"Hai, Emma!" Daniel berdiri di depan pintu bersama Luis di belakangnya.Emma terkejut dengan sosok di hadapannya. "Dan!" Sontak ia melompat memeluk sang kakak yang sudah lama tidak saling jumpa. Saking rindunya, Emma spontan menangis di pelukannya."Ayo, masuk!" Emma menuntun Daniel masuk dan duduk di sofa. Ia menyeka air mata dengan jari-jarinya, lalu pergi ke lemari pendingin, mengeluarkan bermacam-macam stok makanan yang ia punya. Emma mengisi meja di depan sofa sampai hampir penuh kemudian ia duduk di kursi seraya mengamati rupa Daniel yang sangat berbeda. Berat badannya menyusut, tampangnya juga lusuh seperti kehilangan darah."Makanlah, Dan." Emma tidak ingin bertanya mengapa Daniel bisa berubah sedemikian rupa. Sudah pasti karena tidak ada uang. Keadaan semakin buruk semenjak ibu mereka meninggal. Niat ingin mengubah keadaan, Emma berhasil melakukannya, mengubah menjadi lebih buruk lagi.Daniel pun makan beragam jenis kudapan di atas meja. Dicicipi sedikit-sedikit, semuanya ena
"Jadi, Emma sudah pergi pagi ini?" Abra mengunyah nacho."Hah ... aku tidak bisa menekan kemandiriannya. Dia tidak mau mengandalkanku. Padahal sebagai laki-laki, aku ingin diandalkan oleh perempuan."Abra tersenyum miring. "Usia kita belum genap dua puluh tahun. Bagaimana seorang gadis mau mengandalkanmu?""Aku punya bisnis, kau tahu itu?""Maksudmu ... bisnis motel ayahmu?"Luis hampir lupa kenyataannya. Meski dia menikmati banyak fasilitas; uang, kendaraan, dan pendidikan berstandar tinggi, tapi ingat, semuanya hasil upaya George. "Nanti juga akan dialihkan kepadaku. Lihat saja. Aku pewaris tunggal." Luis pede menyedot milkshake vanilla menggunakan sedotan. "Omong-omong, jika aku menginap di unit apartemenmu untuk sementara waktu ... kau tidak keberatan, kan?""Kenapa? Kau mau tinggal?""Ya ... sementara waktu. Bisa, kan?"Abra menerawang isi otak Luis. "Biar kutebak, kau kabur dari rumah?""Ehm, aku butuh suasana baru. Kamar rooftopku agak membosankan.""Oh, ya? Apa ada kaitannya
Saat Enrique menunggu di mobil, Luis bergegas masuk ke kediaman Emma. Niatnya datang hendak bantu beres-beres rumah, tapi begitu tiba rumahnya sudah rapi, bersih, tidak nampak bak sarang penyakit seperti sebelumnya. Luis duduk disambut minuman rasa jeruk dingin di gelas besar serta beberapa kue kecil dalam toples."Kau yang bikin ini semua?" Luis menunjuk toples-toples di atas meja."Bukan. Aku beli, tidak sempat kalau buat sendiri. Aku bersih-bersih rumah sejak datang. Baru saja selesai begitu kau tiba.""Hmm, aku terlambat, ya?"Emma tersenyum tipis. "Tidak. Lagipula sudah kubilang tidak perlu membantu. Kau kan harus kuliah, itu yang paling perlu."Daniel menuruni tangga dari lantai dua sambil terbatuk-batuk. "Lantai dua sudah selesai! Eh, Luis, kau datang?""Baru saja." Luis mencicipi kue dari toples. "Oh ya, aku tidak bisa lama-lama. Cuma ingin beri ini!"Emma mengamati pergerakan tangan Luis. Ia membuka ransel lantas mengorek-orek isinya, mencari sesuatu. Tangan itu mencapit sebu
Luis mendengkus entah sudah berapa kali, ditambah lagi sekali saat melihat Enrique melambaikan tangan di lahan parkir. Pria dewasa itu berdiri tepat di posisi persis seperti kemarin, dengan gaya yang sama. Ternyata ucapannya bukan isapan jempol, Enrique benar-benar loyal akan janjinya membawa Luis pulang, dan Luis tidak ingin pulang."Berapa ayahku membayarmu?""Kenapa ingin tahu? Jangan mengurusi uang orang lain.""Hih!"Luis kembali ke apartemen, bersama Enrique, lagi. Sebisa mungkin ia tidak mengacuhkan eksistensi teman ayahnya itu. Rasanya menyebalkan diikuti terus. Tatapan Luis sengaja menghindarinya, bikin sepat mata. Dia makan, menonton televisi, baca buku, tidur, tanpa berinteraksi sama sekali. Enrique sungguh tidak dianggap.Hingga pagi berikutnya, Enrique masih tetap teguh. Luis sampai berdecak kesal. "Kau masih akan membuntutiku hari ini?" tanyanya sambil berkacak pinggang.Enrique mengangguk. Camilan dari toples mengisi mulutnya."Begini saja, katakan pada ayahku, aku akan
Berhari-hari berlalu. Daniel akhirnya bekerja di apartemen milik orang tua Abra. Emma pun mendapat pekerjaan di sebuah restoran cepat saji, bukan restoran cepat saji terkenal. Namun, terbilang cukup ramai. Luis kembali pulang ke Emerald setelah mengambil keputusan panjang, ia dan George membuat sebuah kesepakatan."Oke, aku akan pulang, asal jangan kau usik urusan asmaraku lagi!" Luis berkata tegas. George hanya mengangguk tanpa sanggahan, yang penting anaknya mau pulang.Keadaan berangsur membaik dari segala hal. Kakak-beradik Wilson perlahan bangkit dari keterpurukan. Aktivitas kuliah Luis lancar. Hubungan pertemanannya dengan Abra pun kian erat. Menghabiskan waktu di malam Minggu rutin dilakukan kendati pacar Luis berada di kota yang sama—Emma selalu tidak punya waktu untuk bersenang-senang saat Sabtu malam. Bekerja di restoran membuatnya terikat banyak waktu. Keinginan Abra belajar saxophone kerap dilakukan walau masih belum lancar memainkan nada. Begitu pula Luis, setiap kawannya
"Oh, tidak ... apa-apaan ini?!" Daniel terkejut melihat Anne tergeletak di lantai, bercucuran darah dari kepala. "Siapa yang melakukan ini?!""Bibimu ingin membunuh Emma. Jadi, kulumpuhkan dia duluan," papar Luis dengan tenang.Daniel memegang nadi sang bibi, setelahnya ia menarik rambut. "Sial! Dia mati.""Apa? Mati?!" Emma begitu panik. Siapa juga yang tidak panik terlibat dalam kondisi berbahaya seperti ini."Ya sudah, buang saja!" sahut Luis seenaknya."Kau ingin tukang sampah menemukan mayatnya, lalu melapor polisi dan kau dipenjara?" Daniel berpikir rasional. Ia melepas jaket, melemparnya ke sofa. "Kita kubur saja di halaman belakang biar dia bersatu dengan suaminya.""Paman dikubur di halaman belakang?" Emma butuh penjelasan. Itu janggal. Padahal ada banyak lahan di pemakaman umum. "Kalau tidak ada biaya, mengapa tidak hubungi aku? Lagipula kenapa kau menyembunyikan kematiannya dariku?"Daniel mendesah sambil menatap Emma dalam-dalam. "Aku tidak bisa menguburkan Paman di pemaka
Kini Luis mengambil alih Emerald. Ia duduk di kursi bukan hanya sekadar pengganti shift, tetapi sebagai pemilik sungguhan. Luis juga mempekerjakan orang lain sebagai karyawan, dia merasa perlu guna menunjang aktivitas bisnis. Jika diharuskan mengurus administrasi, merangkap bersih-bersih tentu akan merepotkan. Luis suka yang praktis. Lebih baik mengeluarkan sedikit uang daripada mengerahkan tenaga dan menghabiskan seluruh kehidupan untuk mengurus usaha tanpa memiliki waktu bersenang-senang.Namun, kendati sudah berganti kepemilikan tidak lantas membuat George lepas tangan, ia masih ikut mempertimbangkan kebijakan untuk bisnis yang dibangun oleh tangannya sendiri. Jaga-jaga jika Luis membuat keputusan yang kurang tepat, ia bisa menasihati sang putra guna menimbang kembali buah pikirannya."Sebaiknya kita buat diskon atau voucher gratis menginap agar pelanggan tertarik.""Jika menurutmu dapat berguna, lakukan saja." George menjawab tanpa pikir panjang. Sebet
Luis dan George masih berkumpul bersama keluarga Kissinger. Keluarga pemilik brand furniture ternama. Sang pemilik—Henry Kissinger, bersama anak menantunya—Monica, serta anak Monica yaitu Charlotte sang pianis. Sejak pertama kali bercengkerama, Monica menaruh perhatian penuh pada Luis, nampaknya pemuda itu membuat ia penasaran. Pun sekarang Monica masih berusaha mengetahui sepenggal mengenai Luis."Lulusan Universitas Nasional rata-rata bekerja pada bidang bergengsi. Minimal mereka tidak ada yang menganggur atau bekerja di posisi rendah. Lantas, apa saat ini kau sudah bekerja atau sedang berencana memulai karier?""Eh, aku mengelola bisnis keluarga. Kami memiliki sebuah motel di jalan utama.""Hm, bisnis bagus. Kota kita kan punya beragam tempat wisata. Jadi, penginapan adalah salah satu bidang penunjang dalam urusan pariwisata. Kami juga sedang mempertimbangkan melebarkan sayap ke bisnis penginapan," timpal Henry."Wah, kebetulan sekali!" George
Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”