"Kenapa, Bu? Kok istighfar?" tanya Sheila bingung dan sedikit kecewa. Bukan itu reaksi yang dia harap. Seharusnya calon mertua langsung menganggukkan kepala dan memeluknya. Perempuan di hadapan gadis itu menggeleng lemah. Memijit pelipis yang mendadak berdenyut nyeri memikirkan Zidan yang masih terlalu muda untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. "Aku dan Zidan itu sangat dekat saat sekolah, Bu. Mulai dari SD sampai akhirnya aku pindah waktu SMA. Aku yakin, kami pasangan yang cocok," imbuh gadis itu dengan senyuman lebar. "Nak Sheila kan, baru saja tamat sekolah, Zidan juga. Menikah tak sesederhana yang kamu pikirkan, Nak. Kalau memang jodoh, tidak akan kemana. Untuk saat ini, jangan mikirin untuk pacaran atau nikah dulu, tapi pikirkan bagaimana agar kalian bisa bangkit dari masalah ini, ya, Nak," balas Bu Wati dengan hati-hati. Jika dulu suaminya sempat berpikir kalau Zidan akan sulit mendapatkan istri di masa depan karena mahalnya biaya seserahan di kampung mereka
"Ih, aku kok, gemetar begini? Tidak, tidak mungkin aku menjatuhkan harga diri di hadapan Zidan. Kalau dia ternyata gak suka padaku, mau ditaroh dimana muka ini? Ya Tuhan, ini memalukan," rutuk Najwa, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menghembuskan napas dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir. "Lebih baik kutunggu saja sampai dia mengungkapkan perasaannya. Tapi kalau keduluan sama Sheila, bagaimana? Argh!"Najwa membentangkan tangan, mendongakkan kepala menatap langit nan indah. Ribuan bintang nun jauh di sana bagaikan sedang menertawakan sikap konyolnya. "Ada apa, Non? Kata Bi Ina saya dipanggil Non Najwa, ya?" tanya Zidan, tergopoh menghampiri. "Non nan non. Jangan panggil aku 'non' lagi kalau sedang di luar kerjaan! Panggil saja Najwa. Kamu juga jangan memakai kata saya kalau bicara denganku. Aku ini masih muda, nanti dikira orang pula kalau kamu sedang jalan sama tantemu," cetus gadis yang mengenakan blazer warna coklat yang dipadukan dengan rok plisket warna senada.
"Astaghfirullah, Zidan. Aku kecewa sama kamu. Kukira kamu lelaki yang berbeda, tidak diperbudak hawa nafsu seperti pemuda kebanyakan yang hobi pacaran. Di depan banyak orang kamu terlihat seperti lelaki tanpa cela, tapi di belakang tak lebih dari buaya. Bisa-bisanya kamu mau melecehkan seorang gadis di rumah ini," ujar Najwa emosi. Semua penghuni rumah masih sibuk menenangkan Sheila yang sedang meraung-raung. Kondisi Sheila benar-benar meyakinkan sebagai korban. Rambut dan pakaiannya acak-acakan. Rencana yang sudah disusun matang layaknya sebuah serangan tindakan asusila.Bu Tejo yang sudah mulai pulih dan mengerti keadaan begitu marah. Ia memukuli Zidan dengan sekuat tenaga. Sumpah serapah pun bertebaran dari mulutnya. "Saya membawamu dari kampung agar kamu dan keluargamu tidak dihina orang lain, Zid. Namun, saya telah salah duga. Kamulah yang telah menghinakan dirimu sendiri. Saya tak menyangka kalau anak dengan tampang sepolos kamu bisa melakukan hal serendah ini pada putri sah
Sejenak waktu seperti berhenti. Kedua insan yang saling merindukan dalam diam dan juga doa masih bungkam. Tak ada yang memulai pembicaraan. Sang satpam menatap kedua insan itu secara bergantian. Segera menghampiri putri bungsu bosnya. "Neng, kenapa bengong? Apa dia penjahat atau pencuri? Biar saya amankan." Satpam menyodorkan botol susu. "Ya, dia pencuri. Tangkap dia, Pak!" titah perempuan yang semakin cantik itu. Tangannya mengusap-usap punggung sang bayi yang mulai menggeliat tak nyaman. Segera satpam berkumis tipis itu menangkap kedua tangan Zidan yang sedang panik. Tak menyangka kalau disebut pencuri. Dia meninggalkan rumah ini karena sebuah kasus yang tidak dilakukannya, tapi bukan karena pencurian. Lalu kenapa gadis yang pernah mengaku menyebut namanya dalam doa mengucapkan fitnah baru? "Saya bawa ke kantor polisi sekarang, Neng?" "Bawa saja masuk, Pak. Dia tidak akan mempan sama polisi," balas Najwa, menoleh sekilas, lalu melebarkan langkah menuju rumah bak istana itu.
"Ih, Mama, Bibi sama Abang nguping?" Najwa mengerucutkan bibir, lalu tersenyum malu. Semuanya senyam-senyum dan mendekati sejoli itu. "Masya Allah, pantas saja adik Abang satu-satunya ini kelihatan lebih cantik dari biasanya. Auranya bersinar, rupanya mau dilamar pria idamannya," goda Dani, menjawil dagu adiknya. Jika dulu mereka tak akrab, tapi belakangan ini sering komunikasi. Najwa mulai membenahi hubungan dengan saudara satu-satunya. "Ayo kita masuk kalau begitu, biar semuanya kita bicarakan dengan serius," ajaknya pada Zidan yang salah tingkah. Bi Ina kelihatan paling gembira di antara yang lainnya. Memeluk calon pasangan itu bergantian. Suasana pun berubah jadi riuh. Semua anggota keluarga merasa lega karena akhirnya Najwa mau menikah. Sempat takut kalau anak perempuan Bu Isma itu sudah menutup diri dari semua lelaki. Beberapa anak teman arisan datang untuk melamar gadis itu, tetapi Najwa selalu beralasan sedang sibuk meniti karir. "Walaupun saya belum pernah bertemu Dek Zi
Jika memang harta atau kepopuleran bisa jadi jaminan rumah tangga bahagia, mungkin tidak akan pernah ada kasus artis bercerai. Jika memang kemiskinan membuat keluarga bagai neraka, mungkin tidak akan pernah ada pasangan dengan ekonomi pas-pasan yang bertahan sampai gigi ompong semua dan rambut memutih. Tidak ada jaminan, karena semuanya terletak pada kesiapan hati kedua belah pihak melakukan hak dan kewajiban. Najwa memang bergelimang harta. Naik mobil sudah hal yang biasa, meskipun sebenarnya pakai motor tetap jadi favorit. Selain bisa menghindari jalanan yang macet, dia juga dengan mudah berbaur dengan siapa saja. Tak ada yang minder bicara dengannya atau pun memperlakukan istimewa karena keluar dari kenderaan roda empat. Cinta kepada pemuda miskin pencuri hati memang masih bertahta dalam sanubari gadis kota yang angkuh. Rasa kagum dan juga merasa bersalah silih berganti memenuhi rongga dada. Terkadang menangis tanpa disadari karena telah menzalimi orang terkasih. Sejatinya, dia p
"Saya terima nikah dan kawinnya Najwa Adzkiyah Maulida binti Samsul Arifin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai." Lantang dan tegas suara Zidan di tengah keheningan. Berbagai trik yang sudah diajarkan Dani untuk mengusir rasa grogi cukup berhasil. Tidak ada pengulangan sama sekali. Para saksi pun mengatakan, "sah.""Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama'a bainakuma fii khoir. Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu serta kebaikan atasmu dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. …."Lantunan doa-doa yang diucapkan sang penghulu membuat netra kedua mempelai dan juga orang tua menjadi berkabut. Momen sakral yang diharap hanya akan berlangsung sekali seumur hidup itu begitu menyentuh hati. Najwa menyalami Zidan, mencium punggung tangan lelaki yang baru saja menerima tanggung jawab atas dirinya secara lahir dan batin. Lanjut menyalami Mama, mertua, Abang dan ipar-iparnya. Acara resepsi pun berlangsung dengan meriah dan lancar.Mantan rekan kerj
"Udah miskin masih aja sok kaya. Gini nih kalau orang gak sadar diri.""Lah iya, rumah dia aja bisa berdiri karena bantuan pemerintah dan warga, masih aja berlagak seperti masih punya segalanya."Ibu-ibu lain mencibir. Bu Wati sudah tak enak hati jadinya, tapi untung saja Bu Tejo langsung pulang sehingga acara berangsur-angsur kondusif. Sheila, anak kedua Bu Tejo masih mematung, berdiri agak jauh dengan mata memandang lurus pada sepasang pengantin yang menyunggingkan senyum di atas singgasana sehari. Keduanya terlihat serasi sehingga panen pujian. Gadis yang masih menyimpan rasa pada mempelai laki-laki tak terlalu peduli dengan apa yang terjadi dengan ibunya, karena hati sedang sakit mendengar dan melihat pujaan hati kini bersanding dengan wanita lain. Dulu, dia mengaku dilecehkan agar segera dinikahkan meskipun Zidan belum jatuh cinta. Semua akan bertunas dan berbuah manis bersamaan dengan waktu. Dia nekad karena merayu Zidan sangatlah susah, sedangkan saingannya seorang anak kulia
Rumah Bu Wati kembali lengang setelah anak, menantu, cucu dan besannya pulang. Hanya celotehan Vania yang tak ada habisnya memberikan warna yang berbeda. Ahmad dan Saripah juga sudah istirahat di kamar karena selama bertamu, mereka paling direpotkan sebagai tuan rumah. "Nenek, Bang Erlang dan Kak Airin sudah sampai rumah mereka?" tanya gadis kecil itu. Bu Wati terkekeh. "Baru satu jam mereka pergi, Van. Masih jauh. Kamu rindu, ya?""Iya, Nek.""Nanti mereka akan telpon kalau sudah istirahat di jalan atau sampai, ya. Sabar, ya, cucu Nenek yang cantik."Vania mengangguk bahagia. Matanya tertuju pada beberapa temannya yang mengintip di dekat pintu, lalu memanggil untuk bermain di luar. "Mainnya jangan jauh-jauh, ya!""Iya, Nek." Kompak anak-anak itu mengiyakan. Sekarang gantian Bu Wati yang tak ada teman mengobrol. Kemaren Bu Tejo yang kesepian, sekarang dia sedang sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Tawanya begitu lepas setelah anaknya Juniarti mau bicara dan duduk dipangkuan sang n
"Ibuuuuu! Harusnya Ibu masih tinggal di rumah Kak Najwa dan Bang Zidan agar aku bisa sering berkunjung. Apalagi Kak Najwa sedang hamil."Aisyah melancarkan serangan bujuk rayu. Setelah pesta kemarin, ia dan keluarga suami menginap di hotel di sebuah kabupaten yang baru pemekaran menjadi pemerintahan kota. Tak begitu jauh dari rumah Bu Wati, cuma sekitar sejam perjalanan. Sekalian mereka pergi jalan-jalan dulu sebelum kembali ke kota. Mereka memang berencana balik bersama keluarga kecil Zidan dan Najwa."Tante, gak boleh cengeng. Ini Nenek aku!" Vania berkacak pinggang. Gadis kecil dengan rambut yang dikuncir itu mengerucutkan bibir."Sok berkuasa! Ini Nenek aku juga," cetus Erlang."Nenek aku! Ayaaaah!" seru Vania, mengadu pada Ahmad."Harus akur dong, Sayang. Ini nenek Vania, neneknya Airin, neneknya Erlang juga. Semuanya sama-sama sayang Nenek, kan?" tanya Bu Wati.Ketiga anak itu kompak mengiyakan."Kalau begitu, peluk dan cium Nenek sama-sama!" titah Ahmad.Bu Wati berjongkok, mem
Beberapa tahun kemudian, berketepatan pada bulan syawal, rumah Bu Wati begitu ramai. Akan ada acara bahagia. Anak, menantu dan cucu-cucu serta kerabat sedang makan berbagai olahan khas hari raya. Cucu kembar jandanya Pak Imran itu paling heboh. Karena merasa paling tua di antara anak-anak lainnya, yang perempuan terus mengkoordinasi sepupunya untuk tertib. Namun, yang satu lagi malah bikin ulah, suka menjahili yang lain.Di sana ada Bu Tejo juga, memakai kaca mata karena penglihatannya sedikit mulai terganggu. Berulang kali dia mengusap mata yang menghangat. Tahun ini tidak ada anak menantunya yang menemani. Begitu pulang solat idul fitri, dia langsung diajak Bu Wati ke rumahnya.Rio dan istri sedang pergi liburan beberapa hari yang lalu dan mengabarkan belum bisa pulang. Mungkin beberapa hari lagi. Bu Tejo sangat kesepian dan akhirnya tak menolak tawaran bertandang ke rumah orang yang paling sering membelanya."Nenek! Lihat! Si Erlang nakal!" seru Vania, putra dari Ahmad yang berusia
"Oh, jadi kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi dia memilih yang lain? Gak nyadar gitu kalo kamu sudah suka sama dia sejak duku?"Sheila mengangguk."Kok bisa sama, ya?" tanya Jerikho dengan kening berkerut. Setelah berbagai cara dan alasan dia lakukan, akhirnya gadis bernama Sheila itu mau bicara dengannya. Dia tertarik pada gadis kampung itu sejak pertama berjumpa. Entahlah, apakah karena dia sedang galau setelah gadis yang dulu menolaknya telah menikah dengan rekan bisnisnya. Dunia terkadang sesempit itu. Tak bisa dihindari, padahal sudah mati-matian berusaha menjauh.Awalnya gadis yang sudah konsisten berjilbab itu cuek, lama-kelamaan mau diajak bicara. Sheila hanya menganggap teman karena sadar kalau dia sedang putus asa, merasa tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Zidan di hatinya. "Sama? Maksudnya Bos juga di tinggal kawin sama cewek yang Bos suka?" "Ya, begitulah. Parahnya, aku datang di acara mereka tanpa tahu kalau pengantinnya adalah perempuan yang mematahkan hatiku
Assalamualaikum dan semangat sore, Bestie😍😍Kemesraan iniJanganlah cepat berlaluKemesraan iniIngin kukenang selaluHatiku damaiJiwaku tentram disampingmuHatiku damaiJiwaku tentram bersamamuSuara pengamen itu ternyata cempreng dan tidak nyaman di telinga. Untung saja dia menyanyikan intinya saja. Selembar uang warna biru diberikan Zidan pada lelaki itu. "Makasih, Mas. Semoga umurnya panjang dan rejeki berlimpah."Pemuda itu terlihat senang, bagai mendapat rejeki nomplok. Mengusap dada berkali-kali. Kelihatan kalau uang itu sangat berharga buatnya. "Ngapain dikasih banyak sih, Bang? Lagunya aja gak enak," protes Najwa setelah pemuda bercelana sobek-sobek di lutut dan betis itu pergi. "Gak apa-apa. Dia gak ngemis loh, Sayang. Sekalian biar kamu gak kelamaan malunya sama dia," kekeh Zidan. Najwa mengerucutkan bibir. Wajahnya masih sedikit memerah karena salah paham tadi. "Habisnya itu orang emang ngeselin, kok. Dia bilang tante sambil menatapku."Bu Wati tertawa sekilas. Mena
"Astaghfirullah, sampai lupa ngajak kalian masuk. Ayo semuanya, kita ngobrol di dalam!"Bu Isma merangkul bahu perempuan yang seumuran dengannya. Dia sebenarnya lebih muda beberapa bulan dari Bu Tejo, tapi nikah muda dan cepat dipercayai keturunan. Itu sebabnya putra pertama Bu Isma lebih tua dari anak sulung sahabatnya. Namun, karena Bu Tejo pernah cerita dia lebih tua sedikit, jadilah Sheila lebih nyaman menyebut Bu Isma dengan sebutan tante. Terlebih wajah perempuan paruh baya itu kelihatan lebih muda dari ibunya. "Hai, siapa namamu?" Jerikho mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sheila menatap sekilas, lalu mengambil tasnya dan masuk mengikuti yang lain. Rio sudah kebelet mau ke toilet dan tak menunggu kakaknya lagi sehingga tinggal mereka berdua. "Sombong banget, sih? Atau ada perasaan yang harus dijaga? Oh, atau laki-laki tadi calon suamimu?" cerocos Jerikho asal. Dia ingin mendengar suara perempuan itu. "Sembarangan. Dia itu adikku dan … Anda jangan terlalu sok akrab," cetus
Tangan Bu Tejo bergetar mengambil sendok, entah kenapa canggung di dekat anak-anak. Bulir bening di pelupuk mata Bu Tejo dan Sheila, tak bisa diajak kompromi lagi, jatuh tanpa permisi. Sheila pegangi pergelangan tangan perempuan yang memberikannya kejutan manis hari ini, menuntun tangan ibunya agar pas masuk ke mulut. Senyum Rio tercetak jelas melihat ibu dan adiknya terlihat akrab. Ia pun berinisiatif menyuapi dua perempuan itu bergantian. "Assalamualaikum, Bu Tejo!""Masuk! Gak dikunci kok." Bu Tejo buru-buru mengusap wajah. Seseorang masuk kedalam dalam rumah dengan menjinjing satu kantong kresek. "Wah, lagi makan, ya. Maaf menganggu. Ini saya bawa titipan sambal dari Mbak Wati. Katanya buat Bu Tejo, titip salam agar cepat sembuh," ujar perempuan itu, meletakkan kresek berisi sepuluh botol sambal aneka rasa. "Alhamdulillah, makasih, Retno. Baik sekali mereka. Kebetulan saya belum belanja kebutuhan dapur. Ini bisa menambah nafsu makan."Retno melempar senyum. Sebenarnya dia mal
"Antara Bu Tejo dan Bu Irma, sebenarnya gak ada yang layak dipilih. Sama-sama nyebelin dan sombong. Kalau Bu Irma memilih kabur, Bu Wati kembali ke perantauan, jadi bakalan Bu Tejo yang kembali merasa berkuasa. Secara kan, harta dia sudah dikembalikan adik-adik iparnya. Dia kaya-raya lagi. Dia pasti semakin sombong. Pas miskin saja dia masih belum berubah. Belagu.""Bener banget, Bu. Dia pasti makin sombong lagi. Saya sering sakit hati dibuatnya. Makanya saya semangat sekali memukulinya tanpa bukti yang jelas malam itu. Terlanjur greget, saya kebablasan mendapat momen bagus. Coba aja ada kesempatan lagi."Gelak tawa pun mewarnai obrolan."Bener, Bu. Tapi untunglah kita gak dipenjara. Tahu gitu, kukasih cabe rawit giling saja bibir Bu Tejo biar jontor."Gelak tawa ibu-ibu yang pernah sakit hati pun membahana sekali lagi. Langkah Bu Tejo yang berniat mau belanja di warung kelontongan berhenti."Kalau boleh milih, ya, kan, mending Bu Wati balik ke kampung ini. Dia orangnya baik, ramah da
"Jerikho? Kamu juga di sini? Kok bisa?" cecar Cindy saat melihat sepupunya juga datang. Tanpa saling tahu. Setelah kabar pernikahan Najwa ditetapkan, mereka tak pernah bicara. "I-iya, Mbak. Jadi kalian di sini sebagai keluarga dari mempelai perempuan?""Iya. Jadi kamu kenal Zidan juga?" Cindy balik bertanya. Bahu pemuda yang lebih putih dan tampan dari Zidan itu terkulai. Dia memang menaruh hati pada Najwa sejak pertama kali berjumpa. Diam-diam menyukai adik ipar dari kakak sepupunya hingga suatu hari meminta Cindy menjodoh-jodohkan mereka. Namun Najwa dengan tegas menolak karena hatinya sudah terpaut pada seorang pemuda biasa. Bertahun-tahun berbisnis bersama, pemuda yang yang kini berusia 28 tahun itu harus patah hati lebih dalam. Belum cukup sakit hati karena ditolak, sekarang dia harus dihadapkan pada kenyataan kalau perempuan idamannya harus menjadi pendamping rekan bisnisnya. Jerikho memiliki gerai minimarket dan menjual kembali aneka sambal milik Zidan. Dia sering bertandan