Luis mendesah resah, tangannya melempar pulpen yang barusan digunakan untuk menulis laporan keuangan bulan ini. Pendapatan tidak kunjung membaik, pemasukan sedikit, pengeluaran membengkak.
"Kalau begini terus bisa gawat. Emerald bisa pensiun lebih cepat."Decak kesal mewarnai gerakan Luis menekan tombol daya di televisi. Apa lagi kali ini? Kecemasannya bertambah gara-gara iklan yang ditayangkan. Padahal gunanya menonton TV untuk menyegarkan pikiran sedikit dari beban hidup yang mengurung otak, tapi pikiran Luis malah semakin panas karena sebuah iklan hotel di kota sebelah. Ia tahu, hotel itu terkenal, bisnis mereka sudah berjalan selama belasan tahun, dan sukses. Meski bukan terbilang hotel murah, tapi tidak pernah sepi pengunjung. Beda dengan Emerald, sudah murah, sepi pula.Pada iklan di televisi, digambarkan tamu mereka berpenampilan elegan khas orang-orang berduit banyak. Kenyataannya memang begitu, target pasar mereka adalah kalangan menengah ke ata"Kau tidak yakin bahwa aku adalah jodohmu?" Pertanyaan krusial yang ditanyakan seorang kekasih. Salah menjawab, ini bisa jadi kencan terakhir bagi Luis dan Emma.Luis malah bertindak bodoh dengan terus bergeming, bergumam pun tidak. Setidaknya berusaha sedikit memberi jawaban. Pikirannya sungguh kusut gara-gara permasalahan keuangan motel dan desakan George untuk menyetujui kesepakatan menguntungkan bisnis. Namun, sama sekali tidak menguntungkan dari sisi asmara. Luis kan manusia biasanya, seperti orang-orang pada umumnya dia juga butuh uang, butuh dicinta juga. Dua permasalahan mematikan dalam hidup, sangat membuat dilema.Akibat reaksi Luis, pikiran Emma menjadi buruk. Sepertinya omongan George benar. "Kau tidak tertarik denganku lagi, Luis?" Dada Emma terasa sesak waktu mengatakannya, sesak karena menahan tangis."Bukan begitu, Em. Masa depan itu sulit diprediksi, tidak ada hal yang pasti. Jika soal perasaan, aku sangat mencintaimu. Namun, apa kita akan
"Aku akan pikirkan cara untuk menyelamatkan bisnis. Aku janji!" Luis tidak menduga momen ini bisa menjadi salah satu saat paling sentimental dalam hidupnya. Ia pikir, dia hanya bisa merasa sedih karena tidak bisa membeli barang impiannya atau karena kekecewaan Emma terhadapnya. Luis hampir lupa bahwa banyak kenangan yang terjadi selama ia menetap di bangunan motel berlantai dua itu, kenangan-kenangan paling menyenangkan usai berhasil menguasai hidup, menendang jauh-jauh kesulitan di masa lampau."Semua kenangan kemajuan hidup kita ada di sini. Motel ini bukan sekadar penginapan bagiku. Namun, telah menjadi bagian hidup yang melekat. Di sini tempat kita tinggal setelah berhasil keluar dari kemiskinan, di sini aku memulai karir pertamaku, masa-masa menikmati hidup, dan juga bertemu ibu kembali. Aku tidak ingin berpisah dari motel ini."Emerald menjadi berharga bukan sebab nilai jualnya secara harafiah, tetapi perjuangan di dalamnya. Tentang bagaimana dua pria saling
"Charly ...." Monica masuk ke kamar Charlotte pagi-pagi seperti biasa. Gadis itu mengerang pelan sembari berusaha membuka mata. Monica tersenyum tipis melihatnya, baginya Charlotte masih tetap peri kecil kesayangan. Tidak rela menyaksikan si anak tunggal tumbuh besar, Monica mengelus lalu mengecup lembut pucuk rambut Charlotte.Saat mata Charlotte terbuka lebar, pemandangan di luar jendela terang benderang. "Apa sekarang sudah siang?" Ia tercekat duduk di pinggir ranjang."Tidak, baru jam 6.30. Kau mau pergi?""Aku ada latihan dengan guruku siang ini untuk konser orkestra Jumat depan." Charlotte menghela napas panjang untuk menyempurnakan kesadaran."Hari ini kau tidak bisa pergi. Tunda pertemuanmu sampai besok.""Ada apa? Kakek mengadakan acara lagi?" Charlotte menduga-duga. Kakeknya memang kerap membuat acara atau pertemuan mendadak lalu seenaknya mengajak Charlotte ikut. Jika ditolak, orang tua itu bakal uring-uringan dan mem
Hari menyebalkan yang tidak pernah diinginkan Luis akhirnya terjadi juga. Jangan salah, ia bukan tipe laki-laki buaya darat yang gemar mencaplok banyak pasangan. Luis adalah lelaki setia, cuma dia harus berpaling karena desakan keadaan. Demi mempertahankan bisnis yang dibangun susah payah, tonggak kehidupan keluarga Arias hingga berhasil melampaui batas masa lalu yang tak terduga. Jika saja tidak pernah tercetus ide instan dari George pasti Luis tidak akan pernah menunggu gadis lain untuk berkencan selain Emma. Ini sebuah pengkhianatan pahit, tetapi dijalani dengan penuh kesadaran."Ayo, kita berangkat!" Aba-aba dari Charlotte yang baru turun dari lantai dua, menghampirinya di ruang tamu, lantas Luis mengekorinya di belakang seperti bodyguard alih-alih pacar.Luis masih ingat kencan pertamanya bersama Emma, sangat antusias dan menyenangkan. Itu adalah hari yang telah ia tunggu-tunggu sejak lama, hampir separuh hidupnya kala itu. Berbeda dengan kencan pertama kali i
"Teman? Sungguh?" tanggap Luis dengan nada heran bercampur terkejut."Kami bertemu di bus kota, tidak sengaja. Aku duduk di sebelahnya lalu ngobrol-ngobrol. Kami cukup nyambung. Jadi, begitulah, kami memutuskan untuk berteman."Luis mengerutkan kening. "Gadis sepertimu berteman dengan seorang gadis sepertinya? Dia cuma seorang pegawai restoran cepat saji!""Kenapa? Ada yang salah?""Dia itu cuma orang biasa!" Luis tidak bermaksud menghina kekasih aslinya, ia merasa perlu berusaha merusak hubungan Charlotte dan Emma. Pertemanan mereka adalah kesalahan, seperti halnya hubungan asmara Charlotte dan Luis.Namun, Charlotte sulit dilumpuhkan. "Lantas? Kami sama-sama manusia, jangan mengkotak-kotakkan yang satu dengan yang lainnya." Luis malah mendapat burger di pangkuannya. "Sebaiknya kau makan saja makan malammu!""Tidak bisa dibiarkan! Bagaimana ceritanya kalau begini? Jika Emma tahu aku memiliki hubungan dengan temannya bisa gawat!"
"Oh, iya. Aku belum pernah cerita, ya?" Emma antusias, ia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku punya seorang teman, dia orang kaya, namanya Charlotte. Kami baru bertemu beberapa kali, sih, tapi dia baik sekali dan ramah. Semalam dia datang ke restoran diantar calon suaminya. Sayangnya, pria itu tidak ikut masuk ke restoran, dia menunggu di mobil, padahal aku ingin kenal."Luis menelan ludah, pria yang dibicarakan Emma adalah dirinya. Pantas saja kalau dia harus sembunyi. Kalau Luis muncul memperkenalkan diri sebagai calon suami Charlotte bisa terjadi perang dunia keempat."Tapi, Em, hati-hati dengan orang kaya, takutnya kau dimanfaatkan." Luis berusaha keras mengubah haluan Emma. Seperti halnya saat menjelek-jelekkan Emma di depan Charlotte, ia melakukan hal senada. Emma dan Charlotte harus dipisahkan bagaimana pun caranya."Dimanfaatkan seperti apa? Bukankah biasanya orang-orang seperti kita yang justru memanfaatkan kalangan kelas atas?""Mungki
Luis tidak jadi kecewa kalau begini caranya. Rumah ini jauh lebih baik dari perkiraannya, luas dan nyaman. George memandu Luis menunjukkan ruangan lain yang tidak kalah menarik. Ruang kerja dilengkapi rak-rak buku setinggi dinding, kamar George di sebelahnya—lebih kecil dari kamar Luis, juga sebuah kamar kosong yang luasnya sama dengan kamar Luis. Ada ruangan lain yang dipergunakan sebagai lemari serta kamar mandi besar."Untuk siapa kamar ini? Kita hanya berdua.""Sekarang iya, mungkin beberapa tahun ke depan akan berguna," jawab George. "Nak, kau akan memiliki anak. Gunakan kamar ini untuk anakmu nanti."Luis tak merespons. Atmosfernya menjadi kurang nyaman gara-gara membahas soal anak. Memikirkan pernikahannya saja membuat muak ditambah harus memiliki anak."Hm, ya. Mungkin suatu hari akan berguna." Luis cepat-cepat pergi.George menutup pintu kamar setelah mereka keluar. Keduanya bergerak menuju tangga dengan akur. Bisa-bisanya Luis k
Jendela-jendela besar, bahkan tingginya melebihi para penghuni rumah. Gorden dibiarkan tersibak dengan begitu sinar matahari tak terhalangi masuk ke ruangan. Rumah ini sangat efisien, mengandalkan pencahayaan alami pada hampir setiap sudut. Pula kamar Luis, ia tidak perlu menyalakan lampu guna menikmati pemandangan indah di hadapannya. Menghabiskan waktu berdua bersama Emma di atas ranjang baru miliknya membuatnya malas beranjak. "Bagaimana kamar ini? Nyaman, tidak?" Luis bersandar di atas tumpukan dua bantal. Sementara itu, Emma bersandar pada dada polosnya."Sangat nyaman. Aku suka kasur ini. Setelah menikah nanti, kita akan tinggal di sini atau pindah ke tempat lain?""Terserah kau saja. Jika kau nyaman di sini, tinggallah, tapi kalau tidak suka sebaiknya kita cari hunian lain.""Minta pendapatmu selalu menemukan jawaban terbaik." Emma bangkit duduk, masih terbalut selimut. "Aku mau mandi. Setelah itu antar aku, ya. Pukul 2 aku harus sudah tib
Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”