Kini Luis mengambil alih Emerald. Ia duduk di kursi bukan hanya sekadar pengganti shift, tetapi sebagai pemilik sungguhan. Luis juga mempekerjakan orang lain sebagai karyawan, dia merasa perlu guna menunjang aktivitas bisnis. Jika diharuskan mengurus administrasi, merangkap bersih-bersih tentu akan merepotkan. Luis suka yang praktis. Lebih baik mengeluarkan sedikit uang daripada mengerahkan tenaga dan menghabiskan seluruh kehidupan untuk mengurus usaha tanpa memiliki waktu bersenang-senang.
Namun, kendati sudah berganti kepemilikan tidak lantas membuat George lepas tangan, ia masih ikut mempertimbangkan kebijakan untuk bisnis yang dibangun oleh tangannya sendiri. Jaga-jaga jika Luis membuat keputusan yang kurang tepat, ia bisa menasihati sang putra guna menimbang kembali buah pikirannya."Sebaiknya kita buat diskon atau voucher gratis menginap agar pelanggan tertarik.""Jika menurutmu dapat berguna, lakukan saja." George menjawab tanpa pikir panjang. SebetLuis dan George masih berkumpul bersama keluarga Kissinger. Keluarga pemilik brand furniture ternama. Sang pemilik—Henry Kissinger, bersama anak menantunya—Monica, serta anak Monica yaitu Charlotte sang pianis. Sejak pertama kali bercengkerama, Monica menaruh perhatian penuh pada Luis, nampaknya pemuda itu membuat ia penasaran. Pun sekarang Monica masih berusaha mengetahui sepenggal mengenai Luis."Lulusan Universitas Nasional rata-rata bekerja pada bidang bergengsi. Minimal mereka tidak ada yang menganggur atau bekerja di posisi rendah. Lantas, apa saat ini kau sudah bekerja atau sedang berencana memulai karier?""Eh, aku mengelola bisnis keluarga. Kami memiliki sebuah motel di jalan utama.""Hm, bisnis bagus. Kota kita kan punya beragam tempat wisata. Jadi, penginapan adalah salah satu bidang penunjang dalam urusan pariwisata. Kami juga sedang mempertimbangkan melebarkan sayap ke bisnis penginapan," timpal Henry."Wah, kebetulan sekali!" George
Sesuai janji, Rabu malam Luis dan George melakukan pertemuan dengan Henry. Tidak lain tidak bukan tempat pertemuannya adalah di kediaman Kissinger. Rumah menjadi tempat bincang-bincang ternyaman, selain menghemat biaya jika menyewa suatu tempat, pertemuan di rumah juga menjadi ajang perkenalan lingkungan serta budaya. Dekorasi khas pada hunian dan masakan yang disajikan dapat menjadi identitas tersendiri pada sebuah tempat tinggal.Luis dan George datang bersama, mengendarai mobil merah mereka yang rencananya akan diganti dengan mobil keluaran baru yang lebih bagus awal bulan depan. Usai mendesak George mengeluarkan uang simpanannya, akhirnya disepakati bahwa Luis akan mengendarai mobil keluaran Inggris yang tentunya akan menjadi kebanggaan buat si empunya. Rasanya seperti mengendarai mobil Sang Ratu.Ayah-anak itu memasuki area halaman rumah keluarga Kissinger yang luasnya setara dua lapangan sepak bola. Berlari mengelilinginya akan cukup membakar kalori guna meny
Hanya berselang satu pekan sejak kendaraan baru diparkirkan di halaman Emerald, Luis kembali terkejut sebab proyek rumah baru mereka kembali berjalan."Yah, uangmu sudah terpakai banyak untuk beli mobil. Bahkan si merah tidak dijual, kita jadi punya dua mobil. Bukankah itu cukup membuatmu bangkrut? Sekarang uang dari mana lagi untuk membangun rumah?""Tidak usah pusing memikirkannya.""Lho, gimana tidak pusing? Kau selalu mengeluh tidak ada uang. Hemat, hemat, hemat. Tiba-tiba menggelontorkan banyak dana untuk sesuatu. Sebenarnya berapa banyak yang kau sembunyikan, hah?"George terkikik. "Ya ampun, Luis. Kau terdengar panik seakan menghadapi bencana besar." Ia menganggap remeh kepanikan Luis."Tolong, jujurlah kali ini. Jika Ayah main judi pun tidak masalah, aku cuma ingin tahu sumber uang itu dari mana. Mustahil dari penghasilan motel. Aku tahu betul berapa yang didapat dari bisnis kita. Kecuali kita punya seratus kamar, occupancy harian
Luis menghadiri persidangan vonis Thalia yang digelar di pengadilan kota. Luis duduk di barisan paling belakang mendengarkan dakwaan hakim atas tuntutan pada pihak-pihak yang tersandung korupsi Walikota. Sebelumnya, dua tersangka sudah diadili, Dean mendapat hukuman sepuluh tahun penjara, Josh yang membantu pencucian uang dihukum lima tahun. Aset-aset hasil dana haram disita, seluruhnya hingga ke akar-akar. Beruntung uang yang diterima Luis murni penghasilan Josh bukan dari hasil jatah pekerjaan kotor.Thalia divonis dua tahun penjara karena terbukti ikut menikmati hasil uang korupsi. Ia mengaku tahu perbuatan Josh, tapi memilih pura-pura tidak tahu. Perhiasan mewah, pakaian-pakaian mahal, koleksi tas edisi terbatas, semua barang-barang bergengsi sengaja ditukar guna melakukan pencucian uang. Sebenarnya bukan masa tahanan sang ibu yang membuat Luis merasa miris, melainkan bisik-bisik kawanan sosialita di barisan depan yang terdengar terus membicarakan Thalia. Wani
Luis menatap serius. Pertanyaannya mungkin terdengar sepele, tapi hal yang ingin diketahuinya memang keharusan. Bagaimana jika uang-uang yang George dapat ternyata dihasilkan dari cara yang tidak baik lagi? Sepak terjang pria menjelang tua itu memang pernah menghasilkan uang dengan cara kotor—mendalangi kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak menampik, Luis sangat menikmati harta itu. Ia hanya takut jika ayahnya melakukan perbuatan berisiko lagi, bukan tidak mungkin hari sialnya bakal datang tak terduga.Memilih bertanya pada Enrique sepertinya bukan alternatif tepat. Pria itu lagi-lagi menjawab dengan nada konyol. "Pekerjaan kotor? Kami bukan tukang bersih-bersih, Luis."Luis mengembuskan napas keras dari mulut, ia hampir ingin menyerah mengungkap rahasia di antara mereka."Kalau kerjaan kalian lurus-lurus saja, kenapa aku tidak boleh tahu? Kalian menyembunyikannya dariku, untuk apa? Apa aku akan dirugikan jika mengetahui dari mana kalia
"Aku dengar kabar, ibumu meninggal. Aku turut berduka."Luis setengah menunduk gara-gara diingatkan sosok Thalia lagi. Membicarakannya membuat dada Luis terasa sakit. Memang, ia pernah ditinggal lama sejak kecil hingga dewasa, belasan tahun. Namun begitu, selama berada dalam dunia yang sama, Luis tidak pernah merasa Thalia pergi jauh kendati tidak pernah bertatap muka. Paling bagus hanya melihat sang ibu dari kejauhan, itupun pada situasi tidak disengaja. Semenjak Thalia meninggal, Luis merasa ibunya benar-benar pergi, batinnya tidak merasa terhubung lagi. Tali di antara mereka terputus sejak Thalia memutuskan mengakhiri hidup."Kau pasti sedih karana kehilangan ibumu. Aku juga merasakan hal yang sama waktu ayahku meninggal, seluruh duniaku serasa menghilang. Aku merasakan kehilangan yang sangat dalam. Sejujurnya, aku takut kehilangan orang-orang yang kucintai lagi, tapi hidup ini memaksa kita untuk terus mengalami hari-hari buruk itu."Angin di balkon lan
Ide itu tercetus begitu saja dalam benak George. Terdesak, ia pikir menjodohkan anak-anak mereka adalah cara pamungkas mewujudkan kerja sama bisnis paling baik."Menjodohkan Charlotte dan Luis?" Monica terlihat tidak senang. "Mengapa kami harus setuju?""Menjadikan Luis sebagai bagian dari keluarga ini adalah jaminan terbaik. Tuan Henry, kau pasti takut jika bisnis tidak berjalan lancar sesuai rencana, entah gagal dalam pembangunan atau mungkin Anda khawatir keuntungan bakal ditilap. Aku yakin jika keluarga membangun bisnis bersama, akan tercipta harmonisasi di dalamnya. Tidak akan ada pengkhianat. Untuk merugikan keluarga pasti berpikir dua kali, sebab jika anggota keluarga lain dirugikan dan hancur, kau juga pasti ikut terseret. Maka dari itu, kurasa berkat bersatunya kedua keluarga kita, bisnis besar ini bisa terwujud dan dijalankan dengan baik."Henry bergeming. Saran George bukan pilihan terbaik, tetapi cukup diterima akal sehatnya. Membuat Luis menja
Luis menolak persyaratan kerja sama dengan perusahaan Henry. Ia tidak habis pikir ada yang menggagas ide gila tersebut. Jika ada cara lain untuk berkorban demi bisnis mungkin Luis bisa mempertimbangkannya, menjual satu ginjal lebih bisa diterima ketimbang menjual hatinya kepada orang lain.Selama berhari-hari Luis mogok bicara pada George, ia tidak menimpali meski sang ayah menyapa atau bicara kepadanya. Pertengkaran mereka berlanjut, baik George maupun Luis sama-sama kukuh akan pendirian mereka. Tidak ada yang mau mengalah.George tetap memaksakan kehendak yang menurutnya adalah hal mudah, menggadaikan cinta itu bukan masalah. Sementara, Luis tidak sudi dipisahkan dari kekasihnya. Mereka masih saling mencintai, tidak ada alasan bagus untuk berpisah mendadak. Luis tidak tertarik pada gadis lain, walau diiming-imingi imbalan besar. Kebanyakan orang akan mengejar-ngejar pasangan berduit. Luis memang suka uang, tetapi nuraninya bekerja dengan baik menolak opsi menukar
Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”