Jika memang harta atau kepopuleran bisa jadi jaminan rumah tangga bahagia, mungkin tidak akan pernah ada kasus artis bercerai. Jika memang kemiskinan membuat keluarga bagai neraka, mungkin tidak akan pernah ada pasangan dengan ekonomi pas-pasan yang bertahan sampai gigi ompong semua dan rambut memutih. Tidak ada jaminan, karena semuanya terletak pada kesiapan hati kedua belah pihak melakukan hak dan kewajiban. Najwa memang bergelimang harta. Naik mobil sudah hal yang biasa, meskipun sebenarnya pakai motor tetap jadi favorit. Selain bisa menghindari jalanan yang macet, dia juga dengan mudah berbaur dengan siapa saja. Tak ada yang minder bicara dengannya atau pun memperlakukan istimewa karena keluar dari kenderaan roda empat. Cinta kepada pemuda miskin pencuri hati memang masih bertahta dalam sanubari gadis kota yang angkuh. Rasa kagum dan juga merasa bersalah silih berganti memenuhi rongga dada. Terkadang menangis tanpa disadari karena telah menzalimi orang terkasih. Sejatinya, dia p
"Saya terima nikah dan kawinnya Najwa Adzkiyah Maulida binti Samsul Arifin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai." Lantang dan tegas suara Zidan di tengah keheningan. Berbagai trik yang sudah diajarkan Dani untuk mengusir rasa grogi cukup berhasil. Tidak ada pengulangan sama sekali. Para saksi pun mengatakan, "sah.""Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama'a bainakuma fii khoir. Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu serta kebaikan atasmu dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. …."Lantunan doa-doa yang diucapkan sang penghulu membuat netra kedua mempelai dan juga orang tua menjadi berkabut. Momen sakral yang diharap hanya akan berlangsung sekali seumur hidup itu begitu menyentuh hati. Najwa menyalami Zidan, mencium punggung tangan lelaki yang baru saja menerima tanggung jawab atas dirinya secara lahir dan batin. Lanjut menyalami Mama, mertua, Abang dan ipar-iparnya. Acara resepsi pun berlangsung dengan meriah dan lancar.Mantan rekan kerj
"Udah miskin masih aja sok kaya. Gini nih kalau orang gak sadar diri.""Lah iya, rumah dia aja bisa berdiri karena bantuan pemerintah dan warga, masih aja berlagak seperti masih punya segalanya."Ibu-ibu lain mencibir. Bu Wati sudah tak enak hati jadinya, tapi untung saja Bu Tejo langsung pulang sehingga acara berangsur-angsur kondusif. Sheila, anak kedua Bu Tejo masih mematung, berdiri agak jauh dengan mata memandang lurus pada sepasang pengantin yang menyunggingkan senyum di atas singgasana sehari. Keduanya terlihat serasi sehingga panen pujian. Gadis yang masih menyimpan rasa pada mempelai laki-laki tak terlalu peduli dengan apa yang terjadi dengan ibunya, karena hati sedang sakit mendengar dan melihat pujaan hati kini bersanding dengan wanita lain. Dulu, dia mengaku dilecehkan agar segera dinikahkan meskipun Zidan belum jatuh cinta. Semua akan bertunas dan berbuah manis bersamaan dengan waktu. Dia nekad karena merayu Zidan sangatlah susah, sedangkan saingannya seorang anak kulia
"Sialan, kenapa pakai datang angin segala sih?" gerutu perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam dan penutup wajah agar tidak ada yang mengenalinya. Koreknya padam karena ditiup angin yang datang tiba-tiba, seolah alam tak merestui niat busuknya. Perempuan itu tak putus asa, dia mencoba menyalakan korek untuk kedua kali. "Iiiih." Dia mengipas-ngipaskan tangan dengan jijik. Di beberapa dahan pohon mangga belakang rumah Bu Wati bertengger ayam tetangga dan buang hajat tepat membasahi tangan perempuan itu. Meskipun curiga kalau cairan hangat itu adalah kotoran, perempuan itu masih tetap membauinya. Jelas saja dia langsung mau muntah-muntah. Baunya menyengat dan lengket ditangan. "Ayam sialan. Awas saja, kamu akan saya potong nanti," gerutunya, mengambil batu dan melempar ke arah dahan yang bergerak. Semua ayam yang bertengger di sana berubah riuh dan melompat ke sana kemari. Panik luar biasa. Perempuan itu langsung tersadar kalau tindakannya telah membahayakan nyawa sendiri. Te
"Bagaimana keadaanmu, Sheila?" tanya Najwa, berdiri paling dekat dengan gadis itu. Wajahnya kelihatan masih pucat. Zidan berdiri di belakang istri demi menjaga perasaan perempuan tercintanya. Sheila memaksakan tersenyum karena badannya terasa mau remuk. Dia yang paling banyak kena pukuli ibu-ibu karena berusaha melindungi tubuh perempuan yang menjaganya selama 9 bulan dalam rahim. Meskipun ibu sering berlaku tak sesuai keinginannya, tapi perempuan paruh baya itu adalah orang tua satu-satunya. Mereka berdua yang terus bersama selama lima tahun terakhir. Saling support dan menjaga satu sama lain. "Ma-kasih banyak telah menyelamatkan aku dan Ibu, Kak Najwa," lirih Sheila. "Sama-sama, Shei. Tapi walaupun begitu, Bu Tejo tetap harus bertanggung jawab karena mencoba melakukan praktik pembunuhan berencana dengan cara mau membakar rumah mertuaku."Netra Sheila membeliak, menggelengkan kepala. "Ibuku memang sudah berniat, tapi belum melakukannya, Kak. Percayalah padaku," mohon gadis yang m
Zidan tersenyum melihat aksi nekad istrinya, tapi jikalau pun dituntut agar dikembalikan, dia siap menganggantinya. Bu Irma meradang, masih tidak terima melihat uang yang dikasih Najwa ke warga sudah tak bersisa. "Sudah sudah, Bu. Kamu itu emang gegabah. Apa kamu lupa kalau menantu Bu Wati itu anak pengusaha restoran? Uang segitu tidak akan ada artinya bagi mereka. Harusnya kita bujuk dengan hati yang tenang." Pak Ramlan mengacak rambutnya dengan kasar. Reputasinya sebagai mantan kepala desa yang baik akan tercemar. Belum lagi kalau masalah ini diperpanjang, akan semakin ribet. Dua adik ipar Bu Tejo sudah panas dingin, mengipasi wajahnya berkeringat dengan jari tangan. "Kacau kacau semuanya. Gimana ini? adek gak mau dipenjara, Bang?"Riri menarik lengan baju suaminya."Pokoknya Abang tidak mau campur tangan. Jangan libatkan suamimu ini nanti kalo sampai kamu masuk penjara," cetus Raden, lelaki yang lumayan pemalas. Dia selalu menghasud istrinya agar merebut harta warisan yang dikel
Segala sesuatu bisa saja terjadi, tiada terduga, tanpa direncanakan. Kun fayakun.*Bukan hanya Bu Tejo dan keluarga yang mulai menata hati lebih bahagia, Bu Wati dan keluarga juga ikutan senang. Bukan apa-apa, hidup tanpa ada yang memusuhin adalah nikmat yang sangat dirindukan. Tidak harus terlalu akrab, tapi cukup tidak memendam kebencian. Tidak janggal saling menyapa dengan ramah kalau bersua. Itu saja sudah lebih dari cukup. Bu Irma, tersangka atas percobaan ingin membakar rumah Bu Wati dan memfitnah Sheila beserta ibunya telah pindah secara mendadak dari kampung Mamirpir. Rumah dijual lebih murah saking panik dan takutnya berurusan dengan hukum. Bukti rekaman percakapan itu bisa jadi senjata berbahaya jika diviralkan oleh netijen yang dahsyat. Mau tak mau, aparat bisa dengan cepat tanggap menangkap mereka tanpa peduli dengan sogokan materi. Bu Irma berpikir, jika seandainya mereka tidak berakhir di balik jeruji besi, tapi sanksi sosial pun akan tetap berlaku. Dighibahin dan ju
"Ya ampun, cocok banget di badan kamu, Cindy. Gak ada gatal-gatal, kan?" Retno mengulum senyum. Mereka duduk sebentar di musalla pom bensin sembari menunggu mobil yang satu lagi. "Kalau saya itu beli baju yang penting adem. Entah kenapa, ya, meskipun saya belum punya anak, tapi selalu mikir kalau beli pakaian harus bisa dipakai saat punya anak nanti. Sebagai ibu, memberi ASI itu adalah kewajiban kita. Jangan sampai karena ingin terlihat gaya sampai zalim sama anak. Padahal disambut bahagia saat baru lahir," imbuhnya. Cindy menganggukan kepala dengan kaku. Ucapan perempuan yang sedikit lebih tua darinya itu ada benarnya. "Sudahlah, Re. Jangan bicara begitu lagi. Kasihan Nak Cindy," bisik Bu Wati, menyenggol adik iparnya. "Biarin aja, Mbak. Yang aku katakan bener kok. Biar dia tidak terlalu sombong.""Tapi, kan …."Bu Wati tak meneruskan ucapan karena melihat rombongan telah sampai. "Tadi hampir mau nabrak anak kecil yang ngejar bola ke tengah jalan. Untung saja Pak Dimas bisa ng