Sulit dipercaya tapi seperti inilah yang terjadi. Jingga yang sejak awal tampak ogah-ogahan dan tidak mau mencari korban Sandara selanjutnya sekarang ada di bahu jalan setelah latihan berakhir, bukannya pulang ke rumah. Dia juga pernah bilang kalau dia lelah mencari sesuatu yang tidak pasti, namun dia tetap melakukannya juga walau dibarengi dengan wajah cemberut.
Sebenarnya dia tidak secara ikhlas mengulurkan tangan untuk menyanggupi permintaan Sagara. Hanya saja dia merasa tidak punya waktu lagi dan harus bergegas menemukan target Sandara selanjutnya. Ada satu orang yang berada dalam bahaya dan dia harus mencegah itu sebelum terjadi. Dia tidak ingin ada yang meninggal dunia lagi akibat kelalaian dirinya.
Makanya setelah latihan berakhir, dia langsung memulai pencarian dengan berkunjung ke minimarket yang ada di sekitar pemberhentian—biasanya bersama anggota lain saat pulang. Dia juga menolak ajakan Mentari yang menawarkan diri sebagai pendamping. Dia harus bisa
"Ada apa, Mbak?"Pertanyaan Minah tadi berhasil membawa raga Jingga kembali ke raga asal. Dia kembali dibawa saat mereka masih ada di Yellow Mart dan hanya berdua. Gara-gara dia yang sengaja menggenggam tangan puan itu, Minah buru-buru menarik tangannya dan mundur ke belakang. Terlalu banyak kejadian yang harus dicerna dan Minah juga kaget dengan aksi Jingga yang secara tiba-tiba."Eh, kenapa?" ujar Jingga yang mendadak bingung dengan kejadian sebelumnya. Pikirannya tadi fokus dengan membaca masa lalu sang lawan bicara, sampai lupa kalimat terakhir yang diucapkan.Minah mengalihkan pandangan. Dia mencoba membuat dirinya sibuk agar lupa dengan kejadian tadi. "Itu, Mbak, kartunya udah limit. Jadi ada uang tunai sebagai gantinya?" ujarnya yang menjelaskan ulang apa yang telah dia katakan dengan sabar. Walau puan di hadapan ini tampak aneh, tetapi dia masih mengutamakan prioritas. Yaitu menghormati pelanggan.Gara-gara pernyataan itu, Jingga baru sadar kalau
Semesta yang senang bermain-main dengan orang yang selalu menyerahkan diri baru saja menumpas satu insan. Bernama Jingga Sandhya, puan itu duduk dan melamun di depan meja kasir. Dia duduk dengan bersilang kaki. Pandangannya lurus ke depan, namun sorot matanya tampak hampa dan menyiratkan rasa bersalah. Mulutnya dari tadi tertutup. Dia juga ada di Yellow Mart sendirian.Awalnya, dia ingin bertemu Minah dan memberi tahu dengan jujur soal apa yang terjadi. Dia mengira kalau dia bisa menggagalkan upaya Sandara dalam menyeret orang lain lagi ke penjara karena kesalahan yang bahkan tidak disadari korbannya. Namun dia sadar kalau usahanya gagal. Puan yang dicari menghilang. Dia juga tidak tahu ke mana tujuan selanjutnya.Merenungi sesuatu yang telah disesali, dia sadar kalau ini merupakan sebagian dari kesalahan yang dia lakukan. Seharusnya saat bertemu tadi, dia jujur saja dan tidak mundur. Namun dia malah pergi meninggalkan puan itu.Beberapa saat kemudian, pintu dib
Mobil Devin yang dikendarai oleh lelaki itu sendiri telah tiba di halaman depan rumah mewah Sagara. Dia juga sudah meminta izin kepada sopirnya kalau dia menggunakan mobil untuk urusan sebentar. Dia tidak bisa berterus terang tentang kejadian tadi. Dia berkata akan segera pulang sebelum papanya pulang dari kantor.Devin keluar lebih dahulu sebagai sopir setelah mematikan mesin mobil. Diikuti Mentari dan Minah yang keluar belakangan. Tidak ada Jingga yang ikut bersama mereka. Hal ini lantaran dia telah keluar dari mobil setelah Devin berbaik hati menawarkan tumpangan pulang. Awalnya dia ingin ikut ke rumah Sagara juga, namun tabrakan tadi menghalangi niatnya. Gara-gara kejadian tadi, dia mengeluh pinggangnya sakit. Besok juga dia akan ke rumah sakit untuk mendapat pemeriksaan, takut ada yang cedera di dalam dan dia tidak sadar.Mereka bertiga kompak melangkahkan kaki di halaman depan rumah yang sudah disambut aneka tanaman warna-warni. Minah yang pertama kali berkunjung
Tugas Jingga belum sepenuhnya berakhir. Masih ada yang harus dia lakukan. Kali ini dia sendiri yang harus menyelesaikan semua yang telah dimulai. Termasuk kejadian semalam yang sampai sekarang membuatnya masih merasa bersalah. Dia harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dia lakukan.Makanya hari ini dia diminta Sagara untuk datang ke rumah. Ada yang ingin dibahas gurunya dan juga pasti pria itu butuh penjelasan, pikirnya. Dia sudah bisa mengira apa yang akan terjadi beberapa jam ke depan. Dia juga sudah bersedia untuk melontarkan jawaban seperti apa yang akan dikatakan. Hal ini sesuai dengan prediksi.Tanpa ketukan pintu dan sapaan kepada sang empu rumah, tangan puan itu segera menggenggam gagang pintu dan mendorongnya ke depan. Pintu terbuka lebar, makanya dia segera masuk tanpa menunggu tanggapan dua pria itu. Lagi pula, mereka juga tidak keberatan kalau mereka masuk tanpa izin. Khusus anggota Fantasy Club, mereka diperbolehkan masuk.Di ruang utama, Sagar
Sesuai dengan rencana yang telah disusun satu hari sebelumnya, hari ini Sagara sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat. Dia juga sudah membuat janji dengan seseorang untuk bertemu, namun tempat pertemuannya bukan di tempat umum. Melainkan di rumah sakit—tempat yang sangat amat jarang untuk diajak bertemu.Di halaman parkir, dia memarkirkan mobil bersama deretan mobil mewah lain tanpa ragu dan tanpa pikir dua kali. Setelah mesin dimatikan, dia segera keluar dari mobil dan bergerak menjauh dari kendaraan yang sudah setia menemaninya sejak membeli pertama kali. Langkahnya menuju pintu masuk rumah sakit yang selalu bersedia menyambut kedatangan pria itu kapan saja.Kakinya melangkah di koridor panjang yang seperti tidak ada ujungnya di depan mata. Dia berjalan lurus tanpa ragu. Selain dirinya, ada juga beberapa pengunjung yang duduk di bangku yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk menunggu pasien. Tempat ini juga digunakan untuk orang yang ingin tidur jikal
Walau misi menangkap Sandara sebenarnya belum berakhir, tetapi anggota Fantasy Club tetap diminta berkumpul oleh dua gurunya—Sagara dan Caraka—di lapangan belakang rumah Sagara. Mereka tetap harus menjalani latihan seperti biasa, serta melatih kemampuan seperti yang biasa dilakukan. Sudah menjadi rutinitas pula latihan ini dilakukan. Mereka juga tidak merasa asing setelah melalui hari sebagai anggota Fantasy Club.Sore ini, mereka diminta melatih kemampuan baru. Makanya mereka fokus mendengar apa yang disampaikan Caraka sebagai pembimbing pada hari ini. Sagara yang juga berperan sebagai pembimbing memperhatikan penjelasan yang lebih seperti kuliah dadakan. Baru setelah ini dia yang akan mengambil alih."Jadi kuminta kalian sekarang fokus ngapalin mantra yang kukirim itu aja. Besok aku akan cek satu-satu dan perhatiin siapa yang gak bisa hapal. Ingat aja kalimatnya, atau kalian akan push up 15 kali," ucap Caraka yang ada di depan barisan dan mendala
Melaju di jalan kota, mobil Sagara berhenti di area parkir depan mal yang tidak jauh dari pemberhentian bus. Walau kesannya buru-buru, dia masih bisa memarkir mobil dengan hati-hati. Daripada nantinya malah membawa masalah lain yang tidak bisa diprediksi, akan lebih baik jika dia taat aturan.Setelah mesin mobil dimatikan, pemilik mobil itu segera keluar dengan mendorong pintu depan. Jika tidak tahu seberapa kekuatan yang digunakan, pintunya mungkin akan berakhir di tempat pembuangan sampah. Dia keluar dari sana dan melangkah dengan tergesa-gesa. Tidak peduli lagi dengan tatapan orang lain di sekitar yang memberi wajah kagum lantaran kemampuan memarkir yang menakjubkan.Berjalan lurus ke depan, dia menyeberangi jalan melalui zebra cross. Beruntung lampu lalu lintas saat itu lagi merah, makanya dia bisa menyeberang dengan aman bersama warga lain. Jaraknya tidak jauh lagi. Jika bisa dikatakan, hanya ada di depan mata saja sebelum masuk ke dalam. Dari jauh, tempa
Sore saat matahari hampir satu garis lurus di ufuk barat dengan arah pandangan manusia, anggota Fantasy Club hadir lagi dalam pertemuan yang diminta Sagara dan Caraka. Mereka sedang duduk saling berdampingan dengan Sagara yang berperan sebagai penyampai materi. Pria itu ada di depan mereka yang mendadak menjadi pusat perhatian.Hari ini, mereka diminta menyimak tentang teori dalam teknik melepas kemampuan dengan Sagara yang berperan sebagai pembimbing. Seperti guru yang menyampaikan materi pembelajaran dengan ringkas namun jelas, pria itu menyampaikan bahan ajarnya kepada mereka. Ajaibnya, mereka bisa mengikuti pertemuan dengan baik tanpa ada halangan.Di sela-sela waktu diskusi, Jeslyn mengangkat tangan dengan tinggi. Setelah dipersilakan Caraka sebagai orang yang mengawasi pertemuan pada hari ini, dia mengajukan pertanyaan yang ingin disampaikan. "Emang ada nggak di antara anggota kita yang pernah diminta menguasai teknik ini?" ujarnya.Sagara mengangguk terle