"Dengan yang lain? Kau menuduhku bercinta dengan orang lain? Apa yang ada di dalam otakmu, hah?! Apa dasarnya kau bilang begitu?!" Charlotte jarang meninggikan suara, apalagi berkata kasar. Namun, ia bertindak demikian jika kesabarannya telah berada di ambang batas. Perkataan Luis melukai harga dirinya sebagai wanita baik-baik. Charlotte tidak pernah sekalipun menggoda laki-laki apalagi menawarkan diri selain kepada suami sah yang selalu bersikap seperti batu.
"Siapa tahu, kan? Kau tahu hubungan kita seperti apa, aku tidak keberatan kalau di luar kau bertemu laki-laki lain.""Apa?" Charlotte tidak percaya. "Luis, kau bodoh!" Ia membuang napas keras dari mulut seraya berpaling. Dari seluruh kesalahan yang Luis perbuat, ini adalah kesalahan paling memuakkan. Pria itu tidak bisa merelakan wanitanya begitu saja, apalagi sampai merelakan istrinya bermain dengan laki-laki lain. Lelaki dungu macam Luis semakin tidak pantas bersanding dengannya.Mereka benar-benarSudah lama Luis tidak pergi ke tempat ini, restoran cepat saji telah lama hilang dari daftar tujuannya. Bahkan nyaris terlupakan. Selama ini Luis mencoba menjalani kehidupan normal setelah menikah—menikmati hari-hari bersama seorang istri. Tampaknya keadaan berubah setelah rahasia tertahankan selama ini terkuak. Dengan penuh kesadaran, Luis menyimpan kalung milik Emma di tempat aman selama ini. Nakas itu bagiannya, mengapa juga Charlotte dengan lancang mengacak-acak wilayahnya.Kalung yang teronggok di bawah kegelapan menyiratkan perasaan sesungguhnya selama ini, bahwa Luis menyimpan kenangannya. Kenangan itu masih ada, tidak pernah hilang, tetapi dibiarkan tak terlihat. Agar bila sewaktu-waktu ia membutuhkannya, Luis tinggal menyingkap tabir yang menghalangi, dan menyalakan sinarnya. Sepertinya saat ini dia butuh itu, mengembalikan kenangan lama. Luis nekat datang ke restoran cepat saji tempat kekasihnya mengais nafkah. Awalnya tidak yakin. Namun, akhirnya Luis m
Pria berpakaian sederhana datang ke Hotel Emerald. Kemeja putih gading diselipkan rapi ke dalam celana panjang cokelat muda tanpa ikat pinggang. Hanya itu pakaian terbaik yang dia punya, tanpa jas sebagai luaran. Satu-satunya sepatu paling mentereng adalah yang dikenakannya saat ini, pantofel kulit bergaris bekas tekukan, beberapa bagian kulit ada yang sudah terkelupas dimakan usia. Sepatu peninggalan ayahnya yang sedang mendekam di penjara. Yah, dahulu pakaian-pakaian tersebut dibeli dengan harga mahal, memang menjadi merk terkenal pada masanya yang sekarang sudah tidak lagi.Sejak beberapa hari terakhir, Edward mengintai sang bos hotel. Hafal betul kalau Luis datang pagi lalu pergi ketika menjelang jam makan siang. Begitu pula pagi ini, Ed melihat kendaraan mahal Luis menyambangi hotel yang tengah digandrungi kalangan atas ini. Sebelum waktunya Luis pergi dari bangunan mahakarya itu, Ed berniat menemuinya. Alhasil ia melangkah yakin menuju meja resepsionis, menanyai keber
Rahasia umum jika seseorang yang kurang akrab tiba-tiba datang biasanya ada maksud terselubung, guna mengincar keuntungan untuk diri sendiri. Sama halnya Edward, Luis sudah curiga sejak awal kedatangannya, pasti ada apa-apanya. Dan benar, sekarang pria tidak tahu diri itu seenaknya minta diberi pekerjaan. Memang—Ed telah minta maaf atas kesalahannya di masa lalu. Namun, tak menampik, pria itu memang tidak tahu adab. Ia pikir dengan meminta maaf, Luis akan mau memberinya nafkah. Bisa saja Luis melontarkan kata-kata bernada sindiran atau kasar sekalian, tetapi nuraninya bekerja keras, mengontrol Luis untuk menahan hasratnya. Lelaki di hadapannya hanyalah manusia kurang beruntung saat ini, dia berada di posisi menyulitkan. Luis tahu, dia pernah merasakan jadi Edward—miskin. Bedanya ia tidak membully Ed, Luis merendah, akhirnya ia bicara baik-baik membahas mengenai permintaan Ed."Kalau itu ... bukankah kau mengambil pendidikan guru? Kenapa tidak melamar pekerjaan di sekolah sa
Biasanya tiap membicarakan perihal bisnis, Enrique dan George berbincang di bar murahan. Minum alkohol murah dan tidak ada musik mendayu di telinga. Rupanya selera Luis jauh lebih baik—tudak seperti sang ayah, pria ini tahu betul soal hiburan. Penyanyi jazz di bergaun ketat di panggung beberapa kali bertemu pandang dengan Enrique, pria itu kerap membalas dengan kerlingan mata. Habis urusannya selesai, ia berencana kenalan dengan wanita itu. Namun, sebelum niatnya terlaksana, terlebih dahulu urusan utamanya diselesaikan."Bagaimana kabar produk baru? Penjualannya lancar, kan?" tanya Luis seraya menyundut rokok."Seperti jalur bebas hambatan. Permintaan melonjak, sebaiknya kita menambah kru agar bisa memperluas jaringan.""Maksudmu apa? Kita mau bikin kelompok gangster? Mau jadi kartel di kota ini? Sekalian saja jual senjata, dan perdagangkan wanita biar dapat untung lebih banyak." Luis bergurau."Kalau bagus untuk bisnis, kenapa tidak? Coba saja."
Luis memenuhi keinginan Charlotte, pulang cepat untuk berkencan sesuai rencana sang istri. Semenjak kejadian unboxing bermalam-malam lalu, Charlotte merasa tidak bisa lepas dari Luis. Sedang pria itu dalam tahap proses membuka hati untuk Charlotte, sangat sulit baginya mencintai perempuan lain selain gadis pertama yang ia miliki.Mereka pergi ke restoran Italia mewah pertama di kota. Baru buka hari ini, dan antuasiasnya luar biasa. Antrean mengular hingga ke bagian luar ujung bangunan. Luis menghitung barisan di depan, jumlahnya sepuluh, ia dan Charlotte berada di barisan ke sebelas. Di dalam meja-meja tampak penuh, kalau begini situasinya, bagaimana caranya bisa masuk."Charlotte, tidak mau cari restoran lain saja? Ke restoran seafood saja, ya, yang lebih sepi.""Tidak mau! Aku sangat ingin makan di tempat ini! Katanya enak.""Seafood juga enak!" Luis bersikeras keluar dari antrean. Sepasang pengunjung berhasil masuk, artinya sembilan baris lagi
"Emma?""Luis!"Luis mendapati gadis itu memakai kalung kupu-kupu pemberiannya, dan itu membuat Luis sedikit bahagia. "Apa yang kau lakukan di sini?"Emma menjawab ketus. "Tamu tidak akan membawa alat bersih-bersih. Sudah jelas aku bekerja di sini."Mereka diam setelahnya, menyelami keterkejutan masing-masing. Luis terkejut mengetahui bahwa Emma bekerja di tempat usaha milik teman baiknya. Sedang, Emma terkejut berjumpa dengan Luis di waktu yang tidak tepat, tatkala dirinya memakai seragam pegawai kebersihan. Melihat perbandingan keduanya, dari penampilan saja saling berbanding terbalik. Pakaian Luis tampak mahal nan berkilau, sementara Emma nampak tidak mengesankan mata.Usai berdetik-detik bungkam, Luis memutuskan melanjutkan percakapan, "Em—"Emma memotong lebih cepat, "Kau pasti datang bersama istrimu. Selamat menikmati makan malam kalian, ya." Emma hendak pergi, tapi Luis mencegahnya. Sekian lama tidak berinteraksi, Luis ber
"Aku tidak selingkuh!" bantah Luis. "Hubungan kita sudah berjalan sejak lama, sebelum aku bertemu dengan Charlotte. Kita tidak pernah putus, bukan? Memang aku atau kau, ada yang pernah bilang kalau kita putus hubungan?"Emma tercekat. Fakta bahwasanya tidak ada satupun dari mereka yang bilang putus. Namun, jelas saja hubungan mereka tidak bisa berlanjut sebab Luis telah menikah dengan seorang wanita yang kini menjadi istri sahnya."Aku memang selingkuh, tapi bukan denganmu. Justru aku menyelingkuhimu, Emma. Aku ingin memperbaiki hubungan kita.""Kenapa?" Emma menanggapi lebih serius."Agar aku hidup. Aku ingin hidup seperti dulu, bahagia karena ada dirimu."Emma merasa bimbang, keyakinannya pun goyah. Satu alasan yang menggugah isi hatinya, ternyata Emma penting bagi Luis. Jujur saja, Emma masih punya secercah rasa kepada Luis yang ia tampik terus-menerus. Tentu saja menjadi berat, sebab ada Charlotte di antara mereka."Aku tidak
Bos besar duduk murung di kursi belakang, mobilnya dikemudikan oleh sang asisten yang sudah beberapa kali mencuri pandang melalui spion tengah. Menjadi pimpinan perusahaan ternyata tidak se-menggembirakan perkiraannya. Buktinya, Luis kerap tertangkap tengah berekspresi lusuh. Mungkin dia memikirkan arus uang perusahaan, atau bonus karyawan, atau beban pajak, entahlah."Kenapa, Bos?" Ed tidak tahan menahan penasaran.Luis melirik, pantulan wajahnya mengenai spion. "Istriku hamil.""Wah, benarkah? Selamat!" Ed belum menemukan alasan di balik raut kusut Luis."Hm, terima kasih." Luis tidak terdengar bahagia."Istrimu hamil, kenapa malah cemberut?" Sekarang Ed paham, pasti ada kaitannya dengan jabang bayi itu."Aku khawatir, Ed. Aku ingin punya anak laki-laki agar bisa jadi pewaris. Aku takut istriku melahirkan anak perempuan."Ed tidak percaya seorang Luis yang dikenalnya memiliki pemikiran maju berubah konyol akibat jenis
Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”