"Oh, iya. Aku belum pernah cerita, ya?" Emma antusias, ia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku punya seorang teman, dia orang kaya, namanya Charlotte. Kami baru bertemu beberapa kali, sih, tapi dia baik sekali dan ramah. Semalam dia datang ke restoran diantar calon suaminya. Sayangnya, pria itu tidak ikut masuk ke restoran, dia menunggu di mobil, padahal aku ingin kenal."
Luis menelan ludah, pria yang dibicarakan Emma adalah dirinya. Pantas saja kalau dia harus sembunyi. Kalau Luis muncul memperkenalkan diri sebagai calon suami Charlotte bisa terjadi perang dunia keempat."Tapi, Em, hati-hati dengan orang kaya, takutnya kau dimanfaatkan." Luis berusaha keras mengubah haluan Emma. Seperti halnya saat menjelek-jelekkan Emma di depan Charlotte, ia melakukan hal senada. Emma dan Charlotte harus dipisahkan bagaimana pun caranya."Dimanfaatkan seperti apa? Bukankah biasanya orang-orang seperti kita yang justru memanfaatkan kalangan kelas atas?""MungkiLuis tidak jadi kecewa kalau begini caranya. Rumah ini jauh lebih baik dari perkiraannya, luas dan nyaman. George memandu Luis menunjukkan ruangan lain yang tidak kalah menarik. Ruang kerja dilengkapi rak-rak buku setinggi dinding, kamar George di sebelahnya—lebih kecil dari kamar Luis, juga sebuah kamar kosong yang luasnya sama dengan kamar Luis. Ada ruangan lain yang dipergunakan sebagai lemari serta kamar mandi besar."Untuk siapa kamar ini? Kita hanya berdua.""Sekarang iya, mungkin beberapa tahun ke depan akan berguna," jawab George. "Nak, kau akan memiliki anak. Gunakan kamar ini untuk anakmu nanti."Luis tak merespons. Atmosfernya menjadi kurang nyaman gara-gara membahas soal anak. Memikirkan pernikahannya saja membuat muak ditambah harus memiliki anak."Hm, ya. Mungkin suatu hari akan berguna." Luis cepat-cepat pergi.George menutup pintu kamar setelah mereka keluar. Keduanya bergerak menuju tangga dengan akur. Bisa-bisanya Luis k
Jendela-jendela besar, bahkan tingginya melebihi para penghuni rumah. Gorden dibiarkan tersibak dengan begitu sinar matahari tak terhalangi masuk ke ruangan. Rumah ini sangat efisien, mengandalkan pencahayaan alami pada hampir setiap sudut. Pula kamar Luis, ia tidak perlu menyalakan lampu guna menikmati pemandangan indah di hadapannya. Menghabiskan waktu berdua bersama Emma di atas ranjang baru miliknya membuatnya malas beranjak. "Bagaimana kamar ini? Nyaman, tidak?" Luis bersandar di atas tumpukan dua bantal. Sementara itu, Emma bersandar pada dada polosnya."Sangat nyaman. Aku suka kasur ini. Setelah menikah nanti, kita akan tinggal di sini atau pindah ke tempat lain?""Terserah kau saja. Jika kau nyaman di sini, tinggallah, tapi kalau tidak suka sebaiknya kita cari hunian lain.""Minta pendapatmu selalu menemukan jawaban terbaik." Emma bangkit duduk, masih terbalut selimut. "Aku mau mandi. Setelah itu antar aku, ya. Pukul 2 aku harus sudah tib
Pandangan Charlotte menangkap sebuah benda tidak asing. Sebuah kalung berliontin kupu-kupu, mirip milik seseorang yang belum lama dikenalnya."Luis, ini milik siapa?"Charlotte merasa aneh. Masa iya kalung tersebut milik Emma?"Kembalikan!" Luis segera merebutnya dari tangan Charlotte. Ia simpan kalung itu di saku celana, tempat teraman.Kalung itu jelas milik perempuan. Charlotte yakin, Luis bukan tipe pria feminim. Memakai aksesoris bertema perempuan tidak pantas dipakai pria berparas maskulin sepertinya. Lantas, mengapa kalung tersebut ada di mobil ini? Ibunya bahkan sudah lama meninggal, dia juga tidak punya saudara perempuan. Satu-satunya hal yang mengerucut, pemilik kalung itu adalah seorang gadis."Hei, kuperingatkan, ya. Jangan sentuh barang-barang pribadiku! Mentang-mentang kau calon istriku, bukan berarti kau berhak menyentuh barang milikku seenaknya!" Luis paling tidak suka diusik orang asing. Ya, baginya Charlotte hanyalah ora
Hanya dugaan Charlotte saja atau memang benar kalung yang berada di mobil Luis adalah milik Emma. Sontak menimbulkan kecurigaan pada benak Charlotte, apa mungkin Emma adalah kekasih Luis? Charlotte enggan bertanya secara gamblang mengenai siapa kekasih sang teman, takut sesuai dugaanya.Charlotte mematung di depan meja kasir, membuat Emma keheranan. Gadis itu seperti terkena hipnotis dan kehilangan kesadaran, padahal beberapa saat lalu raganya masih aktif."Charlotte?" Emma berusaha menyentuh Charlotte guna mengembalikan kesadarannya.Charlotte mengerjap menandakan kesadarannya telah kembali."Jadi, mau pesan apa?" imbuh Emma."Um, maaf, aku baru ingat kalau aku ada janji. Aku tidak jadi pesan. Maaf, ya!" Charlotte terburu-buru menuju pintu, keluar sambil berlarian.Emma agak heran mengapa gelagat Charlotte terlihat aneh usai menanyakan mengenai kalung miliknya. Apa ada yang salah dengan kalung itu? Emma mengedikkan bahu tidak ta
Waktu berlalu seolah-olah menertawakan Luis. Hidupnya terasa muram, sementara sekelilingnya nampak tersenyum. Dari seluruh wajah di tempat ini, hanya Luis yang senyumnya tidak tulus sepenuh hati. Hari ini seharusnya menjadi hari yang ditunggu setiap pasangan, melancarkan kemajuan baik dalam hubungan mereka. Namun, Luis merasa pertunangan ini adalah ajang penyiksaan. Ketika mengedarkan pandangan, semua tamu, anggota keluarga, serta Charlotte, semuanya riang. Dalam hati Luis menangis, tetapi sebagai laki-laki ia pantang menjatuhkan harga diri menitikan air mata di depan banyak orang. Untuk itu, ia menumpahkan emosi terpendam seorang diri di kamar miliknya, di rumah besar keluarga Arias.Pintu kamar terkunci dari dalam, sinar rembulan menerobos masuk melalui jendela besar. Luis duduk di atas karpet, bersandar pada sisi ranjang, tertunduk menyesali perbuatannya siang ini. Menyematkan cincin di jari manis Charlotte secara resmi adalah kesalahan terbesar, membuatnya mencoreng nam
Tidak ada yang mampu membangkitkan kesadaran Luis dari tidur lelap sepanjang malam di atas kasur empuknya selain sinar mentari yang menerangi ruangan melalui jendela-jendela besar. Kelopak matanya terasa silau meski sedang menutup. Sambil mengucek mata Luis menengok jam dinding, sudah hampir pukul 9."Kenapa tidak ada yang membangunkanku?" Melabeli diri sebagai seorang pengusaha, harusnya ia punya kegiatan padat, bukan bermalas-malasan di pagi hari apalagi sampai bangun siang. Semalam Luis sudah berencana mengamati pembangunan proyek hotel dan berniat datang awal waktu. Namun, beban pikiran membuatnya sulit tidur semalam. Bukan tidak ada usaha, Merry sudah lima kali mengetuk pintu kamar sang tuan, tetapi tidak pernah mendapat respons.Muka telah dibuat segar berkat air dingin dari keran. Usai berpakaian rapi, Luis turun ke lantai dasar menggunakan lift—ternyata benda itu benar-benar berguna menunjang kemalasan. Lalu ia menemui Merry di dapur minta dibuatkan sarapan
Di sebuah ruangan pada bangunan berlantai dua, Enrique menengok dari balik jendela. Tangannya memegang botol bir dingin, baru diambil dari kulkas kecil di sudut ruangan. Ia melihat pria yang sudah diduganya membuntuti mereka sejak meninggalkan kediaman keluarga Arias."Lihat, tuh. Putramu menyusul sampai ke sini." Enrique terdengar puas sebab dugaannya benar."Biar saja. Dia tidak berhasil masuk, kan?" George tampak tenang alih-alih gusar karena hal yang ditutupinya hampir terbongkar."Kenapa tidak suruh dia masuk saja? Biarkan Luis mengetahui bisnismu."George mengembuskan napas panjang dari mulut. "Kalau saja aku tidak khawatir dia bakal membocorkan informasi ini lalu memerasku seperti yang dia lakukan sebelumnya, aku pasti sudah memberi tahu semuanya pada Luis.""Aku tidak mau pekerjaanku terdengar oleh calon besan," tambah George."Kau mempersulit diri sendiri. Melakukan kerjaan ilegal, tapi malah berusaha bergabung dengan ke
Luis dan Charlotte kembali bertemu di sebuah rumah jahit. Gaun pengantin serta setelan jas telah selesai dibuat. Hari ini waktunya menjajal sebelum resmi naik altar. Pakaian-pakaian itu tampak cocok di tubuh masing-masing, Luis terlihat gagah, sementara Charlotte tampak bak ratu yang memikat seluruh perhatian. Terkecuali Luis, tidak ada satu kesan menarik di matanya pada wanita itu. Baginya, Charlotte hanya seseorang menjengkelkan yang dipaksakan masuk ke dalam kehidupannya yang hampir sempurna.Usai nyaris berhasil meraih seluruh cita-cita—rumah impian, bisnis besar, rekening gendut, kendaraan mewah, sedikit lagi meresmikan hubungan dengan wanita kesayangannya selama ini. Namun, takdir mempermainkannya sangat kelewatan. Wanita yang mengenakan gaun putih indah bertudung panjang bukanlah Emma. Tatapan Luis terlihat kosong, dalam bayang-bayangnya menyaksikan bahwa Emma-lah yang tersenyum di depan cermin, mencuri pandang kepada lelaki yang akan bersanding dengannya. Namun, Lui
Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”