Jantung Adara berdebar tak menentu memandangi punggung si Cecunguk yang ada didepannya itu, perkataannya di bank membuat hati Adara sedikit berbunga. Adara tersentak dari sebuah rasa indah yang menyelimuti hati ketika sebuah telapak hangat menyentuh tangannya dan langsung menarik ke depan dan dilingkarkan pada pinggangnya.
Dengan cepat ia menarik kembali tangannya, namun sekali lagi Hanz menarik tangan Adara dan menjepitnya sehingga Adara hanya pasrah.
"Pegang, Ndut. Kalo kamu jatuh kasian aspalnya," ucap Hanz yang mampu menyulut bara dihati Adara
"Apa?!" kesal Adara.
Lucunya, walaupun kesal tapi Adara tetap melingkarkan tangannya dipinggang atletis milik Hanz.
"Kita mau kemana sih?'' tanya Adara.
"Udah, penumpang diam aja," jawab Hanz.
Adara hanya bisa berpasrah diri, duduk manis di belakang sambil memeluk tubuh hangatnya. Aroma tubuh Hanz yang berbau maskulin, parfum khas laki-laki hampir saja membuatnya tertidur andai saja sepeda motor yang dipacunya tidak berhenti.
"Turun, Ndut. Udah sampai," ucap Hanz.
Puncak gunung, ada jalan kecil yang beraspal bertuliskan Tanjung Isuy pada petunjuk jalannya, kiri kanan jalan itu dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit. Dan dua meter dari jalan itu ada sebuah warung kecil disitulah Hanz mengajak Adara duduk, tempat yang dikenal dengan sebutan simpang sawit.
"Kamu mau makan apa, Ndut?" tawar Hanz
"Bakso sama es campur," jawab Adara.
"Pantas kamu bulat, hobinya makan pentol." Hanz terkekeh.
"Biarin, namanya juga takdir ya mau gimana lagi. Kalau kamu malu, kamu bisa mundur kok nggak usah temanan sama aku." Adara mendengus melewatinya dan duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu sungkai.
Hanz tertawa geli sambil mengikuti Adara dan duduk di kursi yang sama, "Cieee, ngambek ne. Gitu aja udah ngambek kamu, Ndut."
"Ngambek? Nggak lah ... aku sudah terbiasa di omongin yang macam-macam," ucap Adara dengan senyum yang mengembang. Entah mengapa Hanz hanya terdiam tak membalas ucapan Adara.
"Bude, tempat untuk pipisnya dimana ya kalau disini?" Tanya Adara pada pemilik warung kecil.
"Waduh, Dek. Nggak ada kamar mandi di sini, kalau mau pipis ya di bawah pohon sawit sana." Tunjuk Bude pada pohon sawit yang bejejer dibelakangnya.
"Waduuh!" Adara menarik salivanya dalam.
"Kalau mau pipis sini aku anter," bisik Hanz.
"Apa-apaan sih. Jangan mes*m deh." Kesal Adara.
"Yeee, siapa yang mes*um, silahkan pergi sendiri tapi aku nggak tanggung ya kalau kamu ditelan ular Phyton. Ya kan Bude," ucap Hanz.
"Iya Dek, hati-hati kalau pergi sendiri di sawitan banyak ularnya," sahut Bude mengiyakan ucapan Hanz.
Dengan terpaksa Adara menarik tangan Hanz dan membawanya ke arah pohon sawit.
"Balik badan, awas ya kalau ngintip," ancam Adara.
"Ngapain ngintip kamu rugi," balas Hanz.
Mereka pun kembali lagi ke warung Bude setelah Adara selesai, akhirnya makanan mereka tiba, setelah selesai menikmati makanan dan minuman mereka pun kembali melanjutkan perjalanan yang Adara sendiri tak tahu akan di bawa kemana oleh Hanz.
Mereka memasuki jalan aspal yang bertuliskan Tanjung Isuy tadi, sepanjang jalan hanya perkebunan kelapa sawit yang menghiasi pemandangan disisi kiri dan kanan. Adara sempat takut dan berpikiran yang tidak-tidak, karena Hanz membawanya memasuki areal perkebunan kelapa sawit.
Namun pikiran negatif itu tak terbukti karena Adara masih aman hingga mereka berhenti pada sebuah perkampungan. Hanz memacu dengan pelan sepeda motornya ketika melintasi jembatan kayu yang berderak ketika mereka melintas di atasnya.
Sepeda motor Hanz berhenti di depan Lamin yang sangat panjang "Lamin Mancong" itulah yang tertulis pada papan keterangan yang ada di dekat tangga.
Adara berdiri mematung memandangi keindahan rumah adat suku Dayak Benuaq yang disebut dengan Lamin itu.
"Kenapa? Jangan bilang kalau kamu belum pernah lihat rumah adat kamu sendiri?'' bisik Hanz di telinga Adara.
Adara memandang wajah Han yang terlalu dekat dengan wajahnya, "Hanz ku pikir ...."
"Apa?" potong Hanz lembut.
"Ku pikir kamu mau nyulik aku en mau buang aku di area sawit," Adara beralih dari tatapan mata Hanz dan berlari menaiki anak tangga.
"Eh, apa? Asem kamu, Ndut. Siapa juga yang mau nyulik cewek ndut kayak kamu, rugi tahu. Berat di ongkos!'' cecar Hanz sambil mengejar Adara.
Adara hanya bisa memonyongkan kedua bibirnya tanda kecewa saat berada di depan pintu, karena ternyata semua pintu Lamin tertutup dan terkunci rapat.
"Senin tutup, Ndut. Sabtu Minggu baru buka." Hanz tiba-tiba sudah berada di belakang Adara.
"Yuk, ah. Ntar kalau ada waktu off pas di Sabtu Minggu kita kesini lagi." Hanz menarik tangan Adara dan menggiringnya turun ke bawah.
"Udah tahu tutup, kenapa ngajak aku kemari," gerutu Adara Hanz hanya terkekeh geli.
Motor yang mereka naiki kembali melaju, namun kali ini melaju di jalanan yang berbatu dan sudah rusak parah. Motor Hanz berhenti disebuah jembatan kayu yang panjang, melintasi sebuah danau yang sangat indah.
Hanz meninggalkan motornya diujung jembatan, dia menarik tangan Adara dan membawanya berjalan sampai ditengah-tengah jembatan.
"Duduk, Ndut." Hanz duduk dipinggir jembatan dan mengayun-ayunkan kakinya dengan riang.
"Kamu nggak berniat ngedorong aku ke bawah kan," ucap Adara memastikan.
"Tergantung dari sikap kamu," jawab Hanz , Adara hanya melotot ke arahnya.
"Udah, duduk sini. Bercanda kali."
Hanz menarik tangan Adara ke bawah sehingga ia terduduk disampingnya, begitulah cerita di off pertama kerja Adara. Seharian ia habiskan dengan menikmati waktu demi waktu bersama Hanz, mereka akhiri off hari itu dengan menikmati senja yang syahdu di tengah Danau Jempang dengan duduk di atas jembatan yang menghubungkan antara kampung Tanjung Isuy dan Tanjung Jaan.
Sementara di tempat lain.
Dada Aqilla bergemuruh menahan bulir yang akan keluar dari sudut matanya, seorang laki-laki memandangnya dengan kesal.
"Kamu bisa nggak sih nggak gangguin aku mulu, aku muak tahu!" teriak Raffa si pria es batu inceran Aqilla.
"Aku nggak suka cewek kecentilan kayak kamu! Please deh, mulai detik ini aku nggak mau ngeliat wajah kamu di depan aku lagi!"
Aqilla berlari keluar meninggalkan Raffa yang masih diliputi dengan kekesalan, saat berada di luar kantin Aqilla berhenti karena mengingat sesuatu. Namun ia urungkan niatnya untuk mengambil kotak makan yang tertinggal karena mengingat ucapan Raffa.
"Udah, Fa. Kasihan dia, lagian kamu kebangetan jadi cowok." Nata sahabat Raffa, menarik tangan Raffa untuk segera duduk kembali di meja makan.
"Biarin." ketus Raffa.
Nata hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap sahabatnya itu, namun untuk menegur sahabatnya itu pun percuma. Nata sudah hapal dengan sifat Raffa yang keras dan dingin, jadi Nata memilih untuk diam dan melanjutkan makan malamnya.
Raffa tertegun menatap kotak makan yang ada di depannya, terbesit sebuah penyesalan dihatinya. Namun ia menutup semua perasaan bersalah itu dengan mengunyah makanan secepat mungkin.
"Aku balik duluan." Raffa tiba-tiba berdiri dan berlalu pergi meninggalkan Nata dan Irwan.
"Teman kamu kenapa, sih?" ucap Irwan.
"Tahu lagi PMS kali, teman kamu juga tahu," jawab Nata.
Aqilla berjalan secepat mungkin menjauhi kantin perusahaan, langkahnya terus melaju dan akhirnya berhenti di depan kosan Adara. Hati Aqilla semakin sedih kala ia memandang pintu kosan yang masih tergembok dengan rapi. Aqilla berbalik hendak pergi namun sepasang pemuda dan pemudi menghentikan kendaraan tepat di depannya. Saat sang pemudi turun, si pemuda langsung pergi tanpa pamit.
"Hai, La. Mau kemana," sapa Adara riang.
"Mau balik, tapi ...."
"Nggak usah balik deh, ayuk mampir bentar," ajak Adara.
"Ada makanan nggak, Ra. Aku lapar." Aqilla memelas.
"Ada nih, tenang aja," Adara mengapit lengan Aqilla dan membawanya masuk ke dalam kosan.
Sambil mengunyah makanan dengan lahapnya, mulut Aqilla juga bercerita tentang apa yang dialaminya. Hal itu tentu saja membuat Adara harus fokus mencermati setiap kata demi kata yang keluar dari mulut Aqilla.Sementara disudut kamar mes PT. BIMA, Raffa gamang dengan sikap yang telah ia lakukan pada Aqilla sore tadi.***Dengan pikiran yang kacau Raffa menyendok nasi dan lauk lalu meletakkannya pada piring yang ia pegang, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan menyapanya dengan riang."Hai, Abang ganteng," sapa Aqilla riang.Raffa yang terkejut tentu saja menjatuhkan semua isi yang ada dalam piring yang ia pegang, tak pelak ia pun marah dan membentak Aqilla. Raffa terus berbicara tanpa memberikan celah untuk Aqilla membela dirinya hingga gadis itu berlari meninggalkannya.***"Dasar bodoh! Kenapa Aku kepikiran cewek centil itu terus," umpat Raffa pada dirinya sendiri.Raffa memejamkan matanya dengan paksa namun hal itu baru membuahkan ha
["Aku udah siap, Tan. Kamu dimana?"]["Oke, tunggu bentar La. Udah OTW ni,"]["Sip. Jangan lama-lama ya,"]Aqilla menghentikan percakapannya dengan Tandi ditelepon, matanya menatap beberapa tumpukan barang yang ada dihadapannya."Hhufft, lumayan banyak juga ya," gumam Aqilla.Aqilla melangkah ke depan kosan untuk menunggu kedatangan Tandi hari ini Aqilla sedang off dan ia berencana untuk pindah kosan, dia meminta bantuan Tandi untuk mengangkut barang-barangnya menggunakan mobil LV milik perusahaan. Setelah menunggu beberapa saat Tandi akhirnya tiba, mereka segera mengangkat barang ke mobil dan meluncur ke kosan Aqilla yang baru."Duh. Maaf ya, La. Nggak bisa bantuin kamu masukin barang ke dalam, udah di cari pak bos ada yang urgent." Tandi meletakkan dus yang terakhir di atas tumpukkan barang yang lainnya."Nggak papa, Tan. Makasih banyak ya, buruan gih ntar dicariin pak Solidi.Tandi bergegas masuk ke dalam mobil, dan melaju meninggal
Pagi yang indah, Adara dan Aqilla sudah berdiri di halte menanti bis jemputan. Setelah menanti beberapa saat yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, seluruh karyawan segera menaiki bis satu per satu termasuk kami.Ketika bis akan melaju, seorang karyawan berlari sambil melambai-lambai ke arah supir meminta untuk menantinya sejenak.Raffa masuk ke dalam bis dengan nafas yang terengah-engah, matanya mengedar mencari kursi yang bisa diduduki olehnya. Ia melangkah menuju arah belakang bis, saat melewati kami berdua ia menatap sejenak pada Aqilla namun Aqilla justru membuang pandangannya, Raffa lalu kembali melangkah menuju kursi belakang."Kamu kenapa sih La, aneh deh," bisik Adara pada Aqilla.Setengah berbisik karena takut didengarkan oleh penumpang yang lainnya Aqilla juga berbisik pada Adara. "Apaan sih Ra, diam deh."Adara terkikik mengejek Aqilla. Tak terasa departemen workshop sudah di depan mata Adara dan Aqilla bergegas turun dari bis ka
"Ra tolong keluar dulu, please ... please dengarin aku dulu, Ra!"Hanz menggedor-gedor pintu kosan dan berteriak memanggil nama Adara, Adara terduduk dibalik pintu dengan tatapan kosong. Tak ada tangis yang menganak sungai namun di sudut hati ini terasa perih."Ra!" Teriak Hanz untuk kesekian kalinya."Mas, tolong pergi sekarang atau saya lapor ke petinggi kampung karena sudah membuat keributan disini malam-malam." Panca tetangga samping kamar menegur Hanz."Nggak usah ikut campur, kamu diam aja. Ini urusan aku," ucap Hanz."Selama ini masih didekat wilayah ku, ini tentu jadi urusan aku juga apalagi kamu teriak-teriak disamping kamarku," jawab Panca."Biarin, aku nggak peduli. Telepon aja kalau berani," ucap Hanz."Ah, sial. Awas kamu ya!" Ucap Hanz ketika ia melihat Panca menelepon seseorang dan ia pun berlalu pergi.Setelah Hanz pergi Adara beranjak dari belakang pintu menuju ke kasur dan menghempaskan tubuh gempalnya disana. Rasa pe
Dengan pelan dan hati yang berdebar Adara melangkah menuju belakang workshop, hatinya sebenarnya tak ingin turun kebawah karena ia takut kalau ia akan bertemu dengan Hanz, tapi rasa penasaran di dalam pikirannya lebih besar dari rasa yang ada di hatinya.Adara mengedarkan pandangan mencari seseorang namun nihil hanya ada tumpukkan drum bekas, vesel, bucket, dan tumpukan pipa besar. Adara berbalik ingin kembali ke ke atas namun sebuah teriakan menghentikan langkahnya."Ra!"Seorang pria kurus dan tinggi yang ia tabrak dua kali muncul dari dalam bucket excavator, mungkinkah?"Kamu mau kemana, Ra. Aku udah lama nungguin kamu disini," ucapnya ketika sudah berada di dekat Adara."Mau balik, habis dari tadi kosong nggak ada orang. Kamu juga ngapain ngumpet disitu," jawab Adara."Aku dari tadi nelepon kamu nggak di respon," ucap pria itu."Astaga, HP ku ketinggalan kayaknya." Adara meraba-raba kantong celana dan bajunya"Nggak papa, yuk m
Pukul dua belas siang Adara mematikan komputer dengan semangat, bersenandung ria melangkah turun ke bawah. Ia meniti anak tangga dengan hati riang ketika sampai di anak tangga yang terakhir tiba-tiba ada awan mendung yang menghalangi langkahnya. Awan mendung itu adalah Hanz.''Mau kemana, Ra?" Tanya Hanz."Emangnya harus lapor ya kalo aku mau pergi?" jawab Adara asal."Ra, please. Kamu masih marah ya ama aku?" Hanz mengiba pada Adara"Hmm, marah sih nggak. Cuma aku nggak mau lagi berurusan ama kamu," ucap Adara tenang."Kalo kamu nggak marah kenapa sikap kamu begini?" Tanya Hanz."Nggak papa, aku nggak enak aja sama Fanny. Sorry Hanz aku mau pergi dulu, udah ditunggu."Adara melangkah pergi meninggalkan Hanz di dekat tangga dan mempercepat langkahnya ke arah belakang workshop. Ada LV putih milik Arya disana."Hai, Ra. Yuk, masuk." Arya menyapa dari balik kaca mobil yang terbuka dan mengajak Adara untuk masuk.Ketika Adara membuka
Adara dan Arya sedang duduk di atas kap mobil sambil memandang ibukota di tengah hutan. Suasana sunyi, sepi dan diam tanpa kata meliputi mereka berdua.Adara bingung dengan sikap Arya yang diam seribu bahasa, raut kegusaran tergambar jelas diwajah Arya."Bang, Abang bawa adek kesini cuma untuk main patung-patungan. Dieeeem gitu," Adara berusaha memecah kesunyian."Sorry, abang lagi badmood," lirih Arya pelan."Why?" Adara menatap wajah sendu Arya yang disinari cahaya rembulan.Berwajah arab yang sedikit tirus, mata berwarna coklat, bibir bawah yang terbelah di tengah, hidung yang mancung, kulit kecoklatan membuat Adara terpesona sesaat."Sadar, Ra. Arya udah punya istri." batin Adara.Tiba-tiba Arya memeluk Adara. "Dek, peluk abang sebentar aja, abang butuh pelukan biar hati abang tenang.""Abang kenapa?" Adara semakin bingung dibuatnya."Abang lagi down saat ini, Dek." Arya semakin erat memeluk Adara.Adara tak mengerti da
POV Aqilla.Namaku Nur Aqilla, aku hanyalah gadis biasa yang tinggal di salah satu kampung kecil di Kutai Barat. Wajah oriental dan manis yang ku miliki tak semanis dengan jalan hidup yang harus aku jalani.Aku jatuh cinta dengan seorang pemuda bernama Ardika di kampungku ia anak seorang pengusaha kuliner yang cukup terkenal, resto yang orang tuanya miliki berjajar rapi dari jalan poros Kutai Barat hingga Balikpapan.Walau orang tuanya menentang karena aku hanyalah anak seorang petani biasa dan aku hanya bekerja pada salah satu pom bensin di kampungku, aku dan Ardi tetap nekat merajut cinta secara diam-diam.Ketulusan yang ku berikan pada Ardi ternyata di balas dengan sandiwara yang cukup menyakitkan, ia tak pernah mencintaiku. Madu yang telah ku berikan padanya ia tukar dengan racun yang sungguh mematikan.Ardi mengejar-ngejarku hanya karena nafsu ingin mendapatkan seorang kembang desa sepertiku setelah ia menghisap putik sari dariku ia beralih k
"Hai Ra," sapa Irwan ketika bertemu Adara di depan warung Acil."Hai, Wan." Adara berjalan berdampingan dengan Irwan menuju parkiran bis karyawan."Ntar malam aku boleh main ke kos ngga Ra?" Tanya Irwan."Boleh kok Wan," sahut Adara."Oke, ntar malam aku ke rumah ya," ucap Irwan senang, Adara mengangguk.Tiinnn Tiiinnntt.Sebuah LV putih berhenti di depan Adara dan Irwan, Arya melongok dari kaca. "Dek, naik.""Wan, sorry aku duluan ya," pamit Adara pada Irwan."Iya Ra duluan aja," ucap Irwan raut kecewa tersemat diwajahnya.Adara melambai pada Irwan sesaat, LV putih milik Arya melaju meninggalkan Irwan yang menatap kepergian mobil itu dengan tatapan kecewa."Centil amat dek, pakai lambai-lambai segala kayak pohon kelapa," sindir Arya."Ihh Abang, pagi-pagi udah sewot kayak nenek-nenek," sahut Adara."Eh, Bang. Mampir kantin dulu adek mau ambil sarapan," teriak Adara ketika mobil Arya melewati mes PT. BIMA.
Setengah berlari Adara membuka pintu kosan sosok Irwan sudah ada di sana."Irwan," kejut Adara karena yang datang ternyata Irwan bukan Hanz."Hai Ra, sibuk nggak." Irwan tersenyum manis pada Adara."Nggak sih lagi nunggu teman aja. Yuk duduk," ajak Adara."Hm, sorry deh. Kalau gitu aku bentar aja kok Ra," sahut Irwan yang masih berdiri. "Aku cuma mau ngasih ini aja ke kamu." Lanjut Irwan seraya memberikan sebuah cokelat pada Adara."Untuk apa? Perasaan aku belum ulang tahun deh, valentine juga udah lewat." Adara menatap Irwan bingung."Anggap aja sebagai hadiah perkenalan," ucap Irwan tulus."Makasih ya, Wan." Adara menyambutnya dengan senang."Semoga suka, Ra. Ya udah aku pamit dulu ya," pamit Irwan."Pasti, bye Wan." Adara melambai pada Irwan, selepas Irwan pergi mobil Arya berhenti di depan kosan."Waduh abang Arya, Hanz kamu lelet banget sih kayak cewek kok belum muncul-muncul," batin Adara kesal."Malam Ade
"Jadi kamu udah jadian ama Raffa, La." Girang Adara setelah mendengar cerita dari Aqilla, Aqilla mengangguk."Wah selamat ya." Adara memeluk Aqilla."Makasih, Ra. Terus kamu kapan jadian sama Hanz?" Tanya Aqilla, Adara cemberut."Loh, kok malah cemberut?" Selidik Aqilla, Adara pun menceritakan yang telah terjadi."Hmm, Hanz anak yang baik sebenarnya Ra. Sifatnya yang cuek, urakan dan cool serta blak-blakan menjadi daya tarik sendiri baginya sehingga banyak membuat wanita di sini tergila-gila padanya namun untuk pacar aku belum pernah melihatnya secara langsung selain Fanny. Tapi bukan kah mereka udah putus?" Ucap Aqilla."Entahlah, aku tak tahu, La." Adara mengangkat kedua bahunya."Iya, mereka udah putus karena Fanny yang selingkuh," ucap Aqilla."Oh, ya. Kamu tahu banyak tentang Hanz rupanya, La." Adara sedikit terkejut."Iya, karena Hanz pernah datang padaku lalu aku menemaninya dan mendengar semua keluh kesahnya semalaman dan kamu
POV Aqilla.Namaku Nur Aqilla, aku hanyalah gadis biasa yang tinggal di salah satu kampung kecil di Kutai Barat. Wajah oriental dan manis yang ku miliki tak semanis dengan jalan hidup yang harus aku jalani.Aku jatuh cinta dengan seorang pemuda bernama Ardika di kampungku ia anak seorang pengusaha kuliner yang cukup terkenal, resto yang orang tuanya miliki berjajar rapi dari jalan poros Kutai Barat hingga Balikpapan.Walau orang tuanya menentang karena aku hanyalah anak seorang petani biasa dan aku hanya bekerja pada salah satu pom bensin di kampungku, aku dan Ardi tetap nekat merajut cinta secara diam-diam.Ketulusan yang ku berikan pada Ardi ternyata di balas dengan sandiwara yang cukup menyakitkan, ia tak pernah mencintaiku. Madu yang telah ku berikan padanya ia tukar dengan racun yang sungguh mematikan.Ardi mengejar-ngejarku hanya karena nafsu ingin mendapatkan seorang kembang desa sepertiku setelah ia menghisap putik sari dariku ia beralih k
Adara dan Arya sedang duduk di atas kap mobil sambil memandang ibukota di tengah hutan. Suasana sunyi, sepi dan diam tanpa kata meliputi mereka berdua.Adara bingung dengan sikap Arya yang diam seribu bahasa, raut kegusaran tergambar jelas diwajah Arya."Bang, Abang bawa adek kesini cuma untuk main patung-patungan. Dieeeem gitu," Adara berusaha memecah kesunyian."Sorry, abang lagi badmood," lirih Arya pelan."Why?" Adara menatap wajah sendu Arya yang disinari cahaya rembulan.Berwajah arab yang sedikit tirus, mata berwarna coklat, bibir bawah yang terbelah di tengah, hidung yang mancung, kulit kecoklatan membuat Adara terpesona sesaat."Sadar, Ra. Arya udah punya istri." batin Adara.Tiba-tiba Arya memeluk Adara. "Dek, peluk abang sebentar aja, abang butuh pelukan biar hati abang tenang.""Abang kenapa?" Adara semakin bingung dibuatnya."Abang lagi down saat ini, Dek." Arya semakin erat memeluk Adara.Adara tak mengerti da
Pukul dua belas siang Adara mematikan komputer dengan semangat, bersenandung ria melangkah turun ke bawah. Ia meniti anak tangga dengan hati riang ketika sampai di anak tangga yang terakhir tiba-tiba ada awan mendung yang menghalangi langkahnya. Awan mendung itu adalah Hanz.''Mau kemana, Ra?" Tanya Hanz."Emangnya harus lapor ya kalo aku mau pergi?" jawab Adara asal."Ra, please. Kamu masih marah ya ama aku?" Hanz mengiba pada Adara"Hmm, marah sih nggak. Cuma aku nggak mau lagi berurusan ama kamu," ucap Adara tenang."Kalo kamu nggak marah kenapa sikap kamu begini?" Tanya Hanz."Nggak papa, aku nggak enak aja sama Fanny. Sorry Hanz aku mau pergi dulu, udah ditunggu."Adara melangkah pergi meninggalkan Hanz di dekat tangga dan mempercepat langkahnya ke arah belakang workshop. Ada LV putih milik Arya disana."Hai, Ra. Yuk, masuk." Arya menyapa dari balik kaca mobil yang terbuka dan mengajak Adara untuk masuk.Ketika Adara membuka
Dengan pelan dan hati yang berdebar Adara melangkah menuju belakang workshop, hatinya sebenarnya tak ingin turun kebawah karena ia takut kalau ia akan bertemu dengan Hanz, tapi rasa penasaran di dalam pikirannya lebih besar dari rasa yang ada di hatinya.Adara mengedarkan pandangan mencari seseorang namun nihil hanya ada tumpukkan drum bekas, vesel, bucket, dan tumpukan pipa besar. Adara berbalik ingin kembali ke ke atas namun sebuah teriakan menghentikan langkahnya."Ra!"Seorang pria kurus dan tinggi yang ia tabrak dua kali muncul dari dalam bucket excavator, mungkinkah?"Kamu mau kemana, Ra. Aku udah lama nungguin kamu disini," ucapnya ketika sudah berada di dekat Adara."Mau balik, habis dari tadi kosong nggak ada orang. Kamu juga ngapain ngumpet disitu," jawab Adara."Aku dari tadi nelepon kamu nggak di respon," ucap pria itu."Astaga, HP ku ketinggalan kayaknya." Adara meraba-raba kantong celana dan bajunya"Nggak papa, yuk m
"Ra tolong keluar dulu, please ... please dengarin aku dulu, Ra!"Hanz menggedor-gedor pintu kosan dan berteriak memanggil nama Adara, Adara terduduk dibalik pintu dengan tatapan kosong. Tak ada tangis yang menganak sungai namun di sudut hati ini terasa perih."Ra!" Teriak Hanz untuk kesekian kalinya."Mas, tolong pergi sekarang atau saya lapor ke petinggi kampung karena sudah membuat keributan disini malam-malam." Panca tetangga samping kamar menegur Hanz."Nggak usah ikut campur, kamu diam aja. Ini urusan aku," ucap Hanz."Selama ini masih didekat wilayah ku, ini tentu jadi urusan aku juga apalagi kamu teriak-teriak disamping kamarku," jawab Panca."Biarin, aku nggak peduli. Telepon aja kalau berani," ucap Hanz."Ah, sial. Awas kamu ya!" Ucap Hanz ketika ia melihat Panca menelepon seseorang dan ia pun berlalu pergi.Setelah Hanz pergi Adara beranjak dari belakang pintu menuju ke kasur dan menghempaskan tubuh gempalnya disana. Rasa pe
Pagi yang indah, Adara dan Aqilla sudah berdiri di halte menanti bis jemputan. Setelah menanti beberapa saat yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, seluruh karyawan segera menaiki bis satu per satu termasuk kami.Ketika bis akan melaju, seorang karyawan berlari sambil melambai-lambai ke arah supir meminta untuk menantinya sejenak.Raffa masuk ke dalam bis dengan nafas yang terengah-engah, matanya mengedar mencari kursi yang bisa diduduki olehnya. Ia melangkah menuju arah belakang bis, saat melewati kami berdua ia menatap sejenak pada Aqilla namun Aqilla justru membuang pandangannya, Raffa lalu kembali melangkah menuju kursi belakang."Kamu kenapa sih La, aneh deh," bisik Adara pada Aqilla.Setengah berbisik karena takut didengarkan oleh penumpang yang lainnya Aqilla juga berbisik pada Adara. "Apaan sih Ra, diam deh."Adara terkikik mengejek Aqilla. Tak terasa departemen workshop sudah di depan mata Adara dan Aqilla bergegas turun dari bis ka