Menempuh seribu langkah dengan berlari dan membawa perasaan yang tidak tenang, Jingga menyusuri bahu jalan sambil sesekali memutar arah kepala ke belakang. Dia sedang panik dan butuh diselamatkan seseorang yang berbaik hati menawarkannya bantuan. Napasnya juga tersengal-sengal karena harus menggunakan energinya lebih sering.
Sepertinya ide untuk meminta bantuan akan terasa sia-sia saja jika dilakukan. Suasana di kota sekarang amat sepi dan mencekam. Tidak ada orang, tidak ada kendaraan darat, bahkan tidak ada toko yang buka. Kota ini tampak seperti kota mati yang tidak dihuni warganya karena pindah ke daerah lain.
Alasan gadis itu berlari seperti dikejar anjing adalah karena sosok yang sedang mengejarnya di belakang. Ketika pandangannya berputar lagi ke arah belakang, sosok bertudung hitam dari atas kepala hingga ujung kaki mengejarnya. Tanpa mengenal kata ampun pula padahal gadis itu sudah merasa lelah. Dia tadinya ingin berhenti dan menyerahkan diri, namun kala melihat rupa mengerikan itu dia ketakutan.
Di depan, dia melihat jalan kecil yang berada di sisi kiri. Tanpa pikir panjang pula dia berbelok ke jalan tersebut untuk mengamankan diri. Dia yang mengenal daerah ini berharap kalau jalan itu bisa digunakan sebagai cara untuk bisa kabur dari kejaran makhluk aneh. Tubuhnya juga tidak kuat lagi ketika dipaksa berlari.
Dia masuk ke sebuah gang kecil, yang mana ada deretan rumah yang dibangun berdampingan. Dia masuk ke sebuah perumahan yang ternyata berbatasan langsung dengan Perumahan Nusantara. Setelah itu, dia bisa langsung pulang ke rumah dan melaporkan kejadian aneh itu kepada ibunya. Dia pikir bisa melalui semua itu dengan mudah asalkan dia harus rela mengeluarkan tenaganya lagi.
Kala otaknya sibuk berputar-putar di arah yang sama, dia bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri kalau ada seorang pria yang sedang menyusuri tepi jalan dan memperlihatkan punggungnya saja. Sebelum melihat orang itu, dia pikir dunianya akan berakhir karena tidak melihat orang lain selain dirinya dan sosok hitam tersebut. Kehadiran pria itu seperti malaikat pelindung.
Oleh karena itu, dia tersenyum lega. Dengan semangat pula dia menghampiri orang yang belum menyadari keberadaannya.
“Permisi!” seru Jingga yang menyapa pria tersebut walaupun hanya bisa terlihat punggungnya saja. Orang itu berhenti, karena itu dia juga berhenti. “Maaf tapi bisakah Anda menolong saya? Saya dikejar sosok aneh di belakang,” sambungnya yang melaporkan pengejaran tadi. Dia sudah merasa yakin kalau orang itu pasti bisa membantunya.
“Kamu Jingga ‘kan?” Bersuara, hal yang pertama kali ditanyakan pria itu adalah nama sang puan. Tanpa melihat ke belakang pula.
Jingga terpaku dan membisu. Dia tidak menyangka kalau dari warga di sini ada yang mengenalnya. Untuk memastikan lagi, dia bertanya dengan wajah bingung. “Dari mana Anda tahu?”
Pria itu berbalik badan. Seorang pria berwajah rupawan yang lebih tinggi dari Jingga dan mata bundar dengan iris mata hitam menatap sang puan dengan senyum mengembang dari sudut bibirnya. Menatap bola mata gadis itu lekat-lekat, dia mengulurkan tangan. “Akhirnya kita bertemu.”
Jingga yang tidak tahu apa pun perlahan mengulurkan tangannya, bermaksud mengajaknya untuk jabat tangan. Tetapi yang terjadi adalah gadis itu tumbang beberapa saat kemudian. Dia mendadak pingsan.
*
BRUK!
“Aduh.” Bersamaan dengan suara rintihan tersebut, Jingga bangkit dari lantai ruang tidurnya. Dia baru saja terjatuh dari atas ranjang. Akibatnya, kepala yang sama sekali tidak dilindungi apa pun adalah hal pertama yang terbentur di lantai.
Masih dalam keadaan setengah sadar, gadis itu mengangkat tulang duduknya dan naik ke ranjang tidur sambil memegang bagian punggungnya. Terjatuh dari tempat tidur membuat punggungnya seperti dibelah dua. Rasanya sakit yang tidak terhingga. Dia benar-benar menderita, selain juga karena terpaksa bangun lebih awal.
Memulihkan sakit di punggungnya dan mengumpulkan kesadaran, tulang duduk Jingga kini berada di tepi ranjang. Sambil mengusap kelopak mata, dia teringat mimpi tadi yang juga merupakan kilasan masa depannya. Dia yakin kalau apa yang dilihatnya tadi bukan mimpi biasa.
“Gak bisa nih, gak bisa. Gue gak boleh gini aja. Gue harus ngubah masa depan! Gimana pun caranya,” batinnya yang seakan-akan mengucapkan dengan penuh tekad. Dia bahkan sudah berniat sejak satu matanya terbuka. Dia tahu kejadian itu akan terjadi di saat berikutnya, namun dia tidak ingin itu terjadi kepada dirinya yang malah akan merugikan diri.
Jingga bangkit dari tempatnya. Dia melangkahkan kaki menuju lemari pakaian berbahan dasar kayu yang menjadi pusat atensinya. Kemudian, dia membuka pintu lemari dengan terburu-buru. Dengan cekatan, dia membongkar seluruh isi di dalam lemari.
“Jingga? Kamu sudah bangun?” Pada saat yang sama, suara ibunya menggema dari lantai bawah dan menyerukan namanya.
“Sudah, Bu!” jawab Jingga yang bisa dipastikan kalau kesadarannya sudah kembali dan dikumpulkan ke tempat yang benar. Mata dan tangannya tetap melakukan hal yang sama.
“Nanti tolong ibu bawain pesanan Bu Ratna. Yang pernah ibu bilangin itu, lho, kalau dia jualan di butik. Entar kembaliannya buat kamu aja,” titah ibunya lagi yang kali ini ingin memohon bantuan kepada sang putri tertua.
Jingga membeku. Tiba-tiba, satu ide yang datang dari negeri antah-berantah dan tidak pernah terpikirkan sama sekali olehnya muncul di dalam kepala. Sepertinya, dia tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya. Dia akhirnya tahu cara menolak permintaan ibunya. “Aku gak bisa deh kayaknya.”
“Kenapa? Kamu sakit?”
Hening, tidak ada jawaban. Jingga kini muncul dari balik tembok ruang utama setelah turun dari ruang tidurnya di lantai dua. Dengan langkah lesu, dia mendekati ibunya yang saat itu sedang sarapan roti panggang. Sengaja menarik napas pendek juga agar dia kelihatan terkena flu dan hidungnya meler. “Kayaknya aku flu deh. Dingin banget semalam,” jawabnya kemudian duduk di depan kursi ibunya.
“Demam?”
“Iya.”
“Sini ibu rasain dahimu.”
Jingga terdiam. Dia tahu ucapan tadi hanya akal bulus saja, tapi dia tidak menyangka kalau ibunya akan mengajukan pertanyaan ini. Dia tidak bisa berkelit lagi, tapi terpaksa memajukan posisi wajahnya. Ibu kemudian meraba dahinya dengan telapak tangan. “Gak hangat kok.”
Gadis itu cengar-cengir dan tersenyum lebar. Kebohongannya terbongkar. “Oh, mungkin perasaan aku doang soalnya kepalaku pusing banget. Kayaknya aku harus minum air hangat deh,” ujarnya yang memberi sebarang kilah lagi.
“Entar bawain pesanan ibu ya.”
“Iya, Bu.”
*
Berada di sebuah butik pakaian wanita bernama Na Boutique yang berada di pusat kota, Jingga sedang menunggu sesuatu di depan meja pembayaran. Kedatangannya ke sini karena permintaan ibunya yang diminta membawakan barang yang dipesan jauh hari. Toko ini milik teman ibunya yang pernah diceritakan akrab waktu berada di bangku SMA.
Di depan kasir, dia yang menunggu mengalihkan pandangan ke seluruh bagian di dalam toko untuk mengisi waktu kosong. Dia sudah terlalu bosan jika menunggu di sini sendirian. Sangat jauh berbeda jika dia ditemani orang lain, maka dia tidak akan merasa kosong dan hampa. Dalam hati, dia sudah merapal permohonan agar bisa keluar dari tempat ini dan pulang ke rumah.
Muncul dari balik pintu bersamaan dengan bunyi lonceng, seorang wanita rambut pendek baru saja keluar dari ruangan lain di dalam toko. Saat itu pula, Jingga mengarahkan pandangan ke arah semula dan dia bisa melihat dengan jelas kalau wanita itu membawa sebuah kantung kertas. “Udah lama juga ya gak ketemu. Jingga sekarang udah gede ya,” ujar wanita rambut pendek itu yang mengajak sang puan berbicara.
Jingga tersenyum dengan tatapan ramah. Sejujurnya, dia juga sudah lupa kapan tepatnya mereka pernah bertemu. Rumahnya selalu kedatangan tamu yang mengaku teman ibu, namun dia sudah lupa wajah mereka. “Begitu deh, Bu. Kapan-kapan datang aja ke rumah. Ibu juga bilang udah lama gak ketemu Bu Ratna,” jawabnya dengan sederhana.
“Masih tinggal di Perum Nusantara ‘kan?”
“Masih, Bu. Kalau gitu saya pamit dulu ya,” balas Jingga yang kemudian memohon pamit sebelum keluar dari butik. Setelah diizinkan oleh pemilik toko, dia berbalik badan dan segera mengulurkan tangannya ke gagang pintu.
Saat pintu dari dalam toko terbuka, gadis itu berhenti di tempat dan mendadak mematung. Keadaan di luar mendadak sepi. Tidak ada apa pun yang melintas di depan mata. Situasinya seperti berada di kota terbengkalai, sangat hening. Merasa ada yang aneh, dia berbalik badan. Tidak ada siapa pun yang bisa dilihatnya dari dalam toko, padahal sebelumnya ada Bu Ratna dan beberapa pengunjung yang datang.
“Bu Ratna?” panggilnya yang ingin memastikan sesuatu. Dia yakin kalau dia ada di dalam mimpi, namun sepertinya terlalu nyata untuk disebut sebagai bunga tidur. “Bu Ratna!” serunya lagi setelah tidak ada jawaban dari pemilik nama.
Sekarang, dia sadar kalau ada yang tidak beres. Oleh karena itu, dia segera keluar dari butik dengan panik dan tergesa-gesa. Dia juga setengah berlari saat menyusuri bahu jalan. Dia harus pulang ke rumah dan tidak boleh lengah.
Berbelok di jalan kecil, dia bisa melihat dengan jelas kalau ada beberapa sosok jubah hitam yang berlari ke arahnya seperti mengejar pencuri. Kejadian ini mirip kejadian yang ada di dalam mimpi. Dia akhirnya sadar kalau ini adalah bagian dari kilasan masa depan dan sudah menjadi kenyataan. Tidak ingin mengalami hal yang sama, dia berbalik badan dan kabur.
Masa depan itu terulang kembali seperti yang dilihatnya. Dia kembali dikejar oleh sosok jubah hitam yang membuatnya harus merelakan tenaga di bahu jalan kota. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi, makanya dia tidak ingin tertangkap oleh mereka.
“Please! Jangan kejar gue!” serunya dengan nada memohon walaupun masih berusaha kabur dari kejaran, persis seorang pencuri yang dikejar kawanan petugas polisi. Dia berteriak lagi, “Gue gak salah apa-apa juga. Kenapa jadi gue yang kena!”
Di hadapan setelah empat gedung terlewati, dia melihat sebuah gang masuk ke sebuah perumahan. Dia kembali ingat kalau jalan ini adalah cara yang seharusnya dia tempuh untuk bisa pulang, namun berakhir dengan bertemu insan yang berbahaya. Oleh karena itu, dia memilih jalan lurus agar tidak bertemu orang itu. Tekadnya hanya satu, dia ingin mengubah masa depan.
Setelah menempuh perjalanan sejauh beberapa ratus meter, Jingga menyadari kalau sosok jubah hitam itu tidak lagi mengejarnya. Mungkin karena mereka juga lelah karena mengejarnya tanpa kata ampun. Makanya, dia memelankan jalan dan memutar kepala ke belakang. Memang benar kalau tidak ada lagi sosok aneh itu di belakang.
Namun, dia baru saja melakukan kesalahan ceroboh. Dia menabrak punggung seseorang yang memiliki bahu lebar, akibatnya dia terjatuh di bahu jalan. “Maaf, maafin saya. Maaf karena saya gak sengaja…”
Ucapannya terhenti kala mata sang puan terbuka dan hal yang pertama kali dia lihat adalah sepasang sepatu kulit warna hitam. Dia kemudian mendongak untuk mengetahui siapa yang baru saja ia tabrak. Seorang pria berwajah rupawan kini benar-benar muncul di depan mata. Mimpi itu kembali terulang.
***
Pemandangan yang gelap gulita beberapa saat sebelumnya perlahan semakin terang, hingga menyilaukan mata. Bersamaan dengan itu, terdengar suara langkah kaki yang disertai suara pijakan ranting kayu. Suara itu muncul bersamaan hingga kesadaran seseorang terpanggil kembali.Jingga membuka dua mata dan menyesuaikan diri dengan cahaya. Dia yang mencoba mengumpulkan kesadarannya baru saja menyadari kalau kepalanya tadi bersandar di bahu seseorang. Melihat ke arah samping, dia mendapati Jeslyn yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.Masih membawa rasa penasaran, Jingga memutar kepala ke belakang. Bukan hanya dirinya saja, tapi dia bersama enam orang yang terjebak di lapangan terbuka bahkan tidak tahu keberadaannya. Ada Irene, Rama, Devin, Alden dan seorang gadis dengan baju lengan panjang. Persis di dalam mimpi.Di lapangan ini dibatasi beragam pohon bercabang seperti hutan. Mereka yang tidak mengenal satu sama lain sudah jelas kebingungan. Mereka jug
Menyusul Jingga yang masih membawa kantung kertas di belakang, Alden yang menjelang sore itu berada di kawasan Perumahan Nusantara. Setelah pertemuan tidak biasa yang terjadi di lapangan terbuka beberapa saat sebelumnya, lelaki yang bahunya sama tinggi dengan puncak kepala Jingga menawarkan diri untuk pulang bersama. Ketika ditanya, alasannya adalah dia ingin mengunjungi rumah sang puan dan bertemu orang tuanya.Alasan lain yang lebih masuk akal sebenarnya adalah dia ingin melihat-lihat keadaan perumahan itu sekarang. Sekaligus bernostalgia dan mengingat kenangannya yang pernah tinggal di sini waktu kecil. Dia lahir dan dibesarkan bersama lingkungan sekitar dan warga Perumahan Nusantara. Oleh karena itu, dia bisa berteman akrab dengan Jingga sampai masuk SMP.Seperti sekarang saat membuntuti sang puan di belakang. Dia sedang mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Selama pengamatan, dia sadar kalau kondisi perumahan ini sudah jauh berbeda dibandingkan keadaan beberapa t
Saat jarum pendek jam dinding menunjuk ke angka empat dan jarum panjang naik sedikit dari angka sembilan, Devin baru saja keluar dari kamar kecil di dalam ruang tidurnya. Dia yang sendirian sedang melangkahkan kaki menuju cermin yang berada di sebelah lemari. Melalui pantulan cermin, dia melihat bayangan dirinya yang kini dengan sorot mata cerah dan bibir yang tidak kering. Mirip seperti bunga yang baru mekar.Dia saat ini tinggal sendirian di dalam rumah. Kevin yang biasa menemaninya saat sang kepala keluarga di luar kota tidak terlihat untuk sementara waktu. Dia juga baru saja mendapat kabar kalau besok ayahnya pulang, dan besok juga Kevin harus pulang ke Bekasi.Dia yang sedang bercermin sekarang menatap bayangan dirinya dengan wajah bingung. Ada yang berbeda dan itu membingungkan pikiran yang mungkin butuh waktu lama untuk bisa mencerna segala kejadian. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, makanya saat keluar dari kamar mandi tadi dia butuh jawaban pasti.
Pulang dari halte bus, Jingga sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya yang terletak di komplekas perumahan persis di pusat kota. Bagi warga Jakarta, mencari tempat tinggal dengan harga yang terjangkau bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Semuanya bisa ditemukan dengan mudah, dibantu pula dengan internet yang semakin canggih. Di perumahan itu sendiri, hampir semua kepala menitipkan anggota keluarga. Bulan depan pula mereka akan kedatangan tetangga baru.Setelah mengantarkan Alden ke pemberhentian bus, dia langsung pulang ke rumah tanpa memikirkan tujuan lain. Di dalam kepala, dia sudah membayangkan apa yang akan dilakukan. Hal yang paling utama adalah mandi dan membersihkan diri setelah berada di luar rumah hampir seharian. Dia juga sudah memikirkan kalau dia akan tidur sebentar setelah mandi. Membayangkan rencana indah itu membuat jantungnya berdebar dan tidak sabar menanti.Dia yang sudah masuk ke halaman depan rumah mengulurkan tangan ke arah gagang pintu yan
Lapangan terbuka yang dikelilingi deretan pohon bercabang banyak menjadi tujuan kedatangan tujuh pemuda yang diundang langsung oleh Sagara. Tempat ini adalah tempat yang sama saat mereka dipaksa melawan sosok jubah hitam dan berwajah menyeramkan yang juga dibawa oleh Sagara. Mereka duduk bersebelahan sembari menunggu insan yang belum kelihatan batang hidungnya.Lapangan ini terletak di pinggir kota Jakarta. Bagi mereka yang tinggal di pusat kota, mereka harus naik bus untuk bisa sampai ke pemberhentian terdekat dari lapangan dan berjalan kaki. Tempat ini bisa disebut sebagai tempat yang sepi dari penduduk pinggiran. Jarang ada yang mengetahuinya dan lebih bisa disebut sebagai tempat terbengkalai.Untuk saat ini, Sagara belum kelihatan dan mereka sedang menunggunya. Selagi menunggu, mereka berkenalan dengan masing-masing kepala dan menanyakan nama. Termasuk juga berkenalan dengan gadis yang mengenakan baju lengan panjang bernama Mentari. Setelah itu, mereka mengobrol ba
“Selanjutnya!”Berselang setelah seruan Sagara berakhir walau hanya satu kata saja, Mentari yang diminta ke depan dan menghadap teman-teman barunya kembali ke tempat. Meninggalkan Alden yang masih berdiri di sebelah Sagara. Lelaki itu sedang menarik napas panjang sebelum bersuara dan mengenalkan diri kepada beberapa pasang mata yang memperhatikannya.Pertemuan baru saja dimulai bagi anggota Fantasy Club yang bergabung, namun posisi sang matahari semakin menjorok di ufuk barat dan tidak lama lagi akan menghilang dari langit. Masih ada sedikit waktu untuk memperkenalkan diri dan berbagi informasi.Setelah mengembuskan napas, dia menaikkan sudut bibir dan tersenyum kepada mereka dengan wajah bersahabat. “Selamat sore, semuanya. Saya Alden dan usia saya tahun ini 22 tahun. Salam kenal juga. Kemampuan saya bisa mengalirkan energi listrik dari ujung jari. Sekian dan terima kasih,” ucapnya yang menyebutkan nama dan informasi penting lain.
Pertemuan yang berlangsung selama dua jam bagi anggota Fantasy Club telah berakhir. Setelah saling mengenal dengan sesama anggota, mereka diminta berlatih menggunakan kemampuan oleh Sagara. Sampai pertemuan mereka resmi berakhir, anggota seperti Jeslyn, Alden dan Rama diminta memisahkan diri dari anggota lain dengan dibimbing oleh Sagara.Sementara itu, anggota lain memilih duduk di bawah pohon. Khususnya Devin yang sedang memulihkan diri setelah mengorbankan tenaga. Setelah pembuktian diri tadi, dia diminta Sagara untuk istirahat penuh agar bisa mengisi ulang tenaga. Menurut pria itu, duplikatnya membutuhkan banyak energi. Makanya pula dia tidak boleh sakit.Mereka yang akan berpisah sebentar lagi saling berbicara satu sama lain selagi menyusuri bahu jalan. Sore ini, tidak banyak kendaraan darat yang melintas di jalan kecil. Menjelang mentari terbenam juga, warga yang berjalan kaki juga tidak banyak. Sudah menjadi hal yang biasa jika penduduk kota berada di dalam ruma
Kenangan yang sudah ada di dalam ingatan Sagara sejak 300 tahun yang lalu berakhir dengan pria itu yang mendadak mengembuskan napas lemah. Kenangan yang kembali diungkit setelah sekian lama membuat wajahnya muram. Terlihat jelas dari sudut bibir yang menekuk ke bawah dan sama sekali tidak kelihatan guratan kebahagiaan yang seharusnya dipancarkan. Sangat jauh berbeda dengan sore yang terlalu cerah dan sebentar lagi akan meninggalkan hari ini.Dia tidak menyangka kalau mengungkit kembali kenangannya akan membawa perasaan bagai diiris pisau sebanyak beberapa kali sayatan. Sakitnya tidak terkira, efeknya juga terasa luar biasa. Hatinya merasa sedih. Fakta bahwa dia telah hidup abadi selama 300 tahun di bumi tidak bisa dilupakan. Sudah banyak pula kenangan yang tercipta di dalam kepala.Bersamaan dengan kepalanya yang tertunduk, perlahan dia mencoba untuk merelakan kenangan itu pergi. Suatu saat jika kenangannya dibangkitkan lagi, dia tidak akan merasa sakit yang sama seper
Dalam rangka merayakan berbagai hal yang telah terjadi satu minggu belakangan ini, anggota Fantasy Club mengundang Sagara dan Caraka untuk hadir pada acara makan malam di sebuah restoran bintang lima. Tempat ini diundang khusus oleh Rama yang ingin menghabiskan waktu dengan kemewahan, serta dia juga kenal pemiliknya. Papanya berteman baik dengan pemilik restoran. Oleh karena itu, dia bisa datang kapan saja yang dia inginkan.Di tengah-tengah mereka, ada juga Leo yang duduk di sebelah Irene dan sedang mengobrol bersama Irene. Kini, sang puan sudah resmi menjadi kekasihnya dan hal itu tidak perlu ditutupi lagi. Mereka juga sebentar lagi akan melangsungkan resepsi pernikahan yang diadakan di Hotel Sanjaya, hotel bintang lima yang sering menjadi tempat pesta pernikahan. Mereka juga diundang agar datang. Makanya mereka berkumpul salah satunya merayakan kabar tersebut.Di antara anggota Fantasy Club, Irene menjadi orang pertama yang akan memiliki pasangan sehidup semati. Tid
Jingga yang mengikuti jejak berdasarkan penglihatan masa lalu kini berakhir di halaman belakang SMA Bina Bangsa. Dia mendadak berhenti di sana karena tidak melihat apa pun lagi yang bisa dijadikan petunjuk untuk menemukan Leo. Di situasi seperti ini, dia harus memutar otak untuk menemukan berbagai macam cara yang digunakan Willy, orang yang memiliki kemampuan bayangan.Untuk kali ini, dia menemukan titik buntu. Menyentuh apa pun tidak membantu. Dia sudah mencobanya sendiri dengan menyentuh seluruh permukaan yang menjadi saksi bisu. Di sini, hampir tidak ada benda mati kecuali tumbuhan dan hewan kecil.“Gue pasti kelewatan sesuatu,” tuturnya berbicara sendiri. Dia yakin pasti ada yang dia lewatkan, hanya saja dia tidak sadar. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk mencari kembali.Di tengah pencarian, dia mendengar suara hewan mengaum yang memiliki suara menggelegar datang dari arah seberang. Dia menoleh sebentar dan berhenti melakukan pencarian untuk
Aroma embun pagi yang masih menguar kala mentari masih seperempat di ufuk timur akan terasa lengkap jika bersama satu cangkir kopi. Oleh karena itu, Leo yang baru hadir di kantor guru ingin menemani hari bersama kopi. Selain menjadi pasangan yang cocok untuk menghabiskan waktu, kopi juga bisa menambah energi walau tidak banyak seperti satu cangkir minuman gandum.Setelah menyapa beberapa guru yang berada di meja untuk guru piket, dia melangkahkan kaki menuju dapur kecil yang letaknya ada di sebelah ruang staf TU. Ruang itu diapit juga oleh tangga yang membawa murid SMA Bina Bangsa ke lantai dua di mana ada ruang kelas. Selain guru, dia juga membalas sapaan para murid yang kebetulan lewat di sana.Mengulurkan tangan ke gagang pintu, dia mendorong pintu ke depan lalu masuk tanpa pikir dua kali. Punggungnya menghilang dari balik pintu ketika pintu ditutup. Di saat itu, dia mendadak berhenti di tempat. Matanya membulat dan membeku. Dia tampak tidak bisa berkata-kata ketika
Gara-gara Devin yang mendadak tumbang seperti pohon, latihan pada sore ini berakhir dengan cepat. Dia dibawa ke dalam rumah Sagara, tepatnya di sebuah ruangan gelap yang hampir tidak memiliki celah udara. Dia kembali ke tempat ini lagi setelah berkunjung beberapa bulan sebelumnya dengan masalah yang hampir sama.Dia yang harus ditangani sudah duduk dengan meluruskan kaki di kursi relaksasi yang telah disediakan. Caraka yang bertugas menanganinya duduk di kursi kecil yang terletak di samping kursi relaksasi. Lelaki itu sedang dilakukan pemijatan agar dia mengantuk dan dibawa ke dunia alam bawah sadar. Mereka akan berhasil terhubung jika Devin sudah memejamkan mata dan tidur.Sementara itu, anggota Fantasy Club beserta Leo memperhatikan proses tersebut dari luar. Mereka bisa melihat dengan jelas melalui kaca tembus pandang. Sagara juga ada di luar sekaligus untuk mengawasi mereka. Walau latihan telah berakhir, tetapi mereka belum pulang ke rumah masing-masing. Mereka mal
Satu hari setelah memulai hubungan, Rama dan Jeslyn tidak ragu menunjukkan bagaimana perasaan mereka di depan orang lain. Bahkan mereka secara terang-terangan saling menggenggam tangan saat baru muncul di halaman belakang rumah Sagara untuk latihan. Aksi itu tentu saja mengundang atensi anggota lain yang melihat langsung dengan mata sendiri.Di detik itu juga, mereka berseru dengan berbagai macam reaksi. Ada yang senang, namun ada juga yang mengejek. Gara-gara itu, Sagara dan Caraka juga ikut memperhatikan hal macam apa yang terjadi. Leo juga mengalihkan pandangan ke arah yang sama.“Dih! Dalam rangka apa nih pegang-pegangan tangan?” seru Jingga yang tidak pernah mengenal kata kalem, apalagi ketika melihat sesuatu yang menarik di depan mata. Dia sebagai orang pertama yang melihat kejadian langka selama bertemu adalah orang pertama yang juga memberi celetukan.“Jangan bilang dalam rangka 17-an,” celetuk Alden yang menyambut dengan baik pen
Berkat bertemu Purnama yang mengenalkan diri sebagai senior Fantasy Club, Devin kini dibawa ke ruko milik pria itu. Dia juga diminta untuk berbaring di kasur yang telah disediakan pemilik rumah supaya bisa memulihkan diri. Untung saja, kejadian di pasar malam tadi tidak menimbulkan kehebohan bagi warga sekitar. Semuanya seolah-olah sudah lupa dalam waktu singkat. Seolah-olah juga tadi tidak ada kejadian aneh.Sepanjang jalan, Purnama memperkenalkan diri dan memberi tahu semua identitas pribadi yang tidak diketahui orang lain. Sebagai anggota Fantasy Club, dia juga memberi tahu kekuatannya. Dia bisa memindahkan orang ke dimensi lain dengan keadaan yang sama. Sagara juga pernah meminta bantuannya saat mengumpulkan mereka setahun yang lalu. Makanya mereka bisa bertemu.Sementara Mentari yang ada di samping Devin tidak berniat meninggalkannya. Dia menggenggam tangan lelaki itu dengan erat, walau Devin tadi sudah meminta agar tidak khawatir. Akan tetapi, tetap saja sang pua
Berdasarkan rencana yang telah disusun beberapa menit sebelum acara, Devin dan Mentari sudah berada di dalam mobil yang dikendarai sendiri oleh Devin dari rumah. Dia sudah mengantongi izin dari papanya dan sudah memberi alasan jelas pula. Makanya dia tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi dan sampai minta izin kepada sopir pribadi papanya. Dia bisa membawa mobil itu dengan bebas, asalkan sudah ada tujuan dari awal.Berada di perjalanan, mereka rencananya ingin menghabiskan waktu di pasar malam. Kebetulan di akhir pekan ini tidak ada pertemuan lagi dengan anggota Fantasy Club. Juga mereka punya banyak waktu kosong. Oleh karena itu, mereka memutuskan berkencan di sana sampai menjelang tengah malam.Mengisi keheningan, Devin yang menyetir sedang menggumamkan lagu yang diputar melalui pemutar musik bawaan dari mobil. Dia tampaknya hafal keseluruhan nada dari lagu tersebut, walau ada yang sumbang. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah. Sorot matanya juga pada sore ini tampak cer
Selama lebih kurang 2 jam latihan untuk meningkatkan kemampuan, latihan itu sebentar lagi akan berakhir. Oleh karena itu, Sagara meminta mereka semua berkumpul di satu tempat untuk menyampaikan beberapa patah kata sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang juga tidak memiliki hal lain lagi ikut berbaris.“Sejauh yang kuamati, latihan kalian tadi sudah bagus. Hanya saja kalian perlu mengasah kemampuan itu lagi. Tadi aja masih ada yang kurang sampai aku harus turun tangan,” ujar Sagara menerangkan kesimpulan latihan pada sore ini. Mereka yang mendengar hal itu hanya diam dan ikut menyimak. “Sebelum itu, aku minta kalian jangan pulang dulu. Ada yang ingin kusampaikan,” tambahnya. Secara tidak langsung juga, dia meminta mereka duduk dan berkumpul di satu tempat.Tanpa pikir panjang, anggota Fantasy Club duduk kembali untuk mendengar apa yang ingin disampaikan Sagara. Di belakangnya, ada Leo yang ikut menyimak pembicaraan mereka walau
Sekolah baru saja berakhir saat matahari berada di sudut 30 derajat dari ufuk barat. Terlihat para murid SMA Bina Bangsa baru saja keluar dari gedung dan melangkahkan kaki ke pintu gerbang. Mereka akan pulang ke rumah masing-masing setelah seharian berada di sana dan mengikuti mata pelajaran dari awal. Ada yang menggunakan sepeda motor, namun ada juga yang jalan kaki karena jarak rumah yang tidak terlalu jauh.Termasuk juga para guru yang keluar paling belakangan. Mereka menunggu sampai sekolah sepi, baru mereka bisa keluar. Sudah ada satpam juga yang mengatur keramaian dan mengawasi agar tidak terjadi kemacetan. Biasanya di saat seperti ini, jalan akan macet karena ramai.Mengikuti barisan para guru, ada Leo juga yang baru bisa keluar setelah sekolah hampir sepi. Dia pulang dengan bus, makanya dia harus jalan kaki ke halte. Menempuh perjalanan itu tidak membutuhkan waktu lama. Kira-kira butuh waktu selama 5 menit dimulai keluar dari gerbang.Berjalan kaki sambi