Gunther menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya yang bidang. Seakan sedang tidak berada di ruangan, Warren menyelonong masuk dengan ekspresi wajah yang sangat aneh. Gunther menggurutu dengan suara pelan.
Warren duduk dengan sembarangan ke atas sofa. Wajahnya sangat merah. Dia menundukkan wajahnya dan mengusap-usapnya berulang kali. Gunther bisa menebak mengapa wajahnya bisa semerah tomat seperti itu.
“Ehem.” Gunther berdeham dengan sangat kencang.
Tidak ada tanggapan dari Warren. Dia seperti sedang berada di dunianya sendiri. Tawa kecil keluar dari mulut Warren, membuat Gunther tersentak dan hampir jatuh.
“Kapten sudah gila sepertinya,” gumamnya pelan.
Gunther menghampiri Warren dengan duduk tepat di sebelahnya. Dia memerhatikan kaptennya itu dari samping. Keadaannya benar-benar mengenaskan. Tidak hanya wajahnya yang merah, telinganya pun juga merah.
Karleen merasakan degup jantungnya tidak beraturan. Dia masih belum percaya dengan yang dialaminya barusan. Warren. Entah apa yang dipikirkan Warren sehingga dia berani berbuat seperti itu. Karleen tidak marah. Dia hanya merasa sangat bingung dengan tujuan Warren.Sudut mata Karleen mengeluarkan air. Lisette yang melihatnya kembali panik. Dia mengusap air mata Karleen dengan cekatan. Mata Lisette menatap teduh tubuh Karleen yang masih tampak lemah.“Kau masih merasa sakit, Karleen?”Karleen menggeleng pelan.“Ayolah, kau makan bubur ini dulu sampai habis. Kau hanya makan di waktu pagi saja tadi. Aku khawatir maagmu akan kambuh.”“Aku tidak apa-apa, Lisette. Aku hanya perlu beristirahat sebentar. Jangan khawatirkan aku lagi. Kau bisa kembali ke kamarmu,” ucap Karleen lemah.“Mana bisa begitu Karleen. Aku tahu betul kon
Lisette mengedor pintu kamar Karleen. Tidak ada jawaban yang terdengar. Berulang kali Lisette mengedor dan memanggil nama Karleen, tetapi tidak ada juga jawaban yang kunjung didengar. Setelah mencoba lagi, perlahan kenop pintu kamar Karleen terbuka dari dalam.Wajah Karleen terlihat membengkak, matanya yang berkantung, dan rambutnya yang acak-acakan menyambut Lisette yang sudah rapi.“Astaga! Bagaimana bisa pasien ini seperti ini? Kau begadang semalaman ya, Karleen?”Karleen hanya terkekeh mendengarnya. “Lisette, apakah aku boleh istirahat hari ini?” tanya Karleen dengan wajah yang memelas. Seketika wajahnya berubah menjadi serius, seakan teringat oleh sesuatu yang penting.“Aku lupa untuk berlatih pedang bersama Warren!” timpal Karleen kemudian.“Kau gila atau bagaimana Karleen? Mana ada pasien yang harus istirahat sudah berlatih pedang.
Badan Kenan sedikit terkesiap saat mereka mendarat di kastil. Tatapannya yang kosong membuat orang berpikir bahwa Kenan sedang tidak baik-baik saja. Dari sudut mata Conrad, dia bisa melihat bahwa Kenan sedih.Belum sempat Conrad membuka mulut, Kenan sudah berlari menuju kamarnya. Padahal sesuai kesepakatan mereka, Conrad akan menjelasakan kehidupan Karleen kepada Kenan. Conrad mengejarnya. Dia tidak paham dengan perubahan sikap Kenan yang menurutnya seperti kenak-kanakan.“Hei! Kenan! Aku ingin menceritakan kehidupan Karleen kepadamu! Mengapa kau malah kembali ke kamar duluan? Aku tidak jadi ingin mendengarnya, huh?”Seakan tidak peduli dengan ucapan Conrad, Kenan menepis tangan Conrad yang menahan lengan kirinya. “Aku ingin istirahat, tolong jangan ganggu aku!” balas Kenan.“Kau baru saja makan berat. Mana mungkin kau langsung istirahat setelah ini. Kau pasti berbohong.
Karleen dan Lisette bergandengan tangan menuju gedung administrasi. Edwyn sudah sampai duluan bersama teman-temannya. Dari kejauhan, Edwyn tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Karleen dan Lisette.“Syukurlah kau sudah membaik hari ini, Karleen!” ucap Edwyn. Rasa senang terpatri jelas di wajahnya.Karleen membalas dengan hangat senyuman itu. “Terima kasih telah mengkhawatirkanku, Edwyn!”Teman-teman Edwyn saling sikut menyikut. Mereka seakan terpana melihat senyum Karleen. Edwyn yang tahu akan itu dengan sengaja mengusir teman-temannya dengan dalih ingin berbicara dengan Karleen dan Lisette.“Apakah kau masih merasa pusing, Karleen?” tanya Edwyn selepas teman-temannya pergi.“Tidak, aku sudah sangat baik sekarang.”“Baiklah, semoga kejadian seperti itu tidak terjadi kepadamu lagi. Kami benar-benar bi
Suara hentakan kaki terdengar di lorong panjang yang sedang sepi. Tidak ada satu pun orang di sana. Hanya ada Hylda yang berlari menuju taman belakang untuk menemui seseorang. Napasnya terengah-engah. Sedangkan kedua tangannya mengepal.Dia ingin sekali berteriak untuk meluapkan kekesalannya hari ini. Setelah apa yang dia dengar di kantin mengenai Warren yang mengantar makanan ke asrama perempuan untuk Karleen yang sedang sakit.Tepat sebelum mulut Hylda terbuka dan berteriak, sebuah tangan dari belakang menutup mulutnya.“Kau sudah gila, ya! Meskipun sekarang sudah dini hari, teriakanmu itu bisa membangunkan orang-orang.”Hylda menepis kasar tangan Jaye. Dia berbalik berniat memarahi Jaye yang sudah menghalanginya untuk melampiaskan amarahnya.“Mengapa kau melihatku seperti itu? Kau ingin memarahiku, huh?”Perkataan Jaye tidak ditangg
Pagi-pagi sekali Karleen tanpa ditemani oleh Lisette sudah menuruni tangga. Sesuai jadwal, dia akan berlatih pedang bersama Warren sebelum upacara peresmian hari ini dimulai. Bunyi gesekan pedang terdengar saat kaki Karleen menginjaki lapangan. Warren dan Gunther belum sadar atas kedatangannya.Karleen berdecak kagum melihat kepiwaian Warren dan Gunter. Meski sudah dua hari yang lalu Karleen melihat mereka duel, Karleen masih kagum dengan permainan mereka. Karleen bertepuk tangan dengan semangat. Wajah Warren yang dipenuhi oleh peluh langsung tertuju menuju Karleen.“Karleen, apa yang kau lakukan di pagi buta seperti ini? Apakah kau rindu kepadaku?” Rahang Karleen turun. Dia tidak menyangka hal yang seperti itu akan keluar dari mulut Warren. Begitupula dengan Gunther, dia menahan tawanya. Karleen dan Gunther saling melempar pandangan.“Kalian!” lirih Warren pelan yang setelahnya menghampiri Karlee
Lisette menghentak-hentakan kakinya. Sudah berpuluh menit dia menunggu Karleen di depan pintu kamarnya. Dengan wajah yang kusut dia hendak kembali ke kamarnya dan bersiap untuk sarapan sendiri. Namun, sosok Karleen muncul dari tangga. Membuat Lisette berteriak dan berlari memeluk Karleen.“Pantas saja aku menunggumu di depan kamar, kau tidak keluar-keluar!” tukas Lisette.“Dari mana saja kau, Karleen? Jangan bilang kau diam-diam menemui Kapten Warren?” selidik Lisette. Dia merenggangkan pelukannya dan menatap wajah Karleen dengan serius.“Ah, maafkan aku Lisette. Benar, aku menemui Warren tapi untuk berlatih pedang. Bukan karena hal lain,” jawab Karleen jujur dengan volume pelan. Dia tidak ingin ada yang mendengar jawabannya barusan.“Haa, baiklah. Kau mengagetkanku saja. Kalau begitu, setelah ini ayo kita turun. Aku sudah sangat penasaran dengan menu s
Suara terompet yang asing terdengar di penjuru kompleks militer. Para calon prajurit tergesa-gesa menuju lapangan yang berada di tengah-tengah kompleks. Karleen dan Lisette sudah tiba di lapangan sebelum para prajurit lainnya datang. Mereka berpisah ketika regu masing-masing sudah berbaris. Lisette mengepalkan tangannya, menyemangati Karleen. Begitu pula dengan Karleen. Dia melakukan hal yang sama. Tidak banyak berbeda dari upacara sebelumnya. Ada protokoler yang membuka upacara dengan membacakan berbagai pembukaan. Namun, yang paling menyita perhatian Karleen adalah, terdapat beberapa prajurit yang mengenakan seragam putih dengan motif yang berbeda dari seragam calon prajurit dan juga prajurit. Seragam putih yang dihiasi dengan motif berwarna emas. Memberikan kesan yang sangat elegan ketika dikenakan. Karleen terpana ketika melihat seragam itu yang bersinar terkena cahaya matahari. Meski menyilaukan mata, Karleen terus saja menatapnya. Dia menduga-duga apa yang membuat prajurit itu