Share

Pria Hebat

Penulis: niandez
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Luis digiring oleh kelompok Edward, lima bocah tidak berguna. Mereka mengantarkan tersangka hari ini menuju gudang belakang sekolah, tongkrongan mainstream para berandalan. Ruangannya berdebu dan lembap, Luis sampai batuk dibuatnya. Penerangan pun mengandalkan sinar matahari yang menembus jendela. Geng Edward melingkari Luis yang berdiri kebingungan di tengah ruangan.

"Sebenarnya apa maksud kalian membawaku kemari? Mau mengeroyokku lagi?"

Para anggota geng saling melempar pandang satu sama lain.

"Kau saja, Drew," kata bocah yang seingat Luis bernama Mike.

Luis beralih menyorot ke arah Drew yang berdiri di tengah antara lima orang anggota.

"Luis, hmm, kami ... kami bermaksud menjadikanmu ketua geng kami."

"Kalian membuang Edward?"

"Sudah lama kami ingin menyingkirkannya—sejak dia dikalahkan olehmu. Kami jadi sadar kalau kami cuma dimanfaatkan oleh Edward. Seperti katamu, dia tidak bisa apa-apa tanpa kami. Namun, perilakunya pada kami malah semena-mena. Kami dianggap seperti pembantunya
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Ambisi Sang Penguasa   Hebat atau Tidak

    Luis sangat mengakui kebusukan ayahnya. Ya, betapa tidak, merampas nyawa orang tua kandung demi mendapatkan harta. Memang, harta warisan itu pasti bakal lari ke tangan George nantinya. George hanya mempercepat proses, sudah terlalu lama ia menunggu jatahnya turun sampai putus asa dibuatnya. Satu-satunya jalan adalah dengan membuat orang tuanya mati. Cara singkat nan ekstrem. Orang-orang frustrasi cenderung nekat hingga mengenyampingkan hal-hal manusiawi.Enrique masih heran mengapa Luis menyebut ayahnya sebagai pria busuk. Apa yang diperbuat pria hebat itu hingga sang putra begitu menyebutnya dengan imbuhan negatif? Enrique menatap serius, ia memangku sikunya pada kedua lutut. "Mengapa kau menyebutnya busuk? Dia pria sukses, Luis. Harusnya kau memuji ayahmu.""Kau benar. George Arias kini sukses mewujudkan mimpi. Memiliki bisnis impiannya, hah ...." Chevy yang terparkir di halaman Emerald jadi alasan Luis tidak buka suara. Benda itu adalah sogokan berharga baginya, hadiah tutup mulu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Ambisi Sang Penguasa   Konsekuensi Untuk Berdamai

    Luis berakhir sebagai pegawai full time Motel Emerald. Dia bekerja siang-malam sebagai hukuman atas pelanggaran di sekolah. Lebih buruk, ia tidak mendapat bayaran lebih."Ayolah, kau menjajahku, Ayah!" rutuk Luis begitu mengetahui kenyataan bahwa gajinya tetap pas-pasan."Siapa yang menjajah siapa? Sejak awal kau memang pekerja di sini. Tambahan waktu ini sebagai ganjaran atas perbuatan memalukanmu di sekolah," papar George santai di kursi empuk di ruang administrasi. Ia tidak peduli meski putranya terus mengoceh sambil memegang ujung tongkat alat pel. Biar Luis kapok mengerjai anggota keluarga Winchester."Mulai sekarang, tiap kau membuat masalah, kau harus bekerja lembur tanpa dibayar," tambah George. Terdengar semakin mengesalkan di telinga Luis."Cukup! Omonganmu sama sekali tidak menghibur.""Ya memang tidak. Siapa juga yang mau menghiburmu? Sudah, cepat bersihkan kamar kosong di lantai dua. Sekalian berandanya juga."Luis hampir menghempaskan alat pel di tangan, kalau saja ia ti

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Ambisi Sang Penguasa   Putus Mendadak

    "Uangku lenyap ...," racau Luis di ruang administrasi. Ia duduk di kursi empuk sambil menyangga kedua kaki pada meja. Kepalanya menengadah, bersandar pada bahu kursi. Jangan tanya George ke mana, baguslah kalau Luis ditinggal sendirian. Ia memang butuh me time.Lampu pada plang motel barusan dinyalakan, pertanda hari memasuki sesi-sesi penghujung. Luis kembali menempati kursi seraya termenung lagi. Rangkaian kejadian hari-hari belakangan tergolong sebagai hari tersial sepanjang hidup. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Berusaha membela diri berujung diskors, ditambah kerja lembur cuma-cuma, lengkap dengan ancaman tuntutan, dan berbuah pada lenyapnya uang yang diharapkan. Harusnya Luis bisa tegas waktu Dean memberi cicilan pertama, mestinya saat itu juga ia mendesak Dean membayar lunas sejumlah lima puluh ribu dollar. Bukan untung malah buntung.Katanya kesabaran akan berbuah manis, tapi buah yang tumbuh malah pahit rasanya. Jauh dari kata mujur, hidup Luis sedang memasuki fase kemunduran.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Ambisi Sang Penguasa   Pertemuan Tak Terduga

    Keesokan harinya, Luis mengirimkan kejutan yang ia janjikan kepada Emma. Uang senilai sepuluh ribu dollar, terbungkus rapat di dalam amplop cokelat beserta sebuah pesan dalam selembar kertas."Gunakan uang ini untuk keperluanmu. Jangan tanya asalnya dari mana, pokoknya kau harus menggunakan uang ini untuk kepentinganmu. Bersenang-senanglah! Aku ingin kau bahagia!P.S. jumlahnya sepuluh ribu. Hitung lagi, kalau kurang akan kutuntut tukang pos!"Luis mencium amplop sekilas sebelum berjalan memasuki kantor pos. Paling tidak besok Emma akan meneleponnya lagi, Luis sudah berpesan agar menghubunginya segera setelah paketnya sampai. "Kirim surat lagi, Tuan?" tanya petugas pos basa-basi."Hm. Aku sudah menaruh kepercayaan pada kantor pos ini. Kali ini jangan sampai merusak kepercayaanku."Petugas pos mengambil paket dari tangan Luis, ia menekan sekilas amplop tebal tersebut. Sudah bisa ditebak apa isinya. Pantas saja pengirimnya sangat posesif.Luis kembali pulang setelahnya. Ia kan tidak se

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Ambisi Sang Penguasa   Bendera Putih

    Duduk santai di rooftop sambil senyum-senyum. Luis tampak santai walau George berteriak memanggilnya dari depan ruang administrasi, ada tamu check in, minta dibawakan barang. Ia tidak pernah nampak sebahagia itu sebelumnya, terlihat tidak biasa hari ini. Padahal sebelum pergi ziarah ia masih mengeluh soal rumah dan tidak ikhlas bekerja cuma-cuma.Apa ini efek berziarah? Tentu bukan, ini efek uang. Ya, lagi-lagi. Sehabis berjumpa dengan sang ibunda, Luis diajak pergi menuju bank terdekat untuk membuka rekening atas nama pribadinya. Sebagai sarana menuruti keinginan Luis."Katakan saja permintaanmu. Apa yang kau inginkan?" tanya Thalia sebelumnya, hendak menebus kesalahan telah meninggalkan Luis selama bertahun-tahun."Yang kuinginkan?" Luis sangat memanfaatkan kesempatan emas tersebut. Kalau dilihat-lihat, gaya berpakaian Thalia mulai dari dress, sepatu hak, serta perhiasan di telinga, leher, dan pergelangan tangan. Oh, jangan lupakan cincin-cincin di jarinya, semua terlihat mahal dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Ambisi Sang Penguasa   Makan Malam Berkelas

    Dua minggu telah berlalu, masa skorsing sudah berakhir. Luis kembali ke sekolah dengan penuh percaya diri, makin berlagak. Berjalan penuh pesona di koridor sekolah, merasa diri paling jago seantero SMA. Ia tersenyum miring memerhatikan murid-murid di koridor yang minggir ketika dia lewat. Tidak ada yang sanggup mengalahkan pamor Luis, meningkat seribu persen. Siapa yang berani macam-macam lagi dengannya? Anak pemilik sekolah saja berhasil dibantai, bagaimana dengan murid-murid lain? Tidak, mereka memilih kabur alih-alih harus saingan dengan si jagoan baru demi menghindari masalah. Mata pelajaran sudah cukup membebani para murid, jangan ditambah dengan persaingan pamor.Masa-masa indah mengiringi hidup Luis, bisa dibilang, kehidupannya berada pada tingkat maksimal. Prestasi akademik di sekolah, tidak ada yang berani membuat masalah, George menaikkan gajinya walau sedikit—sangat sedikit. Hubungan asmaranya pun lancar, komunikasi jalan terus tanpa putus. Surat-surat dan telepon datang be

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Ambisi Sang Penguasa   Beban Mantan

    Dua keluarga masih bersatu di meja bundar pada acara makan malam para pemuka kota. Orang-orang kelas atas, para sosok terpandang, berkumpul di ruangan yang sama. Masing-masing dari mereka memamerkan apa yang bisa dipamerkan, mulai dari pakaian branded, perhiasan, jabatan, bahkan prestasi keturunan mereka.Begitu pula Imelda, istri Dean yang bergelar walikota saat ini. "... Sayangnya Ed tidak mau menyusul kakaknya belajar ilmu teknologi di Jerman. Dia akan kuliah di dalam negeri saja."Luis tersenyum sinis. Kalau Edward dilepas di negeri itu, bisa-bisa menjadi Hitler kedua. Sepersekian detik kemudian, Luis menyanggah pendapatnya. Hitler itu orang hebat meski kejam, sementara Edward tidaklah memiliki dua sifat tersebut. Edward menjadi tidak terkalahkan berkat geng yang terpaksa ikut gara-gara pamor yang ia sandang sebagai anak pemilik sekolah, harus disegani.Saat Luis sedang sibuk berpendapat tentang Edward di dalam pikirannya, Imelda tiba-tiba mengajukan pertanyaan, "Bagaimana sekolah

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Ambisi Sang Penguasa   Hari Wisuda

    "Uang? Untuk apa?" Thalia ingin terkejut tatkala George bilang butuh pinjaman. Namun, itulah George, orang yang selalu bermasalah dalam keuangan. Jadi, sudah tidak kaget lagi. "Aku perlu dana segar untuk bisnis. Jangan takut, aku punya aset sebagai jaminan.""Aset yang kau maksud, bangunan motelmu?""Iya. Hanya itu.""Hmm, tidak! Aku bukan pabrik uang! Kalau mau cari pinjaman, kau bisa ajukan kredit di bank.""Itu maksudku, tolonglah, katakan pada suamimu untuk mencairkan pinjaman untukku. Kau bisa, kan?" bujuk George. "Aku tahu suamimu seorang bankir.""Pasti Luis yang bilang. Huh, berapa yang kau butuhkan?""Satu juta.""Satu juta?!" sontak Thalia."Ayolah, pasti bisa! Minta suamimu untuk tanda tangan, itu saja.""Jumlah itu keterlaluan! Bagaimana jika kau tidak bisa membayar? Belum bunganya.""Tolonglah, aku sedang berusaha mengembangkan bisnis. Aku tidak ingin Luis menyaksikan ayahnya bangkrut. Aku tidak sudi dia menghinaku lagi, Thalia."Thalia masih bergeleng."Bantu aku, Thal.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 15

    Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 14

    “Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 13

    Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 12

    Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 11

    “Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 10

    “Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 9

    Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 8

    Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 7

    Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”

DMCA.com Protection Status