Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 2 "Kok, kamu kayak kaget gitu, Mas? Kenapa?" Wanita tadi ikut heran dengan tatapan Mas Fahri, sementara aku hanya tersenyum tipis seolah kita memang tidak saling kenal. "Aku mau ke Papa." Dapat aku dengar Kania masih merengek, bahkan sudah beberapa kali berdiri untuk menghampiri Mas Fahri, tapi Haikal lagi-lagi menahannya. Aku tidak tahu kalau bagaimana jadinya kalau Haikal tidak ikut, karena Kania lebih nurut sama Mas Fahri dan Haikal daripada aku. "Mas!" Wanita itu kembali memanggil Mas Fahri yang masih menatapku. "Kalian saling kenal?" tanyanya lagi. Mas Fahri hanya diam. Dia memilih untuk menundukkan kepalanya dan kembali duduk tanpa menjawab pertanyaan itu. Karena tidak mendapatkan jawaban dari Mas Fahri, wanita itu pun menatapku untuk mendapatkan jawabannya. "Apa kalian saling kenal, Mbak?" tanyanya dengan tatapan yang lembut, tidak seperti kepada Mas Fahri. "Oh, enggak, kok, Mbak." Aku langsung merespon dengan senyuman yang membuat Mas
"Biasa aja apanya sih, Mas? Apa jangan-jangan mata kamu sudah tidak berfungsi, ya?" Wanita itu terlihat sangat kesal. Jelas, semua mata pasti tahu bagaimana tampilan laki-laki yang kini duduk di depanku. "Kania mau makan apa? Mau disiapin?" Laki-laki yang bernama Dino itu menawarkan diri kepada Kania. Gadis kecilku menggeleng pelan. "Kania hanya mau disuapi Papa," tolaknya halus. Dino menatapku untuk meminta penjelasan. "Nanti aku jelaskan, sekarang bukan waktu yang tepat," ucapku setengah berbisik. Dino mengangguk. Ia pun mengambil piring Kania dan memberikan suapan. "Papanya lagi sibuk, sama Om aja, ya?" ucapnya lembut. Kania kembali menggeleng. "Papa gak sibuk, itu Papa ada di sana," lirihnya pelan sambil menunjuk ke arah meja Mas Fahri yang sontak membuat Dino ikut menatap ke arahnya. "Sial*n. Apa yang sedang laki-laki itu lakukan di sana?" Dion sangat marah setelah melihatnya. "Seperti yang Om lihat, Papa sedang makan dengan seorang ibu, dan beberapa anak kecil." Haikal
Setelah mengirimi aku pesan, Mas Fahri langsung buru-buru pulang. Sepertinya dia memang sudah tidak sabar untuk menuntut penjelasan dariku, padahal aku yang lebih berhak untuk itu. Enak saja. Aku memang wanita dan harus taat terhadap suami, apakah kepada seorang pembohong juga aku harus hormat? Yang benar saja. Sebelum benar-benar pergi, Mas Fahri melirikku dengan tajam. Meskipun melihat dengan jelas, aku berpura-pura tidak melihatnya, dan tetap fokus sama Kania yang sedang digoda Dino. "Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Toh, mereka sudah pergi." Dino mulai mencoba mendapatkan penjelasan. "Seperti yang kamu lihat." Aku menjawabnya cuek. Tidak usah menjelaskan, dia juga pasti sudah tahu. "Jadi selama ini dia mengkhianati kamu?" tanyanya sambil menatapku tidak percaya. "Ah, yang benar saja. Memangnya apa kelebihan wanita itu sampai membuatnya berpaling darimu?" ia beberapa kali menggelengkan kepalanya. "Begitulah lelaki. Dia tidak akan pernah merasa cukup, padahal di rumah sudah
Mas Fahri tetap diam. Dia sepertinya belum menemukan alasan yang tepat untuk membohongiku, atau dia mungkin sudah tahu kalau aku tidak akan percaya lagi dengan apapun yang dia katakan. "Cepat jawab!" Aku mulai berteriak. Kesabaranku rasanya sudah habis, apalagi jika mengingat selama sepuluh tahun ini dia selalu berbohong. Mas Fahri masih diam. Andai anak-anak tidak ada, aku pasti sudah melampiaskan semuanya. "Ini yang kamu bilang sibuk selama sepuluh tahun ini?" tanyaku lagi sambil menatap matanya dengan penuh kebencian. Mata yang dulu memandangnya dengan penuh cinta dan kelembutan, kini tinggal tersisa hampa, dan kenangan yang pahit. "Jawab, Mas! Kenapa kamu hanya diam? Siapa wanita itu?" tanyaku berteriak. Mungkin saat ini anak-anak sudah mendengarnya, tapi semoga saja tidak. Di kamar, ada Mbak Lina yang baru bekerja kemarin untuk menjaga anak-anak kalau aku sibuk. Aku berharap dia bisa membuat anak-anak menjauh dark tempat kami sekarang. Kebetulan di kamar anak-anak juga ada p
"Adam?" Aku mengucapkan nama itu dan membuat Mas Fahri menatap tajam ke arahku. "Jangan ganggu privasi suamimu, Dania!" bentaknya membuatku sangat terkejut. Oh, jadi dia mau bermain lembut? Baiklah. Aku akan dekati Ranti tanpa sepengetahuanmu, Mas, dan lihat bagaimana hasilnya nanti. Karena takut anak-anak sudah kembali ke kamar dan melihat pesan dari Ranti alias Adam itu. Aku akan mengumpulkan bukti yang cukup untuk membuat keluarga besar kami berdua percaya dengan apa yang akan aku katakan. [Kenapa, Mbak? Mbak terkejut, ya? Aku pacaran dengan Mas Fahri meksipun masih status istri karena suamiku suka main kasar, Mbak. Bukan hanya itu, dia juga suka main perempuan. Tidak pernah kasih nafkah, jadi hanya bisa marah-marah, dan itu membuat Mas Fahri semakin peduli padaku.] [Apalagi anak-anak kekurangan kasih sayang dari ayahnya, jadi Mas Fahri yang menggantikan posisi itu.] Sederet pesan yang Ranti kirimkan membuat dadaku bergemuruh. Bisa-bisanya Mas Fahri peduli kepada anak orang
Hari ini aku akan menemui Mbak Mira untuk mencari tahu siapa nama kontak Ranto di ponselnya Mas Bagas. Entah kenapa aku sangat yakin kalau itu adalah Ranti. "Ayo kita sarapan dulu, Mas, Dek!" seruku kepada anak-anak yang sudah selesai bersiap di kamarnya. Mereka pun langsung keluar, tapi langkah mereka terhenti sambil menatap heran ke arahku. "Kenapa, kok, berhenti? Ayo, dong, Mama langsung antar ke sekolah setelah sarapan," ajakku lagi tapi mereka masih diam. Beberapa detik kemudian aku baru tersadar kalau mereka menatap bukan ke arahku, jadi aku ikut melihat apa yang sedang mereka tatap. "Mas Fahri, ngapain?" tanyaku aneh ketika melihat suami yang tidak pernah sarapan bersama tiba-tiba ada di belakangku. "Mas mau makan bersama dengan kalian," jawabnya lirih. "Enggak usah, gak perlu. Sana lanjutkan tidurnya, anak-anak gak bakalan nangis meskipun kamu tinggal sekali pun," ucapku sinis sambil membawa anak-anak keluar dari kamarnya. "Kamu jangan egois, Nia. Anak-anak pasti memb
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam Aku benar-benar tidak habis pikir, ternyata Mas Fahri bahkan masih punya waktu untuk berdebat di jalanan dengan istri barunya. Sungguh terlalu. Padahal dari rumahnya sudah biasa buru-buru, ternyata hanya untuk hal seperti ini. "Dania!" Baru saja aku melangkah masuk pintu depan restoran, suara Tata sudah mulai terdengar. Tata adalah sahabat yang aku percayakan untuk memegang restoran. Lumayan, bisa untuk tambahan uang kuliahnya. "Hei, maaf kalau aku telat, ya." Aku langsung menghampirinya yang sedang sibuk di kasir. "Gapapa, kalau bos datang kapanpun bukan masalah," kelakarnya. Dulu, aku sempat curiga kalau Tata ada hubungan dengan Mas Fahri, karena ia suka terang-terangan mengungkapkan kebenciannya. Kupikir sama seperti di cerita-cerita, bilang benci, tapi nyatanya cinta. Ditambah biasanya sahabat adalah musuh yang paling dekat, ternyata itu semua hanya pikiran negatifku. "Ada masalah?" Ia bisa menangkap raut wajahku dalam waktu cepat. "Gapap
Alasan Lembur Suamiku "Kau lagi, kau lagi." Mas Fahri menatap Dino penuh dengan kebencian. "Bisa gak sih jangan jadi perusak hubungan orang?" sinisnya. "Loh, kok, jadi gue yang merusak hubungan kalian? Bukannya Lo sendiri yang berkhianat duluan?" ucap Dino santai sambil menarikku untuk duduk, tapi dari bahasanya, aku tahu dia sedang sangat marah. "Dengarnya, kalau bukan karena kamu yang mendekati anak-anak, mereka tidak akan pernah menjauhiku." Mas Fahri menghampiri Dino dengan penuh amarah. Oh, dia mau mengajak Dino berkelahi? Sepertinya Mas Dino lupa kalau sahabatku ini mahir bela diri. Dia bisa mengendalikan tubuhnya untuk menghindar serangan dan membuat lawan terkapar dalam waktu dekat. Mas Fahri memang tidak pernah tahu tentang Dino, tapi aku pernah ceritakan tentangnya dengan detail. Entah dia ingat atau tidak, yang jelas bukan masalah kalau Mas Fahri ajak berkelahi. Hanya saja, aku takut anak-anak akan kasian kalau melihatnya sakit, terus mau dekat lagi dengan dia. "Jang
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam Kini aku sedang menunggu Haikal bicara, apa maksud dari pergi jauh yang dia katakan tadi. Namun, orang yang kutunggu itu hanya diam saja sambil beberapa kali memasukan makanan ke dalam mulutnya. "Kami hanya akan datang kalau Kania kembali merindukan orang yang tidak seharusnya dirindukan," ucap Haikal tiba-tiba membuka suara setelah melap bibirnya yang penuh saus dengan tisu. Merindukan orang yang seharusnya tidak dirindukan? Apa aku memang pantas untuk tidak dirindukan? Ya Allah, apa yang sebenarnya sudah aku lakukan di masa lalu, sampai lukanya Haikal sebesar ini? "Sayang, Papa adalah ayah kandung kalian. Bukankah rasanya tidak mungkin kalau kalian tidak merindukan Papa?" Aku kembali bertanya dengan basa-basi. Padahal tubuhku sendiri ingin membawa mereka ke dalam pelukan. Kini aku tahu bagaimana rasanya tidak dianggap ada. Baru sebentar saja, aku merasa sudah mengalami hal ini sangat lama. Aku juga menjadi tahu bagaimana rasanya dibenci oleh
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 46 "Katakan padaku, apa papanya Dania telah berbohong padaku?" tanyaku pada Chris sambil mencengkram erat bajunya. "Saya tidak tahu, Pak. Saya tadi sudah mengatakan pendapat tentang alamat yang diberikannya ini, tapi Bapak menolak untuk tahu." Ia menjelaskan dengan jujur. Benar, ini adalah kesalahanku sendiri. Harusnya aku belajar dari pengalaman, dan tidak lagi tertipu oleh tipuan murahan. Aku tidak pantas diperlakukan seperti ini. "Kembali ke kantor. Kita kerjakan pekerjaan yang sudah lama kita tinggalkan," titahku dan Chris langsung menjalankan mobilnya. Aku benar-benar tidak habis pikir, sikap Dino dan Dania ternyata sangat ke kanak-kanakan. Kalau dari awal mereka memang tidak berniat untuk bertemu denganku, kenapa mereka muncul di taman waktu itu? Terus kenapa papanya Dania pun ikut memberikan alamat yang salah padaku. Apa memang aku pantas diperlakukan seperti ini? Sungguh terlalu. Aku bekerja keras untuk kebahagiaan mereka, tapi inik
PoV Fahri Oke, aku mengaku kalah. Sudah 7 x 24 jam aku mencari mereka tanpa kenal lelah dan makan pun sudah tidak aku ingat, tapi sama sekali tidak ada jejak apapun. Mereka seperti menghilang ditelan bumi. "Kenapa, Pak?" Chris tiba-tiba mendekat ke arahku. Aku yang hanya ingat kalau dia adalah orangnya Dino pun langsung emosi dan menarik kerah bajunya. "Katakan di mana majikan kamu itu berada?" tanyaku sambil menatap manik matanya. Aku sudah tidak bisa lagi bersabar apalagi menahan amarah untuk tidak memberikan pelajaran kepada orang yang ada di depanku ini. "Maaf, Pak. Saya memang tidak tahu lagi mereka ada di mana. Tadi saya diberitahu oleh orang khusus mereka kalau Bu Dania dan keluarganya sedang ada di taman," jelasnya membuatku semakin marah. "Kalau begitu sekarang tanya orang khusus itu dia di mana. Jawab sekarang juga, jangan sampai membuatku marah!" "Baik, Pak. Tapi tolong lepaskan dulu cengkraman tangan bapak ini." Tanganku seketika terlepas dari kerahnya. "Cepat t
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 44 Berada di kamar terlalu lama membuatku penat. Apalagi suara anak-anak sudah tidak terdengar lagi. Baik Haikal, Kania, Raya, ataupun Rani. Rumah ini seperti kosong. "Mas, sarapan!" teriak Mbak Jum setelah mengetuk pintu. "Iya, Mbak. Sebentar lagi saya keluar." Aku langsung mandi dan bersiap untuk kembali ke kantor. Namun sebelum berangkat, aku harus sarapan dulu. Sekaligus untuk melihat bagaimana sikap Dania dalam melayani Dino di pagi hari seperti ini. Apa sama seperti apa yang kulakukan dulu, atau berbeda. Namun, pikiranku mengatakan kalau sikap Dania pasti berbeda. Sikapnya padaku tentu akan lebih spesial. Setelah siap aku langsung keluar dari kamar menuju tempat makan dengan sangat gembira. Namun ketika sampai di sana, aku hanya mendapatkan kekecewaan. "Kok, hanya ada Mama sama Papa, yang lainnya ke mana?" tanyaku heran sambil menatap makanan yang tertata rapi di meja hanya sedikit saja. Tidak ada makanan kesukaan Dania ataupun anak-ana
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 43 PoV Fahri Setelah sempat bangun dan menyaksikan kemesraan mereka berdua, aku ternyata kembali tidak sadarkan diri. Sekarang aku baru membuka mata dan sangat lapar, sementara di dalam kamar hanya ada aku sendiri. Memang kebangetan semua penghuni rumah ini, setidaknya tinggalkan makanan atau buah di dekat tempat tidurku agar aku tinggal makan pas bangun. Mana badan sakit semua lagi. Baru saja aku membuka pintu kamar, terdengar perbincangan dari kamar sebelah yang kutahu adalah kamar anak-anak. "Apa nama benda ini, Pa?" terdengar Haikal bertanya. "Ini adalah kelereng. Permainan anak-anak zaman dulu, biasa dimainkan oleh laki-laki ataupun perempuan. Cuman dulu papa gak bisa memainkannya, selalu kalah." Dino pun menjelaskan. Mendengar kedekatan mereka, hatiku kembali teriris, lalu tersiram perasaan air jeruk yang asam. Sangat menyakitkan. Dulu aku tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan mereka, yang ada di pikiranku hanya ada Rani dan Raya.
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 42 PoV Fahri "Kamu pasti terkejut, kan? Padahal tidak perlu, karena kami sudah merencanakan hal ini dari jauh-jauh hari. Bahkan tahun." Mas Bagas berjalan mendekat ke arahku sambil meracau. "Asal kamu tahu, aku selalu iri melihatmu begitu diperhatikan oleh Dania. Dari pagi sampai malam, hanya kau yang dia perlakukan istimewa. Sementara aku, aku hanya bisa menjadi penonton dari kemesraan kalian," lanjutnya. Aku benar-benar tidak faham dengan apa yang dia katakan. Sepertinya dia sudah salah minum obat, jadi mengatakan hal yang tidak-tidak. "Cukup, hentikan sandiwara ini!" Aku berjalan ke arah pintu dan mencoba untuk membukanya, tapi tidak bisa. Ternyata mereka kembali mengunci pintunya. Aku membalikkan badan dan menatap ke arah mereka satu persatu. "Jadi maksudnya kalian bersekongkol?" "Seperti yang kau lihat dan kita sama-sama menginginkan orang yang berbeda," jawab Mas Bagas mantap. Sebenarnya siapa yang mereka inginkan? "Aku menginginkan Diana
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 41 PoV Fahri Hari ini adalah hari pernikahan Diana dan Dino, aku sengaja datang setelah ijab qobul selesai. Tidak tahan rasanya jikalau mata ini melihat kemesraan mereka, sudah pasti hatiku akan hancur berantakan begitu saja. Diana, andai kau tahu isi hatiku yang hanya diisi dengan ketulusan, bisa kupastikan kalau kau akan langsung kembali padaku. Namun sayang, kau sudah tidak mau mendengarkan apa yang akan aku katakan. "Mau datang ke sana jam berapa, Pak?" tanya Wita di aplikasi hijau. "Nanti agak siangan. Emang kamu mau numpang sarapan di sana?" balasku kesal. "Enggak dong, Pak. Kan aku mau menyaksikan pengeranku melepaskan status jomblonya," balasnya lagi dengan disertai stiker patah hati. Ya ampun ini anak kenapa, lebay banget. Aku kok baru tahu punya team begini? Terlalu. "Sana kalau kamu mau berangkat sendiri, saya datang siangan." "Jangan ngambek dong, Pak. Meksipun saya ingin melihat Pak Dino melepaskan status jomblonya, tapi saya ju
Bukan Pilihan PoV Fahri Setelah mendapatkan kembali rumah yang dulu aku tempati dengan anak-anak dan Dania, aku merasa sangat lega. Sekarang aku tinggal membuat rencana agar Dania mau membatalkan pernikahan yang akan diadakan lusa. Sekarang aku sedang menunggu anak-anak pulang dari sekolah, jadi aku punya alasan untuk bertemu dengan Dania. "Papa jemput kita?" tanya seorang anak kecil yang suaranya sangat aku kenal. Aku langsung membalikkan badan untuk melihatnya. "Raya? Bukan. Papa ke sini untuk menjemput Haikal sama Kania," ucapku tegas. Masa bodoh dengan perasaan mereka, toh Haikal dan Kania saja bisa bertahan ketika aku lebih dekat dengan Raya dan adiknya. Berarti sekarang dia juga bisa menerima kenyataan ketika aku dekat dengan anak-anakku sendiri. Tapi, kenapa Rani juga ikut sekolah? "Oh, gitu, ya," ucapnya singkat. Tidak ada lagi yang keluar dari mulutnya itu. "Kenapa Rani ikut denganmu?" "Lah, masa papanya gak faham dengan apa yang terjadi kepada anak yang dulu dia bel
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 39 Pukulan Terbesar PoV Fahri Wajahku tiba-tiba menjadi panas ketika mendengar kata-kata yang keluar dari bibir mamanya Dania. Aku memang salah dan aku sudah berusaha untuk memperbaiki diri. Tidak ada salahnya dengan diriku yang sekarang, tapi perkataan mama benar-benar sudah menghancurkan hati dan perasaanku. Apalagi mama mengatakan kalau aku terlalu lemah untuk menjadi suami putrinya. Bukankah setiap manusia selalu ada kesempatan kedua? Kenapa aku tidak diberikan kesempatan kedua itu? Kenapa malah caci maki yang aku terima sekarang ini? Padahal kita sudah lama tidak bertemu dan saling sapa, tapi yang kudapat di pertemuan ini hanyalah kata-kata yang menyakitkan. "Maaf atas semua yang Mama katakan, ya, Mas. Aku tahu kamu sudah berubah menjadi lelaki yang lebih baik, aku yakin nanti juga Mama bisa menerimanya," ucapku tidak enak hati. "Apanya yang bisa berubah?" Mama kembali bicara dengan nada yang membuatku tidak nyaman. "Bukankah kamu sudah