Tanpa sadar aku telah menjadi seorang tante girang, sesalnya dalam hati. Sebenarnya hati kecilnya pernah mencetuskan hal itu, namun dia selalu mengelaknya dengan dalih suka menyenangkan hati orang yang dicintainya.
“Seandainya Tante ingin melihat foto-foto wajah Sonya yang babak belur, saya bisa memintanya pada Mas Joshua,” kata Amanda menawari. Tante Beatrice masih diam saja. Lalu gadis itu melanjutkan, “Oya, ada satu hal penting lagi yang juga mau saya katakan, Tante.”
Hal penting apa lagi?! jerit hati wanita di depannya. Semua hal yang kau tuturkan tadi membuat kepalaku pening.
“Adik saya keguguran….”
“Ya, Tuhan!” seru Tante Beatrice terperanjat se
Kepalanya tiba-tiba terasa pening.“Ada apa, Bu?” tanya sekretarisnya dengan ekspresi wajah keheranan. Tak biasanya pimpinan perusahaannya itu lepas kontrol seperti ini. Tante Beatrice yang menyadari bahwa asistennya itu masih berada di ruangan meeting berusaha menguasai dirinya. Dia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Wanita itu berusaha menghilangkan shock akibat melihat foto wajah penuh memar dan berdarah yang tadi dikirimkan Amanda pada ponselnya.“Sori,” sahutnya datar. “Akhir-akhir ini saya mudah terbawa emosi kalau membaca atau mendengar berita yang kurang enak. Itu tadi teman saya mengirimkan broadcast berita yang sedang viral. Entah itu hoaks atau tidak. Sudahlah, anggap saja sekedar intermeso.”
Dipeluknya nyonya rumah dan diciumnya kedua pipinya. Oma Merry merasa terharu. Ini pertama kalinya gadis itu memperlakukannya demikian.“Silakan masuk, Manda,” ajaknya sembari menggamit tangan gadis itu untuk mengikutinya. Sang tamu mengangguk dan tersenyum menurut. Namun ia merasa heran ketika ternyata calon ibu mertuanya itu tidak membawanya menemui Celine, melainkan ke sebuah kamar tidur.“Celine ada di mana, Tante?” tanyanya heran. Tak terdengar suara maupun sosok gadis kecil itu sama sekali. Padahal dia sudah kangen ingin memeluk dan menciumi wajah lucu menggemaskan itu.Oma Merry tersenyum senang. Syukurlah akhirnya Kau kabulkan doa-doaku, Tuhan, ucapnya dalam hati. Celine akhirnya akan mempunyai seorang ibu yang m
Tiba-tiba Amanda teringat dengan sebuah serial komedi Amerika yang terkenal sekali zaman dulu. “Tante Merry ingin hidup seperti dalam film Golden Girls, ya?” tanyanya sambil tersenyum simpul.“Hehehe…, kamu kok bisa tahu film itu, Nak? Film itu berjaya jauh sebelum kamu lahir.”“Kan masih diputar di TV kabel, Tante. Saluran khusus film-film lama.”“Oh iya, benar.”Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Pemilik kamar menyahut mempersilakan masuk. Pintu terbuka dan muncullah seraut wajah tampan Joshua. “Lho, ada Amanda? Kapan datang?” tanyanya keheranan. 
Seketika air mata jatuh berlinangan membasahi wajah gadis itu. Ia merasa terharu sekali. Rita rupanya merasakan hal yang sama. Air matanya berjatuhan. Putri sulungnya meraih tisu yang tersedia di atas meja di samping pembaringan ibunya. Dihapusnya air mata Rita dengan lembut.Sang ibu tersenyum kembali. Lalu ia berusaha berkata-kata lagi, “Ma…ma…min…ta…ma…af….”Sang putri menganggukkan kepalanya berkali-kali. Kumaafkan dirimu, Ma, jeritnya dalam hati. Segala kepahitan dalam hatiku akibat perbuatan Mama bersedia kulepaskan seluruhnya. Asalkan Mama sembuh….“Jo…shu…a…,” ucap Rita kemudian.&nbs
Tante “Bagaimana gagasan Val tadi menurut Mama?” tanya gadis itu menanti reaksi sang ibu. Rita mengangguk dan berkata, “Mama suka dengan ide-idemu itu, Nak. Tapi coba bicarakan dengan Papa dulu, ya. Siapa tahu beliau bisa memberikan masukan yang bisa mendukung pemikiranmu tadi.”Valerie menatap ibunya takjub. Mama sudah berubah, pikirnya senang. Rupanya serangan stroke yang dialaminya membuat dirinya introspeksi diri. Dulu dia jarang sekali mau mendengarkan pendapat orang lain karena merasa dirinya sendiri yang benar. Tuhan memang luar biasa, batin gadis itu penuh rasa syukur. Selalu punya cara untuk membuat umatNya bertobat.“Lalu bagaimana dengan impianmu untuk belajar bahasa Mandarin di Beijing, Val?” tanya ibunya penasaran. Ia tak percaya anaknya yang biasanya keras kepala in
Keesokkan sorenya, pesawat yang dinaiki Tante Beatrice dari Singapore mendarat di bandara Juanda, Surabaya. Ia dijemput oleh sopirnya yang langsung mengantarnya pulang ke rumah.“Ini oleh-oleh buatmu dan keluarga,” ujar wanita itu sesampainya di rumah. Ia menyerahkan sebuah kantung kertas berisi aneka makanan ringan khas negeri Singa kepada sopirnya. Pegawai kepercayaan Tante Beatrice itu menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.“Apakah Ibu masih mau pergi lagi malam ini?” tanya pria itu sopan. Dilihatnya bosnya itu menggeleng. “Kamu boleh pulang sekarang. Saya sudah tidak ada rencana pergi kemana-mana,” jawab Tante Beatrice lugas.Sang sopir mengangguk. Disodorkannya kunci mobil kepada majikannya dan ia
“Arnold kok dilawan,” seringainya jahat. Dengan santai dia naik lift menuju basement tempat mobilnya diparkir.Sementara itu Tante Beatrice yang terbaring di lantai dengan wajah penuh luka perlahan bangkit.Dilihatnya keadaan Tante Bianca. Alangkah terkejutnya dia melihat mata wanita itu terpejam.“Ya Tuhan, apakah dia sudah mati?” cetusnya cemas. Didekatkannya telinganya pada dada perempuan itu. Ia menghembuskan napas lega mendengar Tante Bianca masih bernapas. Dipandanginya wajah dan tubuh yang babak belur itu prihatin. Kami berdua adalah wanita-wanita paruh baya yang tak tahu diri, tangisnya dalam hati. Inilah balasan yang harus kami terima sekarang.Lalu perlahan ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke kama
Tante Beatrice melongo. Tak diduganya suaminya bermaksud menjodohkannya dengan sahabat baiknya sendiri. Dan yang paling mengejutkan adalah…ternyata orang itu sudah lama menaruh hati pada dirinya! Pikiran wanita yang sedang yang kacau balau tak sanggup menerima kenyataan ini. Ditatapnya laki-laki berbadan tinggi besar dan berwajah kasar itu dengan garang.“Keluar kau sekarang! Keluar! Kalian para lelaki memang tak bisa dipercaya. Aku kecewa dengan kalian semua! Pergi kau, pergi!” teriaknya mengusir Petrus.Suaranya yang histeris ternyata terdengar sampai ke luar kamar. Seketika seorang dokter dan dua perawat datang menengoknya. “Ada apa, Bu Beatrice. Apakah Ibu merasa kesakitan?” tanya sang dokter cemas. Seharusnya obat yang diberikannya tadi sudah mampu meredakan rasa sakit pada wajah si pasien.“Saya sakit hati melihat orang ini, Dokter!” seru pasiennya seraya menunjuk-nunjuk k