"Aku dengar kabar, ibumu meninggal. Aku turut berduka."
Luis setengah menunduk gara-gara diingatkan sosok Thalia lagi. Membicarakannya membuat dada Luis terasa sakit. Memang, ia pernah ditinggal lama sejak kecil hingga dewasa, belasan tahun. Namun begitu, selama berada dalam dunia yang sama, Luis tidak pernah merasa Thalia pergi jauh kendati tidak pernah bertatap muka. Paling bagus hanya melihat sang ibu dari kejauhan, itupun pada situasi tidak disengaja. Semenjak Thalia meninggal, Luis merasa ibunya benar-benar pergi, batinnya tidak merasa terhubung lagi. Tali di antara mereka terputus sejak Thalia memutuskan mengakhiri hidup."Kau pasti sedih karana kehilangan ibumu. Aku juga merasakan hal yang sama waktu ayahku meninggal, seluruh duniaku serasa menghilang. Aku merasakan kehilangan yang sangat dalam. Sejujurnya, aku takut kehilangan orang-orang yang kucintai lagi, tapi hidup ini memaksa kita untuk terus mengalami hari-hari buruk itu."Angin di balkon lanIde itu tercetus begitu saja dalam benak George. Terdesak, ia pikir menjodohkan anak-anak mereka adalah cara pamungkas mewujudkan kerja sama bisnis paling baik."Menjodohkan Charlotte dan Luis?" Monica terlihat tidak senang. "Mengapa kami harus setuju?""Menjadikan Luis sebagai bagian dari keluarga ini adalah jaminan terbaik. Tuan Henry, kau pasti takut jika bisnis tidak berjalan lancar sesuai rencana, entah gagal dalam pembangunan atau mungkin Anda khawatir keuntungan bakal ditilap. Aku yakin jika keluarga membangun bisnis bersama, akan tercipta harmonisasi di dalamnya. Tidak akan ada pengkhianat. Untuk merugikan keluarga pasti berpikir dua kali, sebab jika anggota keluarga lain dirugikan dan hancur, kau juga pasti ikut terseret. Maka dari itu, kurasa berkat bersatunya kedua keluarga kita, bisnis besar ini bisa terwujud dan dijalankan dengan baik."Henry bergeming. Saran George bukan pilihan terbaik, tetapi cukup diterima akal sehatnya. Membuat Luis menja
Luis menolak persyaratan kerja sama dengan perusahaan Henry. Ia tidak habis pikir ada yang menggagas ide gila tersebut. Jika ada cara lain untuk berkorban demi bisnis mungkin Luis bisa mempertimbangkannya, menjual satu ginjal lebih bisa diterima ketimbang menjual hatinya kepada orang lain.Selama berhari-hari Luis mogok bicara pada George, ia tidak menimpali meski sang ayah menyapa atau bicara kepadanya. Pertengkaran mereka berlanjut, baik George maupun Luis sama-sama kukuh akan pendirian mereka. Tidak ada yang mau mengalah.George tetap memaksakan kehendak yang menurutnya adalah hal mudah, menggadaikan cinta itu bukan masalah. Sementara, Luis tidak sudi dipisahkan dari kekasihnya. Mereka masih saling mencintai, tidak ada alasan bagus untuk berpisah mendadak. Luis tidak tertarik pada gadis lain, walau diiming-imingi imbalan besar. Kebanyakan orang akan mengejar-ngejar pasangan berduit. Luis memang suka uang, tetapi nuraninya bekerja dengan baik menolak opsi menukar
Monica menengok putrinya yang tengah menonton video demo memasak di televisi. Ruang keluarga mereka terasa hangat walau perapian tidak dinyalakan. Karpet berbulu lebat membentang di tengah ruangan hingga ke bawah kursi-kursi. Monica berjalan santai menuju Charlotte, tatapannya tidak teralihkan sama sekali dari tayangan tersebut."Charly, ingin mencoba resep baru?""Aku ingin belajar membuat macaron."Monica senang melihat antusias Charlotte. Gadis besar itu selalu punya minat dan kerap mencari kesibukan. Mungkin itu caranya agar bisa diakui di dalam keluarga Kissinger. Ia tidak memiliki kekuatan untuk mewarisi perusahaan milik kakeknya. Seluruh Peru di bawah naungan Henry, terutama perusahaan terbesarnya—Kiss Hardware, ditangani oleh keturunan laki-laki. Henry itu sosok penganut patriarki, beruntung dia tidak memiliki anak kandung perempuan. Tiga anaknya semuanya laki-laki, dua yang masih hidup memegang kendali atas perusahaan tambang milik Henry juga. Sem
Charlotte pergi menenangkan diri, entah ke mana. Dia suka melarikan diri jika sedang kesal. Daripada marah-marah menguras energi, Charlotte memilih keluar melihat dunia dan macam-macam cerita yang bisa disaksikan. Di halte bus, ia melihat seorang ibu menggendong bayinya penuh kasih, sepasang suami istri yang tidak pernah lepas berpegangan—sepertinya pengantin baru. Murid-murid SMA yang tertawa terbahak-bahak hingga membuat bayi di gendongan ibunya menangis terganggu, Charlotte jadi sedikit tertawa. Dasar gadis-gadis berisik!Yah, dia juga dulu sama seperti anak-anak SMA di halte. Charlotte dikenal sebagai siswi periang dan punya banyak teman. Namun, usai lulus, teman-temannya berpencar ke segala penjuru hingga tidak saling berhubungan lagi, putus kontak. Bernostalgia, Charlotte ingin mengulang masa lalu, semasa sekolah, waktu ayahnya masih hidup. Masalah hidup bertambah ratusan kali lipat sejak dirinya beranjak dewasa, tidak lain tidak bukan sumber masalah berasal dari pusa
Luis mendesah resah, tangannya melempar pulpen yang barusan digunakan untuk menulis laporan keuangan bulan ini. Pendapatan tidak kunjung membaik, pemasukan sedikit, pengeluaran membengkak."Kalau begini terus bisa gawat. Emerald bisa pensiun lebih cepat." Decak kesal mewarnai gerakan Luis menekan tombol daya di televisi. Apa lagi kali ini? Kecemasannya bertambah gara-gara iklan yang ditayangkan. Padahal gunanya menonton TV untuk menyegarkan pikiran sedikit dari beban hidup yang mengurung otak, tapi pikiran Luis malah semakin panas karena sebuah iklan hotel di kota sebelah. Ia tahu, hotel itu terkenal, bisnis mereka sudah berjalan selama belasan tahun, dan sukses. Meski bukan terbilang hotel murah, tapi tidak pernah sepi pengunjung. Beda dengan Emerald, sudah murah, sepi pula. Pada iklan di televisi, digambarkan tamu mereka berpenampilan elegan khas orang-orang berduit banyak. Kenyataannya memang begitu, target pasar mereka adalah kalangan menengah ke ata
"Kau tidak yakin bahwa aku adalah jodohmu?" Pertanyaan krusial yang ditanyakan seorang kekasih. Salah menjawab, ini bisa jadi kencan terakhir bagi Luis dan Emma.Luis malah bertindak bodoh dengan terus bergeming, bergumam pun tidak. Setidaknya berusaha sedikit memberi jawaban. Pikirannya sungguh kusut gara-gara permasalahan keuangan motel dan desakan George untuk menyetujui kesepakatan menguntungkan bisnis. Namun, sama sekali tidak menguntungkan dari sisi asmara. Luis kan manusia biasanya, seperti orang-orang pada umumnya dia juga butuh uang, butuh dicinta juga. Dua permasalahan mematikan dalam hidup, sangat membuat dilema.Akibat reaksi Luis, pikiran Emma menjadi buruk. Sepertinya omongan George benar. "Kau tidak tertarik denganku lagi, Luis?" Dada Emma terasa sesak waktu mengatakannya, sesak karena menahan tangis."Bukan begitu, Em. Masa depan itu sulit diprediksi, tidak ada hal yang pasti. Jika soal perasaan, aku sangat mencintaimu. Namun, apa kita akan
"Aku akan pikirkan cara untuk menyelamatkan bisnis. Aku janji!" Luis tidak menduga momen ini bisa menjadi salah satu saat paling sentimental dalam hidupnya. Ia pikir, dia hanya bisa merasa sedih karena tidak bisa membeli barang impiannya atau karena kekecewaan Emma terhadapnya. Luis hampir lupa bahwa banyak kenangan yang terjadi selama ia menetap di bangunan motel berlantai dua itu, kenangan-kenangan paling menyenangkan usai berhasil menguasai hidup, menendang jauh-jauh kesulitan di masa lampau."Semua kenangan kemajuan hidup kita ada di sini. Motel ini bukan sekadar penginapan bagiku. Namun, telah menjadi bagian hidup yang melekat. Di sini tempat kita tinggal setelah berhasil keluar dari kemiskinan, di sini aku memulai karir pertamaku, masa-masa menikmati hidup, dan juga bertemu ibu kembali. Aku tidak ingin berpisah dari motel ini."Emerald menjadi berharga bukan sebab nilai jualnya secara harafiah, tetapi perjuangan di dalamnya. Tentang bagaimana dua pria saling
"Charly ...." Monica masuk ke kamar Charlotte pagi-pagi seperti biasa. Gadis itu mengerang pelan sembari berusaha membuka mata. Monica tersenyum tipis melihatnya, baginya Charlotte masih tetap peri kecil kesayangan. Tidak rela menyaksikan si anak tunggal tumbuh besar, Monica mengelus lalu mengecup lembut pucuk rambut Charlotte.Saat mata Charlotte terbuka lebar, pemandangan di luar jendela terang benderang. "Apa sekarang sudah siang?" Ia tercekat duduk di pinggir ranjang."Tidak, baru jam 6.30. Kau mau pergi?""Aku ada latihan dengan guruku siang ini untuk konser orkestra Jumat depan." Charlotte menghela napas panjang untuk menyempurnakan kesadaran."Hari ini kau tidak bisa pergi. Tunda pertemuanmu sampai besok.""Ada apa? Kakek mengadakan acara lagi?" Charlotte menduga-duga. Kakeknya memang kerap membuat acara atau pertemuan mendadak lalu seenaknya mengajak Charlotte ikut. Jika ditolak, orang tua itu bakal uring-uringan dan mem
Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”