupa apa saja yang harus kutulis di surat ini,” keluh Conrad. Pikiran Conrad saat ini sangat kacau. Dia tidak bisa menebak apa yang dirasakan Kenan setelah mengetahui kondisi dirinya dan Karleen tidak aman.“Aku akan menanyakan kabarnya dan Warren terlebih dahulu, bagaimana kondisi di kompleks militer, bagaimana Karleen di sana, dan bagaimana perkembangan demon di sana. Aku juga harus menuliskan bahwa demon sudah jarang muncul di daerah sini.”Conrad dengan rapi menuliskan semua itu dalam rangkaian kalimat. Dia tidak perlu berlama-lama, menyimpan surat itu. Bersamaan dengan surat Karleen dan buku yang dia beri untuk Karleen, Conrad 
Jaye meninggalkan perpustakaan dengan amarah. Dia tidak menyangka akan ada perempuan yang tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Belum lagi ekspresi wajah yang tunjukkan oleh Karleen sangat memuakkan baginya. Selama ini semua perempuan yang diajak bercerita dengannya pasti berekspresi senang dan malu-malu.“Kau berniat untuk pura-pura sulit didekati, huh!” dengus Jaye.Masih dalam amarah, Jaye berjalan cepat menuju ruangannya. Dia harus memikirkan matang-matang rencana yang telah dibicarakan Hylda kepada dirinya. Yang perlu dilakukan Jaye adalah bersabar. Dia tidak boleh cepat-cepat mengambil langkah. Harus banyak pertimbangan dan proses dalam rencana ini. Yang pasti, tujuan akhirnya adalah Karleen akan berada di genggamannya.Jaye mengambil bolpen dan menarik kertasnya asal. Dia menuangkan ide di dalam kepalanya ke atas kertas itu. sambil menyeringai, Jaye memandangi wajah Karleen. Ingin sekali dia melihat wa
Pagi buta sekali Kenan telah bangun. Dalam senyap dia menyelinap ke dalam ruangan Conrad. Ada hal penting yang harus Kenan baca. Dokumen rahasia yang disimpan oleh Conrad. Kenan sudah tahu bahwasannya Conrad selalu mengunci ruangannya. Oleh karena itu, dia sudah mempersiapkan perkakas yang sekiranya diperlukan untuk mencongkel lubang kunci.Kenan lupa, tidak sesimpel itu Conrad mengunci ruangannya. Sihir yang belum pernah Kenan pelajari menyegel pintu ruangan Conrad. Kenan mendengus kesal. Usahanya sia-sia membawa perkakas untuk membuka pintu ruangan Conrad dengan paksa.Kenan mencoba sihirnya. Lagi-lagi dia mendengus kesal. Sihirnya belum sanggup untuk menyamai sihir segel milik Conrad. Kenan mencoba berulang kali. Bukannya berhasil, sihirnya malah meleset dan menyebabkan percikan api.Bau gosong menyerbak. Entah berapa kali dan seberapa kuat sihir yang Kenan coba. Kenan panik dan segera memadamkan api. Hanya saja