["Aku udah siap, Tan. Kamu dimana?"]
["Oke, tunggu bentar La. Udah OTW ni,"]
["Sip. Jangan lama-lama ya,"]
Aqilla menghentikan percakapannya dengan Tandi ditelepon, matanya menatap beberapa tumpukan barang yang ada dihadapannya.
"Hhufft, lumayan banyak juga ya," gumam Aqilla.
Aqilla melangkah ke depan kosan untuk menunggu kedatangan Tandi hari ini Aqilla sedang off dan ia berencana untuk pindah kosan, dia meminta bantuan Tandi untuk mengangkut barang-barangnya menggunakan mobil LV milik perusahaan. Setelah menunggu beberapa saat Tandi akhirnya tiba, mereka segera mengangkat barang ke mobil dan meluncur ke kosan Aqilla yang baru.
"Duh. Maaf ya, La. Nggak bisa bantuin kamu masukin barang ke dalam, udah di cari pak bos ada yang urgent." Tandi meletakkan dus yang terakhir di atas tumpukkan barang yang lainnya.
"Nggak papa, Tan. Makasih banyak ya, buruan gih ntar dicariin pak Solidi.
Tandi bergegas masuk ke dalam mobil, dan melaju meninggalkan Aqilla. Aqilla mengangkat dus pertama, berjalan ke arah lorong kosan mirip seperti barak yang terdiri dari tiga puluh kamar saling berhadapan lima belas di sisi kiri dan lima belas di sisi kanan. Aqilla berhenti di depan kamar nomor dua, membuka pintu lalu meletakkan dus itu di dalam. Sempat terdengar siulan nakal beberapa laki-laki yang sedang berkumpul tepat di depan kamar Aqilla.
Mata Aqilla tertuju pada satu laki-laki namun teguran dari sahabat lelaki itu mengalihkan pandangannya.
"Pindahan, La."
"Iya," sahut Aqilla pada Nata.
"Perlu bantuan, La. Nih, ada yang nganggur." Nata menyenggol bahu Raffa.
"Nggak, makasih." Aqilla berlalu pergi.
Aqilla membungkuk untuk mengangkat dus kedua, tiba-tiba ada tangan seseorang yang menyentuh dus itu sehingga tangan mereka bersentuhan.
"Sini, aku bantu."
Raffa langsung mengangkat dus itu dan membawanya ke kamar Aqilla, Aqilla hanya tertegun memandang punggung Raffa. Dari arah Raffa berjalan muncul Nata dan Irwan, mereka kemudian membantu Aqilla mengangkut barang-barangnya ke kamar kosannya.
"Udah habis, La. Nggak ada lagi di sana." Irwan meletakkan dus terakhir ke dalam kamar Aqilla.
"Makasih banyak, ya. Oya, tunggu sini bentar aku cari minum dulu, ya."
Ketiga laki-laki itu mengangguk sambil mengelap keringat yang bercucuran di tubuh masing-masing, Aqilla bergegas menuju warung yang berada di depan kosan. Lima menit kemudian Aqilla kembali membawa empat botol air mineral dingin dan satu bungkus rokok.
"Kalian nggak kerja?" Aqilla memandang satu per satu wajah mereka untuk mencari jawaban.
"Kita lagi off, ini lagi main ke kosan mas Budi." Nata menunjuk kamar yang berada di depan kamar Aqilla.
"Oh,'' jawab Aqilla.
"Eh, kita balik ke mas Budi dulu ya," pamit Irwan.
"Oke, makasih banyak ya," balas Aqilla.
Ketiga lelaki itu kembali ke kamar mas Budi, sepeninggalan mereka bertiga Aqilla melanjutkan kegiatan merapikan dan menata kosan yang baru. Dari seberang kamar Raffa terus memperhatikan Aqilla, hasrat hatinya ingin membantu Aqilla namun rasa malu dan gengsinya lebih besar lagi dari hasratnya.
Hari sudah semakin gelap Aqilla bergegas memasang lampu agar tak diliputi oleh kegelapan, tubuh kecilnya tak bisa membuat bohlam itu terpasang pada tempatnya. Aqilla mengambil kardus berisi bantal dan pakaian menumpuk jadi dua susun dan berdiri diatasnya.
Bohlam itu hampir terpasang namun sayang kardus yang dipijaknya tak mampu menahan berat dari tubuh Aqilla. Kardus pun ambruk, tubuh kecil Aqilla pun ikut terjatuh bersamaan dengan suara bohlam yang pecah menghantam lantai. Beruntung Aqilla terjatuh pada pelukan seseorang.
"Kamu jadi cewek ceroboh banget!" Raffa menurunkan tubuh Aqilla.
Tubuh Aqilla masih bergetar keringat dingin bercucuran mengingat hal buruk yang hampir terjadi. Raffa keluar dari kosan setelah menurunkan tubuh Aqilla, beberapa saat kemudian ia kembali membawa bohlam yang baru dan memasangnya.
Aqilla membersihkan serpihan bohlam yang pecah, tubuhnya bergidik saat menatap kembali serpihan bohlam yang ada di dalam plastik sampah. Hampir saja serpihan-serpihan itu tertancap manis di tubuhnya.
"Makasih." Aqilla memecah keheningan yang terjadi.
Raffa tak menjawab ia hanya menatap Aqilla beberapa saat setelah itu ia memegang salah satu kardus Aqilla.
"Ini ditaruh dimana?" Raffa menatap Aqilla untuk sebuah jawaban.
"Nggak usah, aku bisa sendiri kok. kamu pulang deh, udah malam." Aqilla memegang kotak ditangan Raffa dan berusaha mengambilnya kembali.
"Kamu jadi cewek keras kepala banget kayak batu!" Raffa tetap mempertahankan kardus itu.
"Daripada kamu dingin kayak es batu, nggak ada hangat-hangat romannya pantas nggak ada cewek yang mau!" Aqilla membesarkan kedua bola matanya.
"Termasuk kamu." Raffa menatap kedua bola mata Aqilla.
"Iya," ucap Aqilla.
Raffa meletakkan kembali kardus itu ke lantai. "Aku balik, maaf mengganggu."
"Fa!"
Raffa tak menghiraukan panggilan Aqilla ia terus melangkah pulang menuju ke Mes.
"Dasar es batu," gumam Aqilla saat Raffa sudah menghilang.
Nata dan Irwan sedang asyik bersenandung di dalam sebuah kamar yang ada di mes PT. BIMA, suara Irwan dan Nata begitu menyatu dengan petikan gitar dari Nata mereka lebih dulu pulang ke Mes meninggalkan Raffa yang masih bertahan di kosan Budi.
"BRAAK."
Raffa tiba-tiba muncul dan membuka pintu dengan kasar lalu menelungkupkan tubuhnya di kasur. Nata dan Irwan saling pandang keheranan.
"Teman kamu lagi PMS lagi ya Wan," bisik Nata pada Irwan.
"Mungkin," sahut Irwan pelan, keduanya tersenyum geli.
Sementara Raffa membenamkan kepalanya pada sebuah bantal dan berusaha membuang bayangan wajah Aqilla dari dalam pikirannya. Entah mengapa bayangan wajah Aqilla selalu menghantui pikiran Raffa semenjak ia membentak gadis itu di kantin.
Raffa mengenal Aqilla saat gadis itu bekerja sebagai waiters di kantin perusahaan, senyumnya yang manis membuat Raffa mulai menyukainya namun sikap centil gadis itu kepada setiap orang membuat Raffa tak menyukainya apalagi ada angin buruk yang berhembus mengabarkan kabar yang tidak baik tentang Aqilla membuat Raffa urung untuk menyukai Aqilla.
Satu bulan lebih Raffa tak pernah melihat gadis itu lagi, gadis yang selalu menggodanya ketika ia akan mengambil makanan di kantin hingga akhirnya mereka bertemu saat di halte bis karyawan dan ternyata gadis itu sudah bekerja di workshop.
Raffa awalnya risih dan merasa terganggu setiap kali di goda oleh Aqilla namun semenjak gadis itu tak ada di kantin tiba-tiba ia justru malah merindukan godaan dari Aqilla, namun kini Aqilla justru cuek dan ketus padanya.
Pagi yang indah, Adara dan Aqilla sudah berdiri di halte menanti bis jemputan. Setelah menanti beberapa saat yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, seluruh karyawan segera menaiki bis satu per satu termasuk kami.Ketika bis akan melaju, seorang karyawan berlari sambil melambai-lambai ke arah supir meminta untuk menantinya sejenak.Raffa masuk ke dalam bis dengan nafas yang terengah-engah, matanya mengedar mencari kursi yang bisa diduduki olehnya. Ia melangkah menuju arah belakang bis, saat melewati kami berdua ia menatap sejenak pada Aqilla namun Aqilla justru membuang pandangannya, Raffa lalu kembali melangkah menuju kursi belakang."Kamu kenapa sih La, aneh deh," bisik Adara pada Aqilla.Setengah berbisik karena takut didengarkan oleh penumpang yang lainnya Aqilla juga berbisik pada Adara. "Apaan sih Ra, diam deh."Adara terkikik mengejek Aqilla. Tak terasa departemen workshop sudah di depan mata Adara dan Aqilla bergegas turun dari bis ka
"Ra tolong keluar dulu, please ... please dengarin aku dulu, Ra!"Hanz menggedor-gedor pintu kosan dan berteriak memanggil nama Adara, Adara terduduk dibalik pintu dengan tatapan kosong. Tak ada tangis yang menganak sungai namun di sudut hati ini terasa perih."Ra!" Teriak Hanz untuk kesekian kalinya."Mas, tolong pergi sekarang atau saya lapor ke petinggi kampung karena sudah membuat keributan disini malam-malam." Panca tetangga samping kamar menegur Hanz."Nggak usah ikut campur, kamu diam aja. Ini urusan aku," ucap Hanz."Selama ini masih didekat wilayah ku, ini tentu jadi urusan aku juga apalagi kamu teriak-teriak disamping kamarku," jawab Panca."Biarin, aku nggak peduli. Telepon aja kalau berani," ucap Hanz."Ah, sial. Awas kamu ya!" Ucap Hanz ketika ia melihat Panca menelepon seseorang dan ia pun berlalu pergi.Setelah Hanz pergi Adara beranjak dari belakang pintu menuju ke kasur dan menghempaskan tubuh gempalnya disana. Rasa pe
Dengan pelan dan hati yang berdebar Adara melangkah menuju belakang workshop, hatinya sebenarnya tak ingin turun kebawah karena ia takut kalau ia akan bertemu dengan Hanz, tapi rasa penasaran di dalam pikirannya lebih besar dari rasa yang ada di hatinya.Adara mengedarkan pandangan mencari seseorang namun nihil hanya ada tumpukkan drum bekas, vesel, bucket, dan tumpukan pipa besar. Adara berbalik ingin kembali ke ke atas namun sebuah teriakan menghentikan langkahnya."Ra!"Seorang pria kurus dan tinggi yang ia tabrak dua kali muncul dari dalam bucket excavator, mungkinkah?"Kamu mau kemana, Ra. Aku udah lama nungguin kamu disini," ucapnya ketika sudah berada di dekat Adara."Mau balik, habis dari tadi kosong nggak ada orang. Kamu juga ngapain ngumpet disitu," jawab Adara."Aku dari tadi nelepon kamu nggak di respon," ucap pria itu."Astaga, HP ku ketinggalan kayaknya." Adara meraba-raba kantong celana dan bajunya"Nggak papa, yuk m
Pukul dua belas siang Adara mematikan komputer dengan semangat, bersenandung ria melangkah turun ke bawah. Ia meniti anak tangga dengan hati riang ketika sampai di anak tangga yang terakhir tiba-tiba ada awan mendung yang menghalangi langkahnya. Awan mendung itu adalah Hanz.''Mau kemana, Ra?" Tanya Hanz."Emangnya harus lapor ya kalo aku mau pergi?" jawab Adara asal."Ra, please. Kamu masih marah ya ama aku?" Hanz mengiba pada Adara"Hmm, marah sih nggak. Cuma aku nggak mau lagi berurusan ama kamu," ucap Adara tenang."Kalo kamu nggak marah kenapa sikap kamu begini?" Tanya Hanz."Nggak papa, aku nggak enak aja sama Fanny. Sorry Hanz aku mau pergi dulu, udah ditunggu."Adara melangkah pergi meninggalkan Hanz di dekat tangga dan mempercepat langkahnya ke arah belakang workshop. Ada LV putih milik Arya disana."Hai, Ra. Yuk, masuk." Arya menyapa dari balik kaca mobil yang terbuka dan mengajak Adara untuk masuk.Ketika Adara membuka
Adara dan Arya sedang duduk di atas kap mobil sambil memandang ibukota di tengah hutan. Suasana sunyi, sepi dan diam tanpa kata meliputi mereka berdua.Adara bingung dengan sikap Arya yang diam seribu bahasa, raut kegusaran tergambar jelas diwajah Arya."Bang, Abang bawa adek kesini cuma untuk main patung-patungan. Dieeeem gitu," Adara berusaha memecah kesunyian."Sorry, abang lagi badmood," lirih Arya pelan."Why?" Adara menatap wajah sendu Arya yang disinari cahaya rembulan.Berwajah arab yang sedikit tirus, mata berwarna coklat, bibir bawah yang terbelah di tengah, hidung yang mancung, kulit kecoklatan membuat Adara terpesona sesaat."Sadar, Ra. Arya udah punya istri." batin Adara.Tiba-tiba Arya memeluk Adara. "Dek, peluk abang sebentar aja, abang butuh pelukan biar hati abang tenang.""Abang kenapa?" Adara semakin bingung dibuatnya."Abang lagi down saat ini, Dek." Arya semakin erat memeluk Adara.Adara tak mengerti da
POV Aqilla.Namaku Nur Aqilla, aku hanyalah gadis biasa yang tinggal di salah satu kampung kecil di Kutai Barat. Wajah oriental dan manis yang ku miliki tak semanis dengan jalan hidup yang harus aku jalani.Aku jatuh cinta dengan seorang pemuda bernama Ardika di kampungku ia anak seorang pengusaha kuliner yang cukup terkenal, resto yang orang tuanya miliki berjajar rapi dari jalan poros Kutai Barat hingga Balikpapan.Walau orang tuanya menentang karena aku hanyalah anak seorang petani biasa dan aku hanya bekerja pada salah satu pom bensin di kampungku, aku dan Ardi tetap nekat merajut cinta secara diam-diam.Ketulusan yang ku berikan pada Ardi ternyata di balas dengan sandiwara yang cukup menyakitkan, ia tak pernah mencintaiku. Madu yang telah ku berikan padanya ia tukar dengan racun yang sungguh mematikan.Ardi mengejar-ngejarku hanya karena nafsu ingin mendapatkan seorang kembang desa sepertiku setelah ia menghisap putik sari dariku ia beralih k
"Jadi kamu udah jadian ama Raffa, La." Girang Adara setelah mendengar cerita dari Aqilla, Aqilla mengangguk."Wah selamat ya." Adara memeluk Aqilla."Makasih, Ra. Terus kamu kapan jadian sama Hanz?" Tanya Aqilla, Adara cemberut."Loh, kok malah cemberut?" Selidik Aqilla, Adara pun menceritakan yang telah terjadi."Hmm, Hanz anak yang baik sebenarnya Ra. Sifatnya yang cuek, urakan dan cool serta blak-blakan menjadi daya tarik sendiri baginya sehingga banyak membuat wanita di sini tergila-gila padanya namun untuk pacar aku belum pernah melihatnya secara langsung selain Fanny. Tapi bukan kah mereka udah putus?" Ucap Aqilla."Entahlah, aku tak tahu, La." Adara mengangkat kedua bahunya."Iya, mereka udah putus karena Fanny yang selingkuh," ucap Aqilla."Oh, ya. Kamu tahu banyak tentang Hanz rupanya, La." Adara sedikit terkejut."Iya, karena Hanz pernah datang padaku lalu aku menemaninya dan mendengar semua keluh kesahnya semalaman dan kamu
Setengah berlari Adara membuka pintu kosan sosok Irwan sudah ada di sana."Irwan," kejut Adara karena yang datang ternyata Irwan bukan Hanz."Hai Ra, sibuk nggak." Irwan tersenyum manis pada Adara."Nggak sih lagi nunggu teman aja. Yuk duduk," ajak Adara."Hm, sorry deh. Kalau gitu aku bentar aja kok Ra," sahut Irwan yang masih berdiri. "Aku cuma mau ngasih ini aja ke kamu." Lanjut Irwan seraya memberikan sebuah cokelat pada Adara."Untuk apa? Perasaan aku belum ulang tahun deh, valentine juga udah lewat." Adara menatap Irwan bingung."Anggap aja sebagai hadiah perkenalan," ucap Irwan tulus."Makasih ya, Wan." Adara menyambutnya dengan senang."Semoga suka, Ra. Ya udah aku pamit dulu ya," pamit Irwan."Pasti, bye Wan." Adara melambai pada Irwan, selepas Irwan pergi mobil Arya berhenti di depan kosan."Waduh abang Arya, Hanz kamu lelet banget sih kayak cewek kok belum muncul-muncul," batin Adara kesal."Malam Ade
"Hai Ra," sapa Irwan ketika bertemu Adara di depan warung Acil."Hai, Wan." Adara berjalan berdampingan dengan Irwan menuju parkiran bis karyawan."Ntar malam aku boleh main ke kos ngga Ra?" Tanya Irwan."Boleh kok Wan," sahut Adara."Oke, ntar malam aku ke rumah ya," ucap Irwan senang, Adara mengangguk.Tiinnn Tiiinnntt.Sebuah LV putih berhenti di depan Adara dan Irwan, Arya melongok dari kaca. "Dek, naik.""Wan, sorry aku duluan ya," pamit Adara pada Irwan."Iya Ra duluan aja," ucap Irwan raut kecewa tersemat diwajahnya.Adara melambai pada Irwan sesaat, LV putih milik Arya melaju meninggalkan Irwan yang menatap kepergian mobil itu dengan tatapan kecewa."Centil amat dek, pakai lambai-lambai segala kayak pohon kelapa," sindir Arya."Ihh Abang, pagi-pagi udah sewot kayak nenek-nenek," sahut Adara."Eh, Bang. Mampir kantin dulu adek mau ambil sarapan," teriak Adara ketika mobil Arya melewati mes PT. BIMA.
Setengah berlari Adara membuka pintu kosan sosok Irwan sudah ada di sana."Irwan," kejut Adara karena yang datang ternyata Irwan bukan Hanz."Hai Ra, sibuk nggak." Irwan tersenyum manis pada Adara."Nggak sih lagi nunggu teman aja. Yuk duduk," ajak Adara."Hm, sorry deh. Kalau gitu aku bentar aja kok Ra," sahut Irwan yang masih berdiri. "Aku cuma mau ngasih ini aja ke kamu." Lanjut Irwan seraya memberikan sebuah cokelat pada Adara."Untuk apa? Perasaan aku belum ulang tahun deh, valentine juga udah lewat." Adara menatap Irwan bingung."Anggap aja sebagai hadiah perkenalan," ucap Irwan tulus."Makasih ya, Wan." Adara menyambutnya dengan senang."Semoga suka, Ra. Ya udah aku pamit dulu ya," pamit Irwan."Pasti, bye Wan." Adara melambai pada Irwan, selepas Irwan pergi mobil Arya berhenti di depan kosan."Waduh abang Arya, Hanz kamu lelet banget sih kayak cewek kok belum muncul-muncul," batin Adara kesal."Malam Ade
"Jadi kamu udah jadian ama Raffa, La." Girang Adara setelah mendengar cerita dari Aqilla, Aqilla mengangguk."Wah selamat ya." Adara memeluk Aqilla."Makasih, Ra. Terus kamu kapan jadian sama Hanz?" Tanya Aqilla, Adara cemberut."Loh, kok malah cemberut?" Selidik Aqilla, Adara pun menceritakan yang telah terjadi."Hmm, Hanz anak yang baik sebenarnya Ra. Sifatnya yang cuek, urakan dan cool serta blak-blakan menjadi daya tarik sendiri baginya sehingga banyak membuat wanita di sini tergila-gila padanya namun untuk pacar aku belum pernah melihatnya secara langsung selain Fanny. Tapi bukan kah mereka udah putus?" Ucap Aqilla."Entahlah, aku tak tahu, La." Adara mengangkat kedua bahunya."Iya, mereka udah putus karena Fanny yang selingkuh," ucap Aqilla."Oh, ya. Kamu tahu banyak tentang Hanz rupanya, La." Adara sedikit terkejut."Iya, karena Hanz pernah datang padaku lalu aku menemaninya dan mendengar semua keluh kesahnya semalaman dan kamu
POV Aqilla.Namaku Nur Aqilla, aku hanyalah gadis biasa yang tinggal di salah satu kampung kecil di Kutai Barat. Wajah oriental dan manis yang ku miliki tak semanis dengan jalan hidup yang harus aku jalani.Aku jatuh cinta dengan seorang pemuda bernama Ardika di kampungku ia anak seorang pengusaha kuliner yang cukup terkenal, resto yang orang tuanya miliki berjajar rapi dari jalan poros Kutai Barat hingga Balikpapan.Walau orang tuanya menentang karena aku hanyalah anak seorang petani biasa dan aku hanya bekerja pada salah satu pom bensin di kampungku, aku dan Ardi tetap nekat merajut cinta secara diam-diam.Ketulusan yang ku berikan pada Ardi ternyata di balas dengan sandiwara yang cukup menyakitkan, ia tak pernah mencintaiku. Madu yang telah ku berikan padanya ia tukar dengan racun yang sungguh mematikan.Ardi mengejar-ngejarku hanya karena nafsu ingin mendapatkan seorang kembang desa sepertiku setelah ia menghisap putik sari dariku ia beralih k
Adara dan Arya sedang duduk di atas kap mobil sambil memandang ibukota di tengah hutan. Suasana sunyi, sepi dan diam tanpa kata meliputi mereka berdua.Adara bingung dengan sikap Arya yang diam seribu bahasa, raut kegusaran tergambar jelas diwajah Arya."Bang, Abang bawa adek kesini cuma untuk main patung-patungan. Dieeeem gitu," Adara berusaha memecah kesunyian."Sorry, abang lagi badmood," lirih Arya pelan."Why?" Adara menatap wajah sendu Arya yang disinari cahaya rembulan.Berwajah arab yang sedikit tirus, mata berwarna coklat, bibir bawah yang terbelah di tengah, hidung yang mancung, kulit kecoklatan membuat Adara terpesona sesaat."Sadar, Ra. Arya udah punya istri." batin Adara.Tiba-tiba Arya memeluk Adara. "Dek, peluk abang sebentar aja, abang butuh pelukan biar hati abang tenang.""Abang kenapa?" Adara semakin bingung dibuatnya."Abang lagi down saat ini, Dek." Arya semakin erat memeluk Adara.Adara tak mengerti da
Pukul dua belas siang Adara mematikan komputer dengan semangat, bersenandung ria melangkah turun ke bawah. Ia meniti anak tangga dengan hati riang ketika sampai di anak tangga yang terakhir tiba-tiba ada awan mendung yang menghalangi langkahnya. Awan mendung itu adalah Hanz.''Mau kemana, Ra?" Tanya Hanz."Emangnya harus lapor ya kalo aku mau pergi?" jawab Adara asal."Ra, please. Kamu masih marah ya ama aku?" Hanz mengiba pada Adara"Hmm, marah sih nggak. Cuma aku nggak mau lagi berurusan ama kamu," ucap Adara tenang."Kalo kamu nggak marah kenapa sikap kamu begini?" Tanya Hanz."Nggak papa, aku nggak enak aja sama Fanny. Sorry Hanz aku mau pergi dulu, udah ditunggu."Adara melangkah pergi meninggalkan Hanz di dekat tangga dan mempercepat langkahnya ke arah belakang workshop. Ada LV putih milik Arya disana."Hai, Ra. Yuk, masuk." Arya menyapa dari balik kaca mobil yang terbuka dan mengajak Adara untuk masuk.Ketika Adara membuka
Dengan pelan dan hati yang berdebar Adara melangkah menuju belakang workshop, hatinya sebenarnya tak ingin turun kebawah karena ia takut kalau ia akan bertemu dengan Hanz, tapi rasa penasaran di dalam pikirannya lebih besar dari rasa yang ada di hatinya.Adara mengedarkan pandangan mencari seseorang namun nihil hanya ada tumpukkan drum bekas, vesel, bucket, dan tumpukan pipa besar. Adara berbalik ingin kembali ke ke atas namun sebuah teriakan menghentikan langkahnya."Ra!"Seorang pria kurus dan tinggi yang ia tabrak dua kali muncul dari dalam bucket excavator, mungkinkah?"Kamu mau kemana, Ra. Aku udah lama nungguin kamu disini," ucapnya ketika sudah berada di dekat Adara."Mau balik, habis dari tadi kosong nggak ada orang. Kamu juga ngapain ngumpet disitu," jawab Adara."Aku dari tadi nelepon kamu nggak di respon," ucap pria itu."Astaga, HP ku ketinggalan kayaknya." Adara meraba-raba kantong celana dan bajunya"Nggak papa, yuk m
"Ra tolong keluar dulu, please ... please dengarin aku dulu, Ra!"Hanz menggedor-gedor pintu kosan dan berteriak memanggil nama Adara, Adara terduduk dibalik pintu dengan tatapan kosong. Tak ada tangis yang menganak sungai namun di sudut hati ini terasa perih."Ra!" Teriak Hanz untuk kesekian kalinya."Mas, tolong pergi sekarang atau saya lapor ke petinggi kampung karena sudah membuat keributan disini malam-malam." Panca tetangga samping kamar menegur Hanz."Nggak usah ikut campur, kamu diam aja. Ini urusan aku," ucap Hanz."Selama ini masih didekat wilayah ku, ini tentu jadi urusan aku juga apalagi kamu teriak-teriak disamping kamarku," jawab Panca."Biarin, aku nggak peduli. Telepon aja kalau berani," ucap Hanz."Ah, sial. Awas kamu ya!" Ucap Hanz ketika ia melihat Panca menelepon seseorang dan ia pun berlalu pergi.Setelah Hanz pergi Adara beranjak dari belakang pintu menuju ke kasur dan menghempaskan tubuh gempalnya disana. Rasa pe
Pagi yang indah, Adara dan Aqilla sudah berdiri di halte menanti bis jemputan. Setelah menanti beberapa saat yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, seluruh karyawan segera menaiki bis satu per satu termasuk kami.Ketika bis akan melaju, seorang karyawan berlari sambil melambai-lambai ke arah supir meminta untuk menantinya sejenak.Raffa masuk ke dalam bis dengan nafas yang terengah-engah, matanya mengedar mencari kursi yang bisa diduduki olehnya. Ia melangkah menuju arah belakang bis, saat melewati kami berdua ia menatap sejenak pada Aqilla namun Aqilla justru membuang pandangannya, Raffa lalu kembali melangkah menuju kursi belakang."Kamu kenapa sih La, aneh deh," bisik Adara pada Aqilla.Setengah berbisik karena takut didengarkan oleh penumpang yang lainnya Aqilla juga berbisik pada Adara. "Apaan sih Ra, diam deh."Adara terkikik mengejek Aqilla. Tak terasa departemen workshop sudah di depan mata Adara dan Aqilla bergegas turun dari bis ka